This study aims to analyze the normative conflict between general seizure (sita umum) and criminal seizure (sita pidana) in the settlement of bankruptcy assets, as well as to examine mechanisms for resolving such conflicts when assets of a bankrupt debtor under general seizure are also subject to criminal seizure. General seizure, carried out by the bankruptcy curator, is intended to collect and liquidate all assets of the bankrupt debtor to repay creditors fairly and proportionally. In contrast, criminal seizure, conducted by investigators, is aimed at confiscating assets related to a criminal offense, either as evidence or as proceeds of crime. The normative conflict arises when assets seized for bankruptcy settlement are also targeted in criminal proceedings. This clash is rooted in Article 31(2) of Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Debt Payment, which stipulates that a bankruptcy declaration and general seizure nullify all prior seizures, and Article 39(2) of Law No. 8 of 1981 on the Criminal Procedure Code (KUHAP), which still permits the seizure of assets already under civil or bankruptcy seizure. Using a normative juridical method, the findings reveal that this inconsistency creates legal uncertainty, particularly in determining the priority of seizure enforcement, thereby hindering the settlement of bankruptcy assets and potentially causing losses to creditors. Therefore, this study recommends the establishment of a clear legal provision that explicitly prioritizes general seizure in cases of overlap with criminal seizure, in order to ensure legal certainty, safeguard creditors’ rights, and maintain a balanced approach with the objectives of criminal law enforcement. Penelitian ini bertujuan menganalisis konflik norma antara sita umum dan sita pidana dalam proses pemberesan harta pailit, serta mengkaji mekanisme penyelesaiannya ketika aset debitur pailit yang telah berada dalam sita umum juga menjadi objek sita pidana. Sita umum yang dilakukan oleh kurator dalam kepailitan bertujuan mengumpulkan dan menjual seluruh aset debitur pailit untuk membayar utang kepada para kreditur secara adil dan proporsional. Sebaliknya, sita pidana yang dilakukan oleh penyidik ditujukan untuk menyita aset yang terkait dengan tindak pidana, baik sebagai alat bukti maupun hasil kejahatan. Konflik norma timbul ketika objek yang disita untuk pemberesan harta pailit juga menjadi sasaran sita dalam perkara pidana. Pertentangan ini berakar pada ketentuan Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyatakan bahwa putusan pailit dan sita umum menghapus seluruh sita sebelumnya, dengan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang tetap memperbolehkan penyitaan terhadap objek yang telah berada dalam sita perdata maupun sita pailit. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertentangan norma tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya terkait penentuan prioritas pelaksanaan sita, sehingga berimplikasi pada terhambatnya pemberesan harta pailit dan potensi kerugian bagi kreditur. Penelitian ini merekomendasikan adanya pengaturan yang secara tegas menetapkan prioritas sita umum dalam konteks tumpang tindih dengan sita pidana, guna menciptakan kepastian hukum, melindungi hak kreditur, dan tetap menjaga keseimbangan dengan kepentingan penegakan hukum pidana.