Abstrak Penyuluhan hukum yang dilaksanakan di Kabupaten Sorong telah berhasil meningkatkan pemahaman masyarakat tentang mekanisme penyelesaian sengketa tanah yang melibatkan hukum positif dan hukum adat. Berdasarkan evaluasi pre-test dan post-test, terlihat adanya peningkatan signifikan dalam pemahaman peserta mengenai kedua sistem hukum tersebut. Sebelum penyuluhan, hanya 30% peserta yang memahami mekanisme hukum positif, namun setelah penyuluhan, angka ini meningkat menjadi 85%. Selain itu, kesadaran masyarakat tentang pentingnya legalitas tanah juga meningkat, di mana pada post-test, 78% peserta menyadari pentingnya memiliki sertifikat tanah, dibandingkan hanya 40% pada pre-test. Meskipun demikian, masih terdapat tantangan terkait ketidakjelasan batas wilayah tanah yang sering menjadi sumber sengketa. Sebelum penyuluhan, hanya 34% peserta yang menyadari masalah batas wilayah, namun setelah penyuluhan, angka ini meningkat menjadi 56%. Keterbatasan akses informasi bagi masyarakat di daerah terpencil juga menjadi hambatan dalam memproses legalitas tanah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya lebih lanjut untuk memperluas akses informasi dan mendukung masyarakat dalam mengurus sertifikasi tanah mereka. Penyuluhan hukum ini juga membuka ruang untuk harmonisasi antara hukum adat dan hukum positif, yang perlu dilanjutkan dengan memperkuat koordinasi antara kedua sistem hukum. Diharapkan, dengan adanya pelatihan berkelanjutan dan penggunaan media digital, penyuluhan ini dapat memperluas jangkauan serta memberikan solusi yang lebih efektif dan adil bagi masyarakat dalam penyelesaian sengketa tanah. Kata kunci: penyuluhan hukum; sengketa tanah; hukum positif; hukum adat. Abstract The legal education program conducted in Sorong Regency has successfully improved the community's understanding of the mechanisms for resolving land disputes involving positive law and customary law. Based on pre-test and post-test evaluations, there was a significant increase in participants' understanding of both legal systems. Before the program, only 30% of participants understood the mechanisms of positive law, but after the program, this figure increased to 85%. In addition, public awareness of the importance of land legality has also increased, with 78% of participants recognizing the importance of having a land certificate in the post-test, compared to only 40% in the pre-test. However, there are still challenges related to unclear land boundaries, which are often a source of disputes. Before the outreach program, only 34% of participants were aware of boundary issues, but after the program, this number increased to 56%. Limited access to information for people in remote areas is also an obstacle in processing land legality. Therefore, further efforts are needed to expand access to information and support the community in obtaining land certification. This legal education program also opens up opportunities for harmonization between customary law and positive law, which needs to be continued by strengthening coordination between the two legal systems. It is hoped that with ongoing training and the use of digital media, this program can expand its reach and provide more effective and fair solutions for the community in resolving land disputes. Keywords: legal education; land disputes; positive law; customary law.