Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Hukum Perlindungan Konsumen pada Telekonsultasi Kesehatan Kristianti, Nunul; Yanuar, Ferdian; Ardiansyah, Deden; Putri, Mega Amanda; Parman, Parman; Prayuti, Yuyut
RIGGS: Journal of Artificial Intelligence and Digital Business Vol. 4 No. 4 (2026): November - January
Publisher : Prodi Bisnis Digital Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/riggs.v4i4.3537

Abstract

Perkembangan layanan telekonsultasi kesehatan di Indonesia telah membuka era baru dalam penyelenggaraan pelayanan medis berbasis teknologi digital. Inovasi ini memberikan kemudahan akses, efisiensi waktu, serta perluasan jangkauan layanan kesehatan, terutama bagi masyarakat yang selama ini sulit memperoleh pelayanan medis konvensional. Namun demikian, transformasi digital tersebut juga menghadirkan tantangan hukum yang kompleks, khususnya terkait jaminan perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen. Kerentanan pasien terhadap ketimpangan informasi medis, risiko malpraktik, ketidakjelasan standar layanan, hingga potensi kebocoran dan penyalahgunaan data pribadi menuntut adanya regulasi yang jelas, harmonis, dan implementatif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk, ruang lingkup, dan mekanisme perlindungan hukum terhadap pasien pengguna jasa telekonsultasi dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rezim perlindungan hukum bagi pasien dalam layanan telekonsultasi masih bersifat parsial, sektoral, dan belum terintegrasi dalam satu kerangka regulasi yang komprehensif. Tanggung jawab hukum antara tenaga medis dan penyelenggara platform digital masih belum diatur secara tegas, sementara mekanisme penyelesaian sengketa konsumen belum tersedia dalam bentuk yang mudah diakses. Oleh karena itu, diperlukan pembaruan regulasi telemedicine yang memasukkan norma perlindungan konsumen secara eksplisit serta pembentukan mekanisme penyelesaian sengketa daring (e-dispute resolution) di sektor kesehatan guna menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak-hak pasien di era digital.
Etika Profesional dan Tanggung Jawab Hukum Dokter di Era Kecerdasan Buatan: Kajian Filsafat Hukum terhadap Relasi Manusia–Teknologi (AI) dalam Diagnostik Medis Kristianti, Nunul; Ardiansyah, Deden; Putri, Mega Amanda; Yanuar, Ferdian; Parman, Parman; Sapsudin, Asep
RIGGS: Journal of Artificial Intelligence and Digital Business Vol. 4 No. 4 (2026): November - January
Publisher : Prodi Bisnis Digital Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/riggs.v4i4.3540

Abstract

Perkembangan kecerdasan buatan (AI) dalam kedokteran telah mengubah paradigma hubungan antara dokter, pasien, dan teknologi digital. Sistem berbasis algoritma kini mampu melakukan analisis diagnostik dengan akurasi tinggi, mendukung pengambilan keputusan klinis, dan meningkatkan efisiensi pelayanan. Namun, kemajuan ini sekaligus menimbulkan persoalan baru dalam etika profesional, otoritas medis, serta batas tanggung jawab hukum dokter. Kajian ini menggunakan pendekatan filsafat hukum normatif-reflektif untuk menelaah pergeseran peran dokter di era digital, dengan mengkaji pemikiran para filsuf seperti Aquinas mengenai hukum moral, Grotius dan Locke tentang rasionalitas dan keadilan, Hobbes terkait kewenangan dan tanggung jawab, serta Kant mengenai otonomi dan imperatif moral. Selain itu, gagasan Heidegger tentang teknologi sebagai enframing dan pandangan Habermas mengenai tindakan komunikatif digunakan untuk memahami relasi manusia–teknologi secara lebih mendalam. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun AI mampu meniru proses berpikir rasional dan memberikan rekomendasi klinis yang canggih, teknologi tersebut tidak memiliki kesadaran moral, niat, maupun kapasitas pertanggungjawaban. Dengan demikian, AI tidak dapat diposisikan sebagai subjek hukum atau pemikul kewajiban etik. Tanggung jawab etik dan yuridis tetap berada pada dokter sebagai aktor profesional yang membuat keputusan akhir dalam tindakan medis—termasuk ketika keputusan tersebut dipengaruhi oleh output sistem AI. Oleh karena itu, diperlukan pembaruan regulasi dan revisi Kode Etik Kedokteran Indonesia untuk mengakomodasi penggunaan teknologi cerdas, dengan menegaskan prinsip human-centered accountability, transparansi algoritmik, keadilan, serta perlindungan pasien. Kesimpulannya, AI dapat memperkuat kompetensi klinis dokter, tetapi tidak dapat menggantikan tanggung jawab moral, empati, dan penilaian profesional yang menjadi landasan hakiki profesi kedokteran