Perkembangan kecerdasan buatan (AI) dalam kedokteran telah mengubah paradigma hubungan antara dokter, pasien, dan teknologi digital. Sistem berbasis algoritma kini mampu melakukan analisis diagnostik dengan akurasi tinggi, mendukung pengambilan keputusan klinis, dan meningkatkan efisiensi pelayanan. Namun, kemajuan ini sekaligus menimbulkan persoalan baru dalam etika profesional, otoritas medis, serta batas tanggung jawab hukum dokter. Kajian ini menggunakan pendekatan filsafat hukum normatif-reflektif untuk menelaah pergeseran peran dokter di era digital, dengan mengkaji pemikiran para filsuf seperti Aquinas mengenai hukum moral, Grotius dan Locke tentang rasionalitas dan keadilan, Hobbes terkait kewenangan dan tanggung jawab, serta Kant mengenai otonomi dan imperatif moral. Selain itu, gagasan Heidegger tentang teknologi sebagai enframing dan pandangan Habermas mengenai tindakan komunikatif digunakan untuk memahami relasi manusia–teknologi secara lebih mendalam. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun AI mampu meniru proses berpikir rasional dan memberikan rekomendasi klinis yang canggih, teknologi tersebut tidak memiliki kesadaran moral, niat, maupun kapasitas pertanggungjawaban. Dengan demikian, AI tidak dapat diposisikan sebagai subjek hukum atau pemikul kewajiban etik. Tanggung jawab etik dan yuridis tetap berada pada dokter sebagai aktor profesional yang membuat keputusan akhir dalam tindakan medis—termasuk ketika keputusan tersebut dipengaruhi oleh output sistem AI. Oleh karena itu, diperlukan pembaruan regulasi dan revisi Kode Etik Kedokteran Indonesia untuk mengakomodasi penggunaan teknologi cerdas, dengan menegaskan prinsip human-centered accountability, transparansi algoritmik, keadilan, serta perlindungan pasien. Kesimpulannya, AI dapat memperkuat kompetensi klinis dokter, tetapi tidak dapat menggantikan tanggung jawab moral, empati, dan penilaian profesional yang menjadi landasan hakiki profesi kedokteran