Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

THE RELATIONSHIP BETWEEN RISKS OF OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA AND DRY EYE DISEASE Aldina, Rosy; Yanuar, Ferdian; Afif, Zamroni; Holipah; Prayitnaningsih, Seskoati
MNJ (Malang Neurology Journal) Vol. 10 No. 2 (2024): July
Publisher : PERDOSSI (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Cabang Malang) - Indonesian Neurological Association Branch of Malang cooperated with Neurology Residency Program, Faculty of Medicine Brawijaya University, Malang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.mnj.2024.010.02.21

Abstract

Introduction: Dry Eye Disease (DED) may lead to decreased visual function, chronic tissue changes, eyelid, conjunctival, and corneal abnormality. The prevalence of DED in Asia ranges from 21.6%–37.6%. Several studies pointed out the relationship between DED and Obstructive Sleep Apnea (OSA). In patients with OSA, oxidative stress, hypoxia, and ocular surface inflammation increase, leading to a decrease in the functions of meibomian glands, goblet cells, corneal sensitivity, and tear production as a response to the stimulations from the lacrimal glands. The loss of conjunctival goblet cells and meibomian glands are implications of damage to the tear film quality, which results in DED. Method: This is a population-based cross-sectional study. Data were obtained from the database of Biomarker Smarthealth Research in Mendalanwangi, Sidorahayu, and Cepokomulyo Villages, which are located in Malang Regency, having risks of OSA (based on the STOP-BANG questionnaire), above ≥40 years old, and DED Examination with Tear Break-Up Time (TBUT), MGD (Meibominan Gland Dysfunction), Tear Meniscus (TM) involving a total of 518 respondents. The available data were then processed according to the variables and went through DED examinations. This study employed the purposive sampling method. Result: In this study, moderate risk of OSA suggests a significant influence on the occurrence of DED with an odds ratio (OR) 1.66 (p<0.05). In addition, moderate risk of OSA predisposes ADDE (Aqueous Deficiency Dry Eye)-type and Mix-type DED with OR 2.85 and 1.23 (p<0.05). High risk of OSA correlates with the occurrence of ADDE-type DED with OR 2.37 (p<0.05). The age group >60 years old shows a correlation with Mix-type DED with OR 2.09 (p<0.05). Women have a higher predisposition to ADDE-type with OR 2.58 (p<0.05). Conclusion: Moderate risk of OSA influences the occurrence of DED, both ADDE-type and Mix type; whereas high risk of OSA only correlates with ADDE-type. Older age plays a role in the occurrence of Mix-type DED and women have a higher tendency to present with ADDE- type.
Manajemen Perforasi Kornea Pada Pasien Covid-19 Yanuar, Ferdian; Novita, Hera Dwi; Dicky, Herwindo
Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine Vol. 7 No. 1A (2020): Med Hosp
Publisher : RSUP Dr. Kariadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.392 KB) | DOI: 10.36408/mhjcm.v7i1A.470

Abstract

Latar Belakang : COVID-19 merupakan masalah kesehatan yang dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO. Beberapa penelitian melaporkan tentang hubungan SARS-CoV-2 dengan kelainan pada mata. Pada era pandemi, pengelolaan pasien sakit mata harus hati-hati untuk mencegah penularan petugas medis. Laporan kasus ini menyajikan pengelolaan perforasi kornea pasien terkonfirmasi COVID-19. Metode : Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan oftalmologi dengan pemeriksaan penunjang lainnya. Laporan Kasus : Perempuan berusia 54 tahun dirujuk dengan keluhan keluar darah pada mata kiri sejak 17 jam sebelum sampai RS. Keluhan batuk atau demam 14 hari sebelumnya disangkal. Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan perforasi kornea mata kiri disertai prolaps isi bola mata (iris, vitreus dan choroid). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan foto rontgen thorax normal, rapid test covid-19 reaktif dan hasil positif pada PCR dari swab nasofaring. Seluruh staf medis menggunakan alat pelindung diri (APD) tingkat tiga dalam melakukan pemeriksaan fisik maupun penunjang. Dari hasil anamnesis pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien didiagnosis dengan perforasi kornea spontan mata kiri dan terkonfirmasi COVID-19. Pasien direncanakan untuk eviserasi mata kiri dengan anestesi umum dan saat tindakan operator dan seluruh staf ruang operasi menggunakan alat pelindung diri (APD) tingkat tiga. Setelah operasi dilakukan, pasien kemudian dirawat di ruang isolasi khusus COVID-19. Swab nasofaring dilakukan ulang sehari setelah operasi dan keesokan harinya. Dua hari setelah operasi, pasien dipulangkan dan isolasi mandiri di rumah Kesimpulan: Laporan kasus ini menunjukkan manajemen perforasi kornea pada pasien terkonfirmasi COVID-19 yang dilakukan sesuai alur khusus termasuk pada pemeriksaan fisik dan penunjang, penegakkan diagnosis oftalmologi dan COVID-19, prosedur pembedahan dan perawatan pasca operasi. Kata Kunci : SARS-CoV-2, Perforasi Kornea, APD, PCR, Eviscerasi Introduction: Corona-Virus-Disease-2019 (COVID-19) is an important health problem that was defined as a pandemic by the World Health Organization (WHO). There are few reports on the association of SARS-CoV-2 with ocular abnormalities. In the pandemic era, management of ocular patients should be more careful to prevent transmission to medical staff. This report presenting the management of corneal perforation in confirmed COVID-19 patients. Method: The diagnosis was established based on history taking, physical and ophthalmology examination with other ancillary tests. Case Report : 54-year-old female patient referred with complaints of left eye bleeding since 17 hours ago. This patient never complaint about cough or fever 14 days before admission. From the ancillary test (complete blood count and chest x-ray are within normal limit, reactive rapid test for COVID-19, positive result of PCR nasopharynx). The patient was diagnosed with spontaneous corneal perforation on the left eye with COVID-19 confirmed. The evisceration procedure with general anesthesia was performed with exceptional precaution. Operator and all operating room staff wear the 3rd level of personal protective equipment (PPE). The surgery was successfully done and the patient then hospitalized in the COVID-19 isolated room. Nasopharynx swab performs the day after surgery and the next day after the first swab. Two days after surgery, the patient was discharged and followed by a self-isolation procedure. Conclusion: This case report presenting corneal perforation management in confirmed COVID-19 patients should be performed under a firm scheme including physical and ophthalmological examinations, ophthalmology and COVID-19 diagnosis enforcement, ancillary test, surgery procedure, post-operative care and also PPE utilization. Keyword : SARS-CoV-2, Corneal Perforation, 3rd level PPE, PCR, Evisceration
Hukum Perlindungan Konsumen pada Telekonsultasi Kesehatan Kristianti, Nunul; Yanuar, Ferdian; Ardiansyah, Deden; Putri, Mega Amanda; Parman, Parman; Prayuti, Yuyut
RIGGS: Journal of Artificial Intelligence and Digital Business Vol. 4 No. 4 (2026): November - January
Publisher : Prodi Bisnis Digital Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/riggs.v4i4.3537

Abstract

Perkembangan layanan telekonsultasi kesehatan di Indonesia telah membuka era baru dalam penyelenggaraan pelayanan medis berbasis teknologi digital. Inovasi ini memberikan kemudahan akses, efisiensi waktu, serta perluasan jangkauan layanan kesehatan, terutama bagi masyarakat yang selama ini sulit memperoleh pelayanan medis konvensional. Namun demikian, transformasi digital tersebut juga menghadirkan tantangan hukum yang kompleks, khususnya terkait jaminan perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen. Kerentanan pasien terhadap ketimpangan informasi medis, risiko malpraktik, ketidakjelasan standar layanan, hingga potensi kebocoran dan penyalahgunaan data pribadi menuntut adanya regulasi yang jelas, harmonis, dan implementatif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk, ruang lingkup, dan mekanisme perlindungan hukum terhadap pasien pengguna jasa telekonsultasi dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rezim perlindungan hukum bagi pasien dalam layanan telekonsultasi masih bersifat parsial, sektoral, dan belum terintegrasi dalam satu kerangka regulasi yang komprehensif. Tanggung jawab hukum antara tenaga medis dan penyelenggara platform digital masih belum diatur secara tegas, sementara mekanisme penyelesaian sengketa konsumen belum tersedia dalam bentuk yang mudah diakses. Oleh karena itu, diperlukan pembaruan regulasi telemedicine yang memasukkan norma perlindungan konsumen secara eksplisit serta pembentukan mekanisme penyelesaian sengketa daring (e-dispute resolution) di sektor kesehatan guna menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak-hak pasien di era digital.
Etika Profesional dan Tanggung Jawab Hukum Dokter di Era Kecerdasan Buatan: Kajian Filsafat Hukum terhadap Relasi Manusia–Teknologi (AI) dalam Diagnostik Medis Kristianti, Nunul; Ardiansyah, Deden; Putri, Mega Amanda; Yanuar, Ferdian; Parman, Parman; Sapsudin, Asep
RIGGS: Journal of Artificial Intelligence and Digital Business Vol. 4 No. 4 (2026): November - January
Publisher : Prodi Bisnis Digital Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/riggs.v4i4.3540

Abstract

Perkembangan kecerdasan buatan (AI) dalam kedokteran telah mengubah paradigma hubungan antara dokter, pasien, dan teknologi digital. Sistem berbasis algoritma kini mampu melakukan analisis diagnostik dengan akurasi tinggi, mendukung pengambilan keputusan klinis, dan meningkatkan efisiensi pelayanan. Namun, kemajuan ini sekaligus menimbulkan persoalan baru dalam etika profesional, otoritas medis, serta batas tanggung jawab hukum dokter. Kajian ini menggunakan pendekatan filsafat hukum normatif-reflektif untuk menelaah pergeseran peran dokter di era digital, dengan mengkaji pemikiran para filsuf seperti Aquinas mengenai hukum moral, Grotius dan Locke tentang rasionalitas dan keadilan, Hobbes terkait kewenangan dan tanggung jawab, serta Kant mengenai otonomi dan imperatif moral. Selain itu, gagasan Heidegger tentang teknologi sebagai enframing dan pandangan Habermas mengenai tindakan komunikatif digunakan untuk memahami relasi manusia–teknologi secara lebih mendalam. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun AI mampu meniru proses berpikir rasional dan memberikan rekomendasi klinis yang canggih, teknologi tersebut tidak memiliki kesadaran moral, niat, maupun kapasitas pertanggungjawaban. Dengan demikian, AI tidak dapat diposisikan sebagai subjek hukum atau pemikul kewajiban etik. Tanggung jawab etik dan yuridis tetap berada pada dokter sebagai aktor profesional yang membuat keputusan akhir dalam tindakan medis—termasuk ketika keputusan tersebut dipengaruhi oleh output sistem AI. Oleh karena itu, diperlukan pembaruan regulasi dan revisi Kode Etik Kedokteran Indonesia untuk mengakomodasi penggunaan teknologi cerdas, dengan menegaskan prinsip human-centered accountability, transparansi algoritmik, keadilan, serta perlindungan pasien. Kesimpulannya, AI dapat memperkuat kompetensi klinis dokter, tetapi tidak dapat menggantikan tanggung jawab moral, empati, dan penilaian profesional yang menjadi landasan hakiki profesi kedokteran