Saafroedin Bahar
Unknown Affiliation

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Sebuah Kajian Awal Ten- Tang Keterkaitan Pasukan Paramiliter Dan Militer, Dengan Faham Militerisme Dan Fasisme Di Indonesia Saafroedin Bahar
Jurnal Ketahanan Nasional Vol 6, No 1 (2001)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jkn.22025

Abstract

Sebagai suatu institusi dapat dikatakan bahwa jajaran militer Indonesia berasal dari satuan-satuan paramiliter yang tumbuh secara spontan di kalangan pemuda militan setelah beredarnya berita ten tang proklamasi kemerdekaan medio bulan Agustus 1945. Kenyataan tersebut mungkin berasal dari keragu-raguan pendiri negara untuk secara langsung membentuk Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, walaupun hal itu sudah tercantum resmi dalam pasal 10 UUD 1945. Kenyataan tersebut juga berdampak pada citra diri, doktrin, kebijakan, strategi, taktik, dan teknik militer yang mereka kembangkan kemudian. Setidak-tidaknya secara teori, militer Indonesia tidak pernah dirancang untuk beroperasi penuh sebagai institusi militer yang profesional. Kaitan dengan pecan pasukan paramiliter dan masyarakat selalu menjadi pertimbangan. Keragu­raguan tersebut mungkin berkait dengan dua faktor penyebab.
Komunikasi Politik Dalam Proses Integrasi Bangsa : Sebuah Tinjauan Dari Teori Elite Saafroedin Bahar
Jurnal Ketahanan Nasional Vol 6, No 2 (2001)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6653.501 KB) | DOI: 10.22146/jkn.22057

Abstract

Seperti ditengarai oleh para teoretisi elite, seperti Gaetano Mosca, Vilfredo Pareto, Robert Michels, C. Wright Mills, atau Robert Michels, ada suatu kenyataan politik yang terdapat di manapun dan dalam kelompok manapun, bahwa secara struktural masyarakat akan terdiri dari kelompok elite yang memimpin dengan massa yang dipimpin.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik Saafroedin Bahar
Jurnal Ketahanan Nasional Vol 6, No 3 (2001)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jkn.22063

Abstract

Pada dasarnya, konsep "paradigma" yang pertama kalinya dipopulerkan oleh Thomas Kuhn, berarti sebuah model berpikir dalam ilmu pengetahuan. Paradigma besar manfaatnya, oleh karena konsep ini mampu menyeder-hanakan dan menerangkan suatu kompleksitas fenomena menjadi seperangkat konsep dasar yang utuh. Paradigma tidaklah statis, karena ia bisa diubah jika paradigma yang ada tidak dapat lagi menerangkan kompleksitas fenomena yang hendak diterangkannya itu.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik Saafroedin Bahar
Jurnal Ketahanan Nasional Vol 7, No 2 (2002)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jkn.22080

Abstract

Pada dasarnya, konsep "paradigma" yang pertama kalinya dipopulerkan oleh Thomas Kuhn, berarti sebuah model berpikir dalam ilmu pengetahuan. Paradigma besar manfaatnya, oleh karena konsep ini mampu menyederhanakan dan menerangkan suatu kompleksitas fenomena menjadi seperangkat konsep dasar yang utuh. Paradigma tidaklah statis, karena ia bisa diubah jika paradigma yang ada tidak dapat lagi menerangkan kompleksitas fenomena yang hendak diterangkannya itu.
Dalam Konflik Antar Umat Beragama Dan Etnik, Mencegah Lebih Baik Dari Menyelesaikan saafroedin Bahar
Jurnal Ketahanan Nasional Vol 12, No 1 (2007)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jkn.22116

Abstract

Ada berita baik dan berita buruk dari kajian The U.N. Support Facility for Indonesian Recovery/UNSFIR mengenai masalah kekerasan kolektif, yang juga mencakup kekerasan yang timbul akihat konflik antar umat beragama dan konflik etnik, di Indonesia antara tahun 1990-2003'.Berita haiknya adalah bahwa kekerasan kolektif yang sering saling terkait dengan masalah etnik dan komunal tersehut amat jarang terjadi, dan jika terjadi, hanya terjadi di sebagian kecil daerah saja. Jadi sifatnya amat lokal, dan tidak hersifat nasional. Dapat dikatakan bahwa pada dasar-nya golongan-golongan yang ada dalam masyarakat Indo-nesia mempunyai sikap toleransi yang tinggi terhadap keber-adaan satu sama lain, baik terhadap para penganut agama maupun terhadap warga etnik yang herheda. Hal itu harus tetap dipelihara dan dikenzbangkan dengan sebaik- haiknya.Berita huruknya adalah bahwa jika konflik antar umat beragama dan antar etnik itu benar-henar terjadi, korban jiwa yang diakihatkannya paling ban yak, walau berlang-sungnya dalam waktu singkat. Data statistik yang dihimpun oleh Varshney dan kawan-kawan menunjukkan bahwa hanya enam propinsi yang jumlah korban kematiannya amat tinggi pada peristiwa kekerasan kolektif ini, yaitu Maluku Utara, Maluku, DKI Jakarta, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Oleh karena itu amatlah wajar jika di Propinsi DKI Jakarta yang dari segi anutan agama serta latar belakang etnik berpenduduk amat majemuk ini masalah konflik agama dan konflik etnik ini perlu kita antisipasi, dan kita carikan kebijakan preventifnya.
Konvensi Montevideo 1933 Sebagai Rujukan Struktural Bagi Proses Nation And State-Building Di Indonesia Saafroedin Bahar
Jurnal Ketahanan Nasional Vol 12, No 2 (2007)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4079.51 KB) | DOI: 10.22146/jkn.22120

Abstract

Rasanya adalah antropolog Clifford Gccrtz (1963) yang pertama kali menyimpulkan bahwa esensi masalah yang dihadapi oleh para nation- and state-build-ers pasca Perang Dunia Kcdua adalah bagaimana merangkai old societies menjadi suatu new state.Old societies menunjuk pada demikian banyak komunitas antropologis tradisional yang mempunyai sejarah dan kebudayaan yang amat tua, sedangkan new state merujuk pada struktur negara modern, yang tumbuh secara berangsur-angsur dalam abad ke-17 dan 18 di Eropa Barat dan Amerika (ANDERSON, 1989, BENDIX, 1969; RENAN, 1994; TILLY, 1973). Oleh karena itu, nation- and state-building selain pada dasarnya merupakan suatu rekayasa struktur politik, juga akan memerlukan adaptasi kultural terencana, baik di kalangan elite pendiri negara maupun di kalangan massa yang hidup di "akar rumput".
Perspektif Hak Asasi Manusia Terhadap Empat Persyaratan Yuridis Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Saafroedin Bahar
Jurnal Ketahanan Nasional Vol 10, No 3 (2005)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jkn.22159

Abstract

Hak asasi manusia tidaklah dapat tegak dengan sendiri-nya. Tegak tidaknya hak asasi manusia - termasuk hak asasi masyarakat hukum adat - akan selalu terkait dengan peran dan kualitas kehidupan kenegaraan. Argumen paling jernih, paling lugas, dan paling tegas ten tang perlunya negara-negara menjamin hak asasi manusia terdapat dalam Preambul Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia bertang-gal 10 Desember 1948. Dalam alinea ketiga preambul tersebut tercantum kalimat penting ini: " Whereas it is issential, if man is not to be compelled to have recourse, as a last resort, to rebellion against tyranny and oppres-sion, that human rights should be protected by the rule of law". Artinya: "Bahwa jika kita tidak ingin orang terpaksa untuk memberontak sebagai upaya terakhir untuk menentang tirani dan penindasan, sungguh teramat penting untuk menjamin hak asasi manusia melalui tegaknya hukum."
Sindrom Sumpah Palapa Versus Kebanggaan Etnik: Sebuah Eksplanasi Teoretikal ter- hadap Kebijakan Penanggulangan Pemberontakan Daerah Saafroedin Bahar
Jurnal Ketahanan Nasional Vol 13, No 1 (2008)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5745.287 KB) | DOI: 10.22146/jkn.22167

Abstract

Ada suatu fenomena yang menarik dalam proses nation- and state-building di Indonesia. Walau pun bagian terbesar etnik dan pro pinsi-propinsi di Indonesia bersikap loyal terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia - khususnya terhadap Pemerintah Pusat - dan hanya sebagian kecil yang benar-benar mempunyai aspirasi separatis, namun hampir tan pa kecuali pejabat-pejabat Pemerintah Pusat, baik pada cabang legislatif mau pun pada cabang eksekutzf selama ini terkesan tetap men gandung rasa curiga terhadap seluruh ekspresi kedaerahan. Jika ada indikasi bahwa suatu masya- rakat hukum adat atau suatu etnik menampilkan sikap yang berbeda - apalagi bertentangan - dengan kebijakan Peme- rintah Pusat, maka reaksi standar Pemerintah Pusat terhadap ekspresi kedaerahan yang dicurigai tersebut adalah mela- kukan 'tindakan tegas'.
Peran Krusial Rakyat Dan Penduduk Sipil Lainnya Dalam Perang Non Konvensional Masa Kini Dan Implikasinya Pada Sistem Pertahanan Rakyat Semesta: Sebuah Komentar terhadap The U.S. Army and Marine Corps Counterinsurgency Field Manual, 2006 Saafroedin Bahar
Jurnal Ketahanan Nasional Vol 3, No 2 (1998)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (10375.038 KB) | DOI: 10.22146/jkn.22171

Abstract

Jika kita membaca baik-baik sejarah umat manusia, sukar bagi kita untuk mengambil kesimpulan, apakah keadaan normal itu adalah perdamaian dengan perang sebagai selingan dari keadaan damai itu, ataukah keadaan normal itu adalah perang dengan keadaan damai sebagai selingan dari peperangan. Perang dan damai merupakan suatu kenyataan riil yang tidak dapat dibantah atau dihindari, dan merupakan suatu fakta ber Banda yang terjadi silih berganti dan berlangsung secara terus-menerus dalam suatu con-tinuum, sehingga menimbulkan adagium yang bersifat paradox yang berbunyi: Si Vis Pacem Para Bellum, yang berarti siapa yang ingin damai, bersiaplah untuk perang'. Oleh karena itulah, sambil melanjutkan usaha untuk hidup sejahtera dalam suasana damai, pimpinan suatu bangsa dan negara harus mempersiapkan diri secara terus menerus menghadapi kekerasan yang potensial akan dilancarkan oleh bangsa dan negara lain, karena hampir dapat dipastikan dalam drimai ada bibit perang, sedangkan perang cepat atau lambat akan - atau harus - diakhiri dengan perdamaian.
Peran Krusial Rakyat Dan Penduduk Sipil Lainnya Dalam Perang Non Konvensional Masa Kini Dan Implikasinya PadaSitem Pertahanan Rakyat Semesta: Sebuah Komentar terhadap The U.S. Army and Marine Corps Counterinsurgency Field Manual, 2006 Saafroedin Bahar
Jurnal Ketahanan Nasional Vol 13, No 2 (2008)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jkn.22177

Abstract

Jika kita membaca baik-baik sejarah umat manusia, sukar bagi kita untuk mengambil kesimpulan, apakah keadaan normal itu adalah perdamaian dengan perang sebagai selingan dari keadaan damai itu, ataukah keadaan normal itu adalah perang dengan keadaan damai sebagai selingan dari peperangan. Perang dan damai merupakan suatu kenyataan riil yang tidak dapat dibantah atau dihindari, dan merupakan suatu fakta ber Banda yang terjadi silih berganti dan berlangsung secara terus-menerus dalam suatu con-tinuum, sehingga menimbulkan adagium yang bersifat paradox yang berbunyi: Si Vis Pacem Para Bellum, yang berarti siapa yang ingin damai, bersiaplah untuk perang'. Oleh karena itulah, sambil melanjutkan usaha untuk hidup sejahtera dalam suasana damai, pimpinan suatu bangsa dan negara harus mempersiapkan diri secara terus menerus menghadapi kekerasan yang potensial akan dilancarkan oleh bangsa dan negara lain, karena hampir dapat dipastikan dalam drimai ada bibit perang, sedangkan perang cepat atau lambat akan - atau harus - diakhiri dengan perdamaian.