Krisnawati Bantas
Staf Pengajar Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN DI INDONESIA Anggraini, Kirana; Wratsangka, Raditya; Bantas, Krisnawati; Fikawati, Sandra
PROMOTIF: Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol 8, No 1 (2018): PROMOTIF - JUNI
Publisher : PROMOTIF: Jurnal Kesehatan Masyarakat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1247.595 KB) | DOI: 10.31934/promotif.v8i1.227

Abstract

Kehamilan tidak diinginkan merupakan masalah global, dan menyumbang 700.000 kematian ibu setiap tahunnya.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kehamilan tidak diinginkan di  Indonesia. Desain studi adalah potong lintang, dengan responden sebanyak 13.955 perempuan berusia 15-49 tahun, yang melahirkan anak terakhir dalam 5 tahun sebelum survei. Penelitian ini menggunakan data sekunder, dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012.  Uji analisis yang digunakan adalah uji kai kuadrat (bivariat) dan regresi logistik ganda (multivariat).  Hasil studi menunjukkan prevalensi ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Indonesia sebanyak 8%, dengan prevalensi tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Tengah (11,9%) dan terendah di  Papua (2.9%).  Pada analisis bivariat didapatkan hubungan yang bermakna antara tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, wilayah tempat tinggal, status pernikahan, paritas, jarak kelahiran, usia dengan kehamilan tidak diinginkan dengan nilai p< 0,25.  Pada analisis multivariat, variabel status pernikahan berhubungan signifikan dengan kehamilan tidak diinginkan setelah dikontrol dengan variabel tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, wilayah tempat tinggal, paritas, jarak kelahiran dan usia.  Disimpulkan faktor status pernikahan merupakan faktor paling dominan yang berhubungan dengan kehamilan tidak diinginkan. Penemuan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan dan partisipasi masyarakat tentang program Keluarga Berencana. 
Determinants of Condom Use Status among Men Who Have Sex with Men (MSM) Group in 5 Indonesian Cities in 2015 Parwangsa, Ni Wayan Putri Larassita; Bantas, Krisnawati
GHMJ (Global Health Management Journal) Vol 3, No 2 (2019)
Publisher : Yayasan Aliansi Cendekiawan Indonesia Thailand (Indonesian Scholars' Alliance)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (270.669 KB)

Abstract

Backgorund : Significant increase in HIV cases among men who have sex with men (hereafter MSM) group during the 2015-2016 period confirmed that sexual behavior is a major risk factor in exposure to HIV&AIDS with unprotected sexual intercourse as the dominant risk factor. Aims : This study aims to identify the determinants of condom use status  among MSM group in 5 cities in Indonesia. Method : This study used a cross sectional design, carried out in 5 cities in Indonesia: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, and Denpasar using secondary data from the Integrated Biological and Behavioural Survey (IBBS) in 2015. Results : Variables that are significantly related to the condom use status were marital status, exposure to information on HIV&AIDS, and knowledge about condoms. The marital status variable has a POR value of 1.351 (95% CI OR 0.709 – 2.576), whilst exposure to HIV&AIDS information has 1.668 (95% CI OR 1.148 – 2.422) POR value, and knowledge about condoms has POR value as much as 1.925 (95% CI OR 1.274 – 2.907). Conclusion : The number of respondents who used condoms consistently for the past one month were 76.1% and those who did not were 23.9%. Variables that are significantly related to the behaviour of not using condoms are marital status, exposure to HIV&AIDS information, and knowledge of condoms.Keywords:Determinants, Behavior, Condom, MSM, HIV&AIDS
TREN PREVALENSI BERAT BADAN RENDAH, BERAT BADAN BERLEBIH, DAN OBESITAS PADA KELOMPOK DEWASA MUDA DI INDONESIA: 1993 – 2014 Setia Ningrum, Defi Amalia; Bantas, Krisnawati
Majalah Kesehatan FKUB Vol 6, No 1 (2019): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (277.531 KB) | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.006.01.4

Abstract

Perburukan status gizi masih menjadi determinan masalah kesehatan utama dunia, terutama pada negara berkembang. Perburukan status gizi pada usia muda merupakan prediktor yang kuat terhadap perburukan kesehatan pada usia tua. Studi ini bertujuan untuk melihat kecenderungan tren prevalensi dari berat badan rendah, berat badan lebih, dan obesitas pada masyarakat dewasa muda Indonesia pada tahun 1993–2014. Desain penelitian adalah cross-sectional series menggunakan data Indonesia Life Family Survey (ILFS) I (1993)–V (2014). Tren prevalensi dianalisis menggunakan uji chi squre untuk mengetahui besar masing-masing prevalens rasio setiap tahunnya dibandingkan dengan studi pertama pengukuran, 1993. Hasil studi menunjukan bahwa prevalensi berat badan berlebih dan obesitas tertinggi berada pada tahun 2014, 27,6% dan 11,4%. Tren prevalensi berat badan kurang cenderung stabil pada laki-laki dan menurun pada perempuan. Prevalensi berat badan berlebih dan obesitas kelompok usia dewasa muda di Indonesia baik pada laki-laki dan perempuan menunjukan tren yang meningkat. Hasil perhitungan prevalens rasio menunjukan signifikasi peningkatan baik pada berat badan berlebih dan obesitas terjadi pada tahun 2007 (PR BB berlebih = 1,76 (95% CI: 1,64–1,89); PR obesitas = 3,00 (95% CI: 2,46–3,69)) dan 2014 (PR BB berlebih = 2,26 (95% CI: 1.97–2.60); PR obesitas = 4,73 (95% CI: 3,87–5,78)). Pada kelompok usia dewasa muda di Indonesia, prevalensi berat badan rendah mengalami penurunan sedangkan prevalensi berat badan berlebih dan obesitas menunjukan tren peningkatan yang siginifikan dalam satu dekade terakhir. Diperlukan manajemen dan strategi nasional gaya hidup sehat yang komprehensif untuk mengendalikan dan mencegah perburukan kesehatan di masa tua pada kelompok usia dewasa muda. 
Comparative Evaluation of Alpha-Fetoprotein Serum inHepatocellular Carcinoma Patients with Non-Viral Etiology Aprilicia, Gita; Bantas, Krisnawati; Syarif, Syahrizal; Kalista, Kemal Fariz
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia Vol. 8, No. 1
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Introduction. Non-viral etiology of hepatocellular carcinoma (HCC) now needs attention. Hepatocellular carcinoma which was caused by hepatitis B and hepatitis C could be controlled in the national program, while HCC from non-B non-C etiology has become a further concern with the with the increased of metabolic syndrome. Serum alpha-fetoprotein is a tumor marker commonly used for screening for HCC in patients with liver cirrhosis (LC). However, in HCC patients with nonviral etiology, AFP serum tends to be normal. This study aimed to evaluate the performance of AFP serum based in HCC and LC patient with non-viral etiology and to evaluate the factors associated with elevated AFP. Methods. Data HCC from registry at Cipto Mangunkusumo Hospital in the period August 2015 to December 2019 were collected. Patients with liver cirrhosis (LC) were taken as the control group. The etiology of liver disease is determined by viral serological examination. Non-viral etiology was defined as a patient who was anti-HCV negative and HBsAg negative. Differences in AFP levels were evaluated by using the Mann Whitney test. Performance of serum AFP in viral and non-viral etiologies were evaluated by receiver operation character (ROC). The factors associated with an increase in AFP by a threshold of 10 ng/ml were evaluated by multivariate analysis using logistic regression. Results. There were 295 HCC patients and 155 LC patients who were included in this study. Non-viral etiology was found in 16.1% of LC group and 14.9% of HCC group. The median serum AFP in HCC patients was higher than in LC patients, 187.50 ng/ml vs. 4.60 ng/ml, p 5 cm was 2.89 (95% CI: 1.56 - 3.67; p value 0.001). Conclusions. AFP Serum is low in HCC patients with non-viral etiology. The increase of serum AFP above 10 ng/ml is associated with etiology of viral hepatitis and tumor size.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN DI INDONESIA Anggraini, Kirana; Wratsangka, Raditya; Bantas, Krisnawati; Fikawati, Sandra
Promotif : Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol. 8 No. 1: JUNE 2018
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1247.595 KB) | DOI: 10.56338/pjkm.v8i1.227

Abstract

Kehamilan tidak diinginkan merupakan masalah global, dan menyumbang 700.000 kematian ibu setiap tahunnya.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kehamilan tidak diinginkan di  Indonesia. Desain studi adalah potong lintang, dengan responden sebanyak 13.955 perempuan berusia 15-49 tahun, yang melahirkan anak terakhir dalam 5 tahun sebelum survei. Penelitian ini menggunakan data sekunder, dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012.  Uji analisis yang digunakan adalah uji kai kuadrat (bivariat) dan regresi logistik ganda (multivariat).  Hasil studi menunjukkan prevalensi ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Indonesia sebanyak 8%, dengan prevalensi tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Tengah (11,9%) dan terendah di  Papua (2.9%).  Pada analisis bivariat didapatkan hubungan yang bermakna antara tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, wilayah tempat tinggal, status pernikahan, paritas, jarak kelahiran, usia dengan kehamilan tidak diinginkan dengan nilai p< 0,25.  Pada analisis multivariat, variabel status pernikahan berhubungan signifikan dengan kehamilan tidak diinginkan setelah dikontrol dengan variabel tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, wilayah tempat tinggal, paritas, jarak kelahiran dan usia.  Disimpulkan faktor status pernikahan merupakan faktor paling dominan yang berhubungan dengan kehamilan tidak diinginkan. Penemuan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan dan partisipasi masyarakat tentang program Keluarga Berencana. 
Faktor-faktor Prognosis Kematian Tetanus Neonatorum di RS Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon Tantijati, Lili; Bantas, Krisnawati
Kesmas Vol. 1, No. 2
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih tetap tinggi. Berdasarkan Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1995 adalah 55/1.000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab utama dari kematian bayi adalah penyakit tetanus neonatorum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan hubungan antara usia saat ditemukan adanya indikasi penyakit neonatarum pada bayi dengan timbulnya kematian yang disebabkan oleh tetanus neonatorum pada bayi-bayi tersebut di Kabupaten Indramayu pada tahun 1996-2001. Penelitian ini menggunakan disain studi epidemiologi kasus-kontrol dengan perbandingan kasus dan kontrol 1:1. Jumlah sampel, 160 penderita tetanus neonatorum. Populasi studi adalah penderita tetanus neonatorum yang dirawat di RSD kabupaten Cirebon dan kabupaten Indramayu tahun 1996-2001. Variabel-variabel yang diteliti adalah variabel kematian (sebagai variable terikat), dan variabel usia neonatus saat onset penyakit, status kekebalan neonatus, berat lahir neonatus, kecepatan pertolongan, jenis, dosis, dan cara pemberian antibiotika; jenis, dosis, dan cara pemberian obat anti kejang dan cara pemberian ATS (sebagai variabel bebas). Semua variabel yang diteliti diukur dengan skala kategorikal. Analisis yang dilakukan secara bertahap meliputi analisis univariat, bivariat dan multivariat. Analisis multivariat menggunakan analisis regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor prognosis kematian tetanus neonatorum adalah: usia penderita tetanus neonatorum ≤7 hari (OR = 20.06; nilai p = 0.000), dosis obat antibiotik yang lebih rendah dari standard (OR = 4.34; nilai p = 0.018), kecepatan pertolongan oleh fasilitas kesehatan >2 hari (OR = 6.95; nilai p = 0.000). The Infant Mortality Rate (IMR) in Indonesia is still high. Based on Central Bureau of Statistics (CBS) data, the IMR in 1995 was 55/1,000 live births. One of the main causes of infant death in Indonesia is tetanus neonatorum. The objective of this study was to determine the relationship between neonates’ age of disease onset and the infant death caused by tetanus neonatorum in Indramayu and Cirebon Districts in 1996-2001. The study design was case control study with ratio of the number of cases and control of 1:1. The total number of sample was 160 neonates with tetanus neonatorum, consisted of 80-cases (death) and 80-control (live). The study population was neonates with tetanus neonatorum who were hospitalized in Cirebon and Indramayu District Hospital. All of the study variables were measured using categorical scale. Study was analyzed by multivariate analysis, using unconditional logistic regression method. The result of the study showed that the prognostic factors of tetanus neonatorum death risk were age(OR = 20.06; p value = 0.000), neonates with lower than standard dose of antibiotics (OR = 4.34; p value = 0.018); delay of help by health facilities >2 days (OR = 6.95; p value = 0.000).
Peran Pengawas Minum Obat dan Kepatuhan Periksa Ulang Dahak Fase Akhir Pengobatan Tuberkulosis di Kabupaten Bangkalan Sumarman, Sumarman; Bantas, Krisnawati
Kesmas Vol. 6, No. 2
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penderita tuberkulosis yang telah selesai pengobatan namun tidak melaksanakan periksa ulang dahak pada fase akhir pengobatan jumlahnya mencapai 117 orang (20% dari total penderita). Pengawas Minum Obat (PMO) mempunyai tugas untuk mengingatkan penderita agar melaksanakan periksa ulang dahak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peran PMO dengan kepatuhan periksa ulang dahak pada fase akhir pengobatan. Desain penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol. Kasus adalah penderita tuberkulosis paru basil tahan asam (BTA) positif berumur > 15 tahun yang telah selesai mendapatkan pengobatan kategori 1 dan tidak melakukan periksa ulang dahak pada bulan kelima atau akhir pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel confounder yaitu penyuluhan petugas dan pengetahuan penderita berhubungan bermakna dengan kepatuhan periksa ulang dahak pada fase akhir pengobatan penderita tuberkulosis dewasa. Hasil multivariat dengan regresi logistik menunjukkan bahwa peran PMO yang kurang baik berisiko sebesar 3,013 kali untuk menyebabkan penderita tidak patuh periksa ulang dahak pada fase akhir pengobatan dibandingkan dengan penderita yang memiliki peran PMO baik (95% CI = 1,615-5,621) setelah dikontrol variabel penyuluhan petugas dan pengetahuan penderita. Patients with tuberculosis who had completed treatment but did not do sputum rechecking at the end of treatment phase reached 117 people (20% of total patients). The drug consumption supervisor has a duty to remind the patient to carry out sputum rechecking. This study aims to determine the correlation role of drug consumption supervisor with the compliance sputum rechecking at the end of treatment phase. The design study is case-control. Cases are positive pulmonary tuberculosis patients aged > 15 years who had completed a treatment category 1 and did not recheck the sputum at month 5 or the end of treatment. The results showed that statistically variable confounder knowledge of extension workers and patients correlated significantly with the compliance sputum rechecking at the end of treatment phase of adult tuberculosis patients. The results of multivariate showed logistic regretion that drug consumption supervisor’s role is less well having 3,013 times the risk of causing the patient not adherent to recheck the sputum at the final phase of treatment compared to patients whose drug consumption supervisor role well (95% CI = 1,615 to 5,621) after the controlled variable extension officers and the knowledge of the patient.