Articles
Relasi Aspek Sosial dan Budaya dengan Politik Hukum Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Indonesia
Muhammad Yusrizal Adi Syaputra;
Eka NAM Sihombing
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 20, No 2 (2020): Edisi Juni
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (514.089 KB)
|
DOI: 10.30641/dejure.2020.V20.205-220
Pemilihan kepala daerah di beberapa daerah yang masyarakatnya bersifat homogen maupun heterogen cenderung memicu konflik sosial. Selain itu, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung juga dinilai menghabiskan anggaran yang tidak sedikit. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian terhadap keterkaitan Pilkada Langsung dengan aspek sosial budaya masyarakat di daerah dan untuk mengkaji politik hukum penyelenggaraan Pilkada dimasa depan. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, adanya keterkaitan pelaksanaan Pilkada Langsung dengan aspek sosial budaya yang memperlihatkan baik pemerintah dan masyarakat daerah di Indonesia belum siap untuk melaksanakan Pilkada langsung. Hal ini dikarenakan baik secara struktur, substansi maupun budaya hukum di pilkada langsung di Indonesia masihlah terdapat banyak kekurangan. Kedua, bahwa politik hukum penyelenggaraan Pilkada di masa depan dapat dilakukan koreksi karena masih memiliki kekurangan
Acceleration of Village Welfare through Bumdes: Disorientation of Implementation of Bumdes Regulations and Policies
Rianda Dirkareshza;
Eka NAM Sihombing
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 21, No 4 (2021): December Edition
Publisher : Law and Human Rights Policy Strategy Agency, Ministry of Law and Human Rights of The Repub
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (554.047 KB)
|
DOI: 10.30641/dejure.2021.V21.419-434
Village-Owned Enterprises (BUMDes) do not have legal certainty regarding their form of legal entity and it will make it difficult to meet the hope of all villagers to run businesses together in accordance with their characteristics, potential, and their respective resources. This research aims to provide input and solutions to the government to be able to accelerate the welfare of villages through BUMDes. The method used in this research is literary or library research by using normative juridical approach. In the processing of data, this journal used qualitative and quantitative approach. This research showed the result that there is disorientation in the implementation of BUMDes regulations and policies, such as: first, the incompatibility of village regulations with other laws and regulations. Second, the low community initiative in driving the village economy. Third, the vagueness of BUMDes position as a social and commercial institution. Fourth, policies that have not directed the professionalism of BUMDes. The solution in accelerating village welfare through BUMDes is to provide the flexibility of BUMDes in the form of legal entity as a bridge to be able to enlarge capital in the investment sector.
Kebijakan Pengendalian Pencemaran di Selat Malaka yang Bersumber dari Kecelakaan Kapal
Vita Cita Emia Tarigan;
Eka NAM Sihombing
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 19, No 4 (2019): Edisi Desember
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (753.961 KB)
|
DOI: 10.30641/dejure.2019.V19.479-502
Pencemaran yang terjadi di laut dapat memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung kepada kehidupan manusia. Salah satu wilayah terparah pencemaran lingkungan lautnya adalah Selat Malaka karena selat ini ramai dilalui oleh kapal-kapal terutama oleh kapal tanker raksasa. Kondisi geografis daripada selat ini sangat sempit sehingga rawan terjadi tubrukan kapal. Tulisan ini mencoba untuk mengurai lebih lanjut kebijakan apa yang diambil Indonesia dalam rangka pengendalian Pencemaran Di Selat Malaka Yang Bersumber Dari Kecelakaan Kapal, dengan menggunakan Teori Soft Law (Hukum Lunak) dan Hard Law (Hukum Keras). Hasil Penelitian menunjukkan jumlah pencemaran yang bersumber dari kapal di Selat Malaka masih tinggi dan makin memperihatinkan hal ini karena kerancuan dan ketidakjelasan kebijakan Indonesia sebagai negara pemilik selat dalam hal pengintegrasian hard law (hukum keras) dan soft law (hukum lunak) hukum pengendalian pencemaran lingkungan laut tersebut. Sehingga pengaturan hukum tentang keselamatan pelayaran dan kebijakan pengaturan hukum pengendalian pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari kapal baik yang bersifat Hard law maupun soft law tidak dapat efektif diimplementasikan dengan baik. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dipertimbangkan agar Indonesia sebagai negara hukum untuk sesegera mungkin mengakomodir dan mengintegrasikan unsur Soft Law dan Hard Law dalam pembentukan peraturan perundang- undangan, khususnya untuk bidang yang terkait dengan hukum lingkungan
Implementasi Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Pembentukan Peraturan Daerah
Eka NAM Sihombing;
Muhammad Yusrizal Adi Syaputra
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol 14, No 3 (2020): NOVEMBER EDITION
Publisher : Law and Human Rights Research and Development Agency
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.30641/kebijakan.2020.V14.419-434
Penggunaan kecerdasan buatan dalam proses pembentukan perda di era revolusi industri 4.0 seolah mendapatkan pembenaran guna meminimalisir disharmoni antara peraturan daerah dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Namun penggunaan Kecerdasan buatan tidak dapat serta merta menggantikan kewenangan organ pembentuk perda secara menyeluruh, tentunya hal ini masih menimbulkan perdebatan. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah Bagaimana implementasi penggunaan kecerdasan buatan dalam pembentukan Peraturan Daerah? Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dalam konteks penelitian ini juga akan dilihat apakah penggunaan kecerdasan buatan dalam proses pembentukan Perda memiliki pijakan secara teoritis yang diutarakan para ahli, maupun basis yuridis dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kecerdasan buatan dalam proses pembentukan perda tidak serta merta dapat menggantikan peran dan fungsi organ pembentuk perda. Penggunaan kecerdasan buatan dalam proses pembentukan perda diposisikan hanya sebatas alat bantu yang dapat memprediksi potensi disharmoni antara perda dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Untuk mengakomodir pengunaan AI dalam Proses pembentukan perda diperlukan perubahan terhadap UUP3, UU Pemda dan peraturan perundang-undangan turunannya yang berkaitan dengan pembentukan perda.
Perilaku LGBT Dalam Perspektif Konstitusi Negara Republik Indonesia dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016
Eka NAM Sihombing
EDUTECH Vol 5, No 1 (2019): EduTech: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Ilmu Sosial
Publisher : EduTech: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Ilmu Sosial
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (457.079 KB)
|
DOI: 10.30596/edutech.v5i1.2758
Kriminalisasi terhadap perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transexual) dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, perilaku LGBT atau pelampiasan hasrat seksual melalui perkawinan sesama jenis tidak mendapatkan ruang dalam konstitusi kita. Selain itu perkawinan antar sesama jenis tidak mampu melanjutkan keturunan, perilaku perkawinan sejenis ini dapat mendekontruksi pemaknaaan-pemaknaan lembaga perkawinan sebagai suatu tempat legal untuk memuaskan hasrat seksualitasnya tanpa memandang keluarga sebagai terbentuknya basis moral hokum. Konstruksi perkawinan yang terdapat dalam UUDNRI Tahun 1945 bertujuan untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan yang tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam berbagai peraturan Perundang-undangan di bidang Perkawinan terdapat batasan yang sangat jelas bahwa hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan, sehingga perilaku LGBT atau pelampiasan hasrat seksual melalui perkawinan sesama jenis tidak mendapatkan ruang dalam konstitusi kita, setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Persamaan Hak Atas Pendidikan terhadap Penerapan Sistem Zonasi
Eka NAM Sihombing;
Cynthia Hadita
Jurnal HAM Vol 12, No 2 (2021): August Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (71.168 KB)
|
DOI: 10.30641/ham.2021.12.179-192
Klasterisasi yang muncul karena adanya jalur zonasi, afirmasi, dan perpindahan orang tua/wali memiliki implikasi terhadap tercederainya hak atas pendidikan khususnya dalam memilih fasilitas pendidikan secara bebas dan leluasa, hal itu dihambat oleh adanya persentasi zonasi yang diterapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021. Problematika hak atas pendidikan itu muncul karena lebih mengutamakan aspek ‘jarak’ di bandingkan ‘kognitif’, bahkan peluang ekonomi yang tidak mampu jauh lebih sedikit dibandingkan zonasi. Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Tujuan Penelitian ini yaitu untuk mengkaji adanya problematika ekualitas hak atas pendidikan sejak diterapkannya sistem zonasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan kebijakan itu berimplikasi terhadap tidak terpenuhinya hak atas pendidikan sebagaimana yang diatur oleh Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, bahwa dalam proses penerimaan siswa baru harus mempertimbangkan ‘nilai’ sebagai kuota terbanyak terhadap daya tampung sekolah, kemudian diikuti oleh jalur afirmasi, dan jalur perpindahan orangtua/wali untuk menciptakan ekualitas hak atas pendidikan yang proporsional dan berkeadilan.
Penerapan Omnibus Law dalam Pembentukan Peraturan Daerah
Eka Nam Sihombing;
Srining Widati;
Cynthia Hadita
Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum Vol 7, No 2 (2020): JURNAL ILMIAH PENEGAKAN HUKUM DESEMBER
Publisher : Universitas Medan Area
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31289/jiph.v7i2.4397
The method for the formation of laws and regulations that has become the public spotlight recently is the Omnibus Law method which of course cannot only be applied in the formation of laws alone. It can also be applied in the formation of regional regulations. However, this is not yet an issue that is discussed nationally. The purpose of this study is to answer legal problems related to the application of the omnibus law in the formation of regional regulations so that there is a common viewpoint and become input for stakeholders. The research method used is normative juridical. The results show that the formation of local legislation using the omnibus law method can minimize disharmony of local legislation both vertically and horizontally with PUU.
Analisis Kebijakan Insentif Dalam Rangka Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Indonesia
Eka NAM Sihombing;
Andryan Andryan;
Mirsa Astuti
Jatiswara Vol 36 No 1 (2021): Jatiswara
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.29303/jatiswara.v36i1.278
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kebijakan insentif yang berkelanjutan dalam perlindungan lahan pertanian pangan di masa mendatang. Untuk menahan laju konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian, Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Undang-Undang ini diharapkan dapat menahan laju konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian. Salah satu hal yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah terkait dengan kebijakan pemberian insentif, akan tetapi kebijakan tersebutmasih berbasis lahan, sehingga insentif hanya diberikan kepada pemilik lahan pertanian yang tidak mengalihfungsikan lahan pertanian pangan. Di mana dengan perkembangan teknologi sekarang ini serta untuk menjaga ketahanan pangan, maka pengembangan varietas unggul pertanian tidak harus dikembangkan berbasis lahan. Oleh karena itu, untuk menjaga ketahanan pangan, diperlukan suatu upaya untuk mengembangkan kebijakan yang tidak hanya berbasis lahan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif berdasarkan logika berpikir deduktif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa kebijakan pemberian insentif kepada petani masih berbasis luas lahan, di mana salah satu pertimbangan pemberian insentif adalah memiliki luas tanam paling sedikit 25 (dua puluh lima) hektar dan kebijakan pemberian insentif kepada petani dalam rangka perlindungan lahan pertanian dinilai kurang tepat, karena insentif yang diberikan masih berupa program reguler yang dilaksanakan oleh pemerintah.
The Urgency of Regional Regulation Bill of Serdang Bedagai Regency on Trading Business
Ramlan Ramlan;
Eka NAM Sihombing;
Fajriawati Fajriawati
Randwick International of Social Science Journal Vol. 1 No. 3 (2020): RISS Journal, October
Publisher : RIRAI Publisher
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.47175/rissj.v1i3.105
This study aims to discuss the urgency of regional regulation bill of serdang bedagai regency on trading business. Various problems regulated in this regulation include: The quality that is owned between modern retail and traditional retail is not comparable in terms of capital, management to human resources; The increasing number of modern retailers has made it difficult for traditional retailers to develop because they have to deal directly with modern retailers with better quality; There are no strict sanctions against retailers who violate the relevant provisions; Unilateral determination of the types, sizes and prices of trading terms to retail; and The incomplete application of regulations and criminal provisions whose content is not yet optimal. Currently, the gap between modern trading businesses and traditional trading businesses lies in the distribution chain that is digitally integrated in modern trading businesses, creating synergies among its users. Meanwhile, traditional trading business entrepreneurs are usually cash based and have limited integration with suppliers or banks to manage purchases, supplies and payments. Based on this condition, it is very necessary to form a regulation to create a balanced competition between traditional trading businesses and modern trading businesses, regulations that are able to bring justice to all entrepreneurs, not only provide protection for traditional trading businesses and forget about modern trading businesses that also have a very positive impact on the existence of the regional and national economy or vice versa. The regulation is in the form of a Trade Business Regional Regulation. Regional Regulation Bill of Serdang Bedagai Regency on Trading Business
PERKEMBANGAN KEWENANGAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN KEPALA DAERAH
Eka NAM Sihombing
Jurnal Yudisial Vol 10, No 2 (2017): EX FIDA BONA
Publisher : Komisi Yudisial RI
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.29123/jy.v10i2.147
ABSTRAKPutusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota tidak lagi bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri atau gubernur. Melengkapi putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 menyatakan pemerintah pusat juga tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah provinsi. Putusan tersebut tidak serta merta menyelesaikan persoalan terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah, hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi hanya berlaku bagi peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Rumusan masalah yang akan diurai dalam tulisan ini adalah bagaimana kewenangan pembatalan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah oleh Menteri dan gubernur pasca Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUUXIV/2016. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam negara dengan bentuk kesatuan memang sudah sepatutnya pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi yang lahir di daerah. Implementasi dari pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan kepada daerah melalui penguatan executive preview atau pengujian terhadap suatu norma hukum sebelum sah mengikat secara umum, hal ini sejalan dengan ruh ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945.Kata kunci: pembatalan, peraturan daerah, peraturan kepala daerah. ABSTRACTConstitutional Court Decision Number137/PUUXIII/2015 stated in Article 251 of Law Number 23 of 2014 on Local Government related to the issue if regulatory authority annulment of local and leaders regulations can no longer be withdrawn by the Minister of Home Affairs or Governor. Completing the decision, the Constitutional Court through Decision Number 56/PUU-XIV/2016 stated that the Central Government also no longer has the authority to annul the Provincial Regulation. The Constitutional Court Decision does not necessarily solve the problems related to the authority annulment of the local regulations. This is because the Constitutional Court Decision only applies to the Provincial Regulation and District/City Regulation. The formulation of the problems elaborated through this analysis is how the Authority Annulment of Regional Regulation by the Minister and the Governor after the issuance of Court Decision Number 137/PUUXIII/2015 and Constitutional Court Decision Number 56/PUU-XIV/2016. This analysis makes use of the legal juridical normative research method. The results show that in a state of unity it is appropriate that higher levels of government are given the authority to supervise the regulations set in the regions. The supervision can be implemented by conducting such a guidance to the region through the strengthening of executive preview or legal norm review before it is legally binding in general. This is in line with the spirit of Article 24A of the 1945 Constituition of the Republic of Indonesia.Keywords: annulment, local regulation, regional head regulation.