The practice of parallel importation of medicines in Indonesia creates complex legal challenges due to the inconsistency between Article 160 of the Patent Law, which prohibits importation without authorization, and Article 167, which provides limited exceptions. This normative conflict has opened a regulatory loophole exploited by unauthorized distributors, resulting in the circulation of unregistered and unsafe medicines that violate consumer rights to safety and information. This study aims to analyze Article 167 of the Patent Law from the perspective of consumer protection and its compatibility with the principles of access to affordable and safe medicines. Employing a doctrinal legal research method with a normative and comparative approach, the study examines relevant statutory provisions, international instruments such as the TRIPS Agreement and the Doha Declaration, as well as BPOM enforcement data. The findings reveal that although Article 167 aligns with international flexibilities under TRIPS, its weak implementation and lack of clear regulatory mechanisms have undermined public safety and legal certainty. The study concludes that Article 167 requires reinterpretation and harmonization with the Consumer Protection Law to balance patent exclusivity and consumer welfare. The novelty of this research lies in its integrative analysis that places consumer rights at the core of patent law interpretation, offering a legal reconstruction to strengthen oversight, transparency, and accountability in Indonesia’s pharmaceutical regulation. Praktik impor paralel obat di Indonesia menimbulkan tantangan hukum yang kompleks akibat ketidakkonsistenan antara Pasal 160 Undang-Undang Paten yang melarang impor tanpa izin dan Pasal 167 yang memberikan pengecualian terbatas. Konflik norma ini menciptakan celah hukum yang sering disalahgunakan oleh pelaku usaha tidak resmi, sehingga beredar obat tanpa izin edar dan tidak memenuhi standar BPOM, yang melanggar hak konsumen atas keamanan dan informasi yang benar. Penelitian ini bertujuan menganalisis Pasal 167 UU Paten dalam perspektif perlindungan konsumen serta menilai kesesuaiannya dengan prinsip akses obat yang terjangkau dan aman. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan doktrinal dan komparatif, melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan, instrumen internasional seperti TRIPS Agreement dan Doha Declaration, serta data pengawasan BPOM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun Pasal 167 selaras dengan fleksibilitas internasional TRIPS, lemahnya implementasi dan tidak adanya mekanisme pengawasan yang jelas telah mengakibatkan pelanggaran terhadap kepastian hukum dan perlindungan publik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Pasal 167 perlu direinterpretasi dan diselaraskan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk menyeimbangkan hak eksklusif paten dan kesejahteraan konsumen. Kebaruan penelitian ini terletak pada analisis integratif yang menempatkan hak konsumen sebagai pusat interpretasi hukum paten, serta menawarkan rekonstruksi hukum untuk memperkuat pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas dalam regulasi farmasi di Indonesia.