ABSTRAK Angka kesakitan anak di Indonesia berkisar 13.55 persen, sedangkan prosentase anak yang dirawat dan menjalani hospitalisasi sekitar 19 dari 1000 anak. Hospitalisasi mengharuskan anak mendapat prosedur invasive yang membuat anak cemas dan nyeri. Anak prasekolah cenderung bereaksi menolak perawatan dan tidak kooperatif saat merasakan nyeri akibat prosedur invasif, sehingga mengganggu perawatan. Terapi farmakologis berupa pemberian analgetik berdampak tidak menyenangkan, sehingga dibutuhkan terapi nonfarmakologi. Salah satu manajemen nyeri nonfarmakologi yang dapat diterapkan adalah audiovisual dan storytelling. Rancangan penelitian ini quasy experiment posttest only with control group design, dengan membandingkan antara kelompok audiovisual dan kelompok storytelling. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan pendekatan consecutive sampling (sampel berurutan). Kriteria inklusi penelitian ini yaitu anak usia 4-6.5 tahun, tingkat kesadaran komposmentis, mendapat prosedur pemasangan infus. Jumlah sampel 32 pasien dengan pembagian 16 pasien kelompok audiovisual dan 16 kelompok storytelling. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner Wong Baker Pain Scale (WBS). Hasil penelitian menunjukkan rerata tingkat nyeri kelompok audiovisual yaitu 5.63 dengan rentang nyeri skala 4-8. Rerata tingkat nyeri pada kelompok storytelling yaitu 3.88 dengan rentang nyeri skala 4-8. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan tingkat nyeri pada kelompok audiovisual film kartun dengan kelompok storytelling (p value 0.031). Kesimpulannya storytelling lebih efektif untuk menurunkan nyeri prosedur invasif pada anak prasekolah dibandingkan dengan audiovisual film kartun. Implikasi keperawatannya storytelling dapat diterapkan di ruang anak untuk mengatasi nyeri prosedur invasif.