p-Index From 2020 - 2025
2.042
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Jurnal Independent
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

REKONSTRUKSI HUKUM LINGKUNGAN DI ERA NEW NORMAL TERKAIT PENGELOLAAN LIMBAH B3 INFEKSIUS INDONESIA Joejoen Tjahjani
Jurnal Independent Vol 8, No 2 (2020): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v8i2.119

Abstract

Berdasarkan tantangan yang harus dihadapi di era new normal, diperlukan suatu rekonstruksi terhadap hukum lingkungan sehingga dapat berfungsi sebagai sarana pembaruan masyarakat agar di era new normal ini tercapai penegakan hukum lingkungan demi keteraturan atau ketertiban masyarakat. Salah satu persoalan di tengah pandemi adalah limbah medis infeksius COVID-19. Limbah infeksius ini merupakan limbah medis yang tergolong sampah bahan berbahaya dan beracun atau B3. Dengan berbagai upaya yang dilakukan dari banyak pihak untuk mengelola limbah medis, termasuk kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan limbah B3 infeksius covid-19 diharapkan usaha ini terus bisa menekan penularan dan risiko lainnya yang bisa ditimbulkan seiring dengan lahirnya suatu peradaban baru New normal, dengan protocol kesehatan yang ketat, adapting to the normal. Kata Kunci : Hukum Lingkungan   Pengelolaan Limbah B3 Infeksius Indonesia, Covid 19.
KEBIJAKAN PENGETATAN PENJATUHAN PIDANA PENJARA SEBAGAI UPAYA MENGATASI OVERCAPACITY DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN Joejoen Tjahjani
Jurnal Independent Vol 7, No 1 (2019): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v7i1.93

Abstract

Over capacity atau kelebihan beban yang yang terjadi di   lembaga pemasyarakatan di Indonesia merupakan persoalan yang ada sejak dahulu. Overcapacity terjadi karena laju pertumbuhan penghuni lapas tidak sebanding dengan sarana hunian lapas. Faktor pendorongnya adlah factor hukumnya lebih berorientasi pada pidana institusional(penjara), yang berdampak ada rendahnya tingkat pengawasan dan terjadinya prisonisasi. Hal tersebut tidak hanya menurut pandangan  masyarakat tetapi juga aparat penegak hukum, terbukti dari sekitar 358 tindak pidana umum di tahun 2013 (hasil penelusuran di putusan.mahkamahagung.go.id), hanya terdapat 1 (satu) putusan yang menuntut terdakwa dengan pidana pokok denda walaupun pada putusannya majelis hakim memutus bebas. Overcapacity  di  samping  terjadi  di  Lapas  juga  terjadi  di  Rumah  tahanan  (Rutan), berkaitan dengan tidak adanya ketentuan yang mengatur mengenai alasan yang dapat dibenarkan untuk dikabulkannya penangguhan penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 KUHAP sehingga semuanya berdasarkan  subjektifitas pejabat  yang berwenang.  Selain  itu  tidak  ada ketentuan yang mengatur jumlah  uang yang harus dibayar oleh terdakwa atau tersangka sebagai jaminannya terkait dikabulkannya penangguhan penahanan dengan jaminan uang. Hal ini menambah rumah tahanan (Rutan) di polres maupun di polsek. Aparat  penegak  hukum  jarang  menjadikan  pidana  denda  sebagai bentuk  pemidanaan. Selain itu, bentuk putusan yang kumulasi pidana penjara dengan pidana denda, telah menambah beban lembaga pemasyarakatan karena hampir semua narapidana memilih menjalani pidana subsidair dengan  tambahan penjara  atau kurungan  daripada mebayar pidana denda. Dengan semua  tuntutan  maupun  putusan  memutus  pidana  penjara  maka  jumlah  narapidana  untuk lembaga pemasyarakatan semakin membesar. Kata kunci : kebijakan, pidana penjara, menanggulangi, overcapacity narapidana
CLASS ACTION AS A FORM OF COMMUNITY PARTICIPATION IN ENVIRONMENTAL LAW ENFORCEMENT JOEJOEN TJAHJANI
Jurnal Independent Vol 9, No 2 (2021): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v9i2.144

Abstract

ABSTRACT Class action on environmental law enforcement is related to community participation as stated in Article 91 of the Law on Environmental Protection and Management No. 32 of 2009. The right to participate is recognized as a way to get the right to a good and healthy environment. The community is given access to participate in activities that can or have had an impact on the environment and in law enforcement.
Sita Jaminan Sebagai Upaya Menjamin Terlaksananya Putusan Perkara Perdata Joejoen Tjahjani
Jurnal Independent Vol 1, No 1 (2013): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v1i1.6

Abstract

Penelitian tentang sita jaminan yang dapat menjamin terlaksananya keputusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menarik untuk dikaji lebih lanjut. Hal ini untuk mengetahui apakah sita jaminan dapat menjamin terlaksananya keputusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Di samping itu, juga untuk mengetahui kendalakendala yang ditemui dalam praktek berkenaan pelaksanaan sita jaminan. Metode yang dipakai dalam penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif. Sumber datanya berasal dari data primer maupun sekunder. Sedangkan analisis datanya menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa timbulnya permintaan pelaksanaan sita jaminan bermula dari adanya dugaan yang beralasan dari pihak penggugat bahwa seseorang yang berhutang sebelum dijatuhkan putusan atau sebelum putusan yang mengalahkannya dapat dijalankan, berdaya upaya akan menghilangkan atau membawa barangnya yang bergerak maupun yang tidak bergerak dengan maksud menjauhkan barang-barang tersebut dari pihakpenagih hutang atau penggugat. Adapun yang jadi kendala-kendala yang ditemui dalam praktek berkenaan pelaksanaan sita jaminan adalah disebabkan karena barang-barang yang telah disita pada waktu akan dilaksanakan sudah tidak ada lagi atau sudah rusak, atau telah ada perlawanan dari pihak ketiga yang ternyata adalah pemilik sah dari pada barang yang disita atau karena barang-barang yang disita tersebut diagunkan di BankKeywords : Sita Jaminan, Putusan Perkara Perdata
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA JASA LAUNDRY MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Joejoen Tjahjani
Jurnal Independent Vol 2, No 2 (2014): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v2i2.29

Abstract

Semakin maraknya pelaku usaha jasa laundry yang mendirikan usahanya tanpa adanya landasan hukum yang jelas sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka hal ini membuat perbuatan pelaku usaha tersebut menjadi menarik untuk dibahas atau di kaji sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Skripsi ini ditulis dengan menggunakan pendekatan normatif, dengan sumber bahan hukum primer Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Pasal 24, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 382, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1244, 1365, 1865, yang diperkaya dari bahan hukum sekunder berupa literatur-literatur terkait baik yang berasal dari buku maupun yang berasal dari internet.Dari hasil study yang dilakukan penulis, didapatkan kesimpulan bahwa tanggung jawab pelaku usaha adalah ganti rugi atas perbuatan yang dilakukan pelaku usaha dengan merusak atau menghilangkan barang konsumen. Dalam upaya mengganti barang yang dirusakkan atau dihilangkan, pelaku usaha harus membayar sesuai harga barang tersebut. Karena tanggung jawab pelaku usaha sudah diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha tidak dapat menghindar dari aturan yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. Apabila pelaku usaha menghindar dari perbuatan tersebut, maka pelaku usaha dapat dikenakan sanksi berdasarkan hukum perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi tersebut merupakan sanksi administrasi yaitu pelaku usaha wajib membayar denda yang sudah ditetapkan dan izin usaha tersebut akan dicabut oleh BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen). Sanksi perdatanya adalah pelaku usaha harus mengganti dalam bentuk pengembalian uang, penggantian barang, perawatan kesehatan, pemberian santunan, dan ganti rugi tersebut diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi. Serta sanksi pidananya ialah pelaku usaha akan dikenakan hukuman penjara 2 sampai 5 tahun dan denda mulai dari Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai Rp 2.000.000.000 (dua milyar rupiah). Apabila denda tersebut masih belum bisa merubah perilaku pelaku usaha, maka akan diberikan hukuman tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan KonsumenKeywords : Pelaku Usaha Laundry, Undang-undang nomor 8 tahun 1999
CRIMINATION AS A LAST EFFORT IN A CHILD CRIMINAL JUSTICE SYSTEM REFLECTING THE PRINCIPLE OF RESTORATIVE JUSTICE JATMIKO WINARNO; JOEJOEN TJAHJANI; MUNIF ROCHMAWANTO
Jurnal Independent Vol 10, No 1 (2022): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v10i1.160

Abstract

AbstractionDiversion aims to achieve peace between victims and children, resolve cases of children outside the judicial process, prevent children from deprivation of independence, encourage the community to participate and instill a sense of responsibility in children. Diversion must be carried out at every stage starting from the level of investigation, prosecution and examination at the District Court. Diversion is said to be successful if there is an agreement, and the case can be stopped and restorative justice is achieved, whereas if the diversion is not successful then the case is continued until the child is sentenced.
PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE Joejoen Tjahjani
Jurnal Independent Vol 2, No 1 (2014): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v2i1.16

Abstract

Penyelesaian sengketa bisnis dengan proses adjudikasi dapat diselesaikan para pihak melalui jalur litigasi atau penyelesaian sengketa di muka pengadilan. Tetapi penyelesaian model ini tidak direkomendasikan karena para pihak sangat antagouistis (saling berlawanan satu sama lain) dan juga memakan waktu yang lama. Jadi litigasi atau penyelesaian sengketa di muka pengadilan ini ditempuh semata-mata hanya sebagai jalan yang terakhir atau apabila penyelesaian lewat jalur kekeluargaan atau perdamaian tidak menemukan titik terang atau julan keluar (the last resort atau ultimatum remedium).Secara teknis, fungsi pengadilan atau tugas mengadili dirumuskan sebagai “memeriksa dan memutus perkara”. Memutus perkara atau suatu sengketa tidak selalu sama dengan “menyelesaikan” atau “solution” atau “solving” perkara atau sengketa tersebut. Karena terkadang putusan hakim ada kemungkian memperdalam luka-laka atau mempertajam persengketaan (hakikatnya sengketa itu tidak pernah terselesaikan) bahkan dengan putusan hakim tersebut mengandung potensi atau sengketa perselisihan baru. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu sekali ada perubahan orientasi dari “memutuskan perkara” menjadi “menyelesaikan perkara”  Peranan pengadilan dalam pelaksanaan putusan arbitrase yang paling utama adalah sebagai eksekutor atau pelaksana putusan arbitrase tersebut. Untuk dapat dilaksanakan eksekusi, putusan arbitrase wajib didaftarkan di Panitera Pengadilan Negeri, karena apabila tidak didaftarkan putusan arbitrase tidak dapat dilakukan eksekusi. Apabila terjadi keterlambatan pendaftaran, putusan arbitrase tetap masih bisa dilaksanakan, namun hal itu tergantung pertimbangan dari Ketua Pengadilan Negeri apakah akan menerima atau menolak eksekusi putusan arbitrase tersebut.Keywords : Peranan Pengadilan, Putusan Arbitrase
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA DALAM KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM MENURUT UNDANG-UNDANG NO.9 TAHUN 1998 Joejoen Tjahjani
Jurnal Independent Vol 4, No 1 (2016): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v4i1.48

Abstract

Tujuan saya meneliti ini untuk mengetahui apakah kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum dapat dikategorikan tindak pidana, mengetahui kriteria kebebasan berekepresi dan  menyampaikan pendapat dimuka umum dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Dan metode penelitian yang saya gunakan adalah yuridis normative dengan bahan hukum yang saya gunakan adalah data sekunder dengan cara studi kepustakaan dan data yang mengarah pada kajian-kajian yang bersifat teoritis menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:Berdasarkan pembahasan yang telah saya uraikan pada bab sebelumnya maka  terhadap permasalahan yang ada dapat ditarik kesimpulan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat dimuka umum; Demonstrasi, Unjuk rasa, mimbar bebas, rapat terbuka, pawai dan bentuk protes lainnya adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Piagam Hak-hak asasi Dunia dan UUD 1945, tetapi pelaksanaanya harus  dilakukan secara bertanggung jawab dengan menjunjung tinggi nilai - nilai agama, kesusilaan dan tunduk pada ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, agar tidak mengganggu  hak  dan kebebasan orang lain serta kepentingan masyarakatKeywords : Tinjauan, Yuridis, Tindak pidana, Kemerdekaan
EKSISTENSI INSTRUMEN EKONOMIK TERHADAP GOOD ENVIRONMENTAL GOVERNANCE Joejoen Tjahjani
Jurnal Independent Vol 7, No 2 (2019): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v7i2.103

Abstract

Instrumen ekonomik merupakan salah satu instrumen hukum lingkungan yang pengaturannya lebih dipertegas dalam UUPPLH yaitu pada Bab V Paragraf 8 Pasal 42 dan Pasal 43. Sedangkan good environmental governance merupakan pengembangan dari good governance dalam konservasi lingkungan hidup. Penelitian ini mengupas bagaimana eksistensi instrumen ekonomik dalam mengimbangi proses tata kelola lingkungan hidup yang berprinsip inklusivitas, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas dan keadilan social yang membentuk dasar dari good governance sehingga tercapai good environmental governance yang dapat merefleksikan pemahaman terbaik dari struktur, fungsi, proses dan variabilitas yang terkait dan sesuai dengan system alam (ekosistem). Denganmetode penelitianyuridisnormative diperoleh hasilanalisa berdasarpada pendekatan perundang-undangan dan pendekatankonseptual. Ketentuan pengaturan instrumen ekonomik akhirnya tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi lingkungan hidup sesuai mandat  Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,  setelah  sebelumnya terdapat pada beberapa peraturan perundang-undangan.KataKunci : Instrumen ekonomik,  good environmental governance
KEDUDUKAN HUKUM ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARIS ORANG TUA MENURUT HUKUM POSITIF Joejoen Tjahjani
Jurnal Independent Vol 5, No 1 (2017): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v5i1.63

Abstract

Tulisan ini merupakan hasil penelitian lapangan dengan permasalahan yang akan dibahas yaitu, Bagaimana pengangkatan anak menurut Peratuan Pemerintah No 54 Tahun 2007? dan Bagaimana kedudukan harta waris orang tua terhadap anak angkat menurut Hukum Positif?Untuk menjawab permasalahan di atas penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif (hukum normatif), yaitu suatu langkah atau prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach), Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, Menurut PP No. 54 Tahun 2007 mengatur tentang Tata Cara sahnya pengangkatan anak yang harus menempuh jalur formal. Eksistensi dari pada PP tersebut juga mengenal pengangkatan anak secara adat istiadat masayarakat setempat, disamping pengangkatan anak secara undang-undang. Sehingga kedudukan anak yang diangkat secara adat juga diakui secara sah. Sedangkan Kedudukan anak angkat menurut hukum positif tetap sebagai anak angkat yang sah berdasarkan keputusan pengadilan dengan tidak memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandungnya. Untuk Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Orang Tua menurut Hukum Positif alangkah baiknya orang tua angkat memberi hak yang sama terhadap anak angkat termasuk juga mengenahi kesamaan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anak angkat dalam warisan harta orang tua.Keywords : Anak Angkat, Harta Waris, Hukum Positif