Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

PRINSIP PILIHAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PADA KONTRAK E-COMMERCE TRANSNASIONAL Moh Ali
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (800.237 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.39

Abstract

Globalisasi dalam sekala internasional menimbulkan masalah baru dalam hubungan kontraktual. Kontrak yang salah satu pihaknya ada pihak asing, berimplikasi pada persoalan pilihan hukum. Dalam Kontrak konsumen kedudukan konsumen dipandang mempunyai bargaining position yang lemah. Prinsip-prinsip hukum internasional bidang e-commerce umumnya membolehkan sebuah negara mengatur kegiatan yang mempunyai akibat yang penting dan besar (substantial effect). Oleh karena itu diperlukan perlindungan dan proteksi dari negara bertalian dengan prinsip pilihan hukum yang digunakan. UUPK, UU ITE, UUP maupun HPI Indonesia belum memberikan jaminan perlindungan yang tegas berkaitan dengan pilihan hukum dalam kontrak e-commerce bersekala transnasional sehingga muncul legal gap. Prinsip-prinsip pilihan hukum yang lazimnya didasarkan atas kebebasan berkontrak dan kesepakatan para pihak mengalami pergeseran paradigma terutama didasarkan doktrin negara kesejahteraan dimana ruang publik perlu mendapatkan perlindungan. Dalam soal penyelesaian sengketa, kebanyakan negara civil law menganut prinsip country of reception yaitu aturan yang memperbolehkan konsumen pemakai terakhir (end user) menerapkan Undang Undang Perlindungan Konsumen negaranya. Prinsip ini dikecualikan terhadap transaksi konsumen dan tidak berlaku pada kontrak e-commerce antara pengusaha. Prinsip ini diambil dari konvensi Roma dan Konvensi Brussel yang diresipir ke dalam Directive yakni Undang-undang bagi komunitas MEE (Europe Union). Untuk mengatasi legal gap pada penyelesaian sengketa e-commerce transnasional maka perlu dilakukan legal reform yang mengadaptasi kerberlakuan prinsip country of reception ini ke dalam regulasi Indonesia sehingga kepentingan konsumen dapat terlindungi.
MENAKAR ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN DALAM PENGAJUAN GUGATAN KUMULASI (SAMENVOEGING VAN VORDERING) DI PENGADILAN AGAMA Moh Ali
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 3, No 2 (2017): Juli - Desember 2017
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (938.222 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v3i2.55

Abstract

Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan acapkali menjadi batu uji dalam pelaksanaan setiap pengajuan gugatan terutama in casu gugatan perceraian (baik cerai talak maupun cerai gugat) dengan gugatan pembagian harta bersama. Landasan dapat diajukannya gugatan kumulatif adalah Pasal 66 ayat (5) untuk Permohonan Talak dan untuk Gugat Cerai Pasal 86 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Praktiknya peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan kontradiksi dengan kenyataan. Akumulasi gugatan juga timbul sejumlah persoalan antara lain; kepentingan suami/isteri yang menginginkan untuk segera mengesahkan perkawinan barunya, gugatan harta bersama merupakan assesoir terhadap gugatan perceraian sehingga jika acapkali gugatan harta bersama tidak puas maka gugatan perceraiannya juga tidak bisa inkracht dan masuknya pihak ketiga dalam perkara kebendaan dipandang memperumit pemeriksaannya. Dari perspektif hakim terdapat perbedaan antara lain; hakim mempertimbangkan hajah dloruriyah atau kepentingan mendesak salah satu pihak untuk segera diputuskan ikatan perkawinannya, cara pemeriksaan perkara perceraian berbeda dengan sengketa kebendaan in casu harta bersama sehingga tidak dapat disatukan, hakim justru menilai aturannya sebagai dasar kebolehan memeriksa perkara harta bersama setelah putusan perceraian sehingga gugatannya ditolak. Saran penulis bahwa hakim tidak boleh menolak gugatan kumulasi yang dasarnya sudah ada dan tersedia dalam undang-undang, kepentingan dan maslahat harus dikembalikan kepada penggugat/pemohon karena gugatan kumulasi bersifat opsional dan merdeka, demi keadilan jika gugatan kumulasi diterima, hakim seyogyanya tidak memutuskan secara verstek, hendaknya dilakukan pembuktian secara seimbang berdasarkan asas audi et alteram partem, persoalan tidak dapat dipenuhinya asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan adalah faktor resiko terhadap pilihan yang dibuat oleh pihak yang mengajukan.
PRINSIP PILIHAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PADA KONTRAK E-COMMERCE TRANSNASIONAL Moh Ali
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.39

Abstract

Globalisasi dalam sekala internasional menimbulkan masalah baru dalam hubungan kontraktual. Kontrak yang salah satu pihaknya ada pihak asing, berimplikasi pada persoalan pilihan hukum. Dalam Kontrak konsumen kedudukan konsumen dipandang mempunyai bargaining position yang lemah. Prinsip-prinsip hukum internasional bidang e-commerce umumnya membolehkan sebuah negara mengatur kegiatan yang mempunyai akibat yang penting dan besar (substantial effect). Oleh karena itu diperlukan perlindungan dan proteksi dari negara bertalian dengan prinsip pilihan hukum yang digunakan. UUPK, UU ITE, UUP maupun HPI Indonesia belum memberikan jaminan perlindungan yang tegas berkaitan dengan pilihan hukum dalam kontrak e-commerce bersekala transnasional sehingga muncul legal gap. Prinsip-prinsip pilihan hukum yang lazimnya didasarkan atas kebebasan berkontrak dan kesepakatan para pihak mengalami pergeseran paradigma terutama didasarkan doktrin negara kesejahteraan dimana ruang publik perlu mendapatkan perlindungan. Dalam soal penyelesaian sengketa, kebanyakan negara civil law menganut prinsip country of reception yaitu aturan yang memperbolehkan konsumen pemakai terakhir (end user) menerapkan Undang Undang Perlindungan Konsumen negaranya. Prinsip ini dikecualikan terhadap transaksi konsumen dan tidak berlaku pada kontrak e-commerce antara pengusaha. Prinsip ini diambil dari konvensi Roma dan Konvensi Brussel yang diresipir ke dalam Directive yakni Undang-undang bagi komunitas MEE (Europe Union). Untuk mengatasi legal gap pada penyelesaian sengketa e-commerce transnasional maka perlu dilakukan legal reform yang mengadaptasi kerberlakuan prinsip country of reception ini ke dalam regulasi Indonesia sehingga kepentingan konsumen dapat terlindungi.
MENAKAR ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN DALAM PENGAJUAN GUGATAN KUMULASI (SAMENVOEGING VAN VORDERING) DI PENGADILAN AGAMA Moh Ali
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 3, No 2 (2017): Juli - Desember 2017
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v3i2.55

Abstract

Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan acapkali menjadi batu uji dalam pelaksanaan setiap pengajuan gugatan terutama in casu gugatan perceraian (baik cerai talak maupun cerai gugat) dengan gugatan pembagian harta bersama. Landasan dapat diajukannya gugatan kumulatif adalah Pasal 66 ayat (5) untuk Permohonan Talak dan untuk Gugat Cerai Pasal 86 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Praktiknya peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan kontradiksi dengan kenyataan. Akumulasi gugatan juga timbul sejumlah persoalan antara lain; kepentingan suami/isteri yang menginginkan untuk segera mengesahkan perkawinan barunya, gugatan harta bersama merupakan assesoir terhadap gugatan perceraian sehingga jika acapkali gugatan harta bersama tidak puas maka gugatan perceraiannya juga tidak bisa inkracht dan masuknya pihak ketiga dalam perkara kebendaan dipandang memperumit pemeriksaannya. Dari perspektif hakim terdapat perbedaan antara lain; hakim mempertimbangkan hajah dloruriyah atau kepentingan mendesak salah satu pihak untuk segera diputuskan ikatan perkawinannya, cara pemeriksaan perkara perceraian berbeda dengan sengketa kebendaan in casu harta bersama sehingga tidak dapat disatukan, hakim justru menilai aturannya sebagai dasar kebolehan memeriksa perkara harta bersama setelah putusan perceraian sehingga gugatannya ditolak. Saran penulis bahwa hakim tidak boleh menolak gugatan kumulasi yang dasarnya sudah ada dan tersedia dalam undang-undang, kepentingan dan maslahat harus dikembalikan kepada penggugat/pemohon karena gugatan kumulasi bersifat opsional dan merdeka, demi keadilan jika gugatan kumulasi diterima, hakim seyogyanya tidak memutuskan secara verstek, hendaknya dilakukan pembuktian secara seimbang berdasarkan asas audi et alteram partem, persoalan tidak dapat dipenuhinya asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan adalah faktor resiko terhadap pilihan yang dibuat oleh pihak yang mengajukan.
Pengampuan sebagai Dasar Pemberhentian Sementara dari Jabatan Notaris Chairil Lailia Maharani; Dyah Ochtorina Susanti; Moh Ali
Syntax Idea Vol 4 No 1 (2022): Syntax Idea
Publisher : Ridwan Institute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46799/syntax-idea.v4i1.1712

Abstract

Seorang Notaris yang diberi kewenangan haruslah telah cakap agar dapat dibebani dengan kewenangan, tidak mungkin seseorang berwenang apabila ia tidak cakap. Konsep tersebut muncul dalam Pasal 9 Ayat 1 Huruf b juncto Pasal 12 Huruf b Undang-Undang Jabatan Notaris. Pasal tersebut memberi penjelasan bahwa Notaris dapat diberhentikan sementara apabila Notaris tersebut berada dibawah pengampuan. Tujuan dari penelitian ini yaitu Menemukan makna kriteria pengampuan yang dapat digunakan sebagai batasan ukuran pemberhentian sementara. Pada penelitian ini digunakan pendekatan yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini yaitu Notaris berada dalam masa pengampuan maka notaris tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang tidak cakap dan tidak dapat melakukan perbuatan hukum. Hal ini dapat di buktikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pemberhentian sementara Notaris diatur dalam ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Sanksi Adminsitratif Terhadap Notaris yang Menolak Protokol Notaris Indyravastha Rezhana; Bayu Dwi Anggono; Moh Ali
Jurnal Syntax Transformation Vol 2 No 08 (2021): Jurnal Syntax Transformation
Publisher : CV. Syntax Corporation Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46799/jst.v2i8.344

Abstract

Notaries in the performance of their duties have an obligation to accept the protocol of the Notary who quits office. The obligation, although not regulated in the Notary Office Law, is regulated implicitly in the Regulation of the Minister of Law and Human Rights No. 19 of 2019 concerning the Terms and Procedures for appointment, leave, transfer, termination and extension of the term of notary (Permenkumham No. 19 of 2019). This research uses the method... And processed the results that notaries are required to maintain the Notary protocol because it is a category as a state archive. Administrative sanctions for the notary's obligation to receive the protocol have been stated through an affidavit made by the Notary before taking office so that this becomes a binding obligation for the Notary, but it is not specifically mentioned in the relevant legal regulations. The archive of notary protocols in the future should not burden the notary of the recipient of the protocol so that in the future or soon can be realized in the form of file documents or in a more practical form.
Kewenangan Majelis Pengawas Daerah terhadap Urgensi Penyimpanan Protokol Notaris sebagai Arsip Negara Nurin Dyasti Pratiwi; Dominikus Rato; Moh. Ali
Jurnal Syntax Transformation Vol 3 No 02 (2022): Jurnal Syntax Transformation
Publisher : CV. Syntax Corporation Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46799/jst.v3i2.511

Abstract

Notaries in carrying out their authority need supervision carried out by the Regional Supervisory Council, which is the spearhead of the Supervisory Council in carrying out direct supervision of notaries because notary protocol storage does not stop until the end of his term of office or death. However, protocol storage continues even though the notary concerned ends the term of office or death under Article 65 of Law Number 2 of 2014 concerning amendments to Law Number 30 of 2004 concerning the Position of a Notary. This study aims to analyze the authority of the Regional Supervisory Council regarding the storage of notary protocols as state archives. The method used is normative juridical law research. The results show Regional Supervisory Council authority is in the form of attribution authority, including the authority given directly by the Notary Position Act with efforts to regulate and review the Notary Position Act and the Archives Law, government participation and the Directorate General of AHU in providing a place for Regional Supervisory Council and funds for notary protocol storage, and by storing notary protocols through the application of information technology or electronically
Prinsip Kepastian Hukum bagi Pihak Ketiga atas Perjanjian Perkawinan yang Dibuat setelah Perkawinan Moh. Reza Dedi Putra; Dyah Ochtorina Susanti; Moh. Ali
JURNAL RECHTENS Vol. 10 No. 2 (2021): Desember
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56013/rechtens.v10i2.1026

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 memperbolehkan pembuatan perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak ketiga. Permasalahan yang akan dibahas yaitu apakah perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan telah sesuai dengan prinsip kepastian hukum bagi pihak ketiga. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menemukan bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum bagi pihak ketiga. Pada penelitian ini digunakan pendekatan yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini yaitu perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum bagi pihak ketiga karena perjanjian perkawinan hanya sebagai upaya dalam melindungi kepentingan pihak yang membuatnya yaitu suami istri tanpa memperhatikan kepentingan pihak ketiga yang tersangkut, sehingga tidak tercipta suatu keadilan yang menjamin kepentingan para pihak. Kata Kunci: Perjanjian Perkawinan, Pihak Ketiga, Prinsip Kepastian Hukum Abstract   The decision of the Constitutional Court Number 69/PUU-XIII/2015 allows the making of a marriage agreement while in the marriage bond of both parties with mutual consent. This creates legal uncertainty for third parties. The problem to be discussed is whether the marriage agreement made after marriage is in accordance with the principle of legal certainty for third parties. The purpose of this study is to find out that the marriage agreement made after marriage is not in accordance with the principle of legal certainty for third parties. In this study, a normative juridical approach was used. The results of this study are marriage agreements made after marriage are not in accordance with the principle of legal certainty for third parties because marriage agreements are only an effort to protect the interests of those who make them, namely husband and wife without paying attention to the interests of third parties involved, so that there is no justice that guarantees interests of the parties. Keywords: Marriage Agreement, Third Party, Legal Certainty Principle
KEWENANGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL DALAM PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH-TANAH TERLANTAR Rastra Ardani Irawan; Fendi Setyawan; Moh. Ali
HUKMY : Jurnal Hukum Vol. 3 No. 1 (2023): HUKMY : Jurnal Hukum
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35316/hukmy.2023.v3i1.308-329

Abstract

Tanah merupakan sumber daya yang penting bagi adanya kegiatan pembangunan. Di sisi lain tanah juga merupakan sumber daya yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Agar dapat mendatangkan kemakmuran dan memenuhi semua bidang kebutuhan dalam kehidupan manusia maka tanah harus diusahakan, diolah, dimanfaatkan dan dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Penelantaran tanah merupakan suatu tindakan yang tidak benar, hal ini dapat menyebabkan hilangnya peluang untuk mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah. Selain itu, penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 mengatur tentang obyek penertiban tanah terlantar, identifikasi dan penelitian, peringatan, penetapan tanah terlantar, pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar. Dari sudut pandang kajian hukum normatif, terjadi kesulitan mekanisme pelaksanaanya
Kepastian Hukum Lelang Eksekusi Objek Hak Tanggungan Berdasarkan Parate Executie Rahmadi Indra Tektona; Moh. Ali; Anang Suindro
Jurnal Hukum dan Sosial Politik Vol. 1 No. 3 (2023): Agustus : Jurnal Hukum dan Sosial Politik
Publisher : Universitas Katolik Widya Karya Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59581/jhsp-widyakarya.v1i3.533

Abstract

In general, there are laws that provide protection to banks as lenders to obtain repayment of their debts when the debtor is in default, this is stated in Article 1131 of the Civil Code which reads: "All assets of the Debtor, whether movable or immovable, whether existing ones or those that will be in the future become dependents/guarantees. Debtor's assets, both movable and immovable, both present and future will become dependents/guarantee for their debts. One of the characteristics of the UUHT is that it is easy and certain to execute, which means executing the mortgage certificate. must be carried out but can still provide legal certainty for interested parties, in this case, the auction seller, auction buyer and auctioneer. Therefore, in carrying out executions based on parate execution, it must be able to provide convenience and legal certainty for all interested parties.