Garuda - Garba Rujukan Digital

Mencari Kemungkinan Solidaritas Tanpa Dasar Universal: Telaah atas Pemikiran Etika Sosial Richard Rorty Fristian Hadinata
Respons: Jurnal Etika Sosial Vol 23 No 01 (2018): Respons: Jurnal Etika Sosial
Publisher : Center for Philosophy and Ethics

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25170/respons.v23i01.469

ABSTRAK: Pemikiran Richard Rorty mengenai solidaritas tanpa dasar universalmemiliki relevansi yang luas bagi masyarakat plural, di antaranya, terbentuknyakekitaan baru. Pemikiran ini dikritik sebagai usaha untuk mempromosikanetnosentrisme. Tulisan ini menegaskan bahwa solidaritas tidak dapat dibangundi atas fondasi kategoris tentang kemanusiaan universal. Sebaliknya, solidaritasharus mulai dari mana kita berasal, yaitu realitas konkret dan kenyataan hidupyang jadi bagian dari pergulatan kita sehari-hari.KATA KUNCI: Solidaritas, kemanusiaan, keberagaman, kontingenAbstract: Richard Rorty’s ethical thinking solidarity without universal basis hasits large relevance in building pluralistic society, especially in forming the newtogetherness. Th is thought has been criticized as an eff ort to promote ethnocentrism.Th is article is intending to defend that the solidarity cannot be developed under thecategorical foundation concerning the universal humanity. In contrary, it should startfrom which are coming, that is, from our concrete and real life.KEYWORDS: Solidarity, universal humanity, plurality, contingency.

Analisis Filosofis Implementasi Merdeka Belajar sebagai Instrumen Kesetaraan dan Pendidikan Demokratis Fristian Hadinata
MOZAIK HUMANIORA Vol. 21 No. 2 (2021): MOZAIK HUMANIORA VOL. 21 NO. 2
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/mozaik.v21i2.29695

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gagasan Merdeka Belajar secara filosofis, tidak hanya berfokus pada mengatasi persoalan-persoalan secara teknis dalam implementasi kebijakan tersebut. Hal ini perlu dilakukan supaya tidak melulu terjebak dalam tafsiran keuntungan instrumental dari pendidikan, tetapi juga untuk mewujudkan cita-cita bersama dalam Pembukaan UUD 1945 dalam masyarakat demokratis. Metode penelitian dilakukan dengan metode refleksi kritis dan fenomenologi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tafsiran baru atas Merdeka Belajar bisa dilakukan dengan memperluas gagasan itu sebagai upaya pembentukan individu agar mampu merefleksikan kehidupannya sendiri dan menjadi warga negara yang mampu menjalankan fungsi-fungsinya di tengah keberagaman dalam masyarakat demokratis. Oleh karena itu, Merdeka Belajar perlu dilengkapi dengan konsep pendidikan demokratis yang berhubungan dengan reproduksi sosial secara sadar seperti yang dikemukakan oleh Amy Gutmann, di mana di dalamnya terkandung pembagian otoritas dan dua prinsip pembatasan, yaitu prinsip non-represi dan prinsip non-diskriminasi dalam pendidikan.

Objek Seni Sebagai Kesatuan Kualitatif dan Tindak Kesadaran Fristian Hadinata
JSRW (Jurnal Senirupa Warna) Vol. 4 No. 1 (2015): Lintas Batas Ekspresi Seni
Publisher : Fakultas Seni Rupa - Institut Kesenian Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36806/.v4i1.22

Penelitian ini mengkaji tentang apa itu objek seni dan bagaimana sebuah objek bisa menjadi objek seni. Kajian ini menggunakan tiga kerangka yaitu (1) kajian budaya material; (2) estetika sehari-hari dari Dewey; dan (3) tradisi filsafat fenomenologi Heidegger-Husserl. Tujuannya adalah untuk merevitalisasi objek seni sebagai objek yang selalu berhubungan dengan subjek melalui tindak kesadaran dan pengalaman yang menghasilkan dimensi kesatuan kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode refleksi kritis dan fenomenologi hermenautika terhadap konsep-konsep yang relevan dengan penelitian. Diharapkan hasil penelitian ini bisa menunjukkan bahwa objek seni dapat diperluas hingga masuk ke dalam domain kehidupan sehari-hari tanpa terjatuh pada banalitas atas apa yang disebut objek seni itu sendiri.

IMPLIKASI FILOSOFIS DESENTRALISASI BITCOIN DALAM PERSPEKTIF EMPIRE NEGRI-HARDT Muhammad Satria Abdul Karim; Fristian Hadinata
Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam Vol 8, No 1 (2023): JAQFI VOL.8 NO. 1, 2023
Publisher : Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Negri Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/jaqfi.v8i1.26627

AbstractStudi ini berfokus pada pentingnya memahami implikasi filosofis desentralisasi Bitcoin dalam konteks kebebasan individu. Desentralisasi Bitcoin dipandang sebagai upaya untuk mendapatkan kebebasan finansial dan mengurangi ketergantungan pada institusi pusat. Namun, penelitian ini juga menunjukkan bagaimana kekuatan modal yang merupakan bagian dari sistem kapitalis global dapat memanipulasi dan mengendalikan Bitcoin. Sistem kapitalis global, sering disebut "kerajaan", adalah sebuah realitas di mana kekuasaan didistribusikan di banyak tempat. Desentralisasi Bitcoin menciptakan paradoks, karena kebebasan yang dijanjikan dikompromikan oleh ketidakseimbangan kekuatan yang diciptakan oleh kekaisaran. Oleh karena itu, penelitian ini menggarisbawahi pentingnya kritik filosofis terhadap desentralisasi Bitcoin.

THE IDEAS OF JOURNALISTIC ETHICS BASED ON PANCASILA FOR MULTICULTURAL SOCIETY Sugeng, Sugeng; Hadinata, Fristian
International Review of Humanities Studies Vol. 9, No. 1
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

This paper aims to show that journalistic code of ethics based on Pancasila is strongly related to multiculturalism morality as both emphasize inclusive ideas, respect for diversity, and the awareness of unity in diversity. The writers use descriptive qualitative library research in the field of philosophy to show meaning and objectively reveal philosophical essence. This method includes collecting and analyzing criticism of relevant literature related to multiculturalism, philosophy, journalistic ethics, and cyber media reporting. The result shows that the development of the internet technology has changed the way society live, and it has affected their preferences towards the elements of mass communication. This media ecological evolution happens worldwide, including in Indonesia. The internet technology, in its various forms, has determined how society communicate interpersonally, among groups, and as a mass. By integrating the values of Pancasila into the inclusive journalistic practices, the media can serve as an agent that strengthens multiculturalism awareness, encourages unity, and promotes equality and fairness for all citizens. Through reporting that highlights respect, unity, and equality, the media can contribute positively to a strong, united, and civilized society, while at the same time strengthening the social bonding among citizens. The Active Tolerance Principal has created a framework that ensures that journalism not only avoids harming certain groups of people through biased news coverage, but can also attempt to reinforce understanding, dialogs, and peace among different groups which is a crucial step in creating a responsible and inclusive journalism which is also oriented towards the public interest.

MELACAK PENGETAHUAN YANG TERPINGGIRKAN: ANALISIS TEORI STANDPOINT DALAM KEBIJAKAN FOOD ESTATE DI KALIMANTAN Sentana, Fajar Yudha; Hadinata, Fristian
Multikultura Vol. 2, No. 4
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Krisis pangan dunia merupakan persoalan dunia yang belum terselesaikan oleh berbagai organisasi yang menaruh perhatian terhadap isu tersebut. Ditambah lagi, pandemi Covid-19 menjadi variabel yang memperburuk krisis pangan dunia. Hal itu direspon oleh pemerintah Indonesia melalui kebijakan food estate di Kalimantan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional 2020-2024 sebagai solusi dari krisis pangan dunia dan mengurangi kebergantungan impor pangan serta sebagai upaya untuk mencapai kedaulatan pangan. Food estate memiliki catatan sejarah kegagalan yang panjang dan menimbulkan banyak persoalan di Indonesia. Tentunya hal ini menjadi fenomena yang menarik untuk dianalisa menggunakan gagasan standpoint dari Sandra Harding. Gagasan ini mencoba membongkar praktik produksi pengetahuan yang dibangun hanya berdasarkan kepentingan kelompok-kelompok tertentu sebagai upaya untuk mendominasi ilmu pengetahuan dan kondisi sosial. Hal itu tentunya mengakibatkan adanya hubungan antara pengetahuan yang diproduksi dengan kebijakan publik yang dihasilkan. Penelitian ini berupaya untuk melacak pengetahuan yang mendominasi dan mendeteksi pengetahuan-pengetahuan yang memiliki kerentanan untuk terpinggirkan akibat dari kebijakan publik yang tidak emansipatoris dan hanya mementingkan kelompok-kelompok dominan melalui teori standpoint sebagai kerangka filosofis untuk menganalisa fenomena kebijakan publik, khususnya kebijakan food estate dalam Proyek Strategis Nasional 2020-2024.

Testing The Scientificity of Progressive Legal Theory Through Karl Popper's Falsification: A Study of the Philosophy of Science Samosir, Daniel; Hadinata, Fristian
Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 19, No. 3 : Al Qalam (Mei 2025)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an (STIQ) Amuntai Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35931/aq.v19i3.4374

The development of scientific knowledgestarting from a problem that often arises because the existing theory is seen as unable to solve or is no longer adequate to overcome the problem. The progressive legal theory initiated by Satjipto Rahardjo was born when the existing legal theory was seen as no longer adequate to overcome legal problems in Indonesian society. However, the problem with the progressive legal theory that has not been seriously touched on so far is the scientific nature of the progressive legal theory as a theory from the perspective of the philosophy of science. According to Popper, a theory is scientific if and only if it can be refuted by an event that can be imagined. Falsification for Popper is a demarcation criterion that provides a distinction between scientific and non-scientific theories or pseudoscience. Therefore, it is important to conduct research on whether the progressive legal theory is a scientific, non-scientific, or pseudoscience theory? so that the progressive legal theory undergoes corroboration (confirmation). This study uses a library research method with a qualitative approach, using a descriptive method (descriptive-analytical). The results of this study are based on the application of falsification to the progressive legal theory, which has a theoretical corein the form of a hypothesis“law is not just a matter of rule, but also of behavior”, isNofalsifiable, thus non-scientific. However, this does not mean that progressive legal theory is not enlightening or meaningless.

IMPLIKASI FILOSOFIS DESENTRALISASI BITCOIN DALAM PERSPEKTIF EMPIRE NEGRI-HARDT Abdul Karim, Muhammad Satria; Hadinata, Fristian
Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam Vol. 8 No. 1 (2023): JAQFI VOL.8 NO. 1, 2023
Publisher : Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Negri Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/jaqfi.v8i1.26627

AbstractStudi ini berfokus pada pentingnya memahami implikasi filosofis desentralisasi Bitcoin dalam konteks kebebasan individu. Desentralisasi Bitcoin dipandang sebagai upaya untuk mendapatkan kebebasan finansial dan mengurangi ketergantungan pada institusi pusat. Namun, penelitian ini juga menunjukkan bagaimana kekuatan modal yang merupakan bagian dari sistem kapitalis global dapat memanipulasi dan mengendalikan Bitcoin. Sistem kapitalis global, sering disebut "kerajaan", adalah sebuah realitas di mana kekuasaan didistribusikan di banyak tempat. Desentralisasi Bitcoin menciptakan paradoks, karena kebebasan yang dijanjikan dikompromikan oleh ketidakseimbangan kekuatan yang diciptakan oleh kekaisaran. Oleh karena itu, penelitian ini menggarisbawahi pentingnya kritik filosofis terhadap desentralisasi Bitcoin.

Mengasihi Musuh Berdasar Analisis Pemikiran Filsafat Tentang Intersubjektivitas: Loving Enemies Based on Philosophical Thought Analysis on Intersubjectivity Apriano, Alvian; Naupal, Naupal; Hadinata, Fristian
Jurnal Filsafat Indonesia Vol. 8 No. 2 (2025)
Publisher : Undiksha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jfi.v8i2.87032

Loving one's enemy is a "philosophical instruction" that is difficult to practice in daily life. The level of difficulty varies depending on the scars left by the relationships that give rise to enmity. Intuitively, this practice appears highly contradictory, but philosophically, its seeds require special attention, as philosophy recognizes the principle of doing good and beneficial acts for others, even when there is no reciprocal exchange for what has been given. The question that arises is, "Which philosophical thought can initiate a discourse on loving one's enemy, and from it, what daily steps can be derived as a concrete practice of loving one’s enemy?" Gabriel Marcel's thoughts on intersubjectivity can begin a practical discourse on loving one’s enemy because the subject, that is, the individual, inherently needs to relate to the world. Naturally, the relationship sought is a constructive one, as reflected in his philosophical idea of esse est co-esse or being is being-with, which he introduces as existence together in the world. This paper aims to provide a philosophical assessment of the difficulty of loving one’s enemy based on Gabriel Marcel's philosophical thoughts on intersubjectivity, so that a philosophical practice in daily life can be realized to end enmity and build more productive relationships.

CYBER ATTACKS ON GOVERNMENT-MANAGED SYSTEMS: A SOCIAL EPISTEMOLOGY PERSPECTIVE Romavella, Aurelia Bunga Anggun Putri; Hadinata, Fristian
International Review of Humanities Studies
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

This article examines cyberattacks on government-managed systems from the perspective of social epistemology. The development of information technology, particularly the internet, has changed the way governments operate and interact with the public. However, these changes have also created new vulnerabilities to cyberattacks that can disrupt public services, undermine public trust and threaten national security. Social epistemology, with its focus on how knowledge and beliefs are constructed and disseminated in society, provides a useful analytical framework for understanding these cyberattack dynamics. This article examines how cyberattacks affect the production, distribution and validation of knowledge in the context of governance. By analyzing how different actors, including governments, hackers, and the public, interact and form a shared understanding of threats and cybersecurity, this article aims to provide insights on how to build more effective cybersecurity strategies and improve the resilience of government systems to cyberattacks. In addition, this article will also discuss the philosophical implications of cyberattacks, specifically related to the thoughts of Heidegger, Latour, Clark, and Postman, to understand how technology shapes social and political interactions in the context of cybersecurity. Effective IT governance, which integrates socio-technical understanding, is crucial in mitigating risks and building public trust in the digital age.

Title

Found 12 Documents
Search

Abstract

Abstract

Abstract

Abstract

Abstract

Abstract

Abstract

Abstract

Abstract

Abstract

Title Search

Found 12 Documents Search

Abstract

Abstract

Abstract

Abstract

Abstract

Abstract

Abstract

Abstract

Abstract

Abstract

Title

Found 12 Documents
Search