Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

PELUANG USAHA EKOWISATA CAGAR ALAM/TAMAN WISATA ALAM KAWAH IJEN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL ALAS PURWO Elvida Yosefi Suryandari
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol 2, No 1 (2005): JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN
Publisher : Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (524.867 KB) | DOI: 10.20886/jakk.2005.2.1.13-26

Abstract

Cagar Alam/Taman Wisata Alam Kawah Ijen di Taman Nasional Alas Purwo memiliki kekayaan dan daya tarik yang beranekaragam sehingga dapat dijadikan modal besar dalam pengembangan ekowisata dengan obyek yang dapat dipasarkan kepada konsumen baik dalam maupun luar negeri. Analisa SWOT dilaksanakan untuk menyusun strategi peluang usaha ekowisata di kawasan konservasi ini. Membangun kerjasama antara pengelola taman nasional, pemerintah daerah dan pengusaha swasta, sangat diperlukan dalam meningkatkan peluang usaha ekowisata. Disamping itu adanya kebijakan khusus diharapkan dapat mendukung usaha ekowisata, sehingga menciptakan keseimbangan yang positif antara tujuan komersial usaha, lingkungan yang baik dan peningkatan nilai ekonomi bagi masyarakat lokal.
PENGEMBANGAN WILAYAH MELALUI PENATAAN RUANG KAWASAN HUTAN Epi Syahadat; Elvida Yosefi Suryandari; Andri Setiadi Kurniawan
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol 16, No 2 (2019): Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Publisher : Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1284.532 KB) | DOI: 10.20886/jakk.2019.16.2.89-103

Abstract

Spatial planning that only prioritizes economic interests has serious environmental impacts. The aims of this paper are: 1) Reviewing spatial planning policy based on spatial plans, 2) Identifying problems of spatial arrangement of forest area, and 3) Finding strategy for solving spatial settlement problems. The result of the study shows that there is disharmony between spatial planning policies of the Ministry of Home Affairs and the Ministry of Environment and Forestry, it requires harmonization and synchronization in its implementation. Problems in spatial planning are: 1) Spatial planning in several regions has not received the main proportion as a basic instrument for the preparation of regional development program plans, 2) Conflict of spatial use between society and government, 3) Dichotomy of interest in spatial plans from excavating local revenue from natural resources without and or less attention to environmental impacts and space, 4) Inefficiency of spatial planning institute as well as supervision of space utilization. Strategy to solve spatial problems in revised spatial plans can be implemented through: 1) Changing designation and function of forest area, 2) Integrating teamwork acceleration of forest area designation and function, and 3) Implementating forest area utilization audit based on sustainability forest.
EVALUASI KEBIJAKAN PELAKSANAAN SISTEM AGROFORESTRY DI INDONESIA Iis Alviya; Elvida Yosefi Suryandari
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol 3, No 1 (2006): JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN
Publisher : Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (19918.379 KB) | DOI: 10.20886/jakk.2006.3.1.1-13

Abstract

Agrofoestry adalahsalah satu sistem pengelolaan lahan yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih guna lahan yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk, dan sekaligusjuga mengatasi masalah pangan dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Namun hingga saat ini pelaksanaan sistem agroforestry terasa kurang berkembang di Indonesia akibat kebijakan yang masih terbatas belum ada sektor yang merasa bertanggung jawab dan berkewajiban mengembangkan kebijakan tersebut.Tulisan ini merupakan hasil kajian terhadap teknik pengelolaan lahan dengan sistem agroforestry di beberapa daerah di Indonesia dan implementasi kebijakan yan terkait dalam pengembangan agroforestry.HAsil kajian menunjukan bahwa agroforestry berperan penting dalam aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Untuk memperlancar pelaksanaan sistem agroforestry, kebijakan lintas sektoral yang luas dan terpadu yang dikeluarkan secara bersama sama antara Departemen Kehutanan dan Departemen Pertanian mutlak diperlukan. Disamping itu, diperlukan juga kebijakan-kebijakan sektoral yang dikeluarkan oleh masing-masing departemen untuk mendukung pengembangan agroforestry pada wilayah kerja dan sistem produksi yang diwadahinya.
KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG PADA ERA OTONOMI DAERAH Elvida Yosefi Suryandari; Sylviani Sylviani
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol 3, No 1 (2006): JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN
Publisher : Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1744.553 KB) | DOI: 10.20886/jakk.2006.3.1.15-28

Abstract

Kebijakan kehutananyang bersifat top down dianggap sudah tidak sesuai lagi diterpakan di daerah. Setelah Otonomi daerah digulirkan, adanya kebijakan desentralisasi kehutanan diharapkan dapat meningkatkan koordinasi  antara pemangku kepentingan dalam pengelolan hutan tidak terkecuali pada hutan lindung. Mengingat kondisi hutan lindung yang mengalami degradasi baik oleh penebangan liar, perambahan maupun konservasi menjadi peruntukan yang lain maka kajian telah dilakukan untuk mengetahui peran, fungsi masing-masing pemangku kepentingan dan kebijakan yang terkait dalam pengelolaan hutan lindung di Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Dari hasil analisaterhadap tugasdan fungsi diketahui bahwa pemangku kepentingan dalm manajemen PHL yang sangat berperan antara lain Dinas Kehutana, Bapeda, Bapedalda, BPDAS, BKSDA, dan Perum Perhutani (Jawa Barat dan Jawa Timur). Peran Kelembagaan di masyarakat juga sangat penting dalam menjaga fungsi hidrologis dan kelestarian hutan lindung. Dalam Era Otonomi Daerah ini, pengelolaan hutan lindung belum sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten, di samping konsep KPHL belum disosialisasikan secara menyeluruh sehingga bentuk kelembagaan PHL hingga saat ini belum ada dan kesiapan didaerah baik dari segi pendanaan , SDM dan peraturan perundangan dalam PHL belum ada. Karena itu penetapan kebijakan dan perundangan yang tepat dalam pengelolaan hutan lindung sangatlah diperlukan
DAMPAK IMPLEMENTASI SERTIFIKASI VERIFIKASI LEGALITAS KAYU TERHADAP KEBERLANJUTAN INDUSTRI KAYU DAN HUTAN RAKYAT Elvida Yosefi Suryandari; Deden Djaenudin; Satria Astana; Iis Alviya
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol 14, No 1 (2017): Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (179.846 KB) | DOI: 10.20886/jpsek.2017.14.1.19-37

Abstract

International market requires producers to proof the legality of their wood products to address the issues of illegal logging and illegal trade. Timber Legality Verification System (TLVS) has been prepared by the Government of Indonesia that covering the upstream and downstream wood industries. This paper aims to evaluate gaps in the implementation of TLVS policy and its impact on the sustainability of timber industry. This study was using gap, descriptive and costs-structure analyzes. The study was conducted in three provinces, namely: DKI Jakarta, West Java and D.I. Yogyakarta. Research found that the effectiveness of the TLVS implementation was low due to relatively rapid policy changes. This situation became disincetive for investments in timber business. Private sector perceived that TLVS policy should be applied in the upstream of timber business. Hence, the industry and market in the downstream have not been fully support to this system. Furthermore, TLVS policy implementation was considered ineffective by timber industry as well as private forest managers, especially by micro industry and smallholder private forests. This situation threatened the sustainability of timber industry and private forests. Therefore, Institutions should be strengthened in order to improve the quality of human resources and the competitiveness of products.
PENANGANAN SAMPAH RUMAH TANGGA DI KOTA BANDUNG: NILAI TAMBAH DAN POTENSI EKONOMI Indartik Indartik; Elvida Yosefi Suryandari; Deden Djaenudin; Mirna Aulia Pribadi
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol 15, No 3 (2018): Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (741.839 KB) | DOI: 10.20886/jpsek.2018.15.3.195-211

Abstract

Increasing waste generation has a negative impact on environmental health and socio-economic aspects. Driving factors of increasing waste generation are population growth, economic activities and  lack of publicawareness.  This study aims to (1) determine waste management policies, (2) evaluate the performance of waste management in Bandung City; (3) examine the chain of waste management, added value and  economic potential of waste in Bandung City. Data analysis used descriptive and value added methods. The results study showed that waste management refers to central and regional regulations. The issuance of Government Regulation Number 18 of 2016 and Regional Regulation of Bandung City Number 8 of 2016, change the authority of municipal sanitation from Sanitary Regional Company to Environmental and Sanitary Office (DLHK). DLHK assign the regional company due to limited resources in the period of transfer of authority. The company performance in 2015 had reached 83.8% (1,257 tons per day). Based on waste value chain, the distribution of added value equal relatively among economic actors. Economic potential of waste utilization can be used as an alternative funding source in waste handling, considering that so far the source of handling cost has come from levies, other revenue, and state budget subsidy.