Claim Missing Document
Check
Articles

Found 22 Documents
Search

Perkiraan Dampak Kebijakan Proteksi dan Promosi terhadap Ekonomi Hortikultura Indonesia nFN Saptana; Prajogo Utomo Hadi
Jurnal Agro Ekonomi Vol 26, No 1 (2008): Jurnal Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jae.v26n1.2008.21-46

Abstract

EnglishTrade liberalization and economic crisis generate greater challenges in agricultural development in Indonesia. Despite the remaining high tariff rate on Indonesian agricultural products as stated in the WTO agreement, this country applied low import tariff rates of 0-5% during the 1998–2004 for almost all its agricultural products, except for rice and sugar which are increased to 25-30%. Since 1 January 2005, Indonesia applies higher tariff rates of 10-40% for a number of agricultural products, including horticultural products. Indonesia also launches policies to promote development of horticultural sector. This paper aims to analyze the impact of protection as well as promotion policies on horticultural economy both at macro and micro level. It is found that he protection policy in terms of increasing tariff rates from 5% to 25% for shallots and oranges would potentially increases wholesale price, producer price, production quantity, producer surplus and farm income, but reduces demand/ consumption, consumer surplus, import and government revenue from import tax. Impact of promotion policy in terms of improved distribution system if the subsidized fertilizers potentially reduces fertilizer cost by Rp 1.37 million for potato farm in Karo (North Sumatera), Rp 0.44 million for potato farm in Tabanan (Bali), and Rp 0.21 million for shallots farm in Majalengka (West Javat) per hectare per season, and by Rp 4.03 million for orange farm in Karo and Rp 1.56 million for mango farm in Majalengka per hectare per year. Meanwhile, import relaxation for potato seeds of french fries and Atlantic varieties is expected to increase production and export of processed products of potato. The future policy perspectives would be maintaining the existing tariff and promotion policies as well as deregulation and de-bureaucratization inclined towards the improved competitiveness of horticultural products and farmer’s income.  IndonesianLiberalisasi perdagangan dan krisis ekonomi menimbulkan tantangan yang semakin berat dalam pembangunan sektor pertanian di Indonesia. Meskipun komitmen tarif produk pertanian Indonesia dalam forum WTO masih cukup tinggi, selama kurun waktu 1998–2004 Indonesia menerapkan tarif impor 0-5 persen untuk hampir semua produk pertanian, kecuali beras dan gula yang dinaikkan menjadi 25-30 persen. Baru pada tanggal 1 Januari 2005, Indonesia mulai menerapkan kebijakan tarif relatif tinggi (10-40%) untuk beberapa produk pertanian termasuk hortikultura. Indonesia juga menempuh kebijakan promosi untuk pengembangan subsektor hortikultura. Tulisan ini bertujuan mengkaji dampak kebijakan proteksi dan kebijakan promosi terhadap ekonomi komoditas hortikultura di tingkat makro dan mikro. Dampak kebijakan proteksi berupa peningkatan tarif impor dari 5 persen menjadi 25 persen untuk bawang merah dan jeruk berpotensi meningkatkan harga grosir, harga petani, produksi, surplus produsen, dan pendapatan usahatani, tetapi mengurangi konsumsi, surplus konsumen, impor, dan penerimaan pemerintah dari pajak. Dampak kebijakan promosi berupa perbaikan sistem distribusi pupuk berpotensi menurunkan biaya pupuk per hektar per musim pada usahatani kentang di Karo (Sumatera Utara) dan Tabanan (Bali), masing-masing Rp 1,37 juta dan Rp 0,44 juta, usahatani bawang merah di Majalengka (Jawa Barat) Rp 0,21 juta, usahatani jeruk di Karo (Sumatera Utara) Rp 4,03 juta, dan usahatani mangga di Majalengka (Jawa Barat) Rp 1,56 juta. Sementara itu, pelonggaran impor bibit kentang varietas french fries dan Atlantik diharapkan akan meningkatkan produksi dan ekspor hasil olahan keripik kentang. Perspektif kebijakan ke depan adalah mempertahankan kebijakan tarif dan promosi, serta kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang di arahkan untuk meningkatkan daya saing produk hortikultura nasional dan pendapatan petani.
Analisis Sistem Agribisnis Jeruk di Kalimantan Selatan I Wayan Rusastra; nFN Saptana; Tahlim Sudaryanto
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 9, No 2-1 (1992): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v9n2-1.1992.1-10

Abstract

IndonesianJeruk merupakan komoditi buah-buahan yang mempunyai arti strategis karena dalam penawaran buah domestik jeruk menduduki peringkat kedua setelah pisang. Dilihat dari potensi lahan, kualitas jeruk yang dihasilkan, dan permintaan pasar, maka jeruk Kalimantan Selatan perlu mendapatkan perhatian pengembangan dari pemerintah. Dalam sepuluh tahun terakhir ini terjadi peningkatan luas panen jeruk di daerah ini sebesar 11,5 persen per tahun. Di lain pihak produksi bersifat fluktuatif dengan laju peningkatan 1,3 persen per tahun. Dari gambaran tersebut terrefleksikan bahwa relatif belum berkembangnya adopsi teknologi bahkan ada kecenderungan terjadi penurunan produktivitas. Hasil analisis empirik usahatani menunjukkan bahwa pendapatan jeruk umur 5 tahun mencapai Rp 4,7 juta lebih per hektar (160 pohon) dengan efisiensi pemanfaatan modal (R/C) mencapai 2,65. Proporsi harga yang diterima petani dengan orientasi pemasaran ke Kalimantan Timur mencapai 33 persen (Rp 640/kg) dari harga jual pedagang besar. Total margin pemasaran mencapai 67 persen yang terdiri dari biaya tataniaga 13 persen dan keuntungan pedagang 54 persen. Diperoleh juga bahwa usahatani jeruk ini mendatangkan keuntungan yang cukup besar relatif terhadap usahatani padi maupun palawija. Namun demikian usahatani jeruk di daerah ini relatif belum berkembang diantaranya disebabkan oleh lemahnya aspek pembinaan, kurangnya ketersediaan dan adopsi teknologi, serta kendala permodalan yang dihadapi petani. Pengembangan komoditas ini hendaknya tetap terkait dengan usahatani skala kecil, diselaraskan dengan kemampuan daya serap pasar lokal, dan kemungkinan pengembangan diversifikasi tujuan pemasaran baik antar pulau maupun ekspor.
Analisis usaha pembenihan udang rakyat di Jawa Barat: Studi kasus di Pangandaran, Ciamis nFN Saptana; Muchjidin Rachmat; nFN Hermanto
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 11, No 2 (1993): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v11n2.1993.68-79

Abstract

IndonesianPosisi udang sebagai komoditi ekspor primadona non-migas dewasa ini mengalami kegoyahan sebagai akibat dari: (1) persaingan dengan negara eksportir lain seperti Taiwan, Thailand dan India, (2) merosotnya harga udang di pasar internasional, dan (3) resiko kegagalan tambak udang di tingkat petani yang semakin besar. Seberapa jauh keadaan tersebut berpengaruh pada usaha pembenihan udang rakyat yang akan diungkap. Hasil  analisis biaya dan keuntungan per meter kubik dari berbagai skala usaha menunjukkan usaha pembenihan udang masih menguntungkan. Skala kecil memperoleh keuntungan sebesar Rp 96.024/meter kubik, skala sedang memperoleh keuntungan sebesar Rp 113.018/ meter kubik dan skala besar memperoleh keuntungan sebesar Rp 130.480/meter kubik atas biaya total periode. Dilihat dari efisiensi pemanfaatan modal adri ketiga skala yang diteliti, menunjukkan bahwa skala kecil memperoleh nilai R/C ratio 1.70, skala sedang 1.98 dan skala besar 2.38. Hasil analisis margin menunjukkan bahwa besarnya margin tataniaga benur udang Rp 8,5/ekor, yang terdiri dari biaya tataniaga sebesar Rp 5,40/ekor (64 persen) dan keuntungan lembaga niaga sebesar Rp 3,10/ekor (36 persen) dari total margin tataniaga.
Perkembangan investasi dan kaitannya dengan penerimaan devisa dan penyerapan tenaga kerja di Sub sektor Perikanan nFN Saptana; nFN Hermanto; Victor T. Manurung; Mat Syukur
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 12, No 1 (1994): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v12n1.1994.1-13

Abstract

IndonesianInvestasi pihak swasta pada subsektor perikanan rakyat dapat dikatakan berkembang, terutama oleh swasta nasional. Namun, disisi lain selama periode 1985 hingga 1990 terlihat bahwa realisasi investasi lebih rendah dari pada rencana. Hal ini menunjukkan bahwa daya serap subsektor perikanan masih rendah terhadap investasi. Perkembangan investasi tidak hanya terlihat dari besarnya investasi dan laju pertumbuhannya, melainkan juga dari segi keragaman jenis usaha yang dikembangkan. Akhir-akhir ini jenis usaha dalam subsektor perikanan yang dikembangkan oleh swasta semakin banyak ragamnya. Namun perkembangan investasi oleh pihak swasta pada sub sektor ini tidak diikuti secara proporsional oleh perkembangan nilai ekspor yang mereka hasilkan. Selama periode 1986 - 1990 peranan pihak swasta pada sub sektor perikanan dalam penyerapan tenaga kerja relatif kecil. Secara umum rasio tenaga kerja dengan investasi pada subsektor ini lebih kecil dibandingkan dengan rasio tersebut pada subsektor lain dalam lingkungan sektor pertanian. Tampaknya teknologi yang digunakan oleh pihak swasta dalam subsektor perikanan lebih bersifat padat modal dibandingkan dengan teknologi yang digunakan oleh subsektor lainnya. Selain itu, ada indikasi bahwa teknologi yang digunakan oleh pihak swasta asing dalam usaha perikanan lebih bersifat padat modal dibandingkan dengan teknologi yang digunakan oleh swasta nasional. Oleh sebab itu jika kita ingin mengembangkan ekspor produksi perikanan sekaligus meningkatkan kesempatan kerja, maka investasi swasta nasional lebih tepat dikembangkan daripada investasi swasta asing.
Kajian Aspek Produksi dan Pemasaran Jeruk pada Lahan Pasang Surut dan Lahan Kering di Sulawesi Selatan: Studi Kasus di Kabupaten Luwu dan Selayar nFN Saptana; Khairina M. Noekman
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 12, No 1 (1994): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v12n1.1994.14-29

Abstract

IndonesianTulisan ini bertujuan untuk membahas: pertama. mengidentifikasi potensi lahan pengembangan jeruk, kedua mengkaji keragaan dan kelayakan usahatani jeruk pada lahan pasang surut dan lahan kering, ketiga mengkaji sistem pemasaran jeruk, dan keempat mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi baik pada produksi maupun pemasarannya, sehingga bisa dirumuskan strategi pengembangannya. Berdasarkan kelayakan finansial menunjukkan bahwa usahatani jeruk layak diusahakan baik di daerah sentra produksi lama (lahan kering) maupun di daerah sentra produksi baru (lahan pasang surut), yaitu dengan nilai B/C 3.09 untuk sentra lama dan 2,25 untuk sentra baru, NPV sebesar yaitu Rp 2.674.000 untuk sentra lama dan Rp 5.305.000 untuk sentra baru, IRR = 50,88 persen sentra lama dan 53,97 persen untuk sentra baru. Pada aspek pemasaran menunjukkan bahwa besarnya margin pemasaran jeruk keprok selayar sebesar Rp 1.125/kg atau 69,23 persen dari harga jual pedagang pengecer Ujung Pandang, yang terdiri dari margin biaya Rp 337/kg (30 persen) dan margin keuntungan sebesar Rp 788/kg (70 persen). Sedangkan margin pemasaran jeruk Siam asal kabupaten Luwu sebesar Rp 1.200/kg atau 70,59 persen dari harga jual pengecer Ujung Pandang, yang terdiri margin biaya Rp 311/kg (26 persen) dan margin keuntungan Rp 889/kg (74 persen).
Politik Pangan Berbasis Industri Tepung Komposit Tajuddin Bantacut; nFN Saptana
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 32, No 1 (2014): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v32n1.2014.19-41

Abstract

EnglishTotal Indonesian population of 250 million people leads to some crucial problems in provision and management of staple food. Main sources of staple food are cereal, mainly rice. Another important source of carbohydrate is imported wheat flour and it discourages national food security. Meanwhile, as a tropical country, Indonesia has many sources of carbohydrates (food crops) such as tuber crops (cassava, sweet potatoes), cereals (corn), and palm (sago) potentially replace partially or entirely the consumption of rice and wheat flour. This paper discusses the food politics within the perspective of food security based on composite flours as substitution or replacement of wheat flour. Natural growth of local commodity based on flour industry is very slow and it needs some efforts and policies on its acceleration. It suggests some policy recommendations on how to strengthen and accelerate composite flour industries. Required policy includes assistance, value-added tax relief, and promotion. Value-added tax paid by the government is considered as an incentive to wheat importers and flour industry to develop composite flour. IndonesianPenduduk Indonesia saat ini lebih dari 250 juta jiwa menimbulkan banyak permasalahan pada pangan pokok sehingga perlu mendapatkan perhatian serius. Pangan pokok sumber karbohidrat yang banyak dikonsumsi adalah beras dan terigu. Sebagai sumber karbohidrat penting, terigu bukan produksi lokal yang membawa persoalan ketahanan pangan dan menguras devisa negara. Indonesia memiliki beragam sumber karbohidrat lainnya, baik dari serealia, umbi-umbian, maupun palma yang belum dimanfaatkan. Tujuan tulisan ini adalah untuk mengkaji pentingnya politik pangan berbasis industri tepung komposit dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional. Pertumbuhan industri tepung secara alamiah tidak dapat diharapkan terjadi dengan cepat dan berkontribusi nyata terhadap ketahanan pangan. Produksi dan perdagangan terigu telah menjadi bagian dari sistem pangan, industri, dan ekonomi nasional sehingga pengendalian yang tidak cermat dapat menimbulkan gejolak sosial dan ekonomi. Membiarkan berjalan tanpa kendali dapat menimbulkan kesulitan pangan dimasa mendatang, sebaliknya mengatur secara ketat menimbulkan persoalan sosial dan ekonomi terkait kesempatan kerja. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan komprehensif yang mendorong perkembangan industri tepung komposit. Penyelarasan antara pertumbuhan konsumsi tepung dengan pemanfaatan bahan pangan lokal melalui pengembangan tepung komposit perlu diatur dengan kebijakan komprehensif yang kondusif. Kebijakan yang diperlukan meliputi pendampingan, keringanan, dan promosi. Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai ditanggung pemerintah dapat dipertimbangkan sebagai salah satu upaya mendorong importir gandum dan industri terigu untuk mengembangkan tepung komposit.
Tinjauan Konseptual Mikro-Makro Daya Saing dan Strategi Pembangunan Pertanian nFN Saptana
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 28, No 1 (2010): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v28n1.2010.1-18

Abstract

EnglishPolicy makers and economists are interested in competitiveness concept and try to implement in the economic development. Competitiveness has several perspectives, i.e. economic perspective, business, and politic. Competitivess could also be reviewed in a micro perspective (company level) and macro perspective (national level). This paper examines the competitiveness concept in terms of micro and macro perspectives. The micro perspective would be useful in agricultural development, especially in crop selection and in endeavor to change comparative to competitive advantages. The macro perspective should be useful to improve national competitiveness trough various fiscal policies of real sector. The study revealed that several agricultural commodities have competitive and comparative advantages, but the competitiveness susceptible to external fluctuation. The changes from comparative to competitive advantage require government intervention to control market distortion and to reduce the high transaction cost economy. Meanwhile, the changes from competitiveness at company level to competitiveness at national level need an integrated macro economic policies and micro economic activities.  IndonesianPakar ekonomi dan pengambil kebijakan telah memberikan perhatian besar terhadap konsep daya saing dan mencoba mengoperasionalkan dalam pembangunan ekonomi. Konsep daya saing dimaknai dari berbagai perspektif, antara lain perspektif ekonomi, bisnis, dan politik (kebijakan). Di samping itu, ada yang memaknai dalam perspektif mikro (perusahaan) dan perspektif makro (nasional). Tulisan ini berusaha mengkaji konsep daya saing dalam perspektif ekonomi baik mikro maupun makro.  Kajian dari perspektif mikro diharapkan berguna dalam pembangunan pertanian terutama untuk menentukan pilihan komoditas dan upaya mewujudkan keunggulan komperatif menjadi keunggulan kompetitif. Sementara itu, dari kajian dalam perspektif makro diharapkan berguna membangun daya saing nasional melalui berbagai kebijakan makro terutama melalui kebijakan fiskal di sektor riil.  Secara mikro beberapa komoditas pertanian Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, namun keunggulan yang dimiliki rentan terhadap gejolak eksternal. Untuk mewujudkan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif diperlukan adanya kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk menghilangkan adanya distorsi pasar dan menekan tingginya biaya transaksi. Sementara itu, untuk mewujudkan daya saing di tingkat mikro (perusahaan) menjadi daya saing di tingkat makro (nasional) diperlukan adanya keterpaduan antara kebijakan makro dan kegiatan ekonomi mikro.
Industri Perunggasan: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan nFN Saptana; Rosmijati Sayuti; Khairina M. Noekman
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 20, No 1 (2002): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v20n1.2002.50-64

Abstract

EnglishRegarding sustainable economic development, the government have to consider three main roles, i.e. : to accelerate growth through efficiency improvement, to generate equity and justice, and to maintain stability as well as macro-economic growth. The economic system being exclusively bias to one of the said economic dimensions will not sustainable in the long-run. The assessment which accommodate complementary growth and equity on poultry industry is important, due to structural problems on the respective industry, in addition to marginalization of smallholder poultry farmers. Government policies being bias toward economic growth in the condition of economic crisis have substantial negative impact on national poultry industry. IndonesianDalam konteks pembangunan ekonomi berkelanjutan pemerintah mempunyai tiga fungsi sentral yaitu meningkatkan efisiensi guna mempercepat pertumbuhan, menciptakan pemerataan dan keadilan, memacu pertumbumhan ekonomi secara makro dan menjaga stabilitasnya. Suatu sistem perekonomian yang bias ke salah satu tujuan akan menghasilkan kinerja pembangunan ekonomi yang rapuh. Dalam kontek ini, kajian yang memadukan antara pertumbuhan dan pemerataan pada industri perunggasan di pandang sangat relevan, karena pada bidang usaha ini telah terjadi ketimpangan struktur pasar input, pasar hasil (output), integrasi vertikal dan horisontal, dan tersisihnya peternakan rakyat. Kebijakan pemerintah yang bias ke pemacuan pertumbuhan ekonomi adanya dampak krisis ekonomi berkepanjangan telah berdampak buruk pada kinerja industri perunggasan
Masalah Pertanahan di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Tindak Lanjut Pembaruan Agraria nFN Sumaryanto; nFN Syahyuti; nFN Saptana; Bambang Irawan
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 20, No 2 (2002): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v20n2.2002.1-19

Abstract

EnglishFor many years, to spoor agricultural growth and development Indonesia has been being constrained by its problems of land tenure. Land ownership and holding by farmers are very small, unconsolidated, and deteriorated. The tenure has not been being improved because of inconsistent both policy and its implementation. Assuming that Tap MPR RI No. IX/MPR/2001 with regard to agrarian reform and natural resource management reflected political will of the nation, we need some inputs for its follow up. To meet the need, better understanding of land tenure and its relation to both agricultural and rural development is required. IndonesianSalah satu masalah mendasar yang dihadapi Indonesia dalam membangun sistem pertanian yang tangguh adalah struktur pengusaan yang tidak terkonsolidasi, serta penguasaan rata-rata per petani yang sangat kecil dan timpang. Sampai saat ini upaya memperbaiki struktur penguasaan tanah tidak tercapai. Hal itu merupakan akibat dari rumusan kebijaksanaan yang tidak mampu mengakomodasi faktor-faktor strategis dalam masalah pertanian dan implementasi kebijaksanaan yang kurang konsisten. Dengan anggapan bahwa Tap MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Penguasaan Sumberdaya Alam mencerminkan aspirasi politik bangsa, maka arah perbaikan menjadi lebih terbuka. Dalam konteks demikian itu, pemahaman masalah pertanahan secara komprehensif sangat di perlukan agar tindak lanjut Tap tersebut mencapai sasaran. Tulisan ini mencoba menginventarisasi, mengidentifikasi dan membahas konstelasi permasalahan di bidang pertanahan yang secara empiris sangat kompleks. sasarannya adalah meningkatkan pemahaman dan kearifan dalam merumuskan kebijaksanaan di bidang pertanahan dan implementasinya.
Prospek Model-Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) Dan Replikasi Pengembangan KRPL nFN Saptana; nFN Sunarsih; Supena Friyatno
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 31, No 1 (2013): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v31n1.2013.67-87

Abstract

EnglishFood security issues deal with critical problem, namely food demand grows faster than that of production. To achieve food self-sufficiency and food security, the Ministry of Agriculture Indonesia through Indonesian Agency for Agricultural Research and Development develops the Model of Sustainable Food Houses Region (M-KRPL) and its replication, namely the Sustainable Food Houses Region (KRPL). The concept of M-KRPL and KRPL programs needs to be refined primarily due to program design, implementation period, implementing organizations, introduced technologies, and strengthened local institutions. Implementation of M-KRPL and KRPL should be carried out through excellent social process and stages of growth, i.e. growing, developing, maturation, and self-reliance. M-KRPL replication should take account the technology use as well as community empowerment. M-KRPL and KRPL is promising in terms of technical, economic and institutional aspects. Important policy implications are: (a) taking accounts the technical aspect and social-economic characteristics of the targeted groups, (b) program period must be at least three years along with the growth stages; (c) the main M-KRPL and KRPL implementing organizations are the Assessment Institute for Agricultural Technology (AIATs) and Regional governments, respectively; (d) the technology introduced consists of nursery, farm practice, post harvest, and processing; and (e) managerial and capital development. IndonesianPembangunan ketahanan pangan dihadapkan pada permasalahan pokok, dimana pertumbuhan permintaan pangan adalah lebih cepat dari pertumbuhan produksinya. Dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan dan ketahanan pangan, Kementerian Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian mengembangkan Model Kawasan Rumah pangan Lestari (M-KRPL) dan replikasinya menjadi Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Konsep program M-KRPL dan KRPL perlu disempurnakan terutama terkait dengan rancangan program, jangka waktu pelaksanaan, organisasi pelaksana, serta teknologi yang diintroduksikan dan penguatan kelembagaan lokal. Payung hukum M-KRPL dan KRPL adalah : UU No.7 tahun 1966 tentang Pangan; PP No.68 tantang Ketahanan pangan; PP No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal; serta PP No. 43 tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.  Implementasi replikasi M-KRPL menjadi KRPL seyogyanya dilakukan melalui proses sosial yang matang melalui tahap penumbuhan, pengembangan, pematangan, dan kemandirian.  Replikasi M-KRPL menggunakan entry point teknologi dan sekaligus kelembagaan, serta berdasarkan prinsip pemberdayaan masyarakat.  Pengembangan M-KRPL dan KRPL memiliki prospek baik dan berlanjutan ditinjau dari aspek teknis, ekonomi dan kelembagaan. Implikasi kebijakan penting adalah : (a) rancangan program harus memperhatikan aspek teknis dan karakteristik sosial ekonomi kelompok sasaran; (b) jangka waktu program minimal 3 (tiga) tahun melalui tahap penumbuhan, pengembangan, dan kemandirian; (c) organisasi pelaksana utama M-KRPL adalah BPTP, sedangkan KRPL adalah Pemerintah Daerah; (d) teknologi yang diintroduksikan mencakup teknologi pembibitan, budidaya, serta pasca panen dan pengolahan hasil; dan (e) penguatan kelembagaan pengelola M-KRPL dan KRPL baik dari aspek manajemen, permodalan, dan partisipasi anggota.