Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Sumber Daya Manusia dan Pengelolaan Lahan Pertanian di Pedesaan Indonesia Faisal Kasryno
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 18, No 1-2 (2000): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v18n1-2.2000.25-51

Abstract

EnglishAgricultural development during the last three decades was able to stimulate the growth of agricultural produciton, and decrease the number of poor people in rural areas. The benefits accured from the development however, were still unevenly distributed, especially when taking account on farmers' family welfare, which was still far from what has formerly been expected. Viewed from the aspect of human resource development it can be showen that labour productivity in the agricultural sector was still far behind those in the other sectors, and this was mainly due to the large portion of labour concentrated in agriculture, resulting in an average contribution of labour in agriculture of 26 hours per week per labourer, compared with those of the other sectors which is 44 hours per week per labourer. One cause of this was the bimodal or dual policy in economy, applied in agricultural development in Indonesia, which is noncundicive for developing a sector with surplus of labourer like agriculture. A strategy of unimodal agricultural development, giving priority to small scale family operated farmlands by providing access to arable lands, technology and financial resources, is therefore considered a proper strategy to be implemented in the future. For implementing this policy, support from macro-economic policy through establishment of proper exchange value and interest rate in accordance with market mechanism accompanied by a balanced and fair fiscal policy should be recommended. IndonesianPembangunan pertanian selama tiga dasa warsa yang lalu telah berhasil memacu pertumbuhan produksi pertanian dan mengurangi jumlah penduduk miskin di pedesaan. Walaupun demikian ditinjau dari aspek pemerataan pemanfaatan hasil pembangunan apalagi terkait dengan kesejahteraan petani, maka dapat dikatakan bahwa apa yang dicapai masih jauh dari yang diharapkan. Dari aspek pengembangan sumber daya manusia, produktivitas tenaga kerja pertanian masih jauh di bandingkan sektor lainnya, dan ini terutama disebabkan masih besarnya porsi tenaga kerja yang bekerja di pertanian, sehingga rata-rata partisipasi tenaga kerja pertanian hanya 26 jam per minggu, jauh dibawah sektor lainnya yang telah mencapai 44jam per minggu. Salah satu penyebab dari kenyataan diatas akibat diterapkannya kebijakan Bimodal atau dual economy dalam pembangunan pertanian di Indonesia, yang kurang kondusif bagi sektor yang surplus tenaga kerja seperti pertanian. Strategi pembangunan pertanian Unimodal dengan memberikan prioritas pada pengembangan pertanian keluarga skala kecil dan meningkatkan akses mereka terhadap lahan, teknologi dan sumber pembiayaan merupakan salah satu strategi yang tepat untuk di lakukan pada masa yang akan datang. Agar kebijaksanaan ini dapat terlaksana dibutuhkan dukungan kebijaksanaan Ekonomi makro melalui kebijakan nilai tukar dan tingkat suku bunga yang mengikuti mekanisme pasar serta kebijaksanaan fiskal yang berimbang dan adil.
Aspek Ekonomi Pengembangan Transmigrasi Dengan Pola Usaha Peternakan I Wayan Rusastra; Nizwar Syafa'at; Faisal Kasryno
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 5, No 1-2 (1987): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v5n1-2.1987.22-30

Abstract

IndonesianKajian ini menggunakan data sekunder dan tinjauan tentang pengembangan transmigrasi berpolakan peternakan. Disamping itu juga diperkaya dengan hasil pengamatan langsung di daerah transmigrasi Sarolangun-Bangko Jambi. Di daerah transmigrasi dengan pola tanaman pangan dan perkebunan, usaha peternakan perlu diarahkan menjadi komponen penting dalam usahatani dengan sasaran optimalisasi kegiatan dan kelestarian usahatani tanaman. Pergeseran ini hendaknya dilakukan secara selektif, dengan mengembangkan pola tanam tumpangsari pada budidaya tanaman pangan yang menjamin ketersediaan pakan dan pengembangan padang-penggembalaan pada lahan di bawah tanam perkebunan. Pemilihan jenis ternak pada transmigrasi yang sejak semula dirintis berpolakan peternakan hendaknya telah mempertimbangkan potensi wilayah, aspek kemudahan pelayanan, transportasi, pemasaran dan kecukupan penyediaan pangan dan pakan penguat. Pengembangan pola ini membutuhkan lahan per kepala keluarga yang cukup luas, sehingga perlu usaha reformasi paket program transmigrasi yang berjalan selama ini. Realisasinya sebaiknya dikaitkan dengan program Ternak Inti Rakyat dan petani transmigrasi hendaknya dipilih petani maju yang berorientasi wiraswasta.
Analisa Ekonomi Usaha Ternak Kerbau di Indonesia I Wayan Rusastra; Faisal Kasryno
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 3, No 1 (1984): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v3n1.1984.20-27

Abstract

IndonesianPotensi ternak kerbau secara nasional adalah cukup penting. Pada tahun 1979, jumlah peternak diperkirakan sekitar satu juta petani dengan rata-rata pemilikan 2,4 ekor per usahatani. Proporsinya tercatat 21 persen terhadap total ternak secara keseluruhan, termasuk babi dadn unggas. Permasalahan pokok yang dihadapi peternakan kerbau di Indonesia adalah menurunnya populasi ternak. Secara umum penyebabnya adalah kurang berkembangnya teknologi peternakan, dampak pembangunan ekonomi termasuk pembangunan dalam sektor pertanian, merosotnya daya dukung lingkungan di Jawa, dan faktor sosial budaya masyarakat. Sudah saatnya perhatian yang serius dalam bidang penelitian dan pengembangan ditujukan pada jenis ternak ini yang disesuaikan dengan daya dukung wilayah pengembangannya. Hanya penemuan teknologi yang tetap guna dan tepat sasaran yang akan bisa menyelamatkan ternak kerbau dari kemunduran mutu genetis dan populasinya. Respon positip dari para peternak tidak perlu diragukan, mengingat jenis ternak ini mempunyai fungsi yang luas bagi pemiliknya.
Reformulasi Kebijaksanaan Perberasan Nasional Faisal Kasryno; Pantjar Simatupang; Effendi Pasandaran; Sri Adiningsih
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 19, No 2 (2001): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v19n2.2001.1-23

Abstract

EnglishRapid rice production growth leading to the achievement of rice self sufficiency in 1984 came from productivity and harvested area which both had been growing rapidly as the results of technological break through (the Green Revolution), infrastructure development, rice field extensification and comprehensive incentive as well as facilitating policies. It was a phenomenal achievement. The rice self sufficiency was proven not sustainable, however. This review shows that since mid 1980's rice production growth has been slowing down and increasingly unstable value to innovation stagnation, over intensification syndrome, over extensification and land conversion, declining incentives and institutional fatigue. Indonesia has become rice net importer since early 1990's and even the largest world rice importer since late 1990's that undermines national food security. Revitalization of trend rice sector has become an imperative strategic national policy agenda. The paper also discusses some policy options for revitalizing the rice sector. IndonesianPesatnya pertumbuhan produksi beras yang memungkinkan Indonesia meraih swasembada beras pada tahun 1984 berasal dari pertumbuhan produktivitas dan luas panen sebagai hasil dari terobosan teknologi (Revolusi Hijau), pembangunan infrastruktur, perluasan areal, dan kebijakan insentif maupun fasiltasi yang komprehensif. Keberhasilan tersebut sungguh fenomenal. Namun demikian, swasembada berat tersebut terbukti tidak berkelanjutan. Ulasan ini menunjukkan bahwa sejak pertengahan tahun 1980'an pertumbuhan produksi beras telah mengalami perlambatan dan semakin tidak stabil pula sebagai akibat dari stagnasi inovasi, sindrome over intensifikasi, over ekstensifikasi dan konversi lahan, penurunan insentif dan kelesuan institusional. Indonesia telah menjadi importif netto beras sejak awal tahun 1990-an dan bahkan menjadi importif terbesar di dunia sejak akhir tahun 1990'an sehingga ketahanan pangan nasional semakin rawan. Revitalisasi sektor perberasan nasional merupakan salah satu agenda kebijakan strategis mendesak. Makalah ini juga membahas beberapa opsi kebijakan dalam rangka revitalisasi sektor perberasan nasional.