Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

IMPLEMENTASI KONSEP PEMIDANAAN INTEGRATIF MELALUI PIDANA BERSYARAT (SUATU PENELITIAN DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI BANDA ACEH) Ainal Hadi
Jurnal Hukum dan Keadilan "MEDIASI" Vol 1, No 3 (2011)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37598/jm.v1i3.310

Abstract

Pidana bersyarat pada dasarnya dapat mewujudkan tujuan pemidanaan yang integratif. Implementasi  konsep  pemidanaan  integrative tersebut tercermin pada dasar pertimbangan dalam  penjatuhan pidana bersyarat  dan pelaksanaan pengawasan dan pembimbingan terpidana bersyarat.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dasar pertimbangan penjatuhan pidana bersyarat, pelaksanaan pengawasan dan pembimbingan terpidana bersyarat, implemtasi konsep pemidaan integrative pada pidana bersyarat.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan  penjatuhan pidana bersyarat didasarkan pada: kerugian yang ditimbulkan tindak pidana, terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana, terdakwa masih berusia muda/anak, terdakwa telah  membayar ganti kerugian kepada korban, tindak pidana terjadi di aklangan keluarga, terdakwa tidak ditahan. Pelaksanaan pengawasan oleh kejaksaan masih bersifat pemantauan (pasif), sementara pembimbingan terpidana bersyarat oleh BAPAS tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada penyerahan terpidana bersyarat dari  jaksa kepada; Konsep pemidanaan integrative sebahagian sudah dapat diterapkan pada pidana bersyarat sebagai sarana perlindungan masyarakat, sarana solidaritas social, dan sarana pengimbalan, namun masih sangat kurang sebagai sarana pencegahan khusus.Disarankan kepada pemerintah agar dibentuk suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemberi advis kepada hakim dalam penjatuhan pidana bersyarat, disamping perlu ditunjuk lembaga pengawas peradilan untuk bertindak sebagai coordinator dalam pengawasan dan pembimbingan terpidana bersyarat.Kata kunci: implementasi, pemidanaan integratif, pidana bersyarat
Pemenuhan Hak Ganti Rugi Terhadap Korban Tindak Pidana Melalui Penggabungan Perkara Berdasarkan Pasal 99 KUHAP Mahathir Rahman; Ainal Hadi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 3, No 2: Mei 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pasal 99 KUHAP menyebutkan bahwa, “Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut” Namun pada kenyataannya beberapa tindak pidana  yang menimbulkan kerugian pada korban hanya menjatuhkan pidana terhadap pelaku, tetapi ganti rugi tidak di berikan kepada korban yang menderita kerugian yang sangat menderita kerugian yang tidak sedikit. Tujuan artikel ini untuk menjelaskan tidak adanya penggabungan perkara ganti kerugian terhadap korban yang di rugikan secara materil di dalam tindak pidana dan untuk menjelaskan pengaruh pemidanaan terhadap pelaku akibat tidak adanya penggabungan perkara ganti kerugian serta untuk menjelaskan pertimbangkan sanksi ganti kerugian bagi korban. Perolehan data dalam penulisan artikel ini dilakukan dengan cara menggunakan metode penelitian hukum empiris atau metode penelitian lapangan (field research) untuk mengumpulkan data primer yang diperoleh dengan melakukan teknik pengumpulan data wawancara dengan responden dan informan, dan data lainya yang di baca melalui buku buku yang selanjutnya dijadikan alat analisis dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah diidentifikasi dalam rumusan permasalahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya penggabungan perkara yang terjadi di Pengadilan Negeri Banda Aceh, disebabkan oleh tidak adanya pengetahuan hukum dari korban sendiri untuk mengajukan penggabungan perkara yang seharusnya korban sendiri yang mengajukan. Tidak adanya pengaruh pemidanaan pelaku terhadap perkara yang tidak di ajukan penggabungan perkara. Adanya pertimbangan sanksi ganti kerugian korban melalui penggabungan perkara adalah korban mengajukan sendiri penggabungan perkara tersebut. Perlu adanya upaya penggantian kerugian terhadap korban yang dirugikan. Dan harus adanya upaya khusus agar hak hak korban tindak pidana lebih diperhatikan dengan seksama agar hak korban dapat terpenuhi dengan baik dan tidak adanya hambatan dalam pemenuhan hak korban serta haruslah adanya bimbingan dari berbagai pihak untuk menedukasi korban agar dapat mengajukan penggabungan perkara.
Tindak Pidana Tidak Hadir Tanpa Izin (THTI) Dalam Waktu Damai Muhammad Jabirullah; Ainal Hadi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 3, No 2: Mei 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Adapun tujuan yang hendak penulis capai dalam penulisan Jurnal Ilmiah ini adalah untuk mengetahui faktor  penyebab TNI melakukan  tindak pidana THTI, untuk mengetahui  upaya penanggulangan tindak pidana THTI dan untuk mengetahui hambatan dalam penanggulangan THTI TNI dalam waktu damai. Data yang diperoleh dalam penulisan Jurnal Ilmiah ini berupa data penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder dengan mengkaji peraturan perundang-undangan, buku-buku dan pendapat para ahli hukum yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Sedangkan penelitian lapangan dimaksudkan untuk memperoleh data primer dengan mewawancarai responden. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa, tindak pidana THTI TNI dalam waktu damai terjadi karena disebabkan oleh faktor memiliki permasalahan pribadi, kepentingan yang mendesak, faktor mental, faktor ekonomi (keuangan) dan faktor lingkungan. Kemudian upaya penanggulangan dilakukan melalui upaya pengawasan dari komandan satuan, melaksanakan tugas penyidikan, melaksanakan tugas penuntutan dan mengadili pelaku. Hambatan-hambatan dalam penanggulangan Tindak Pidana Tidak Hadir Tanpa Izin (THTI) dalam waktu damai yaitu karena tempat tinggal prajurit di luar kawasan satuan/militer dan pelaku yang melarikan diri hilang jejak. Disarankan kepada Komando Pendidikan dan Latihan Militer agar meningkatkan pendidikan dan latihan kepada anggota TNI agar senantiasa disiplin dan bertanggung jawab terhadap tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang prajurit. Kepada Komandan tiap-tiap satuan agar meningkatkan pengawasan dan pembinaan prajurit di bawah Komandonya. Kepada para penegak hukum agar menindak tegas para prajurit yang melakukan THTI guna meminimalisir pelaku tindak pidana THTI.
Tindak Pidana Penipuan Dengan Modus Menggandakan Uang Medi Syahputra; Ainal Hadi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 3, No 2: Mei 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pasal 378 KUHP menyebutkan bahwa “Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedanigheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Dalam prakteknya tindak pidana penipuan dengan modus penggandaan uang masih terjadi di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Banda Aceh. Hasil penelitian menjelaskan bahwa faktor penyebab pelaku melakukan tindak pidana penipuan dengan modus menggandakan uang yaitu karena pelaku ingin mendapatkan uang dengan cara cepat. Dimana pelaku melihat bahwa korban bisa dengan mudah untuk dipengaruhi karena terdesak keperluan ekonomi, sehingga memunculkan niat pelaku untuk melancarkan rencananya dengan melakukan penipuan terhadap korbannya. Hambatan yang dialami oleh pihak Kepolisian dalam menangani kasus tindak pidana penipuan dengan modus menggandakan uang yaitu karena pihak Kepolisian sulit menemukan alat bukti yang digunakan oleh pelaku serta keterangan yang berbelit yang diberikan oleh pelaku. Upaya penanggulangan pihak Kepolisian yaitu melakukan himbauan kepada masyarakat, jangan mudah mempercayai bujuk rayu seseorang yang mencurigakan serta sosialisasi secara menyeluruh kepada seluruh elemen masyarakat. Disarankan kepada masyarakat agar bekerja lebih keras, rajin serta jujur dalam mencari rezeki tidak perlu mencari rezeki dengan cara menyimpang seperti mempercayai akan hal gaib, memberikan sanksi hukuman yang tegas terhadap para pelaku sehingga menimbulkan efek jera serta Diharapkan juga kepada masyarakat agar jangan mudah tergiur dengan seseorang yang mengaku bisa melakukan penggandaan uang karena itu salah satu cara yang dilakukan oleh orang tersebut untuk mendapatkan keuntungan pribadi orang tersebut.
PELAKSANAAN PEMENUHAN HAK NARAPIDANA ATAS CUTI MENGUNJUNGI KELUARGA DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS II B BANDA ACEH Reiki Saputra; Ainal Hadi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 1, No 1: Agustus 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (129.015 KB)

Abstract

Abstrak - Tujuan dari penulisan skripsi ini untuk menjelaskan pelaksanaan cuti mengunjungi keluarga bagi narapidana di Rutan Kelas II B Banda Aceh, untuk menjelaskan hambatan dalam pelaksanaan cuti mengunjungi keluarga bagi narapidana di Rutan Klas II B Banda Aceh dan untuk menjelaskan upaya yang telah di lakukan dalam mengatasi hambatan.Hasil penelitian menunjukkan pemberian hak cuti mengunjungi keluarga bagi narapidana terdapat 2 (dua) macam pelaksanaan, yaitu cuti mengunjungi keluarga secara biasa (telah di atur Undang-Undang) dan cuti mengunjungi keluarga secara mendesak (insidentil). Hambatan dalam pelaksanaan cuti mengunjungi keluarga terhambat oleh tahapan birokrasi yang panjang, permasalahan koordinasi antara pihak Rutan dan Kepolisian dalam melakukan pengawalan, sulitnya keluarga narapidana mendapatkan dukungan dari Keuchik setempat. Upaya yang telah di tempuh ialah dengan memberikan cuti mengunjungi keluarga yang bersifat mendesak (insidentil) tersebut, melakukan MoU dengan pihak Kepolisian sampai dengan menyurati dan melakukan komunikasi melalui handphone.Kata Kunci : Cuti Mengunjungi Keluarga, Rutan Klas II B Banda Aceh, Narapidana. Abstract - The purpose of this research is to explain the implementation of home leave for prisoners in Penitentiary Class II B Banda Aceh, to explain the obstacles in the implementation of home leave for prisoners in Penitentiary Class II B Banda Aceh and to explain the efforts that have been done in overcoming the obstacles. The results showed that there are two kinds of implementation of home leave entitlements for prisoners, the home leave in the usual (already set in Law) and urgent home leave (incidental). Obstacles in the implementation of home leave hampered by lengthy bureaucratic stages, coordination problems between the penitentiary and police in conducting the escort, inmate families difficulty in getting support from local Keuchik (head of village). Efforts have been made in this context are entitlement of urgent home leave (incidental), the conduct of the MoU with the police up by writing and communication through mobile phones with the police.Keywords : home leave, Penitentiary Class II B Banda Aceh, prisoners
TINDAK PIDANA MEMPERNIAGAKAN SATWA YANG DILINDUNGI JENIS LANDAK DAN PENEGAKAN HUKUMNYA (SUATU PENELITIAN DI KABUPATEN ACEH BARAT) Rudika Zulkumardan; Ainal Hadi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 1, No 1: Agustus 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (256.238 KB)

Abstract

Abstrak - Pasal 21 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemmenyebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana dalam Pasal 40 ayat (2) dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Namun kenyataannya masih terdapat tindak pidana memperniagakan satwa yang dilindungi seperti jenis landak dan beberapa kasus diproses di luar pengadilan sebagaimana terjadi di Kabupaten Aceh Barat.Hasil penelitian menunjukkan Faktor penyebab terjadinya tindak pidana memperniagakan satwa landak ialah faktor ekonomi, adanya kesempatan,lemahnya penegakan hukum serta masyarakat tidak mengetahui bahwa landak adalah satwa yang dilindungi. Alasan beberapa kasus tindak pidana memperniagakan satwa landak diproses diluar pengadilan karena kurangnya koordinasi antara pihak terkait dalam hal ini BKSDA dan Kepolisian dengan masyarakat, mengutamakan perlindungan satwa, serta kesulitan dalam penyelidikan. Upaya  menanggulangi tindak pidana memperniagakan satwa landak dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 serta melakukan patroli rutin di daerah yang diduga sering terjadi tindak pidana memperniagakan satwa yang dilindungi.Disarankan kepada pihak BKSDA, Kepolisian agar meningkatkan kinerja dalam menanggulangi tindak pidana, menjalin kerjasama dengan lembaga atau LSM terkait dalam menanggulangi tindak pidana memperniagakan satwa yang dilindungi serta lebih sering melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan aktif melakukan patroli rutin.Kata Kunci : Konservasi, Satwa dilindungi Abstract - Article 9 paragraph (2) letter a Act No. 5 of 1990 on Conservation of Natural Resources and Ecosystems mention that every person is prohibited to "catch, injure, kill, possess, store, maintain, transport, and trade in protected wildlife alive", violations of these provisions is liable to a criminal in article 40 paragraph (2) "whoever intentionally committing a breach of the provisions referred to in Article 9 paragraph (1) and paragraph (2) and Article 33 paragraph (3) are convicted with imprisonment the longest 5 (five) years and a maximum fine of Rp 100,000,000.00 (one hundred million rupiah). But in reality there is still crime trade protected wildlife such as sea urchin and some types of cases processed outside of court that occurred in the district of Aceh Barat. The results showed the factors cause the occurrence of criminal acts of illegal wildlife trade Hystrix Brachyura is the economic factor, there is a chance, weak law enforcement and the public doesn't know that Hystrix Brachyura is a protected wildlife. The reason some cases of criminal acts of illegal wildlife trade Hystrix Brachyura is processed outside of court due to lack of coordination between related parties in this case BKSDA and the police with the community, giving priority to the protection of wildlife, as well as difficulties in the investigation. Efforts to tackle illegal wildlife trade crime Hystrix Brachyura conduct socialization about the Act No. 5 of 1990 on Conservation of Natural Resources and Ecosystems And Biodiversity as well as conducting regular patrols in the area allegedly strong frequent criminal acts of trade protected wildlife. It is recommended to the BKSDA, in order to improve the performance of the police force in tackling crime, establish cooperation with related agencies in tackling the crime trade protected wildlife and more often perform socialization to society and actively conducting a routine patrol.Keywords : Conservation, protected wildlife
Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Penipuan Jual Beli Sepeda Motor Apriyanda Apriyanda; Ainal Hadi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 3, No 2: Mei 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mengenai peraturan tindak pidana penipuan diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatakan, “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau secara melawan hukum, dengan nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberikan utang maupun menghapus piutang, diancam penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” Pada kenyataannya telah terbukti secara nyata dilakukan di Kabupaten Aceh Selatan yang diselidiki oleh pihak kepolisian Kabupaten Aceh Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor terjadinya tindak pidana penipuan jual beli sepeda motor, bagaimana cara pelaku melakukan penipuan jual beli sepeda motor, serta bagaimanakah penanggulangan tindak pidana penipuan jual beli sepeda motor.Data dalam penulisan artikel ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data sekunder dengan cara membaca dan menganalisis peraturan perundang-undangan, buku-buku, artikel dan bahan lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer melalui wawancara dengan responden dan informan.Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa faktor terjadinya tindak pidana penipuan jual beli sepeda motor karena faktor ekonomi, faktor lingkungan dan faktor kesempatan, modus operandi tindak pidana penipuan jual beli sepeda motor yaitu jual beli online, menyuruh korban untuk mentransfer uang sebagai tanda jadi, dengan alasan barang dibeli secara tunai bukan kredit dan dengan alasan STNK dan BPKB yang belum dikeluarkan. Upaya penanggulangan yaitu upaya Prenventif dan upaya Represif.Disarankan kepada pemerintah seharusnya menyediakan lapangan pekerjaan dan memberi bantuan kepada masyarakat yang kurang mampu serta memperbaiki lingkungan masyarakat supaya menjadi lebih baik, disarankan kepada masyarakat agar tidak mudah terpengaruh terhadap harga barang yang lebih murah dibandingkan harga barang pada umumnya, Disarankan kepada Penegak hukum untuk lebih meningkatkan pengawasan serta upaya-upaya lebih lanjut dalam pencegahan tindak pidana penipuan jual beli sepeda motor.
Pengulangan Tindak Pidana Memiliki Bagian-Bagian Satwa Yang Dilindungi Dan Penerapan Hukumnya Afrijal Afrijal; Ainal Hadi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 3, No 2: Mei 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Residive adalah pengulangan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang pernah dihukum karena perbuatan pidana yang telah dilakukan lebih dahulu, kemudian melakukan kejahatan lagi, dan didalam kejahatan sebelumnya sudah diputuskan oleh hakim sedangkan waktu yang dilakukannya kembali belum mencapai 5 tahun. Pasal 21 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk “memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ketempat lain di dalam atau diluar Indonesia”, pelanggaran ketentuan ini diancam dengan pidana dalam Pasal 40 ayat (2) “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan faktor terjadinya pengulangan tindak pidana memiliki bagian-bagian satwa yang dilindungi, untuk menjelaskan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana dan untuk menjelaskan upaya penanggulangan terhadap pengulangan tindak pidana memiliki bagian-bagian satwa yang dilindungi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis empiris yaitu penelitian kepustakaan dan lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan membaca buku teks, peraturan perundang-undangan. Penelitian lapangan dilakukan dengan mewawancarai responden dan informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penyebab terjadinya pengulangan tindak pidana memiliki bagian-bagian satwa yang dilindungi dilatarbelakangi oleh faktorekonomi, adanya kesempatan dan lemahnya penegakan hukum. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana sejauh ini sudah tepat karena majelis hakim menganggap hukuman itu sudah setimpal atau sebanding dengan kesalahan yang dilakukan terdakwa serta upaya penegakan hukum yang dilakukan dalam menangani tindak pidana pengulangan tindak pidana memiliki bagian-bagian satwa yang dilindungi terdiri dari upaya melakukan sosialisasi tentang satwa yang dilindungi, melakukan penjagaan dan pengawasan. Disarankan untuk melakukan penindakan yang lebih tegas dalam menanggapi faktor penyebab pengulangan tindak pidana memiliki bagian-bagian satwa yang dilindungi dan kerjasama yang baik antara pihak kepolisian dan pihak Badan Konservasi Sumber Daya Alam.
Animal Protection in the Perspective of Positive Law and Islamic Law: A Study of Elephant-Human Conflict in Aceh, Indonesia Efendi, Efendi; Zuhri, M; Tarmizi, Tarmizi; Hadi, Ainal; Yunanda, Rizki
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 7, No 1 (2023): Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v7i1.15381

Abstract

This article talks about protecting animals from the point of view of positive law and Islamic law. It focuses on elephants and their conflicts with people. Cases of conflict between elephants and humans have continued to increase from 2015 to 2021, reaching 582 cases. This research is a normative legal study, while the approach used is the approach of legislation and Islamic law. The data studied are literature and legal norms related to positive legal rules and Islamic law. This study concludes that the government has made efforts to protect elephants by issuing various laws and regulations, both at the central and regional levels. Positional law regulates and strives for the protection of elephants, such as the prohibition of catching, injuring, killing, possessing, keeping, and even trading them. In addition, the government has taken various steps, including having mutual coordination between related agencies, involving non-governmental organizations and the community, and enforcing the law. Furthermore, to overcome conflicts between elephants and humans in the future, it is necessary to immediately implement policies related to the prohibition of land use around elephant crossings and policies to relocate people close to elephant crossing areas and provide compensation to those who are affected. From the perspective of Islamic law, the protection of animals, including elephants, is part of the benefit based on the Qur'an, hadith, and fatwas of ulemas to preserve nature, which has an impact on human survival.