Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

REKONSEPTUALISASI HAK ATAS TANAH DALAM KERANGKA PEMBAHARUAN HUKUM TANAH NASIONAL ILYAS ISMAIL; Tn. Sufyan; Tn. Azhari
JURNAL LITIGASI (e-Journal) Vol 14 No 1 (2013)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Pasundan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (606.176 KB) | DOI: 10.23969/litigasi.v14i1.91

Abstract

This paper is going to discuss the sorts of land rights recognized by laws and the implementation of such rights and recopceptualisation  related to the land reform program. Library and field researches are conducted to obtain the data. Library research is conducted by exploring the relevant laws and literatures while field research is conducted by interviewing relevant informants. The research shows that there are about 13 rights of the land that can be found in the regulations. Most of the rights on land is based on customary law which has communal concept. However, amongst such rights in the implementation still faces unjust in dividing its benefit, there is a tendency to increase the gap in owning the land and to disobey the need of housing that more complex in the limited number of it; hence the reconceptualisation  is required for the rights.  Keywords: Recopceptualisation; Land Rights; Law ReformABSTRAKTulisan  ini dimaksudkan untuk menjelaskan mengenai macam-macam hak atas tanah yang dikenal dalam ketentuan perundang-undangan,  pelaksanaan berbagai macam hak atas tanah tersebut dan rekonseptualisasi hak-hak atas tanah dikaitkan dengan restrukturisasi penguasaan tanah. Untuk mendapatkan data bagi kepentingan penulisan ini dilakukan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara menelaah ketentuan perundang-undangan dan  literatur yang relevan, sedangkan penelitian lapangan dilakukan dengan cara mewawancarai para nara sumber yang terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling tidak terdapat 13 (tiga belas) macam hak atas tanah yang terdapat pengaturannya dalam ketentuan perundang-undangan. Sebagian besar hak-hak atas tanah tersebut bersumberkan pada hukum adat yang berkonsepsi kumunalistik. Namun diantara hak-hak atas tanah tersebut dalam pelaksanaannya ada yang masih mengandung unsur pemerasan, cenderung semakin meningkatkan  ketimpangan dalam penguasaan tanah dan cenderung tidak dapat mengakomodir kebutuhan tanah yang semakin komplek dalam keterbatasan ketersediaannya, karena itu diperlukan rekonseptualisasi hak-hak atas tanah.Kata kunci:  Rekonseptualisasi; Hak Atas Tanah; Pembaharuan Hukum
Kewenangan Dinas Sosial Kota Banda Aceh Dalam Menanggulangi Gelandangan Dan Pengemis Di Kota Banda Aceh Indri Suryani; Sufyan Sufyan
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pasal 7 huruf (b) Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa, dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang menyelenggarakan Kesejahteraan Sosial di wilayahnya/bersifat lokal, termasuk tugas pembantuan. Berdasarkan hal ini, permasalahan penanggulangan gelandangan dan pengemis di wilayah Kota Banda Aceh, seharusnya menjadi kewenangan dari Dinas Sosial Kota Banda Aceh. Namun, pada prakteknya pelaksanaan kewenangan tersebut didominasi oleh Dinas Sosial Aceh. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan tentang kewenangan yang dimiliki oleh Dinas Sosial Kota Banda Aceh serta hambatan-hambatan yang dihadapi dalam menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis yang merupakan masalah sosial yang terus terjadi secara berulang dan kontinu. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat yuridis empiris, maka metode pengumpulan data yang tepat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tela’ah kepustakaan dan penelitian lapangan yang dilakukan dengan cara wawancara dalam artikel ini. Berdasarkan hasil penelitian, penanggulangan permasalahan gelandangan dan pengemis di wilayah Kota Banda Aceh menjadi kewenangan dari Dinas Sosial Kota Banda Aceh, yang berkoordinasi dengan beberapa instansi terkait lainnya, salah satunya adalah Dinas Sosial Aceh. Dalam penanggulangan permasalahan ini, Dinas Sosial Kota Banda Aceh masih belum melaksanakan kewenangannya secara efektif yang disebabkan oleh beberapa hambatan salah satunya adalah kurangnya dukungan dana/anggaran dari APBD yang diterima pertahun, selain itu juga lemahnya sanksi yang diberikan sehingga tidak mampu membuat efek jera bagi gelandangan dan pengemis, padahal dari Dinas Sosial Aceh, setiap individu gelandangan dan pengemis dan PMKS lainnya diberi Usaha Ekonomi Produkti (UEP) untuk memulai usaha setelah pembinaan, yang dana UEP itu berasal dari Kementrian Sosial. Disarankan bagi Pemerintah Kota Banda Aceh untuk meningkatkan kinerjanya dalam mengatasi permasalahan internal maupun ekstrernal,  dimulai dari pengalokasian dana APBD semaksimal mungkin, dan juga mempertegas sanksi diberikan kepada gelandangan dan pengemis yang melakukan aktivitasnya di daerah Kota Banda Aceh, sehingga permasalahan ini dapat terselesaikan secara efektif dan tidak terjadi secara terus-menerus.
PERBANDINGAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT SISTEM JUDICIAL REVIEW DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAN HUNGARIA Fadhli Zulfahmi Nst; Sufyan Sufyan
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 1: Februari 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pengujian Undang-Undang merupakan kewenangan yang diberikan kepada lembaga peradilan (dalam hal ini Mahkamah Konstitusi) untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan Konstitusi. Perkembangan sistem pengujian di berbagai negara pastilah berbeda antara satu dengan yang lain, meskipun tujuan dari sistem pengujian tetaplah sama yaitu the guardian dan the protector bagi rakyat di setiap negara. Penulisan penelitian ini bertujuan untuk mencari persamaan dan perbedaan antara sistem pengujian undang-undang (Judicial Review) dan faktor-faktor penyebab terjadinya pengujian di kedua negara sehingga nantinya dapat dijadikan bahan acuan dan pembelajaran terhadap peneliti maupun pembaca. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang kemudian data-data tersebut dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam sistem hukum Hungaria, Mahkamah Konstitusi melakukan sistem pengujian terhadap suatu undang-undang yang telah berlaku (a posteriori review) dan juga terhadap undang-undang yang belum diberlakukan (preventive review). Sedangkan di Indonesia, pengujian terhadap undang-undang itu dikenal dengan pengujian secara formil dan pengujian materiil. Meskipun kedua negara ini mengakui bahwa pengujian perundang-undang ini dilakukan sebagai sarana penjamin agar peraturan tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi dan juga sebagai pelindung warga negara terhadap aparatur negara yang memiliki wewenang untuk membuat undang-undang secara semena-mena. Selanjutnya, terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perngujian undang-undang, di Hungaria setidaknya terdapat 3 (tiga) faktor yaitu pengujian undang-undang guna menyesesuaikan terhadap perjanjian internasional, pengujian terhadap kelalaian yang unconstitutional, dan interpretasi terhadap Konstitusi, berbeda dengan Indonesia yang hanya melakukan pengujian terhadap suatu undang-undang yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi. Diharapkan untuk masa yang akan datang Mahkamah Konstitusi Indonesia dapat melakukan pengujian terhadap hal-hal yang terdapat seperti Mahkamah Konstitusi Hungaria agar seluruh aturan perundang-undangan di bawah Konstitusi sejalan dengan Konstitusi dan tujuan Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian dan the protector dijalankan seluruhnya.
KEWENANGAN PEMERINTAH KOTA BANDA ACEH DALAM PELESTARIAN MAKAM YANG TELAH DITETAPKAN SEBAGAI CAGAR BUDAYA Fajar Qadri; Sufyan Sufyan
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 5, No 4: November 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya memberi kewajiban kepada pemerintah sesuai tingkatan tempat cagar budaya ditemukan wajib untuk melindunginya. Namun demikian terdapat situs cagar budaya berupa makam yang telah ditetapkan di Kota Banda Aceh tidak terawat seperti makam tunggal I dan II. Pada komplek pemakaman terdapat kandang ternak warga sehingga menjadikan cagar budaya terkesan tidak nyaman dan tidak layak dikunjungi, terdapat beberapa makam yang mengalami ketidak layakan fungsi terhadap zonasi namun tidak terlihat tindakan lebih lanjut yang dilakukan Pemerintah Kota Banda Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kewenangan dan faktor penghambat Pemerintah Kota Banda Aceh dalam pelestarian cagar budaya serta solusi alternatif yang dilakukan Pemerintah Kota Banda Aceh dalam pelestarian cagar budaya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis empiris. Analisis permasalahan dilakukan dengan mengolah data kepustakaan dan data lapangan dengan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan kewenangan Pemerintah Kota Banda Aceh dalam Pelestaraian Cagar Budaya adalah Pemeringkatan, Pengelolaan, dan Penerbitan izin situs cagar budaya. Dalam pengelolaan belum maksimal akibat beberapa faktor penghambat, diantaranya faktor internal seperti Terbatasnya SDM, dan faktor eksternal seperti bencana alam, zonasi, serta kultur masyarakat. Solusi alternatif yang dilakukan Pemerintah Kota Banda Aceh saat ini adalah pengukuran kembali zonasi cagar budaya dan pemanfaatan SDM menggunakan pendekatan persuasif seperti sosialisasi dan membuat desa binaan. Disarankan kepada Pemerintah Kota Banda Aceh untuk melakukan penelitian kembali, menerbitkan qanun tentang cagar budaya, melibatkan masyarakat setempat berperan aktif dalam pelestarian, pembebasan zonasi atau membangun lokalisasi cagar budaya,serta mempromosikan setiap situs cagar budaya yang telah ditetapkan. Kata Kunci : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, Cagar Budaya, Makam, Pelaksanaan Pelestarian Cagar Budaya.
KONSISTENSI PENGANGKATAN SEKRETARIS GAMPONG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH (Suatu Penelitian di Wilayah Kota Banda Aceh) Aulia Kamal Pasha; Sufyan Sufyan
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 5, No 2: Mei 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak- Ketentuan pasal 116 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan sekretaris gampong yang diangkat harus Pegawai Negeri Sipil. Namun pada kenyataannya, terdapat ketidaksesuaian antara kebijakan yang telah ditetapkan dengan implementasi di lapangan. Tujuan penelitian untuk mengetahui pelaksanaan dari ketentuan Pasal 116 ayat (2) dan juga implementasi pengangkatan sekretaris gampong yang berasal dari PNS serta faktor penghambat dalam pengangkatan Sekretaris Gampong dari PNS. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif-empiris. Hasil penelitian menunjukkan pengangkatan sekretaris gampong dari PNS oleh Walikota melalui Surat Keputusan Walikota tidak dapat diterapkan dan di Kota Banda Aceh Sekretaris Gampong tidak berasal dari PNS dikarenakan beberapa faktor yang menghambat, diantaranya dianggap sebagai penghambat karir dan kurang dihargai oleh masyarakat. Pemerintah Kota Banda Aceh disarankan  mengangkat sekretaris gampong dari pegawai pemerintahan  dengan  perjanjian  kerja, hal ini diatur dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Keuchik tidak melantik serta mengeluarkan surat keputusan pengangkatan sekretaris gampong.Kata Kunci :  Pengangkatan, Sekretaris Gampong
KONSISTENSI PENGANGKATAN SEKRETARIS GAMPONG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH (Suatu Penelitian di Wilayah Kota Banda Aceh) Aulia Kamal Pasha; Sufyan Sufyan
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 7, No 2: Mei 2023
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak- Ketentuan pasal 116 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan sekretaris gampong yang diangkat harus Pegawai Negeri Sipil. Namun pada kenyataannya, terdapat ketidaksesuaian antara kebijakan yang telah ditetapkan dengan implementasi di lapangan. Tujuan penelitian untuk mengetahui pelaksanaan dari ketentuan Pasal 116 ayat (2) dan juga implementasi pengangkatan sekretaris gampong yang berasal dari PNS serta faktor penghambat dalam pengangkatan Sekretaris Gampong dari PNS. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif-empiris. Hasil penelitian menunjukkan pengangkatan sekretaris gampong dari PNS oleh Walikota melalui Surat Keputusan Walikota tidak dapat diterapkan dan di Kota Banda Aceh Sekretaris Gampong tidak berasal dari PNS dikarenakan beberapa faktor yang menghambat, diantaranya dianggap sebagai penghambat karir dan kurang dihargai oleh masyarakat. Pemerintah Kota Banda Aceh disarankan  mengangkat sekretaris gampong dari pegawai pemerintahan  dengan  perjanjian  kerja, hal ini diatur dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Keuchik tidak melantik serta mengeluarkan surat keputusan pengangkatan sekretaris gampong.Kata Kunci :  Pengangkatan, Sekretaris Gampong Abstract - Article 116 paragraph (2) of Law Number 11 of 2006 concerning the Government of Aceh states that the gampong secretary is appointed from the Civil Servant. But in reality, there is a discrepancy between the policies that have been set and implementation in the field. The purpose of writing is to find out the implementation of the provisions of Article 116 paragraph (2) and the implementation of the appointment of village secretaries from Civil Servants as well as factors that hinder the appointment of Gampong Secretaries from Civil Servants. The research method used in this research is normative-empirical. The results showed that the appointment of a village secretary who was appointed from a Civil Servant by the Mayor with a Mayor's Decree could not be applied, and in the City of Banda Aceh, the Gampong Secretary did not come from a civil servant due to several factors that hindered them, including being considered a career obstacle and not being appreciated by the community. . The Banda Aceh City Government is advised to appoint a Gampong Secretary from a government employee in accordance with the provisions of Law number 5 of 2014 concerning State Civil Apparatus and issue a Position Analysis on Gampong Secretary, and Keuchik should not inaugurate and issue a decree on the appointment of a village secretary.Keywords : Appointment, Village Secretary
Capaian Program Legislasi Aceh Basri Effendi; Sufyan Sufyan
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 22, No 2 (2020): Vol. 22, No. 2, Agustus 2020
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v22i2.16347

Abstract

Penelitian ini bertujuan menganalisis capaian program legislasi daerah dari aspek politik hukum. Program tersebut dilaksanakan setiap tahun lembaga eksekutif dan legislatif sebagai bentuk legal policy dalam menyusun suatu program, yang mana setiap program tersebut membutuhkan landasan hukum yang konstitusional. Hal ini juga menjadi salah satu indikator tercapainya good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis empiris dan análisis data kualitatif, penelitian ini menemukan bahwa tingkat keberhasilan pembahasan Program legislasi daerah di Aceh hanya 24,66% per/tahun. Ada pelbagai kendala yang menghambat pelaksanaan program legislasi daerah di Aceh, diantaranya adalah anggaran yang minim, political will yang tidak kuat, terbatasnya sumber daya manusia dengan waktu yang tersedia, serta tidak realistisnya antara jumlah qanun usulan Prolegda dengan kemampuan penyelesaian. Pemerintah dan DPR harus lebih realistis dalam menetapkan jumlah target legislasi daerah tiap tahun.  Achievement of Aceh Legislation Programs This study aims to analyze the achievements of the regional legislative program from the political law aspects. The program is carried out annually by the executive and legislative bodies as a form of legal policy in developing a program where each of which requires a constitutional legal basis. This is also one indicator of the achievement of good governance in the administration of regional government. Using empirical juridical research methods and qualitative data analysis, this study found that the success rate of discussion of the regional legislative program in Aceh was only 24.66% per year. There are various obstacles that hamper the implementation of the regional legislation program in Aceh, including a minimal budget, insufficient political will, limited human resources and time, and an unrealistic number of Prolegda's proposed qanuns and the ability to resolve the proposal. The government and Parliament should be more realistic in setting the target number of regional legislation each year.
Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ilyas Ismail; Abdurrahman Abdurrahman; Sufyan Sufyan
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 17, No 1 (2015): Vol. 17, No. 1, (April, 2015)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi, menjelaskan dan menganalisis ketentuan perundang-undangan yang mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam penyelesaian sengketa tanah. Untuk mendapatkan data bagi kepentingan penulisan ini dilakukan penelitian kepustakaan, dengan cara menelaah ketentuan perundang-undangan dan literatur yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan yang secara khusus menentukan kewenangan pemerintah daerah dalam bidang penyelesaian sengketa tanah  terdapat dalam Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Dibidang Pertanahan dan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut pemerintah daerah berwenang; (a) penyelesaian sengketa tanah garapan; (b) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; (c) penyelesaian masalah tanah ulayat; dan (d)  penyelesaian masalah tanah kosong. The Authority of Legal Government in Solving Land Dispute  ABSTRACT. This research aims to identify, explain and analyse the rules regulating the authority of local government in settling land dispute. In order obtain data library research is conducted by exploring relevant rules and literatures. The research shows that the special rule regulating the authority of local government in settling land dispute ruled in the Presidential Decree Number 34, 2003 on National Policy on Land and the Act Number 23, 2014 on Local Government. Based on these, the local government is eligible to: (a) settling the cultivating land, (b) reparation and remedy for land used for the development, (c) customary land dispute, and (d) unoccupted land.