Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

THE PREVENTION OF NEGATIVE CONTENT BY USING VPN (VIRTUAL PRIVATE NETWORK) TOWARDS WEBSITE THAT IS BLOCKED BY THE GOVERNMENT Nugroho, Wahyu; Ismunarno, Ismunarno; Setyanto, Budi
IJCLS (Indonesian Journal of Criminal Law Studies) Vol 4, No 2 (2019): Indonesian Journal of Criminal Law Studies Vol 4(2), November 2019
Publisher : Universitas Negeri Semarang (UNNES)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (301.005 KB) | DOI: 10.15294/ijcls.v4i2.21762

Abstract

This research aims to know how is the prevention of negative content that is accessed by using VPN towards website that is blocked by the government through Indonesian National Police and the obstacle of its prevention. The research conducted is non-doctrinal research, which is a research to know some practical situations. This research uses primary and secondary data. Primary data is direct interviews with the Indonesian National Police and Ministry of Communication and Informatics to know blocking efforts and regulations of applications missuse. Secondary data is obtained by literature studies. The government has blocked websites with negative content based on Minister of Communication and Informatics Regulations Article 19 years of 2014 about Handling of Websites with Negative Content. Government-blocked websites can be opened with VPN  applications. Indonesian National Police’s step in handling the missuse of VPN applications to access negative content is with the prevention efforts. There is no device missuse regulations yet makes an obstacle to prevent represively. Ministry of Communication and Informatics begins to regulate the utilization of VPN application in the terms of licensing.
URGENCY OF REGULATION REFORM OF BRIBERY OFFENCE AT PRIVATE SECTOR IN INDONESIA Umari, Nabila Ayu; Lukitasari, Diana; Ismunarno, Ismunarno
IJCLS (Indonesian Journal of Criminal Law Studies) Vol 4, No 2 (2019): Indonesian Journal of Criminal Law Studies Vol 4(2), November 2019
Publisher : Universitas Negeri Semarang (UNNES)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (300.101 KB) | DOI: 10.15294/ijcls.v4i2.21745

Abstract

Hak Korban untuk Menuntut Restitusi Akibat Tindak Pidana Korupsi Tertentu Supanto Supanto; Sulistyanta Sulistyanta; Ismunarno Ismunarno; Winarno Budyatmojo; Tika Andarani Parwitasari; Budi Setyanto; Sabar Selamet
Kosmik Hukum Vol 22, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30595/kosmikhukum.v22i1.13502

Abstract

AbstractThere is a government program for the poor in the COVID-19 pandemic situation. People who receive assistance have the right to control as a form of transparency (Law 14 of 2008 concerning Openness of Public Information) so that people are not just objects. The public generally plays a preventive role in overcoming corruption. However, the judge's decision has not been touched on the Crime of Corruption (Tindak Pidana Korupsi, TIPIKOR). Especially when the community members are in a position as "victims." Cases of social assistance (Bantuan Sosial, BANSOS) and direct cash assistance (Bantuan Langsung Tunai, BLT) can be examples of how citizens are people who have a disadvantaged position of rights due to corrupt behavior so that they "can" become victims of corruption. This research seeks to make an innovation in law enforcement. In law enforcement of corruption criminal acts, if the perpetrator has been proven guilty, the judge will generally sentence them in the form of a loss of independence, a fine, and an additional penalty in the form of criminal compensation for the loss to the state as much as the one that has been corrupted. In addition, criminals often encounter difficulties and obstacles in collecting them. Fines and additional penalties in the form of corrupted returns must be deposited into the state treasury according to the legislation. At this point, mainly for corruption cases related to social assistance to the people, the people become "victims." Why become "victims" because they have the right to get it? Because it has been stipulated in a decision, people are entitled to receive assistance from the government. For this reason, it is necessary to be given access to prosecute perpetrators for recovering the amount of assistance they should have received. The claim is based on the binding rights and obligations that must be carried out. This demand can be in the form of restitution because the people who should have received the aid did not receive it, but it was reduced. So that people can be positioned as victims. An alternative pattern of settlement by involving the victim (beneficiary), such as social assistance, will be more equitable because it will provide access to people who have been formatted as objects of sufferers. This alternative solution involving the receiving community has never been seen before. Because so far, the public can participate in law enforcement only as providers of information and reports of alleged criminal acts of corruption. This alternative is a construction of law enforcement expected to provide justice for the community. The method uses a socio-legal research approach. Research locations in Semarang and Yogyakarta. Structured interviews do primary data, and secondary data is case studies. Data analysis was carried out employing content analysis. The research urgency: (1) to overcome the problem of non-cash social assistance, which so far has caused the "victim" of the community, which is consistently formatted as an object, (2). overcome injustice by seeking a balance between services closer to justice and community welfare.Keywords: Victims, Corruption, Restitution.AbstrakTerdapat program pemerintah untuk rakyat miskin dalam situasi pandemi covid 19. Masyarakat yang mendapat bantuan mempunyai hak mengontrol sebagai wujud transparansi (UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik) sehingga rakyat tidak sekedar sebagai obyek. Masyarakat umumnya berperan secara preventif dalam penanggulangan tindak pidana korupsi. Namun dalam putusan hakim belum tersentuh dalam kaitannya dengan putusan hakim TIPIKOR. Utamanya ketika warga masyarakat dalam posisi sebagai “korban”. Kasus bantuan sosial (BANSOS) dan bantuan langsung tunai (BLT) dapat menjadi contoh bagaimana warga masyarakat adalah orang yang mempunyai posisi terugikan haknya akibat perilaku koruptif sehingga “dapat” menjadi korban tindak pidana korupsi. Penelitian ini berupaya melakukan inovatif dalam penegakan hukum. Dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, apabila terhadap pelaku telah terbukti bersalah umumnya dijatuhi putusan oleh hakim berupa pidana hilang kemerdekaan, pidana denda dan pidana tambahan berupa pidana pengganti kerugian terhadap negara sebesar yang telah dikorupsi. Untuk pidana tambahan sering menemui kesulitan dan hambatan untuk menagihnya. Pidana denda dan pidana tambahan berupa pengembalian yang dikorupsi sesuai perundang-undangan harus disetorkan ke kas negara. Pada titik inilah utamanya untuk kasus korupsi yang berkaitan dengan bantuan sosial kepada rakyat, maka rakyat menjadi “korban.” Mengapa menjadi “korban’ karena mereka telah berhak untuk mendapatkan karena telah ditetapkan dalam suatu keputusan sebagai orang yang berhak untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Untuk itulah perlu diberi akses melakukan penuntutan kepada pelaku untuk memulihkan besaran bantuan yang seharusnya mereka terima. Tuntutan tersebut didasarkan pada ikatan hak dan kewajiban yang musti dilakukan. Tuntutan ini dapat berupa restitusi karena rakyat yang seharusnya menerima bantuan ternyata tidak menerima atau menerima namun dikurangi. Sehingga rakyat dapat diposisikan sebagai korban. Suatu alternatif pola penyelesaian dengan melibatkan pihak korban (penerima bantuan) seperti bantuan sosial ini akan lebih berkeadilan karena akan memberi akses pada masyarakat yang selama ini diformat sebagai obyek penderita. Alternatif penyelesaian yang melibatkan masyarakat penerima ini belum pernah terjadi. Karena selama ini masyarakat dapat berperan serta dalam penegakan hukum sekedar pemberi informasi dan laporan dugaan tindak pidana korupsi. Alternatif ini merupakan konstruksi penegakan hukum yang diharapkan memberikan keadilan bagi masyarakat.Metode dengan pendekatan sosio-legal riset. Lokasi penelitian di Semarang dan Yogyakarta. Data primer dilakukan dengan wawancara terstruktur, data sekunder studi kasus. Analisis data dilakukan secara analisis isi. Urgensi penelitian: (1) mengatasi persoalan bantuan sosial non tunai yang selama ini telah menimbulkan “korban” masyarakat yang senantiasa diformat sebagai obyek, (2). mengatasi ketidakadilan dengan mencari keseimbangan antara pelayanan yang mendekatkan pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat.Kata kunci: Korban, Tindak Pidana Korupsi, Restitusi.
Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Teknologi Informasi di Wilayah PDM Kabupaten Klaten melalui Metode Sosialisasi Interaktif Supanto, Supanto; Ismunarno, Ismunarno; Parwitasari, Tika Andarasni; Budyatmojo, Winarno; Fitriono, Riska Andi; Widiyanti, Siwi
Gema Keadilan Vol 10, No 3 (2023): Gema Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/gk.2023.20954

Abstract

Kemajuan teknologi memengaruhi perilaku masyarakat dan dampak dari penggunaan teknologi mengindikasi kemunculan suatu tindak pidana. Phising merupakan salah satu kejahatan dunia maya yang mana seseorang dapat menyamar lalu menghubungi korbannya untuk memberikan data sensitif seperti informasi data pribadi. Informasi tersebut kemudian digunakan untuk hal-hal yang tidak bertanggung jawab sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi korban. Permasalahan maraknya kejahatan teknologi informasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hukum merupakan sarana perubahan, sehingga hukum dapat memicu perubahan dalam masyarakat dimana hukum mempunyai kekuatan sosial yang mengikat. Kegiatan sosialisasi hukum dan peraturan perundang-undangan di bidang teknologi informasi wajib untuk dilakukan, hal ini bertujuan untuk mengupayakan pencegahan penyalahgunaan teknologi informasi dalam rangka pembinaan dan peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Kegiatan Sosialisasi dilakukan dengan cara melakukan penyuluhan kepada para peserta tentang bagaimana cara pencegahan dan penanggulangan kejahatan teknologi informasi. Hasil dari kegiatan sosialisasi yang telah dilakukan adalah peserta memahami materi dengan baik.
PENGARUH MEDIA SOSIAL TERHADAP CYBERBULLYING DI KALANGAN REMAJA DI INDONESIA Parwitasari, Tika Andarasni; Supanto, Supanto; Ismunarno, Ismunarno; Fitriono, Riska Andi; Budyatmojo, Winarno
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum Vol 15, No 2 (2024): Oktober
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/jmk.v15i2.25330

Abstract

Perkembangan teknologi informasi dan penggunaan media sosial telah mempengaruhi perilaku komunikasi remaja di Indonesia, menyebabkan peningkatan kasus cyberbullying. Pengguna media sosial meningkat drastis dari 10 juta pada 2019 menjadi 160 juta pada 2020, dengan remaja usia 13-17 tahun menghabiskan rata-rata 3 jam 26 menit setiap hari di media sosial. Cyberbullying, yaitu perilaku agresif melalui media elektronik, berdampak negatif seperti kesedihan dan kecemasan pada korban. Meskipun regulasi ini tepat, diperlukan modifikasi dan upaya lebih menyeluruh untuk meningkatkan pencegahan cyberbullying. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan platform digital sangat penting. Langkah-langkah krusial meliputi pendidikan etika digital di sekolah, program konseling bagi korban, dan pengawasan orang tua. Implementasi Undang-Undang ini membutuhkan partisipasi aktif dari berbagai pihak untuk menciptakan lingkungan digital yang aman bagi remaja. Makalah ini disusun dengan menggunakan metode yuridis normatif, dan analisis literatur hukum untuk mengkaji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 yang mengatur etika dan perilaku siswa dalam penggunaan media sosial serta pencegahan cyberbullying. Undang - Undang ini menetapkan sanksi bagi pelaku cyberbullying, termasuk pidana penjara dan denda, serta mengatur distribusi informasi yang menghina atau mengancam.
Efektivitas Regulasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(Studi Perbandingan Indonesia dan Malaysia Berdasarkan Asas Keadilan) Aulia Syafikra Nur Izza; Ismunarno, Ismunarno
Jurnal Kajian Hukum Dan Kebijakan Publik | E-ISSN : 3031-8882 Vol. 3 No. 1 (2025): Juli - Desember
Publisher : CV. ITTC INDONESIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62379/zydcm850

Abstract

Penelitian ini mengevaluasi efektivitas regulasi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dan Malaysia dengan menggunakan asas keadilan (retributif, restoratif, dan prosedural) sebagai kerangka evaluatif. Metode yang digunakan adalah studi yuridis normatif dan perbandingan hukum terhadap UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 di Indonesia dan Malaysian Anti-Corruption Commission Act (Act 694) khususnya Section 17A di Malaysia. Analisis mengkaji desain normatif, kapasitas implementasi, dan outcome keadilan, serta menyajikan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan efektivitas pengaturan antikorupsi yang berkeadilan. Temuan menunjukkan bahwa Malaysia lebih progresif dalam mekanisme pertanggungjawaban korporasi dengan pembelaan 'adequate procedures', sementara Indonesia menunjukkan contoh kekuatan institusional (KPK) yang dipengaruhi oleh perubahan kelembagaan pasca-revisi UU KPK sehingga berdampak pada efektivitas penegakan.