Isngadi Isngadi
Bagian Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya/ RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Published : 41 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search
Journal : Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia

Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Sindroma Eisenmenger yang Menjalani Seksio Sesarea Dewi Puspitorini Husodo; Scarpia P; Rachma C; Isngadi Isngadi
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.22

Abstract

Pendahuluan sindroma Eisenmenger adalah penyakit jantung bawaan sianotik, termasuk di dalamnya hipertensi pulmonal dengan bidirectional maupun R-L shunt. Penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dalam kehamilan akan meningkatan derajat R-L shunt. Mortilitas maternal pada kehamilan dengan sindroma Eisenmenger dilaporkan sekitar 30–70%. Wanita 35 tahun, gravida 32–33 minggu dengan atrial septal defect (ASD )sekundum 1,5cm, regurgitasi tricuspid berat, regurgitasi pulmonal sedang, pulmonal hipertensi berat, ejection fraction (EF) 34%, gagal jantung stage C fungsional klas III, sindroma Eisenmenmenger, saturasi preinduksi 90% dengan non rebreathing mask (NRM) 10 lpm. Kasus kedua, wanita gravida 32 minggu dengan ASD sekundum, regurgitasi trikuspid berat, regurgitasi pulmonal sedang, EF 13%, gagal jantung stage C fungsional klas IV, sindroma Eisenmenger, saturasi preindukasi 66% dengan non rebreathing mask (NRM) 10 lpm. Keduanya menjalani seksio sesarea dengan anestesi umum. Pada kasus pertama, didapatkan atonia uteri yang menyebabkan perdarahan masif dan penurunan tiba-tiba pada alirah darah balik sistemik yang berujung pada kematian. Pada kasus kedua, pasien tidak dapat beradaptasi dengan aliran darah balik uterus setelah bayi lahir. Hal tersebut menyebabkan penurunan saturasi dan hipotensi yang menurunkan tekanan ventrikel kanan, yang berujung pada kematian. Sebagai simpulan, kehamilan dengan sindroma Eisenmenger memiliki insidensi kematian tinggi. Penanganan intensif multidisiplin diperlukan baik dalam operasi elektif dan gawat darurat. Baik anestesi umum maupun regional memiliki kelebihan dan kekurangan tergantung kondisi pasien saat datang. Anesthesia Management in Eisenmenger Syndrome Patient Underwent Caesarean Section Abstract Eisenmenger syndrome is a cyanotic congenital heart disease that includes pulmonary hypertension with reversed or bidirectional shunt. The decreased of systemic vascular resistance is associated with pregnancy increases the degree of right to left shunting. The maternal mortality rate of pregnancy in the presence of Eisenmenger syndrome is reported 30–70%. Female 35yo, gravida 32-33 weeks with secundum ASD 1,5cm, severe tricupid regurgitation, moderate pulmonal regurgiation, severe pulmonal hypertension, ejection fraction (EF) 34%, heart failure stage C functional class III, Eisenmenger syndrome, preinduction oxygen saturation 90% on non rebreathing mask 10 lpm. Second case, 32 weeks pregnant woman with secundum ASD, severe tricupid regurgitation, moderate pulmonal regurgiation, EF 13%, heart failure stage D functional class IV, Eisenmenger syndrome, saturation preinduction 66% on NRM 10 lpm. Both of them undergoing section caesaria with general anesthesia. In first case, uterine atony that leads to massive bleeding makes sudden decrease in systemic vascular resistence and may result in sudden death. In second case, the patient can not adapt the uterine back flow after delivery that makes the saturation decrease and sudden hypotention which make insufficient right ventricular pressure leading to mortality. As conclusion, pregnancy with Eisenmenger syndrome has high mortality incidence. Multidicipline high care treatment is needed for this case, both in elective and emergency setting. Both general and regional anesthesia have advantage and disadvantage, depends on the patient condition.
Atrial Septal Defect dengan Hipertensi Pulmonal Berat yang Dijadwalkan untuk Seksio Sesarea Muhammad Rodli; Isngadi Isngadi
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.24

Abstract

Kelainan jantung kongenital dan sistem kardiovaskular terjadi pada 7 sampai 10 per 1.000 kelahiran hidup (0,7%–1,0%). Penyakit jantung kongenital adalah bentuk penyakit bawaan yang paling umum dan sekitar 30% dari semua kejadian penyakit bawaan. Cacat jantung kongenital yang paling sering terabaikan pada masa kanak-kanak adalah Atrial Septal Defect (ASD) sekundum. Resiko operasi non-jantung akan meningkat jika ditemukan gagal jantung, hipertensi pulmonal dan sianosis. Dilaporkan kasus primigravida berumur 33 tahun, dengan usia kehamilan 32–34 minggu yang menjalani seksio sesarea. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nadi 100 x/menit (reguler), tekanan darah 115/74 mmHg, saturasi oksigen 90-94% dengan suplemen oksigen 10 L/menit, edema pada kedua tungkai, tekanan vena jugular (JVP) tidak meningkat. Hasil laboratorium dalam batas normal. Hasil echocardiografi menunjukkan adanya ASD sekundum (berdiameter 2–3 cm), bidirectional shunt dominan kanan ke kiri (sindroma Eisenmenger), regurgitasi trikuspid, hipertensi pulmonal berat dengan perkiraan tekanan sistolik ventrikel kanan 109 mmHg dan ejeksi sistolik ventrikel kiri 67%. Teknik anestesi yang digunakan adalah anestesi epidural. Dilakukan pemasangan kateter vena sentral untuk memantau tekanan vena sentral. Regimen epidural yang digunakan adalah bupivacaine plain 0,3% dan fentanyl 50 mcg total volume 15 ml dengan teknik titrasi. Selama seksio sesarea, tekanan darah stabil, detak jantung dan saturasi oksigen baik. Pasien dipantau di ruang pemulihan selama 1 jam dan kemudian dipindahkan ke ICU dan dipulangkan pada hari ke 10 pasca operasi. Kesimpulan, pasien dengan ASD dan hipertensi pulmonal yang menjalani seksio sesarea dapat dilakukan anestesi epidural dengan teknik titrasi. Atrial Septal Defect with Severe Pulmonary Hypertension was Scheduled for Cesarean Section Abstract Congenital abnormalities of the heart and cardiovascular system occur in 7 to 10 per 1,000 of live births (0.7 - 1.0%). Congenital heart disease is the most common form of congenital diseases and amounted to approximately 30% of all incidents of congenital diseases. Congenital heart defects are most often neglected in childhood is secundum atrial septal defect (ASD). The risk for non-cardiac surgery would increase if found heart failure, pulmonary hypertension and cyanosis. A 33-years old primigravida, in labor at 32-34 weeks of gestation who underwent caesarean section under epidural anesthesia. On physical examination pulse was 100 x/min, blood pressure was 115/74 mmHg, oxygen saturation was 90-94% with oxygen supplement 10 L/min, bilateral pitting pedal edema was present. All the laboratory results within normal limits. 2D Echo results osteum secundum ASD (2-3 cm in diameter), bidirectional shunt dominan right to left shunt (Eisenmenger’s syndrome), Tricuspid Regurgitation, Severe Pulmonary Hypertension with an estimated right ventricle systolic pressure of 109 mmHg and left ventricle systolic ejection fraction of 67%. The anesthetic technique was epidural anesthesia. We performed central venous catheter to monitoring central venous pressure. The epidural regimens used were bupivacaine plain 0,3% and fentanyl 50 mcg total volume 15 ml with titration techniques. During cesarean section, patient was stable blood pressure, heart rate and oxygen saturation. Patient was monitored in recovery room for 1 hour and then transferred to ICU and discharged on 10th postoperative day. Conclusion, patients with ASD and severe pulmonary hipertention, we can perform epidural anesthesia with titration techniques.
Low Dose Spinal dan Epidural untuk Seksio Sesarea Pasien dengan Patent Ductus Arteriosus Devi Ariani; Isngadi Isngadi
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 1 (2019): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i1.30

Abstract

Wanita hamil dengan penyakit jantung bawaan terjadi perubahan hemodinamik peningkatan kardiovaskular, perhatian dan terapi yang khusus dibutuhkan. Penambahan obat opioid meningkatkan dosis anestesi lokal, hemodinamik stabil, meningkatkan efek analgetik. Kasus: Satu, wanita 26 tahun gravida 30–32 minggu, PDA besar L-R shunt, hipertropi konsentrik ventrikel kiri, trivial atrium regurgitasi, pulmonal regurgitasi sedang, trikuspid regurgitasi sedang, pulmonal hipertensi berat, EF 57%. Dua, wanita 22 tahun gravida 37–38 minggu, preterm premature rupture of membrane, PDA besar L-R shunt, pulmonal hipertensi berat, penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri, EF 54%, bekas seksio sesarea. Keduanya menggunakan teknik regional anestesi dosis rendah. Pembahasan: Teknik menggunakan combine spinal epidural (CSE) dengan spinal 5 mg bupivacain heavy 0,5% dan fentanyl 50 mcg, epidural bupivacain 0,125% dan fentanyl 30 mcg meningkatkan anestesi untuk seksio sesarea, dan hemodinamik stabil pada pasien kelainan katup. Opioid intratekal mereduksi anestesi lokal dan hipotensi, kemampuan anestesi terjaga. Simpulan: Dosis rendah CSE dengan 5 mg bupivacain heavy 0,5 % dan 50 mcg, dengan epidural bupivacain 0,125% dan fentanyl 30 mcg adekuat untuk pasien seksio sesarea dengan kelainan jantung. Low-dose Spinal and Epidural Patients for Caesarean Section Patients with Patent Ductus Arteriosus Abstract Pregnant women with congenital heart diseases hemodynamic changes during pregnancy increasing cardiovascular, it’s need attention and special treatment. Opiod addition scan decrease the dose of local anesthetic drugs, prevent hemodynamic fluctuation, increase the analgesia effect. Case: First case, female 26 years with gravida 30-32 weeks with large PDA Left to Right shunt, consentrik left ventrikel hipertrophy, trivial atrium regurgitation, moderate pulmonal regurgitation, moderate tricuspid regurgitation, severe pulmonal hypertension, EF 57%. Second case, female 22 years with gravida 37-38 weeks, PPROM , large PDA Left to Right shunt, pulmonal hypertension severe, function systolic left ventrikel decreasing, EF 54%, former section caesaria. Both of them undergoing section caesaria with low dose regional anesthesia. Discussion: In this case with used CSE with Spinal 5 mg Bupivacaine heavy 0,5 % and fentanyl 50 mcg, Epidural bupivacain 0,125 % and fentanyl 30 mcg provided adequate anaesthesia for section cesarean delivery, and haemodynamic stability in patient with valvular cardiac disease. The synergism between intrathecal opioid sareductionin the dose of local anaesthetic and reduce hypotension, while still maintaining adequate anaesthesia. Conclussion: Low dose CSE with 5 mg bupivacaine heavy 0,5% and fentanyl 50 mcg, and epidural bupivacain 0,125% and fentanyl 30 mcg provided adequate for sectio cesarian patient with cardiac disease, with stable of haemodynamic.
Tatalaksana Anestesi pada Operasi Obstetri dengan Covid-19 Isngadi Isngadi; Rafidya Indah Septica; Susilo Chandra
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 3 No 1 (2020): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v3i1.41

Abstract

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan masalah utama kesehatan dunia. Kasus COVID-19 terus meningkat secara ekponensial di berbagai belahan dunia. Wanita hamil juga mengalami peningkatan kejadian infeksi COVID-19. Manifestasi klinis COVID-19 bervariasi, dengan sebagian besar pasien memiliki gejala saluran pernapasan. Pasien terinfeksi covid-19 yang asimpomatis atau pasien yang terinfeksi sebelum munculnya manifestasi klinis mampu menularkan penyakit. Sehingga perlu dilakukan deteksi dini kepada semua maternal yang akan dilakukan tindakan operasi, terutama di daerah dengan kejadian inveksi COVID-19 yang tinggi. Tatalaksana anestesi pada operasi obstetri dengan COVID-19 harus memperhatikan beberapa hal dengan tujuan pengendalian infeksi untuk mencegah penularan COVID-19, kepada petugas kesehatan, anak yang baru dilahirkan serta orang lain lingkungan sekitar. Tenaga kesehatan yang terpapar COVID-19 berisiko terinfeksi apabila tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) sesuai standar, sehingga penggunaan APD sesuai standart secara benar sangat penting,untuk mencegah tertularnya COVID-19 pada petugas. Tehnik anestesi yang menjadi pilihan utama untuk operasi obstetri dengan COVID-19, adalah dengan tehnik anestesi regional (epidural dan atau spinal), karena dengan tehnik tersebut mengindari timbulnya aerosol. Tehnik anestesi umum hanya digunakan apabila : gagal dengan tehnik anestesi regional, ada kontraindikasi dengan tehnik anestesi regional atau maternal mengalami desaturasi(saturasi <93%). Apabila menggunakan tehnik anestesi umum maka dalam pelaksanaanya harus dengan prinsip pencegahan terjadinya penyebaran infeksi. Anesthesia Management for obstetric surgery with COVID-19 infected Abstract The coronavirus disease 19 (COVID-19) is a global health problem. The number of cases of COVID-19 continue to rise exponentially in many parts of the world. Pregnant women have also increasing COVID-19 infection. The clinical manifestations of COVID-19 are varied, with most patients having respiratory symptom. The asymptomatic covid-19 infected patients or infected patients before clinical manifestations can transmit the disease. So early detection should be done for all mothers who will perform surgery, especially in areas with a high incidence of COVID-19 infection. Anesthesia management in obstetric surgery with COVID-19 must pay attention to several things with the aim of controlling infection to prevent transmission of COVID-19, for health workers, newborn babies and other people in the surrounding environment. Health workers who are exposed to COVID-19 are at risk of infection if they do not use personal protective equipment (PPE) according to the standard, so the use of PPE according to proper standards is very important, to prevent the transmission of COVID-19 to the officerExpected health workers, COVID-19, the risk of coverage, do not use personal protective equipment (PPE) according to standards, so the use of PPE according to the standard, is very important. The first choice of Anesthesia techniques for obstetric surgery in maternal COVID-19 infection are regional anesthesia techniques (epidural and or spinal), because with these techniques avoid the emergence of aerosols. General anesthesia techniques are only used if: fail with regional anesthesia techniques, there are contraindications to regional anesthesia or maternal desaturation (saturation <93). If using general anesthesia techniques, the prevention of infection is a major concern.
Kardiomiopati Peripartum: Manajemen Anestesi Terbaru Rafidya Indah Septica; Isngadi Isngadi
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 4 No 1 (2021): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v4i1.60

Abstract

Kardiomiopati peripartum (KMPP) atau Peripartum cardiomyopathy (PPCM) adalah kelainan jantung idiopatik dengan karakteristik disfungsi sistolik dan simptom gagal jantung pada akhir masa kehamilan atau beberapa bulan setelah kehamilan tanpa sebab lain yang mengancam jiwa maternal dengan risiko morbiditas dan mortalitas postpartum cukup tinggi. Penelitian terbaru dalam pemahaman tentang patofisiologi PPCM menunjukkan proses yang melibatkan faktor endotel dan faktor toksik kardio, seperti sFlt-1 dan 16 kDa prolaktin, sehingga kemampuan jantung beradaptasi terhadap kehamilan normal terlampaui pada ibu yang sudah rentan terhadap serangan jantung. Terapi spesifik PPCM belum dapat ditentukan. Bromokriptin yang bekerja memblok pelepasan prolaktin dari glandula pituitaria, pada beberapa penelitian awal menghasilkan perbaikan fraksi ejeksi ventrikel kiri secara bermakna. Penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar masih harus dilakukan untuk terapi ini. Prinsip manajemen direkomendasikan sesuai dengan patofisiologi yang terjadi. Optimalisasi atau reduksi preload baik dengan reduksi natrium maupun cairan dan penggunaan diuretika, menurunkan afterload dengan vasodilator, dan memperbaiki kontraktilitas jantung dengan inotropik, dromotropik, atau inodilator adalah strategi utama yang direkomendasikan. Tidak ada perubahan strategi dalam manajemen terapi ini, tetapi pilihan teknik anestesi saat ini lebih berkembang ke analgesi/anestesi regional. Pemahaman penggunaan dosis dan konsentrasi anestetika lokal menjadi penting untuk mencapai target dalam strategi yang direkomendasikan. Peripartum Cardiomyopathy: Update in Anesthesia Management Abstract Peripatum cardiomyopathy (PPCM) is an idiopathic cardiomyopathy presenting with heart failure secondary to left ventricle systolic dysfunction towards the end of pregnancy or in the months following delivery, where no other cause for heart failure is identified, life-threatening, and postpartum high morbidity and mortality risk. Recent studies in the understanding of PPCM pathophysiology indicate that there’s processes involving endothelial and cardio-toxic factors such as e.g. sFlt-1 and 16 kDa prolactin, leading the heart’s capacity to adapt to a normal pregnancy may be exceeded in some women already susceptible to cardiac insult. Spesific therapy for PPCM can not be determined. Bromocriptine that blocks the release of a hormone called prolactine from the pituitary gland in some preliminary studies improved left ventricular ejection fraction significantly. Further research with larger sample size remains to be done for this therapy. Management principles for PPCM are recommended in accordance with the pathophysiology. Depending on the volume status, preload has to be optimized by either fluid administration or sodium restriction and diuretics, decrease afterload using vasodilator, and improve contractility by using inotropic, dromotropic, or inodilator are the main strategies. There is no change in management strategy for PPCM, but regional analgesia/anesthesia preferably for now. Understanding the dose and concentration administration of local anesthethic drugs are important to achieve targets recommendation.
Manajemen Anestesi pada Seksio Sesarea dengan Idiopathic Thrombocytopenic Purpura: Serial kasus Achmad Haryanto; Ruddi Hartono; Isngadi Isngadi
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 4 No 2 (2021): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v4i2.61

Abstract

Trombositopenia merupakan perubahan hemostasis yang umum terjadi pada wanita hamil, namun jarang ditemukan kondisi berat. Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) merupakan salah satu penyebab trombositopenia pada wanita hamil. ITP ditandai dengan peningkatan penghancuran trombosit oleh antibodi immunoglobulin G (IgG) yang dapat meningkatkan risiko perdarahan pada pasien dan fetus. Kami melaporkan tiga kasus wanita hamil dengan ITP yang akan dilakukan tindakan seksio sesarea. Satu pasien menjalani seksio sesarea emergency dengan trombosit 4000 dan dua pasien menjalani seksio sesarea elektif. Pasien seksio sesarea elektif diberikan transfusi trombosit perioperatif terlebih dahulu. Ketiga pasien menjalani prosedur seksio sesarea dengan teknik anestesi general. Pemantauan perdarahan dilakukan selama sampai dengan setelah operasi. Kondisi postoperatif pasien baik dan dirawat di ruang intensive care unit (ICU). Case Series: Anesthesia Management in Caesarean Section with Idiopathic Thrombocytopenic Purpura Abstract Thrombocytopenia is the most common hemostatic change in pregnancy, but severe thrombocytopenia is rare. One of the causes, idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), is characterized by increased platelet destruction by immunoglobulin G (IgG) antibodies, presenting a high risk of hemorrhage for the patient, but also the fetus, since antibodies may cross the placenta. We report three cases of pregnant women with ITP undergoing cesarean section. One patient underwent emergency cesarean section with a platelet of 4000 and two patients underwent elective cesarean. Patients with elective cesarean section were given the first perioperative platelet transfusion. The cesarean section procedures were performed under general anesthesia. Bleeding monitoring is carried out during up to after surgery.
Manajemen Anestesi pada Gravida dengan Plasenta Previa Totalis Suspek Plasenta Akreta yang Dilakukan Seksio Sesarea dengan Teknik Anestesi Spinal di Era Pandemi Syaiful Yudhi Nurachman; Ruddi Hartono; Isngadi Isngadi
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 5 No 2 (2022): Juli
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v5i2.92

Abstract

Plasenta previa dan riwayat seksio sesarea merupakan faktor penting ter-jadinya plasenta akreta, plasenta akreta kasusnya meningkat seiring peningkatan jumlah per-salinan dengan seksio sesarea. Pada kasus ini, wanita berusia 37 tahun, G4P3Ab0 usia kehamilan 37–38 minggu dipersiapkan seksio sesarea elektif dan histerektomi akibat plasenta previa totalis suspek plasenta akreta berdasarkan hasil ultrasonografi dengan skor indeks plasenta akreta 6,5 (probabilitas 83%). Untuk mengurangi timbulnya aerosol dalam pencegahan penyebaran COVID-19, pasien dilakukan tindakan anestesi spinal dengan regimen levobupivacaine dengan adjuvant morfin 0,2 mg, fentanyl 25 mcg, clonidin 30 mcg dengan lama operasi 5 jam 30 menit dan dilakukan intervensi hemodilusi hipervolemik untuk mengurangi transfusi darah. Perdarahan intraoperatif 4900 cc dan diberikan transfusi 2 unit PRC dan 2 unit WB. Pasca operasi dirawat di ICU dan tidak ada komplikasi. Hari pertama pasca operasi pasien pindah ke ruang intensif. Teknik spinal pada seksio sesarea dengan plasenta akreta dapat menjadi alternatif manajemen anestesi di era pandemi karena mencegah timbulnya aerosol, dan regimen levobupivacaine dapat memperpanjang durasi anestesi serta hemodilusi hipervolemik dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah.
Manajemen Anestesi pada Pasien Suspek Kasus COVID-19 disertai Hipertensi Kronis Superimposed Preeklamsia dan Hipertiroid yang dilakukan Seksio Sesarea Dadik Prasetya Hutama; Isngadi isngadi; Rudi Hartono
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 5 No 3 (2022): November
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v5i3.106

Abstract

Kehamilan berhubungan dengan perubahan spesifisitas pada reseptor antibodi thyroid stimulating hormone (TSH). Pada kehamilan, reseptor antibodi TSH yang semula distimulasi berubah menjadi penghambatan. Perubahan aktivitas reseptor ini menyebabkan terjadinya peningkatan hormon tiroid selama kehamilan. Kondisi hipertiroid dalam kehamilan yang tidak terkontrol dapat meningkatkan risiko terjadinya preeklamsia berat pada maternal. Kondisi ini dapat lebih diperburuk dengan adanya riwayat hipertensi. Laporan kasus ini melaporkan seorang pasien perempuan usia 24 tahun yang didiagnosis dengan kasus suspek pneumonia COVID-19, hipertensi kronik superimposed preeklamsia, serta hipertiroid jangka panjang yang sudah mendapatkan pengobatan. Pemeriksaan fisik menunjukkan tekanan darah 128/65 mmHg, nadi 129 kali/menit, dan SpO2 96% menggunakan non rebreathing mask (NRBM) 10 liter per menit. Tidak ditemukan tanda maupun gejala yang mengarah kepada penyakit Grave ataupun thyroid storm namun evaluasi dengan skala Burch and Wartofsky’s didapatkan total skor 25 yang mengindikasikan bahwa pasien dalam keadaan impending thyroid storm. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil T3 0,86; FT4 1,73; dan TSH < 0,01. Pasien mendapatkan terapi tyrozol, lugol, propanolol, hidrokortison, serta magnesium sulfat. Persalinan dilakukan dengan prosedur seksio sesarea dimana teknik anestesi yang digunakan adalah combine spinal epidural menggunakan bupivakain 0,5% 15 mg. Manajemen anestesi yang tepat dalam kehamilan dengan hipertensi kronik superimposed preeklamsia dan hipertiroid menjadi penting karena ditujukan untuk mencegah terjadinya eklamsia dan thyroid storm yang dapat meningkatkan risiko perburukan kondisi pada pasien
Manajemen Anestesi pada Gravida Skoliosis dengan Tetralogy of Fallot yang dilakukan Seksio Sesarea Utomo, Jeffri Prasetyo; isngadi, Isngadi; Hartono, Ruddi
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 7 No 2 (2024): Juli
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v7i2.151

Abstract

Insiden penyakit jantung pada kehamilan terjadi sekitar 0,2–3% dari seluruh kehamilan. Tetralogy of Fallot merupakan salah satu dari penyakit jantung sianotik dan diperkirakan terjadi sebesar 5% dari seluruh kelainan jantung bawaan pada kehamilan. Manajemen anestesi pada pasien operasi noncardiac dengan tetralogy of fallot merupakan tantangan bagi seorang anestesiolog dan memerlukan pemahaman pada patofisiologi, kejadian dan efek obat-obatan yang dapat memperberat besarnya shunting dari kanan ke kiri. Pada kasus ini, wanita berusia 19 tahun, G1P1000Ab000 usia kehamilan 32–34 minggu dipersiapkan seksio sesarea elektif akibat penyakit jantung bawaan tetralogy of fallot yang belum dikoreksi dan dextroskoliosis. Untuk mengurangi resiko pada operasi dan pembiusan dilakukan tindakan anestesi combined spinal epidural dengan regimen spinal bupivacaine heavy 0,5% 7,5 mg dengan adjuvant morfin 0,15 mg dan fentanyl 25 mcg dengan lama operasi 1 jam 30 menit. Dilahirkan bayi laki laki berat lahir 1200 gram, dengan skor Apgar 6/8. Pascaoperasi diberikan epidural ropivacaine 0,1 % total volume 8 cc dengan adjuvant fentanyl 50 mcg setiap 8 jam untuk mengurangi nyeri pascaoperasi. Pascaoperasi dirawat di ruang ICU dan tidak ada komplikasi. Anestesi regional low dose spinal terbukti aman untuk pasien gravida dengan tetralogy of fallot. Pemberian analgesia dengan epidural terbukti aman dan dapat digunakan untuk analgetik pascaoperasi pada pasien seksio sesarea dengan tetralogy of fallot
Kesenjangan Manajemen Anestesi pada Seksio Sesarea dengan Placenta Akreta di RS Dr. Saiful Anwar Malang: Sebuah Pembelajaran Prima, Dian; Isngadi, Isngadi
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 7 No 2 (2024): Juli
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v7i2.152

Abstract

Plasenta akreta (plasenta yang melekat secara abnormal) adalah salah satu dari dua penyebab perdarahan peripartum yang paling umum dengan jumlah perdarahan yang banyak, sehingga menjadi penyebab untuk dilakukan histerektomi peripartum. Perdarahan saat persalinan dengan seksio sesarea pada maternal dengan plasenta akreta di RS Dr Saiful Anwar Malang rata-rata adalah: 3000–4000cc lebih banyak daripada maternal bukan plasenta akreta. Keadaan tersebut sering menjadi penyebab perubahan manajemen anestesi; yang semula direncanakan dengan regional anestesi harus dikonversi ke anestesi umum, begitu juga tatalaksana pembedahannya sering mengalami perubahan dan harus konsul disiplin ilmu lain durante operasi. Oleh karena itu, maternal dengan plasenta akreta yang telah terdiagnosis perlu pendekatan multidisiplin agar luaran pasca persalinan menjadi lebih baik. Akan tetapi sering terjadi kesenjangan manajemen anestesi pada pasien plasenta akreta yang dilakukan seksio sesarea. Kasus: wanita berusia 35 tahun dengan plasenta akreta, berat badan 73 kg, G3P2A0, menjalani seksio sesarea elektif. Anestesi Combined Spinal Epidural (CSE) dilakukan dan setelah bayi lahir, pasien mengalami perdarahan aktif 5000–15.000cc dalam waktu 30 menit pertama. Manajemen anestesi dirubah ke anestesi umum dan histerektomi dilakukan. Selama operasi, ditemukan plasenta yang mengalami infiltrasi hingga vena iliaka. Pasien akhirnya dinyatakan meninggal dunia akibat perdarahan masif selama operasi. Mayoritas pasien dengan plasenta akreta dilakukan histerektomi. Karena USG tidak dapat menegakkan diagnosis secara pasti, diagnosis hanya dapat ditentukan selama pembedahan. Dalam kasus ini, sulitnya diagnosis dan adanya komplikasi anatomis membuat pembedahan menjadi sulit dan akhirnya menyebabkan kematian pada pasien