Anak Agung Ngurah Jaya Kusuma
Departemen/KSM Obstetri Dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana-RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

PERBEDAAN KADAR INTERLEUKIN-6 SERUM IBU PADA PERSALINAN PRETERM DAN PERSALINAN ATERM Jaya Kusuma, A N
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui perbedaan kadar Interleukin 6 Serum (IL 6) pada persalinan preterm dan persalianan aterm. Metode penelitian :Penelitian ini merupakan desain cross sectional. Jumlah sampel adalah sebesar 50 sampel, dimana, 10ibu dengan persalinan preterm dengan usia kehamilan 28 minggu hingga usia kehamilan <37 minggudan 40 ibu dengan persalinanatermusia kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu. Pengambilan darah pada vena cubiti sebanyak 5 cc, lalu diperiksa kadar IL 6 pada Laboratorium Prodia Denpasar. Dari data yang terkumpul dilakukan pengujian normalitas data, kemudian dilakukan analisa data dengan t-independent sample test dengan tingkat kemaknaan ? = 0,05 Hasil :Dari data penelitian didapatkan  rerata kadar IL-6 kelompok preterm adalah 41,25±75.56 pg/mldan rerata kelompok kontrol adalah 33.80±20.08pg/ml. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 0,563 dan nilai p = 0,576. Hal ini berarti bahwa rerata kadar IL-6 pada kedua kelompok tidak berbeda secarabermakna (p > 0,05). Simpulan : Dari penelitian ini didapatkan kadar IL 6 serum pada persalinan preterm lebih tinggi daripada  persalinanaterm, namun tidak bermakna secara statistik. Kata kunci :Kadar IL 6, persalinan preterm, persalinan aterm.
MATRIX METALLOPROTEINASE (MMP) DAN KETUBAN PECAH DINI Jaya Kusuma, A A N
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 1, No 4 (2013)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pecah ketuban yang terjadi sebelum aterm terjadi oleh karena berbagai faktor, yang akhirnya mempercepat lemahnya membran ketuban  melalui peningkatan sitokin lokal dan ketidakseimbangan dalam interaksi antara MMPs dan TIMPs,  meningkatnya aktivitas kolagenase dan  protease, peningkatan tekanan intrauterin (misalnya, polyhydramnios), dan sejumlah faktor risiko klinis, termasuk gangguan jaringan ikat (misalnya, sindrom Ehlers-Danlos). Ascending kolonisasi bakteri juga dapat menyebabkan lokal respon inflamasi termasuk produksi sitokin, prostaglandin, dan metalloproteases yang dapat menyebabkan  melemahnya dan degradasi dari membran ketuban. Salah satu penyebab pecah ketuban adalah meningkatnya degradasi kolagen. Matrix Metalloproteinases (MMPs) adalah mediator utama degradasi kolagen dari selaput ketuban. Matrix metalloproteinases (MMP), adalah  sekelompok enzim Zinc yang memainkan peranan dalam perbaikan dan remodeling jaringan. MMP mampu mendegradasi kolagen tipe IV, elastin, dan fibronektin dan telah diidentifikasi dalam selaput membran janin, desidua, dan cairan ketuban. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan MMP dan  aktivitas di membran janin, plasenta dan cairan amnion berhubungan dengan pecahnya selaput membran ketuban, persalinan aterm dan preterm.
KETUBAN PECAH DINI, DAN PERANAN AMNIOPATCH DALAM PENATALAKSANAAN KETUBAN PECAH DINI PRETERM Jaya Kusuma, AAN.
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 3, No 3 (2015)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Berbagai faktor dapat menjadi penyebab terjadinya Ketuban Pecah Dini (KPD), dimana salah satunya adalah pasca tindakan intervensi intrauterin yang dikenal dengan KPD iatrogenik. Tingginya prosedur tersebut sekaligus meningkatkan kejadian KPD iatrogenik - disamping KPD spontan - yang kemudian mendorong berbagai upaya  “penyumbatan” selaput ketuban. Salah satu upaya tersebut yang dianggap paling efektif adalah Amniopatch, yaitu penggunaan injeksi platelet dan cryoprecipitate kedalam cairan  ketuban, dimana penyembuhan spontan sangat sulit terjadi pada membran yang miskin vaskularisasi.Prinsip dasar Amniopatch adalah memberikan kesempatan pada platelet untuk menemukan area yang cedera lalu clot yang terjadi distabilisasi dengan cryoprecipitate. Berbagai penelitian telah menunjukkan keberhasilan amniopatch dalam penatalaksanaan KPD preterm, terutama untuk KPD iatrogenik, yang secara signifikan dapat memperpanjang kehamilan dan meningkatkan luaran bayi.
HUBUNGAN ANTARA KADAR CD4 DENGAN LESI PRAKANKER SERVIKS PADA WANITA TERINFEKSI HIV Jaya Kusuma, AAN.
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 3, No 5 (2015)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Virus HIV ialah RNA virus yang termasuk lentivirus famili retrovirus, menyerang komponen sistem imun manusia, yakni sel limfosit T-CD4, makrofag, dan sel langerhans. Infeksi dari virus ini akan menyebabkan kadar sel CD4 semakin lama semakin menurun melalui mekanisme tertentu. Pada saat kadar CD4 mencapai kadar kurang dari 200 sel/mm³, maka terjadilah kegagalan fungsi dari sistem imun sebagai proteksi, yang pada akhirnya akan membuat tubuh lebih mudah terserang infeksi oportunistik dan keganasan, keadaan  inilah yang disebut dengan AIDS (Nasronudin, 2007). Angka kejadian HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat dan telah terjadi fenomena gunung es, jumlah penderita yang ada lebih banyak daripada yang dilaporkan. Hal ini dapat terlihat dari perbedaan pelaporan jumlah penderita HIV/AIDS antara Badan Intel CIA Amerika Serikat dengan Ditjen PPM & PL Depkes RI. Menurut Badan Intel CIA Amerika Serikat, di Indonesia, jumlah Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) pada tahun 2007 adalah sebesar 270.000 kasus yang menduduki peringkat ke-25 di dunia dengan angka kematian dilaporkan sebanyak 8.700 kasus yang merupakan peringkat ke-36 di dunia. Sedangkan dari data yang didapatkan pada Ditjen PPM & PL Depkes RI, angka kematian oleh karena AIDS dari tahun 1987 sampai dengan tahun 2009 adalah 3806 kasus. Propinisi Bali merupakan propinsi dengan prevalensi AIDS terbanyak ke-dua sampai dengan bulan Agustus 2010 sebesar 49,16%. Populasi umur 20-29 tahun adalah populasi terbanyak pengidap HIV/AIDS dan lebih dari 25% penderita AIDS adalah wanita. Pada tahun 1993, US Centers for Disease Controls (CDC) melaporkan bahwa Kanker serviks merupakan kanker yang paling banyak (1,3%) ditemukan pada para wanita penderita AIDS sehingga Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat menambahkan kanker serviks sebagai salah satu kategori klinis dari stadium AIDS. Dibandingkan dengan keganasan lain yang terjadi pada penderita AIDS, kanker serviks dilaporkan memiliki keadaan klinis dan status imun yang lebih baik (Maiman et al, 1997). Oleh karena itu, diagnosa kanker serviks sering terlambat ditegakkan maupun terlewatkan dan kanker serviks didapatkan tiga kali lebih banyak pada wanita yang terinfeksi HIV dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi (Chiasson et al, 1998). Kanker serviks sendiri merupakan kanker yang terbanyak kedua yang terjadi pada wanita di dunia, hampir 80% di antaranya terjadi di negara berkembang. Hal ini disebabkan karena belum adanya program skrining untuk kanker serviks (Chirenje, 2005). Angka kejadian kanker serviks di Amerika Serikat telah berkurang sebanyak 70% karena adanya program skrining nasional sehingga lesi prakanker serviks dapat terdeteksi dan diterapi lebih dini (Stier et al, 2003). Program skrining kanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV berbeda dengan wanita yang tidak terinfeksi. Program skrining pada wanita yang terinfeksi HIV menurut CDC Amerika Serikat tahun 2006, dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun setelah seseorang dinyatakan terinfeksi HIV, sedangkan di Indonesia sampai saat ini belum ada pedoman untuk skrining kanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV. Seperti yang telah diketahui, etiologi dari lesi prakanker serviks dan kanker serviks adalah infeksi laten dari virus HPV (Human PapilommaVirus) pada serviks uteri. Infeksi HPV terdeteksi pada 99,7% kanker serviks. Virus HPV berdasarkan risiko menyebabkan kanker terdiri atas 3 klasifikasi, yaitu risiko tinggi, kemungkinan risiko tinggi, dan risiko rendah. Kelompok risiko tinggi adalah HPV tipe 16 dan 18, sedangkan risiko rendah adalah HPV tipe 6 dan 11 (Andrijono, 2009). Hubungan antara infeksi kedua virus, yakni HPV dan HIV merupakan hal yang unik, kedua hal tersebut terjadi pada wanita yang memiliki gaya hidup sosial berisiko tinggi, seperti hubungan seksual yang dimulai sejak usia muda, berganti-ganti pasangan seksual, dan wanita dengan pasangan seksual yang berisiko tinggi. Jenis HPV yang banyak menginfeksi pada penderita HIV merupakan HPV risiko tinggi, yaitu HPV tipe 18 (Johnson et al, 1992). Hal ini disebabkan karena sistem imun pada penderita HIV tidak dapat berfungsi dengan baik untuk melawan virus HPV tersebut sehingga timbulah lesi prakanker serviks (Bucccalon et al, 1996). Wanita yang terinfeksi HIV mempunyai risiko dua hingga dua belas kali lebih banyak didapatkannya lesi prakanker serviks daripada yang tidak terinfeksi (Chirenje, 2005). Prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV di Spanyol sebesar 17,7 % dan 40% pada wanita yang telah memasuki stadium AIDS, sedangkan pada wanita yang tidak terinfeksi HIV sebesar 3,08%. Gangguan pada sistem imun tubuh yang terjadi akibat infeksi dari virus HIV merupakan penyebab tingginya prevalensi terjadinya lesi prakanker serviks (Careras et al, 1997). Indikator yang digunakan dalam menentukan status imun pada penderita HIV adalah jumlah limfosit T – CD4. Sampai pada saat ini, hubungan antara CD4 dengan prevalensi terjadinya lesi prakanker serviks masih menimbulkan kontroversi. Pada sebuah penelitian di Bordeaux, Perancis yang mencari hubungan antara kejadian lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV dengan faktor-faktor risikonya, dilaporkan prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita yang memiliki kadar limfosit T – CD4 > 500/mm³ sebesar 13,6% sedangkan pada limfosit T – CD4 < 500/mm³ sebesar 38,7%. Pada penelitian ini dapat terlihat bahwa semakin rendahnya status imun penderita HIV, semakin tinggi prevalensi terjadinya lesi prakanker pada serviks (Hocke et al, 1998). Sedangkan pada penelitian di Italia, yang mencari hubungan kadar CD4 dengan prevalensi terjadinya lesi prakanker serviks pada pasien HIV melaporkan bahwa tidak didapatkannya hubungan antara penurunan jumlah CD4 dengan peningkatan prevalensi maupun derajat dari lesi prakanker serviks (Sopracordevole et al, 1994) Hubungan antara status imun tubuh wanita yang terinfeksi HIV dengan kejadian lesi prakanker pada serviks sangatlah menarik untuk dilakukan penelitian, mengingat penelitian ini masih merupakan suatu kontroversi dan belum pernah dilakukan di Indonesia, khususnya di Propinsi Bali. Sampai saat ini di Indonesia belum didapatkan pelaporan mengenai prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV. Sedangkan program standar skrining kanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV juga belum dijumpai di Indonesia.
Perbandingan kadar asam folat pada kehamilan dengan preeklampsia dan kehamilan normal JAYAKUSUMA, A.A. N.; KARKATA, M. K.; DARMAYASA, K.; GUNUNG, K.
Indonesian Journal of Obstetrics and Gynecology Volume. 31, No. 2, April 2007
Publisher : Indonesian Socety of Obstetrics and Gynecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (140.177 KB)

Abstract

Tujuan: Membandingkan konsentrasi asam folat pada kehamilan dengan preeklampsia dan kehamilan normal dan hubungannya dengan peningkatan konsentrasi homosistein dan tekanan darah. Bahan dan cara kerja: Penelitian kasus-kontrol mengikutsertakan 30 pasien preeklampsia sebagai kasus dan 30 pasien dengan kehamilan normal sebagai kontrol. Imx Folate Reagent Pack dari Abbott Laboratories digunakan untuk mengukur konsentrasi asam folat plasma, sedang konsentrasi homosistein diukur dengan Fluorescent Polarization Immunology Assay. Analisis dilakukan dengan tes Kai-kuadrat atau Fishser’s Exact, T test dan korelasi Pearson. Hasil: Rerata konsentrasi asam folat plasma pada pasien preeklampsia (12,32 ng/mL) lebih rendah dibanding dengan yang didapat pada kehamilan normal (14,22 ng/mL), namun secara statistik tidak berbeda bermakna (p=0,275). Didapatkan perbedaan bermakna (p=0,027) antara rerata konsentrasi homosistein pasien preeklampsia (9,71 μmol/L) dan pasien dengan kehamilan normal (6,13 μmol/L). Tidak terbukti korelasi negatif konsentrasi asam folat plasma (r=-0,3; p=0,123) dan homosistein (r=-0,1; p=0,551) antara pasien preeklampsia dengan kehamilan normal. Namun didapatkan korelasi negatif yang bermakna dari konsentrasi asam folat plasma dengan tekanan sistolik (r=-0,4; p=0,030) dan tekanan diastolik (r=-0,4; p=0,030) pada pasien preeklampsia. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian ini tidak didapatkan perbedaan bermakna antara konsentrasi asam folat plasma pasien preeklampsia dengan kehamilan normal. Didapatkan hubungan bermakna antara asam folat plasma dengan tekanan sistolik dan diastolik pada pasien preeklampsia. [Maj Obstet Ginekol Indones 2007; 31-2: 61-5] Kata kunci: preeklampsia, asam folat, homosistein, tekanan darah sistolik/diastolik
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK PADA KEHAMILAN Jaya Kusuma, Anak Agung Ngurah
journal of internal medicine Vol. 8, No. 2 Mei 2007
Publisher : journal of internal medicine

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (162.329 KB)

Abstract

Systemic lupus erythematosus (SLE) is an auto immune disease which is charaterized by the production of antibodiestowards the nucleus of the cell. The mechanism is not well defined, but there seem to be some exacerbating factors like physicaland metal stress, infection, ultraviolet radiation and drugs. The various cell of our body are recognized as antigen thereforeleading to the formation of immune complexes which will be deposited in organs and eventually cause inflammation. The processwhich affects the placenta is known as deciduas vasculitis. The effects of pregnancy towards SLE in unclear, but the risks ofexacerbation increases as pregnancy advances. Complications such as death of the fetus, premaurity and restricted growth mayoccur. Complication of pregnancy with SLE which affects the fetus characterized by congenital heart block, cutaneus lesion,cytopenia, liver disorders and other systemic manifestation. The pathogenesis of fetal heart block is not well understood, but themechanism seems to be transfers of antibody through the placenta on the second trimester which then will lead to immunologicaltrauma of the heart and its conduction system which will manifest upon delivery. There are two major points to be considered inthe management of SLE in pregnancy; pregnancy can affect the course of SLE and the fetus may become the target of autoantibody which will lead to failure of the pregnancy itself. Corticosteroids have a significant effect and is normally tolerable bymay be considered. Contraception becomes an important key in SLE as estrogens concentration of 20-30 urg/day may exacerbateSLE and will increase the risk of thromboemboli, therefore progesterone containing contraceptives are highly recommended.
Low Level of CD4 Increases Risk of Cervical Intraepithelial Neoplasia in HIV-Infected Women: Kadar CD4 yang Rendah Meningkatkan Risiko Neoplasia Intraepitelial Serviks pada Perempuan yang Terinfeksi HIV Mona Mariana; Ketut Suwiyoga; AAN Jaya Kusuma
Indonesian Journal of Obstetrics and Gynecology Volume. 2, No. 4, October 2014
Publisher : Indonesian Socety of Obstetrics and Gynecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32771/inajog.v2i4.412

Abstract

Objective: To study the risk of Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) at higher CD4 levels compared to low CD4 levels in HIV-infected women. Method: Case-control study of 50 HIV-infected women who meet the inclusion and exclusion criteria and attended Kerti Praja Foundation outpatient clinic, Denpasar, who were then divided into 2 groups, those with CD4 500/mm3 and those with CD4 <500/mm3. Both groups had Pap smear examination done. The collected data was analyzed with Chi-Square test. Odds ratio was calculated to determine the influence of CD4 levels on the incidence of CIN in women infected with HIV. Result: In this study, three women were found to have CIN out of the 25 women with CD4 500/mm3 and nine women out of the 25 women with CD4 <500/mm3 were positive for CIN. The risk of CIN in HIV-infected women with low CD4 levels was 4.125 times higher than the risk in high levels of CD4 (95% CI = 1.96 - 17.7, p=0.047). Conclusion: The incidence of CIN in HIV-infected women is associated with the level of immunity, as characterized by levels of CD4. Decreased levels of CD4 in HIV-infected women may increase the risk for CIN incidence by four-fold. Keywords: CD4, cervical intraepithelial neoplasia, HIV
The low level of plasma vitamin C as a risk factor of preterm premature rupture of membrane Muhammad Freddy Candra Sitepu; Ketut Suwiyoga; Anak Agung Ngurah Jaya Kusuma; I Gusti Putu Mayun Mayura; Made Darmayasa; I Wayan Artana Putra
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 2 (2020): (Available online: 1 August 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (251.498 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i2.716

Abstract

Introduction: Preterm premature rupture of membrane (PPROM) still becomes a problem related with perinatal morbidity and mortality which is caused by multifactorial risk factor; especially strength of foetal membrane. Collagen is the main component of foetal membrane’s extracellular matrix whereas plasma vitamin C roles as a collagen biosynthesis enzyme-dependent co-factor, down-regulator activity of MMP-1, MMP-2, and MMP-9 and also as antioxidant in remodelling and preventing structural damage extracellular matrix. The purpose of this study is to prove the low plasma level of vitamin C as a risk factor for PPROM on preterm pregnancy.Method: This study was an analytical observational unpaired case-control performed from March 23rd until August 23rd 2018 at Polyclinic and Emergency Unit of Obstetrics and Gynaecology Sanglah Central General Hospital, Buleleng General Hospital, Mangusada General Hospital, Sanjiwani General Hospital, Wangaya General Hospital, and Prodia Clinical Laboratory Denpasar. The samples were preterm pregnancy women with premature rupture of membrane (PROM) as a case group and without premature rupture of membrane as a control group. The samples were taken from peripheral venous blood and level of plasma vitamin C is measured by HPLC method. The data were analysed by SPSS for Windows 20.0 version program then presented as table and narrative.Result: Forty subjects were divided into 2 groups, 20 preterm pregnancy with PROM as a case group and 20 preterm pregnancy without PROM as a control group. Characteristic subject based on maternal age, gestational age, parity of both groups was 27.4 and 26.1 years old, 31 and 31 weeks, and also 1 and 1 time (p>0.05), not significantly different. The mean level of plasma vitamin C on case and control group were 3.90 ± 1.61 dan 9.24 ± 2.31 mg/L (p=0.001). On the case group the low level of plasma vitamin C was 51 times (OR= 51; CI 95% = 7.57–343.73; p=0,001) higher than the control group.Conclusion: The low level of plasma vitamin C is a risk factor of PPROM.
Kadar 25(OH)D dan rasio HDL-LDL serum yang rendah sebagai faktor risiko terjadinya preeklamsia dengan gambaran berat Leony Lim; Ketut Suwiyoga; I Wayan Artana Putra; Anak Agung Ngurah Jaya Kusuma; I Gede Mega Putra; Anom Suardika; I Wayan Megadhana
Intisari Sains Medis Vol. 13 No. 1 (2022): (Available Online : 1 April 2022)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (333.198 KB) | DOI: 10.15562/ism.v13i1.1219

Abstract

Background: Preeclampsia is a health problem because it contributes to high rates of maternal and baby morbidity and mortality. The pathogenesis of preeclampsia is still unknown, but vitamin D deficiency and low HDL-LDL serum ratio are thought to play an important role. Therefore, a study was conducted on low 25(OH)D serum level and low HDL-LDL serum ratio as risk factors for preeclampsia with severe features.Methods: This study has a case-control design, conducted at Obstetric and Gynecology emergency room at Sanglah Hospital from January 2020 to June 2020. Subjects were 44 pregnant women, consisting 22 normal pregnant women as controls and 22 pregnant women with preeclampsia with severe features as cases, selected by purposive consecutive sampling and analyzed using SPSS 21.Results: Preeclampsia with severe features was found 5 times higher in pregnant women with low 25(OH)D serum level than in normal pregnant women (OR = 4,91, CI 95% = 1,33-18,21, p = 0,014). Preeclampsia with severe features was found 8 times higher in pregnant women with low HDL-LDL serum ratio than in normal pregnant women (OR = 7,88, CI 95% = 1,96-31,57, p = 0,002).Conclusion: Low 25(OH)D serum level and low HDL-LDL serum ratio are risk factors for Preeclampsia with severe features. Pendahuluan: Preeklamsia merupakan masalah kesehatan karena berkontribusi terhadap tingginya angka morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi. Patogenesis preeklamsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, namun kadar vitamin D dan rasio HDL–LDL serum yang rendah diduga berperan penting dalam mekanisme terjadinya preeklamsia. Penelitian kemudian dilakukan terhadap kadar 25(OH)D dan rasio HDL-LDL serum yang rendah sebagai faktor risiko terjadinya preeklamsia dengan gambaran berat.Metode : Desain penelitian ini adalah kasus kontrol (case control) yang dilakukan di Instalasi Gawat Darurat Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah, Denpasar mulai Januari 2020 sampai Juni 2020. Subyek penelitian berjumlah 44 orang ibu hamil, yang terdiri dari 22 ibu hamil normal sebagai kontrol dan 22 ibu hamil dengan preeklamsia dengan gambaran berat sebagai kasus, yang dipilih secara purposive consecutive sampling,  dan dianalisis menggunakan SPSS 21.Hasil: Risiko terjadinya preeklamsia dengan gambaran berat  adalah 5 kali lebih tinggi pada ibu hamil dengan kadar 25(OH)D serum yang rendah dibandingkan ibu hamil normal (OR = 4,91, IK 95% = 1,33-18,21, p = 0,014). Risiko terjadinya preeklamsia dengan gambaran berat adalah 8 kali lebih tinggi pada ibu hamil dengan rasio HDL-LDL serum yang rendah dibandingkan ibu hamil normal (OR = 7,88, IK 95% = 1,96-31,57, p = 0,002).Simpulan : Kadar 25(OH)D dan rasio HDL-LDL serum yang rendah merupakan faktor risiko preeklamsia dengan gambaran berat.
Cesarean Hysterectomy in Cases of Placenta Adhesiva Involving Urinary Bladder: Serial Cases Report Anak Agung Ngurah Jaya Kusuma
Journal of Global Pharma Technology Volume 12 Issue 09 (2020) Sept. 2020
Publisher : Journal of Global Pharma Technology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (520.041 KB)

Abstract

Background: Placenta adhesiva is an obstetrics complication with potentially high maternal and neonatal morbidity and mortality. Its incidence is increasing, but the management remains controversial. Antenatal diagnosis and method of delivery are the main issues. Many clinicians now prefer a conservative approach. While cesarean hysterectomy remains the method of choice in most cases, it still exposes women to torrential bleeding risk, with reported mean blood loss of 3.000-10.000 ml. We present four cases of placenta adhesiva with suspected urinary bladder involvement during antenatal care, which is managed with cesarean hysterectomy. Case Presentation: A 34 years old multigravida (G3P2A0) at 32-33 weeks gestational age (GA) and a-39 year’s old multigravida (G4P3A0) came to the clinic complaining of painless vaginal bleeding. In another case, a 38 years old multigravida was also referred from a regional hospital diagnosed with G5P2A3 32-33 weeks GA + antepartum bleeding (total placenta praevia) suspected placenta adhesiva. And the last case was A 24 years old multigravida, with known low-lying placenta for 20 weeks of GA. Greyscale Ultrasonography (US) showed placental implantation at anterior uterine corpus covering entire internal uterine ostium (IUO), seen multiple lacunas crossing the vesicouterine serous border and placental protrusion into the urinary bladder. The cesarean hysterectomy was performed in all cases by placental identification, preoperative bleeding control, and careful tissue resection, as proposed in the triple-P procedure. The cases show a promising outcome following CS hysterectomy in cases of placenta adhesiva involving urinary bladder. Conclusion: We recommend a comprehensive team approach for decision making and management of patients suspected of placenta adhesiva with careful preparation to avoid complications. Keywords: Placenta Adhesiva, Caesarean Hysterectomy, Urinary Bladder.