Tjokorda Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi
Fakultas Hukum Universitas Udayana

Published : 20 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

PENYERANGAN KOALISI ARAB SAUDI TERHADAP YAMAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER Al Uraidy, Ali; Pradnya Dewi, Tjok Istri Diah Widyantari
Kertha Desa Vol 9 No 3 (2021)
Publisher : Kertha Desa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dari dari penulisan artikel ini, yaitu: (1) untuk mengetahui dan menganlisis tentang legalitas perang dalam pandangan hukum humaniter internasional; dan (2) untuk mengetahui dan menganlisis tentang tinjauan hukum humaniter dalam melihat aksi penyerangan koalisi Arab Saudi terhadap Yaman dalam prespektif hukum humaniter. Artikel ini tergolong penelitian hukum normatif yang menggunakan 2 jenis pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Berdasarkan hasil analisis, maka dapat disimpulkan bahwa perang yang dipandang legal menurut hukum humaniter ialah perang yang pelaksanaannya bersesuaian dengan Konvensi Jenewa dan Kovensi Den Haag. Memperhatikan aksi penyerangan koalisis arab Saudi terhadap Yaman, maka penyerangan sebagaimana dimaksud sangat bertentangan Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1947. Kata Kunci: Penyerangan, Militer Koalisi, Hukum Humaniter ABSTRACT The purposes of this article are: (1) to identify and analyze the legality of war in the view of international humanitarian law; and (2) to find out and analyze the review of humanitarian law in seeing the actions of the Saudi Arabian coalition's attack on Yemen from a humanitarian law perspective. This article is classified as normative legal research that uses 2 types of approaches, namely the statutory approach and the conceptual approach. Based on the results of the analysis, it can be concluded that a war which is considered legal according to humanitarian law is a war whose implementation is in accordance with the Geneva Conventions and the Hague Conventions. Taking into account the actions of the Saudi Arabian coalition's attack on Yemen, the attack as referred to strongly contradicts the Additional Protocol to the 1947 Geneva Convention. Key Words: Agression, Coalition Military, Humanitarian Law
PENJARAHAN BANGKAI KAPAL PERANG HMS EXETER: IMPLIKASI HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA Astawa, I Wayan Michael Grace; Dewi, Tjokorda Istri Diah Widyantari Pradnya
Kertha Desa Vol 9 No 8 (2021)
Publisher : Kertha Desa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui serta menelaah tentang pengaturan hukum mengenai kapal perang yang karam di perairan Indonesia beserta dengan implikasi hukum dan tanggung jawab negara dari hilangnya HMS Exeter. Artikel ini ditulis dengan motode penelitian yuridis normatif dan dianalisis secara deduktif. Lebih lanjut artikel ini diteliti menggunakan pendekatan perundang-undangan dengan cara menghimpun data yang dikumpulkan melalui teknik bola salju. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa Indonesia sudah mempunyai seperangkat aturan yang memberikan ketentuan dalam mengatur mengenai bangkai kapal. Aturan tersebut dapat dibedakan menjadi 2, yaitu aturan yang berdasar dari hukum internasional, dan aturan yang berdasar dari hukum nasional. Aturan-aturan tersebut juga sudah dilengkapi dengan sanksi administratif maupun sanksi pidana apabila terdapat pihak-pihak yang melanggar ketentuan didalamnya. Penjarahan HMS Exeter tidak mengakibatkan Indonesia untuk bertanggungjawab kepada Inggris karena Indonesia tidak mempunyai kewajiban, baik yang lahir dari hukum internasional maupun perjanjian, yang mengharuskan untuk bertanggungjawab apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dari bangkai kapal Inggris tersebut. Kata Kunci: HMS Exeter, Penjarahan Kapal, Tanggung jawab Negara ABSTRACT This research is conducted with the aim to find out and examine about the legal arrangements regarding warships that sank in Indonesian waters along with the legal implication and state responsibility for the loss of HMS Exeter. This article written using normative judicial research method and deductively analyzed. Furthermore this article is examined using statutory approach by collecting data through snowball technique. The result of this study show that Indonesia already has a set of rules that provide provisions for regulating shipwrecks. These rules can be divided into two, the first one is based on international law, and the second one is based on national law. These regulations also have both administrative and criminal sanction for those who violated the provision therein. The disappearance of HMS Exeter did not result in Indonesia being responsible to British since Indonesia did not have any obligation, either from international law or treaties, to force Indonesia to do so in case something untoward had happened from the British shipwreck. Key Words: HMS Exeter, Shipwreck Looting, State’s Responsibility
Sterilisasi Paksa Oleh Pemerintah Tiongkok Terhadap Perempuan Etnis Uighur: Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional Evelyn Salsabila; Tjokorda Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/KW.2020.v10.i01.p01

Abstract

This study aims to acknowledge the perspective of international human rights law regarding the involuntary sterilization policy implemented by the Government of China against Uighurs women. The research method used is juridical-normative research methodology using statutory and conceptual approach which focus on studying various international legal instruments and other legal materials relating to China's implementation of forced sterilization against Uighurs women and human rights protection for them. Based on the study, writer acknowledges that the involuntary sterilization policy implemented by the Government of China is violating the human rights of Uighurs women as regulated in numerous applicable human rights legal instruments. Key Words: Involuntary Sterilization, Human Rights, Uighurs Women
Perbandingan Penyelesaian Kasus Tindakan Eksperimen Medis Saat Perang Dunia II Dan Perang Irak Agnes Maria Aprilia Evelyn Aminawati; Tjokorda Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 10 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Eksperimen medis yang dilakukan pemerintahan Nazi Jerman ketika Perang Dunia II (PD II) sangatlah kejam dan melukai hati nurani masyarakat internasional. Hingga saat PD II berakhir, para penjahat perang tersebut diadili di Pengadilan Nuremberg, khususnya Doctors’ Trial. Berbeda dengan saat Perang Irak, dimana AS menginvasi Irak dan banyak melakukan pelanggaran berat, termasuk eksperimen medis yang dilakukan terhadap tawanan perang Irak. Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui bagaimana perbandingan penyelesaian kasus tindakan eksperimen medis saat PD II dan Perang Irak dan mengetahui apa sanksi yang dapat dihadapi AS. Kedua masalah dianalisis menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang – undangan yang mengacu pada hukum pidana internasional dan hukum humaniter internasional. Hasil penelitian dan analisis menunjukkan bahwa penyelesaian kasus tindakan eksperimen medis saat PD II lebih efektif karena para penjahat perang diadili dan dihukum saat diadili di Pengadilan Nuremberg, namun tidak dengan AS, yang hanya menghukum para pelaku yang terlibat dalam tindakan penyiksaan tersebut dalam pengadilan militernya sendiri tanpa bisa diadili di ICC, yang sesungguhnya ICC memiliki wewenang untuk mengadili kejahatan yang dilakukan tentara AS tersebut. AS hanya mencari, mengadili, dan menghukum para pelaku dengan dikenai sanksi administrasi dan hukuman pidana penjara. Kata Kunci : eksperimen medis, tawanan perang, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan. ABSTRACT Medical experiments carried out by the Nazi Germany during World War II (WW II) were very cruel and hurt the conscience of the international community. At the end of WW II, the war criminals were tried in the Nuremberg Trial, especially Doctors' Trial. In contrast to the time of the Iraq War, where the US invaded Iraq and committed many serious violations, including medical experiments conducted on Iraqi prisoners of war. The purpose of this study is to find out how to compare the resolution of cases of medical experimental during WW II and the Iraq War and find out what punishments can be faced by the US. Both problems are analyzed using normative research methods with a statutory approach that refers to international criminal law and international humanitarian law. The results of research and analysis show that the resolution of cases of medical experimental during WW II was more effective because war criminals were tried and convicted when tried at the Nuremberg Trial, but not with the US, which only punished the perpetrators involved in torture in their own military court without can be tried at the ICC, which in fact ICC has the authority to prosecute crimes committed by the US army. The US only seeks, hears, and punishes perpetrators with administrative sanctions and imprisonment. Keywords : medical experiments, prisoners of war, war crimes, crimes against humanity.
THE REGULATORY AND PRACTICE CONCERNING ROLE OF TRIBUNAL SECRETARY IN INTERNATIONAL ARBITRATION Ni Luh Putu Chintya Arsani; Cokorda Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi
Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum Vol. 06, No. 03, Mei 2018
Publisher : Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (292.578 KB)

Abstract

Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa internasional secara damai yang tersedia. Sebagai badan yang independen, pada proses arbitrase, para pihak dapat menentukan sendiri aturan prosedural dalam arbitrase, jumlah arbitrator dan aturan apa saja yang ingin digunakan, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip hukum umum yang digunakan pada proses arbitrase. Sudah merupakan praktek yang lumrah pada saat dilakukannya proses arbitrase, para arbitrator biasanya menggunakan sekertaris untuk tugas-tugas administratif. Karena tidak adanya aturan yang seragam sebagai acuan, tugas dari sekretaris ini terkadang diperluas sampai diluar kewenangannya, seperti menjadi arbitrator keempat hingga sampai menyusun putusan arbitrase. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini yaitu metode penelitian normatif dipadukan dengan pendekatan perbandingan, perundang-undangan, kasus, literatur terkait dan analisis konsep hukum. Berdasarkan penelitian, dalam prakteknya, tugas sekretaris dalam proses arbitrase tidaklah lebih dari administratif dan tidak terlibat dengan proses pengambilan keputusan. Dikarenakan saat ini belum ada aturan yang sama sebagai acuan yang mengatur secara tegas mengenai peran dan juga tugas yang dapat dilakukan oleh sekretaris di proses arbitrase, munculah kasus-kasus baru berdasarkan pada kecurangan sekretaris karena dinilai melebihi kewenangannya. Pada kesimpulannya, adanya aturan umum mengenai sekretaris di proses arbitrase internasional sangat dibutuhkan untuk kejelasan dari kelangsungan praktek di arbitrase internasional. Kata kunci: Arbitrase, Sekretaris, Peran, Praktek.
Hukuman Kebiri Kimia terhadap Pelaku Kekerasan Sexual berdasarkan Perspektif Hak Asasi Manusia Internasional I Nyoman Adhi Sadu Gunawan; Tjokorda Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi
Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 3 (2022)
Publisher : Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Tujuan artikel ini adalah untuk mengetahui pandangan dalam pesepektif hak asasi manusia international terkait hukuman Kebiri Kimia, disamping itu juga untuk mengetahui Hukuman Kebiri Kimia dalam implementasinya sudah efektif untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian normatif. Penulisan artikel ini menggunakan pendekatan normative dan pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan sexual tiap tahunnya mengalami peningkatan, pelaku kekerasan seksual yang terungkap rata-rata melakukan kejahatannya kepada lebih dari satu orang, Mayoritas korban kekerasan Seksual adalah anak dibawah umur dan kaum perempuan. Negara dalam hal ini sangat mengecam Kekerasan Seksual, beberapa negara mulai memberlakukan hukuman kebiri kimia, hal ini menuai pro dan kontra terkait efektifitasnya dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1948 secara jelas menjelaskan hak-hak manusia meliputi hak untuk dihukum secara manusiawi. Dilihat dari kacamata korban Kekerasan Seksual, perlindungan terhadap korban kekerasan Seksual juga harus ditegakan, dengan diberlakukannya kebiri kimia merupakan tindakan pencegahan agar pelaku kekerasan seksual tidak mengulangi kejahatannya. Disisi lain keharusan untuk memberikan Hukuman yang layak bagi pelaku kekerasan seksual juga menjadi alasan diberlakukannya kebiri kimia, dalam hal ini kekerasan seksual meliputi pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi merupakan salah satu Kejahatan terhadap kemanusiaan sesuai dengan Statuta Roma pasal 7 poin g. efektifitas dari pemberlakuan hukuman kebiri kimia pun tidak terlalu signifikan untuk mengurangi terjadinya kekerasan seksual Kata kunci : Anak dibawah umur, Hukuman Kebiri Kimia, Kekerasan Sexual, Perempuan ABSTRACT The purpose of this article is to determine Chemical castraction on perspective of International Human rights, beside that to acknowledge whether implementation of chemical castraction punishment is effective to prefent sexual violence. This research used normative research method. For the writing of this article used normative approach that prioritizing on legal perspective and used case approach. Sexual violence is continuing to increase year by year, sexual offender that has been proof mostly did sexual violence to more than one person. The majority of their victims are minors and women. In this issues State declaim and prohibit sexual violence, some State have been legalized chemical castraction on their statute, by this making pros and cons about effectivities of chemical castraction to prefent sexual offender to do such stuff again. International Amnesty said that chemical castraction is inhuman and ineffective way to prefent sexual violence. Universal declaration of human right 1948 explicitlly clarify that human right including rights to not subjected inhuman or degrading treatment or punishment. On victims perspective, security of victims becoming priority, by legalizing chemical castraction is a prefenting action to prefent sexual violence. On other side liability to give proper punishment for sexual offender become one of a reason to enforce Chemical castractio, sexual harassment include Rape, Slavery, and Prostitution which are conclude to be Crime against Humanity as explained on Rome Statute article 7 poin g. the effectiveness of chemical castration are not really significantly decrease of sexual harassment Keywords : Chemical castraction punishment, Minors, Sexual violence, Women
Street Legal Clinic: Development of Legal Learning Methods Based On Clinical Education in Law Education Institutions Kadek Agus Sudiarawan; Putu Ade Harriestha Martana; Cok Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi; I Kadek Wira Dwipayana; Luh Putu Budiarti
Pancasila and Law Review Vol 2 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (371.065 KB) | DOI: 10.25041/plr.v2i1.2220

Abstract

Clinical Legal Education is an interesting subject to be developed at the Faculty of Legal, Universitas Udayana. Unlike other subjects, clinical legal education participants get an education in the classroom and go directly to the field (community) to increase students' knowledge and practical abilities in solving problems in society. The purpose of writing this journal is to find out how the form of clinical education-based learning, especially in the form of Street Legal Clinic at the Faculty of Law, Universitas Udayana, and to find a model for developing learning methods based on clinical legal education in the form of street legal clinic that can answer legal problems that develop in society. More optimally, the author uses normative legal research methods with the statutory approach and conceptual approach. The results showed that the form of the clinical legal education which is implemented at the Faculty of Law of Universitas Udayana consisted of three stages of the process, namely the planning component, the experiential component, and the reflection component with the learning models that had been used so far, namely In House Clinic, Out House Clinic, Combination and Street Legal Clinic. The development model suggested in implementing the Street Legal Clinic is to be more optimal in answering problems in the community, namely by accommodating several stages in its implementation, namely the pre-implementation, implementation, and evaluation stages into a single unit that is packaged creatively and comprehensively in collaboration with Clinical Partners.
PERAN PEMERINTAH UNTUK MELINDUNGI PENGUNGSI LUAR NEGERI DI INDONESIA PADA MASA COVID-19 Lutfiana Umar; Tjokorda Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 6 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/KW.2022.v11.i06.p14

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi para pengungsi luar negeri, walaupun Indonesia tidak menandatangani Konvensi pengungsi 1951 dan Protokolnya serta untuk mengetahui apakah yang pemerintah Indonesia sudah cukup membantu para pengungsi luar negeri untuk bertahan hidup semasa pandemic Covid-19. Tulisan ini menggunakan metode penelitian Normatif dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi para pengungsi walaupun Indonesia belum menandatangani Konvensi mengenai Status Pengungsi dan Protokolnya. Namun, Indonesia gagal menjamin hak-hak yang menjadi hak para pengungsi, terutama di tengah merebaknya wabah Covid-19, seperti misalnya di tempat penampungan pengungsi di Makassar telah ada yang dinyatakan Covid-19. Dengan kurangnya Upaya pemerintah Indonesia dalam menyediakan fasilitas Kesehatan dan standar perumahan yang memadai untuk para pengungsi, maka bisa ditemukan pengungsi yang dinyatakan positif Covid-19. Kata Kunci: Pengungsi, Covid-19, Perlindungan Pengungsi, Konvensi Pengungsi Luar Negeri, Hak Asasi Manusia. ABSTRACT This paper aims to find out whether Indonesia has responsibilities to look after refugees, despite the fact Indonesia did not sign the 1951 Refugee Convention and its Protocol and to find out whether the Indonesian government has been sufficient to help refugees to survive during the Covid-19 pandemic. This paper is using the normative research methods. Indonesia still responsible to look after refugees despite the fact that Indonesia hasn’t signed the Protocol and Convention of Refuges. Howbeit, Indonesia failed to guarantee the rights of refugees, especially in Covid-19 pandemic. At the refugee shelter in Makassar, someone has been declared Covid-19. With the lack of efforts by the Indonesian government in providing health facilities and adequate housing standards for the refugees, it is of course not surprising that someone has tested positive for Covid-19. Key Words: Refugees, Covid-19, Refugees Protection, Convention of Refugees, Human Rights.
Questioning Direct Cash Funds Regulation on Village Funds in Province of Bali during Covid-19 Pandemic Ni Luh Gede Astariyani; Bagus Hermanto; Ni Made Ari Yuliartini Griadhi; Tjokorda Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi
Kertha Patrika Vol 44 No 3 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/KP.2022.v44.i03.p.02

Abstract

The objections of this article are to describe, analyze, combine, and maintain concurrent relationships between regulations, implementation of Direct Cash Fund regulations at the regional level, and determined or measured factors on Direct Cash Fund by regional governments. This study combined normative and empirical legal research, analyzed legal instruments, and conducted interviews with various apparatus and parties involved in the Direct Cash Fund. This research results demonstrate that Direct Cash Fund was an effective government instrument, both in terms of its regulation and implementation by central and regional governments, in assisting village governments in mitigating the COVID-19 pandemic effect, particularly on the poorest people, and sustaining village development agendas through the new Village Fund scheme within Direct Cash Fund allocation.
DIMENSI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DI LAUT LEPAS MENURUT UNCLOS 1982 Kent Revelino Chandra; Tjokorda Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 12 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/KW.2022.v11.i12.p2

Abstract

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memahami dua hal. Pertama, bagaimana pengaturan perlindungan HAM dapat diterapkan di laut, terutama di daerah laut lepas yang pada dasarnya tidak dimiliki oleh siapa pun, termasuk negara. Kedua, bagaimana kewajiban negara dapat timbul di laut lepas untuk melindungi HAM individu yang berada di kapal tersebut. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif untuk menyelidiki isu-isu yang dibahas. Sebagai hasilnya, dapat disimpulkan bahwa hukum internasional mengenai perlindungan HAM dapat diterapkan, didasarkan pada Pasal 293 UNCLOS yang memperbolehkan penggunaan hukum internasional yang relevan. Selain itu, kewajiban negara di laut lepas timbul dari yurisdiksi eksklusif negara bendera yang berlaku untuk kapal tersebut. Oleh karena itu, negara bendera harus memastikan bahwa kapal tersebut mematuhi semua hukum nasional dan internasional yang berlaku, sesuai dengan yurisdiksi negara bendera. Kata Kunci: UNCLOS, Hak Asasi Manusia, Laut Lepas, Exclusive Jurisdiction, dan ICCPR ABSTRACT The objective of this writing is twofold. Firstly, it aims to comprehend how regulations pertaining to the protection of Human Rights can be implemented at sea, specifically in the high seas, which are essentially unclaimed territories not belonging to any state. Secondly, it seeks to explore the obligations of states in the high seas to safeguard the Human Rights of individuals aboard ships. The author will utilize a normative legal research methodology to address these concerns. Consequently, it can be inferred that international laws concerning the protection of Human Rights can be applied by invoking Article 293 of UNCLOS, which allows for the incorporation of relevant international laws. Furthermore, state obligations in the high seas emanate from the flag state's exclusive jurisdiction over the ship. Hence, the flag state bears the responsibility to ensure that the ship adheres to all applicable national and international laws, in accordance with the flag state's jurisdiction. Key Words: UNCLOS, Human Rights, High Seas, Exclusive Jurisdiction, and ICCPR