Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

LIFE SKILLS PROGRAM FOR IMPROVING ADOLESCENT MENTAL HEALTH IN THE AFTERMATH MOUNT MERAPI ERUPTION, YOGYAKARTA-INDONESIA Kaligis, Fransiska; SW, Noorhana; Diatri, Hervita; Dharmono, Suryo
ASEAN Journal of Community Engagement Vol. 1 No. 1 (2017)
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The ability of adolescents to cope with stressful life events has notbeen well developed. Facing stressfulsituations might trigger them to engage in many dangerous and self-destructivebehaviors. Life skills program in improving mental health of adolescents has been proven in many countries, as it has in Indonesia. In post-disaster situation, there is rarelyany community program which focuses on adolescent mental health. Life skillsprogram is a psychological intervention to teach adolescents to improve theirskill to cope with stress, develop self-esteem, deal with peer pressure, thinkcritically, communicate appropriately and act assertively. Teachers and localhealth professionals who have already been trained about life skills programapply this program in adolescents experiencing a stressful event, a naturaldisaster from the eruption of Mount Merapi in Yogyakarta-Indonesia. This studyattempts to apply and evaluate the effectiveness of the program for adolescentswho had survived a natural disaster in Yogyakarta-Indonesia. Three-weeks lifeskills training was conducted in 2012 on 40 junior and senior high schoolstudents, post Mount Merapi eruption in Yogyakarta and Magelang. Subjects wereassessed for their self-image using Rosenberg self-image questionnaire, andtheir emotional-behavioral problems and mental strength using Strength andDifficulties Questionnaire (SDQ), before and after the training. SPSS was usedfor the statistical analysis. The average age of the subjects was 14.48 +1.21 years old. There were significant differences on the self-esteem andmental strength aspects of the subjects before and after intervention. Score onlow self-esteem was improved (p=0.005), negative self perception also becamebetter (p<0.001), and prosocial behavior was increased (p=0.001). There werealso decreasing difficulties and emotional-behavioral problem score afterintervention, and other aspects of self-esteem such as instability andself-consciousness. Life skills training has several positive effects inimproving mental strength and self-image and decreasing emotional andbehavioral problems of adolescents post-disaster.
PENGARUH SUBSTITUSI DEDAK HALUS DENGAN TEPUNG KULIT BUAH KOPI DALAM RANSUM TERHADAP KECERNAAN ENERGI DAN PROTEIN PADA TERNAK BABI FASE GROWER Kaligis, fransiska; Umboh, J. F.; Pontoh, Ch. J.; Rahasia, C. A.
ZOOTEC Vol 37, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (229.356 KB) | DOI: 10.35792/zot.37.2.2017.15787

Abstract

EFFECT OF SUBSTITUTION OF RICE BRAN WITH COFFEE HUSK MEAL IN THE DIETS ON ENERGY AND PROTEIN DIGESTIBILITY   OF GROWING PIGS. A study was conducted todetermine the effects of substitution of rice bran with  coffee husk meal in the diets on energy and protein digestibility of growing pigs. The present study was conducted for 60 days, using 20 castrated male Duroc X Spotted Poland China, aged 2.5–3.0 months with an averaged body weight of 30.1–40.0 kg. Treatment diets were formulated as follow: R0 = 25% rice bran + 0% coffee husk meal (without coffee husk meal); R1 = 18.75% rice bran + 6.25% coffee husk meal (substitution of 25%); R2 = 12.5% rice bran + 12.5% coffee husk meal (substitution of 50%); R3 = 6.25% rice bran + 18.75% coffee husk meal (substitution of 75%); and R4 = 0% rice bran + 100% coffee husk meal (substitution of 100%). Completely Randomized Block Design (CRBD) with 5 treatments and 4 replications (blocks) was used as a statistical analysis (Anova). An Orthogonal Contrast test was further employed to analyze treatment differences. Different between treatment (s) was declared at P < 0,05. Parameters measured were energy and protein digestibility. Research results showed that there was no significant differences (P > 0,05) were found among treatments on energy and protein digestibility. It can be concluded that coffee husk meal can be used up to 100% to replace rice bran or 25% in the diets of growing pigs.Key words: Pig, rice bran, coffe husk, energy, protein digestibility
Gangguan Memori Kerja pada Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas: Suatu Studi Komparatif Evi Evi; Fransiska Kaligis; Tjhin Wiguna; Anak Agung Ayu Agung Kusumawardhani
Sari Pediatri Vol 23, No 2 (2021)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp23.2.2021.88-94

Abstract

Latar belakang. Penelitian menunjukkan memori kerja merupakan prediktor kapasitas belajar yang lebih bermakna daripada intelligence quotient (IQ). Bila fungsi ini terganggu, anak dapat mengalami kesulitan belajar. Studi melaporkan gangguan memori kerja banyak ditemukan pada gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH). Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data proporsi gangguan memori kerja pada anak GPPH dan perbandingan dengan anak tanpa GPPH. Data ini diharapkan dapat menjadi data dasar bagi pengembangan intervensi selanjutnya.Metode. Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode randomized sampling. Instrumen Working Memory Rating Scale (WMRS) yang telah divalidasi dalam Bahasa Indonesia oleh Wiguna, dkk. (2012) digunakan untuk menentukan ada tidaknya defisit memori kerja. Hasil. Proporsi gangguan memori kerja pada kelompok anak dengan GPPH berbeda bermakna dibandingkan kelompok anak tanpa GPPH (44% vs 0%, p<0,05). Pada uji analisis, didapatkan prevalence ratio (PR) 40,4 (95% IK 2,22 - 738,01), artinya anak dengan GPPH berisiko mengalami gangguan memori kerja 40,4 kali lebih besar dibandingkan anak tanpa GPPH. Kesimpulan. Gangguan memori kerja lebih banyak ditemukan pada anak dengan GPPH. Pemeriksaan memori kerja pada anak dengan GPPH diperlukan untuk mengantisipasi kesulitan belajar yang mungkin timbul. Intervensi tambahan dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki gangguan memori kerja pada anak dengan GPPH.
Uji Diagnostik Working Memory Rating Scale (WMRS) versi Bahasa Indonesia dan Proporsi Anak Sekolah Dasar dengan Kesulitan Belajar GDQ'HÀVLWWorking Memorydi Jakarta Tjhin Wiguna; Noorhana Setyawati WR; Fransiska Kaligis
Sari Pediatri Vol 14, No 3 (2012)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp14.3.2012.191-7

Abstract

Latar belakang.Kesulitan belajar merupakan masalah tersering ditemukan pada anak dan remaja. Penelitian terakhir menunjukkan hubungan antara kesulitan belajar dan defisit working memory, namun sampai saat ini penentuan defisit working memorymasih sulit dilakukan. Tujuan.Mendapatkan alat ukur working memoryyang sahih dan andal bagi guru di sekolah dasar dalam Bahasa Indonesia. Di samping itu, penelitian kami juga bermaksud mengidentifikasi besar proporsi anak dengan kesulitan belajar dan defisit working memorydi Jakarta. Metode.Penelitian uji diagnostik dan potong lintang; (1) uji diagnostik working memory rating scale (WMRS) versi Bahasa Indonesia. Sembilanpuluh sembilan anak dari 5 sekolah dasar yang dipilih secara acak proporsional; (2) Studi potong lintang untuk mendapatkan proporsi anak dengan kesulitan belajar yang disertai dan tanpa disertai defisit working memorydi wilayah Jakarta. Empatratus duapuluh tiga anak dari 27 sekolah dasar di Jakarta yang dipilih secara acak proporsional. Hasil.Titik potong WMRS versi Bahasa Indonesia pada kelompok usia 6–9 tahun, T score> 60 adalah 20 danT score>70 adalah 30 (sensitivitas 0,161 dan spesifisitas 0,674). Pada kelompok usia 10–12 tahun, T score>60 adalah 29 dan T score>70 adalah 42 (sensitivitas 0,186 dan spesifisitas 0,929). Dari 423 anak usia sekolah dasar dengan usia rerata 9,34 (1,78) yang diikutsertakan, didapat 104 (24,6%) anak yang mengalami kesulitan belajar. Usia rerata anak dengan kesulitan belajar 9,58 (1,76). Proporsi anak sekolah dasar yang mengalami kesulitan belajar murni dengan defisit workingmemory 8,04% dengan usia rerata 9,82 (1,79). Kesimpulan.Working memory rating scale(WMRS) versi Bahasa Indonesia spesifik dalam menilai defisit working memorypada anak sekolah dasar dengan kesulitan belajar. Proporsi kesulitan belajar pada anak sekolah dasar dan defisit working memorycukup besar dan kondisi tersebut perlu menjadi perhatian agar kualitas anak dapat ditingkatkan
Efektivitas Pelatihan Kecakapan Hidup Menggunakan Modul Pengelolaan Emosi pada Remaja Perempuan dengan Lupus Eritematosus Sistemik Safira A Tjandrasari; Fransiska Kaligis; Tjhin Wiguna; Raden Irawati Ismail; Dina Muktiarti
eJournal Kedokteran Indonesia Vol 9, No. 2 - Agustus 2021
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (378.18 KB) | DOI: 10.23886/ejki.9.52.80

Abstract

Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit kronik yang dapat menyebabkan masalah emosi pada remaja, khususnya perempuan sehingga fokus perawatan pada remaja dengan LES adalah mengatasi gangguan yang dialami secara keseluruhan. Studi ini bertujuan untuk mengetahui masalah emosi pada remaja perempuan dengan LES dan efektivitas pelatihan kecakapan hidup-modul pengelolaan emosi (PKH-MPE) dalam mengatasi masalah emosi. Studi ini menggunakan desain uji klinis teracak dalam 2 grup di RSUPN dr. Cipto Mangungkusumo pada bulan Januari hingga Desember 2019. Subjek adalah 30 remaja perempuan dengan LES yang sudah mendapat terapi dan memiliki skor Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI) 0-5. Masalah emosi dinilai dengan Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ) pada awal dan 4 minggu pasca perlakuan. Sebanyak 6/30 remaja perempuan memiliki nilai SDQ abnormal pada awal studi. PKH-MPE efektif menurunkan masalah emosi pada kelompok perlakuan dibandingkan kontrol (uji Wilcoxon, p=0,002). Pada kelompok perlakuan terdapat perbaikan total skor SDQ (p=0,001), masalah emosi (p = 0,002), masalah perilaku (p=0,027) dan perilaku hiperaktif (p=0,040) dibandingkan awal studi. PKH-MPE secara bermakna mengurangi keluhan nyeri, kecemasan dan perasaan gugup pada kelompok perlakuan. Disimpulkan PKH-MPE efektif memperbaiki masalah emosi pada remaja perempuan dengan LES, terutama keluhan nyeri, cemas, dan perasaan gugup. Kata kunci: lupus, penyakit kronis, masalah emosi, pelatihan kecakapan hidup, SDQ.   Effectiveness of Life SkillsTraining-Emotional Management Module in Female Adolescent with Systemic Lupus Erythematosus Abstract Systemic lupus erythematosus (SLE) is a chronic disease that can cause emotional problems in adolescents, predominantly female thus, the focus of care in adolescents with SLE is to treat the patients holistic. The study aims to assess the emotional problems in female adolescents with SLE and the effect of life skills training-emotional management module in female adolescents with SLE. This study is a randomized clinical trial with no blinding which located in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. Thirty female adolescents with treated SLE and had Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI) score 0-5 were included. Emotional problems were assessed at the beginning of the study and four weeks after intervention. It was found that there were 6/30 subjects with abnormal SDQ at the beginning of the study. Life skills training was found effective in treating emotional problems, compared to control with (Wilcoxon test, p=0.002). Life skill straining was also found effective in improving SDQ score (p=0.001), emotional problem (p=0.002), conduct problems (p=0.027),and hyperactivity (p=0.040) in the intervention group compared to baseline. Life skill straining reduced physical pain, worries, and nervousness in the intervention group. In conclusion, the life skill straining-emotional management module was effective in improving emotional problems in a female adolescent with SLE, especially physical pain, worries, and nervousness. Keywords: SLE, chronic disease, emotional problems, life skills training, SDQ.
Hubungan Faktor Sosiodemografis Korban Kekerasan Seksual Anak dengan Kedatangan ke Poliklinik Stres Pasca-trauma RSCM, 2017-2020 Andika Widianti; Fransiska Kaligis; Tjhin Wiguna; Raden Irawati Ismail
eJournal Kedokteran Indonesia Vol. 10 No. 2 - Agustus 2022
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23886/ejki.10.162.121-8

Abstract

Kedatangan korban kekerasan seksual anak ke layanan kesehatan mental cukup rendah. Keputusan mengakses layanan kesehatan mental dipengaruhi faktor sosiodemografis. Penelitian bertujuan mendapatkan gambaran faktor sosiodemografis korban kekerasan seksual anak dan hubungannya dengan kedatangan ke Poliklinik Stres Pasca Trauma (PSPT) Anak dan Remaja RSCM setelah pemeriksaan awal di Pusat Krisis Terpadu (PKT) RSCM. Studi potong lintang ini melibatkan 90 pasien yang datang ke PKT RSCM pada bulan Februari 2017 – Desember 2020. Kedatangan ke PSPT ditelusuri dari electronic health record. Terdapat 20 sampel (22,22%) korban yang datang, sebagian besar berusia 12-18 tahun (55%), perempuan (95%), dan tidak memiliki riwayat gangguan mental (70%). Pelaku rawat sebagian besar berusia 39-48 tahun (50%), menikah (80%), karyawan swasta (70%), lulusan SMA/SMK (45%), tidak memiliki riwayat gangguan mental (85%), mempunyai ≥ 3 anak (45%), suku Jawa (35%), pendapatan ≥ Rp 4.597.078 (70%), dan menggunakan pembiayaan umum (65%). Riwayat gangguan mental pada anak (p<0,001) dan pelaku rawat (p=0,010) berhubungan dengan kedatangan ke PSPT. Disimpulkan faktor sosiodemografi, yaitu riwayat gangguan mental pada anak dan pelaku rawat berhubungan dengan kedatangan ke PSPT. Kata kunci: anak, kedatangan ke layanan kesehatan mental, kekerasan seksual.   Child Sexual Abuse Victims Sociodemographic Profile Associated with Attendance to Post Traumatic Stress Recovery Outpatient Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital: 2017-2020 Abstract Child sexual abuse victim attendance to mental health services is quite low. Decision to access mental health services is influenced by sociodemographic factors. The aim of this study is to obtain child sexual abuse victim sociodemographic profile and their association with attendance to Cipto Mangunkusumo Hospital’s Child and Adolescent Post Traumatic Stress Recovery Outpatient Clinic after initial assessment in Cipto Mangunkusumo Hospital’s Integrated Crisis Center. This cross-sectional study involving 90 patients who came to Cipto Mangunkusumo Hospital’s Integrated Crisis Center in February 2017 – December 2020. Attendances to Cipto Mangunkusumo Hospital’s Post Traumatic Stress Recovery Outpatient Clinic were traced from electronic health record. There were 20 samples (22.22%) who came, majority were 12-18 years old (55%), female (95%), and did not have mental disorders (70%). Most of caregivers were 39-48 years old (50%), married (80%), private employees (70%), high school graduate (45%), do not have mental disorders (85%), have ≥ 3 children (45%), Javanese (35%), income > IDR 4,597,078 (70%), and use out of pocket financing (65%). Mental disorders history in children (p<0,001) and caregivers (p=0.010) had a significant relationship with attendance at Cipto Mangunkusumo Hospital’s Child and Adolescent Post Traumatic Stress Recovery Outpatient Clinic. Concluded that sociodemographic factor, that is mental disorders history in children and caregivers had association with attendance to Cipto Mangunkusumo Hospital’s Child and Adolescent Post Traumatic Stress Recovery Outpatient Clinic. Keywords: attendance to mental health services, children, sexual abuse.
Clinical approach to auditory malingering in an adolescent Yasin, Fikry; Zizlavsky, Semiramis; Irfan; Kaligis, Fransiska
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol. 54 No. 2 (2024): VOLUME 54, NO. 2 JULY - DECEMBER 2024
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v54i2.640

Abstract

Background: Cases of auditory malingering are frequently encountered in medical practice, but there was very limited scientific evidence on the characterization of auditory malingering in children and adolescents. Purpose: To provide a comprehensive description of an auditory malingering case in an adolescent. Case Report: A 14-year-old boy came with complaints of sudden bilateral deafness, for the last three months. Hearing examination findings were within normal limits. Discussion: An objective hearing examination was necessary to complement subjective assessments in establishing the diagnosis of hearing loss. In this case, following normal auditory findings and subsequent consultations, the patient admitted that he had feigned his symptoms to avoid bullying by his friends, who mocked him for never having visited Jakarta. Conclusion: The examination of hearing function should involve not only subjective hearing examinations, but also objective hearing examinations to establish a diagnosis of hearing loss. Keywords: hearing loss, hearing examination, malingering   ABSTRAK Latar belakang: Kasus malingering yang melibatkan organ pendengaran cukup sering ditemukan dalam praktek kedokteran sehari-hari, namun bukti ilmiah yang mendeskripsikan kejadian malingering pendengaran pada anak-anak dan remaja masih sangat terbatas. Tujuan: Untuk menyampaikan secara komprehensif suatu kasus malingering pendengaran pada seorang remaja. Kasus: Laki-laki usia 14 tahun datang dengan keluhan mendadak tidak dapat mendengar pada kedua telinga sejak 3 bulan terakhir. Hasil pemeriksaan fungsi pendengaran dalam batas normal. Pembahasan: Pemeriksaan fungsi pendengaran secara obyektif diperlukan untuk menegakkan diagnosis gangguan pendengaran. Pada kasus ini, setelah temuan pendengaran yang normal dan konsultasi lanjutan, pasien mengaku telah memalsukan gejalanya untuk menghindari perundungan teman-temannya yang mengejeknya karena belum pernah mengunjungi Jakarta. Kesimpulan: Pemeriksaan fungsi pendengaran sebaiknya tidak hanya dilakukan pemeriksaan pendengaran subyektif saja, namun diperlukan juga pemeriksaan pendengaran obyektif untuk menegakkan diagnosis gangguan pendengaran. Kata kunci: gangguan pendengaran, pemeriksaan fungsi pendengaran, malingering