Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

Tinjauan Hukuman Mati dalam Kasus Herry Wirawan Ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Anak dan Hukum Pidana Islam Muhammad Andita Atma Graha; Fariz Farrih Izadi
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 4 No. 1 (2024): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v4i1.9783

Abstract

Abstrak. Pelecehan seksual pada anak adalah suatu bentuk kejahatan terhadap anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual.Pelecehann seksual ini dapat berupa melakukan hubungan seksual terhadap anak-anak.Hukum Islam belum mengatur mengenai sanksi untuk menghukum pelaku pemerkosaan,sedangkan Al Qur’an dan Hadist tidak menjelaskan secara jelas mengenai hukuman bagi pelaku pelecehan seksual. Karena Al-Qur’an dan Hadist belum mengatur sanksi perbuatan pelecehan seksual, maka penerpana sanksi bagi pelaku ditentukan dengan hukuman ta’zir, ta’zir sanksi yang diberlakukan kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia dan tidak termasuk ke dalam kategori hudud atau kafarat. Tujuan dibuatnya tulisan ini untuk mengkaji bagaimana bentuk pemidanaan dan penetapan pidana khususnya pidana mati terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak,Kemudian penjatuhan pidana mati terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak masih kedepannya masih dapat diberlakukan. Hal tersebut disebabkan sanksi pidana mati hanya diterapkan pada ketentuan-ketentuan tertentu saja.Kemudian kekerasan seksual pada anak merupakan kejahatan yang luar biasa yang menyangkut kemanusiaan, serta adanya pembatasan mengenai kebebasan hak asasi seseorang dan pidana mati tidak lagi menjadi bentuk pidana pokok, melainkan pidana alternatif. ABSTRACT. Sexual despising is some kind of crime that happened to a child in which adult or older childreen use a child as a sexual stimulating.one example of sexual despising is a sexual intercourse with under age child. Islam's law has not regulate what kind of punishment to assailant, meanwhile Al Quran n hadist didn't explain explicitly about what kind of punishment to suspect of sexual despising. Because it hasn't been in Al Quran or hadist yet, so the punishment given to the suspect is based on what we called ta'zir law, ta'zir punishment are related to Allah rights or humans rights and its not include in hudud or kafarat category, The purpose of this paper is to examine how the forms of punishment and criminal penalties, especially the death penalty against perpetrators of sexual violence against children, Thenthe imposition of the death penalty on perpetrators of sexual violence against children can still be enforced in the future.This is because the death penalty is only applied to certain provisions. Then sexual violence against children is an extraordinary crime that involves humanity, and there are restrictions on the freedom of a person's human rights and the death penalty is no longer a form of basic crime, but an alternative punishment.
Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Provinsi Aceh Ditinjau dari Hukum Pidana Nasional dan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat Celsa Madila, Dekia; Farrih Izadi, Fariz
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 4 No. 1 (2024): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v4i1.9804

Abstract

Abstract. Sexual violence is a form of crime that insults and tarnishes human dignity. The national criminal law regulates provisions regarding sexual violence in Law Number 12 of 2022 with 9 (nine) types of sexual violence. The Qanun Jinayat regulates 2 (two) types of sexual violence. The formulation of the problem in this research includes: What are the differences in the types of criminal acts of sexual violence in the national criminal law and Aceh Qanun Number 6 of 2014 concerning Jinayat Law and what forms of accountability exist for perpetrators of sexual violence crimes in terms of the national criminal law and Aceh Qanun Number 6 of 2014 concerning Jinayat Law. The goal is to find out what has been described in the formula. The research method used is a normative juridical method with a qualitative approach. The results of this research are Law no. 12 of 2022 accommodates 9 (nine) types of sexual violence with levels of punishment that depend on the consequences obtained by the victim. Meanwhile, Qanun Jinayat is only limited to regulating sexual harassment and rape, the elements of which are in harmony with those in Islamic law. Regarding the form of accountability for perpetrators of sexual violence, the national criminal law and Qanun Jinayat have differences in the objectives of the punishment. Abstrak. Kekerasan seksual merupakan suatu bentuk kejahatan yang melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan. Hukum pidana nasional mengatur ketentuan mengenai kekerasan seksual dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2022 dengan 9 (sembilan) jenis kekerasan seksual. Adapun Qanun Jinayat mengatur 2 (dua) jenis kekerasan seksual. Rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi: Bagaimana perbedaan jenis tindak pidana kekerasan seksual dalam hukum pidana nasional dan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat serta Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pelaku tindak pidana kekerasan seksual ditinjau dari hukum pidana nasional dan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Tujuannya adalah untuk mengetahui apa yang telah diuraikan pada rumusan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian ini yaitu Undang – Undang No. 12 Tahun 2022 mengakomodir 9 (sembilan) jenis kekerasan seksual dengan kadar hukuman yang bergantung pada akibat yang didapat oleh korban. Sedangkan, Qanun Jinayat hanya terbatas mengatur jarimah pelecehan seksual dan pemerkosaan yang mana unsur – unsurnya memiliki keselarasan dengan yang ada dalam syari’at Islam. Adapun mengenai bentuk pertanggungjawaban pelaku kekerasan seksual dari hukum pidana nasional dan Qanun Jinayat memiliki perbedaan dalam tujuan pemidanaanya.
Pembatalan Perkawinan Poligami karena Tidak Memenuhi Syarat Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Faritsa Asri Afrianti Santri; Fariz Farrih Izadi
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 4 No. 1 (2024): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v4i1.9848

Abstract

ABSTRAK: Perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membuat keluarga atau membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan terkadang berjalan baik atau tidak, salah satunya fenomena poligami yang mana seorang pria menikahi beberapa wanita. Poligami sering kali menimbulkan masalah sosial, seperti konflik dalam hubungan rumah tangga, tindakan perselingkuhan, tingkat perceraian yang tinggi, dan praktik pernikahan tidak resmi (pernikahan siri) yang dapat berdampak negatif pada status hukum istri dan anak-anak yang terlibat. Penelitian ini bertujuan untuk memahami keabsahan perkawinan poligami tanpa izin istri pertama dan untuk memahami akibat dari pembatalan perkawinan terhadap para pihak dan keturunannya ditinjau dari Undang-Undarng Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analisis. Data penelitian ini dikumpulkan secara studi kepustakaan/literatur dengan menggunakan data sekunder dan analisis data yang digunakan yaitu yuridis kualitatif. Hasil penelitian ini bahwa perkawinan poligami harus melalui proses permohonan izin sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan. Tindakan perkawinan tanpa izin istri pertama juga dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan istri pertama berhak untuk mengajukan pembatalan yang berakibat perkawinan suami istri yang dibatalkan akan menyebabkan keduanya kembali ke kondisi sebelum menikah, sehingga hubungan suami-istri dianggap seolah-olah tidak pernah terjadi dan diberikan surat pernikahan tersebut dibatalkan. ABSTRACT: Marriage as a physical and mental bond between a man and a woman as husband and wife with the aim of creating a family or forming a happy and eternal household based on God Almighty. Marriage sometimes goes well or not, one of which is the phenomenon of polygamy where a man marries several women. Polygamy often leads to social problems, such as conflicts in household relationships, acts of infidelity, high divorce rates, and the practice of unofficial marriage (siri marriage) which can have a negative impact on the legal status of the wives and children involved. This research aims to understand the validity of polygamous marriages without the first wife's permission and to understand the consequences of marriage cancellation for the parties and their offspring in terms of Law Number 16 of 2019 concerning Amendments to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. This research uses a normative juridical approach method with descriptive analysis research specifications. This research data is collected by literature/literature studies using secondary data and the data analysis used is qualitative juridical. The result of this study is that polygamous marriages must go through a permit application process in accordance with Government Regulation Number 9 of 1975 concerning the Implementation of the Marriage Law. The act of marriage without the first wife's permission is also considered invalid and does not have permanent legal force based on the Compilation of Islamic Law and the first wife has the right to apply for annulment, which results in the marriage of a husband and wife that is cancelled will cause both of them to return to the condition before marriage, so that the marriage relationship is considered as if it never happened and given the marriage certificate is cancelled.
Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Sesama Jenis di Pondok Pesantren Dihubungkan dengan Tujuan Pendidikan Pesantren Ilham Akbar Ramdani; Fariz Farrih Izadi
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 4 No. 2 (2024): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v4i2.13489

Abstract

Abstract. Criminal acts of sexual violence occur in educational units that have a religious background, one of which is Pesantren. Ministry of Religion issued Minister of Religion Regulation Number 73 of 2022 concerning the Prevention and Handling of Sexual Violence in Education Units at the Ministry of Religion. These regulations do not guarantee legal protection for victims of sexual violence, because often victims do not receive fair legal protection in accordance with applicable legal regulations. This research aims to determine and analyze the legal responsibility of Pesantren that ignore victims of homosexual violence in Pesantren in relation to legal protection for victims of homosexual violence in Pesantren in relation to the educational goals of Pesantren. The research method used is a normative juridical approach with qualitative methods to produce descriptive-analytical data. This research resulted in the conclusion that the Pesantren neglect of victims of homosexual violence is a violation that can be subject to administrative sanctions. However, the regulations that accommodate legal protection do not explain the mechanism for providing sanctions and categorizing the level of violations, giving rise to legal uncertainty. Legal protection for victims of homosexual violence in Pesantren is related to the educational goals of Pesantren; a)preventing sexual violence through the formation of superior individuals; b)preventing sexual violence by improving the quality of life of the community; c)development of Islamic values ​​rahmatan lil 'alamin; d)the implementation of Pesantren based on national law. Abstrak. Tindak pidana kekerasan seksual terjadi pada Satuan Pendidikan yang memiliki latar belakang keagamaan, yaitu salah satunya adalah Pondok Pesantren. Kementerian Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Pada Kementerian Agama. Peraturan tersebut belum menjamin upaya perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual, karena seringkali korban tidak mendapatkan perlindungan hukum yang adil sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban hukum terhadap pondok pesantren yang mengabaikan korban kekerasan seksual sesama jenis di Pondok Pesantren dalam kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual sesama jenis di Pondok Pesantren dihubungkan dengan tujuan pendidikan pesantren. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan metode kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif-analisis. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa pengabaian Pondok Pesantren terhadap korban kekerasan seksual sesama jenis merupakan pelanggaran yang dapat dikenai sanksi administratif. Namun peraturan yang telah ada tidak menjelaskan mekanisme pemberian sanksi dan kategorisasi tingkat pelanggaran, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual sesama jenis di pesantren memiliki hubungan dengan tujuan pendidikan pesantren; a)pencegahan kekerasan seksual melalui pembentukan individu unggul; b)pencegahan kekerasan seksual melalui peningkatan kualitas hidup masyarakat; c)pengembangan nilai Islam rahmatan lil ‘alamin; d)penyelenggaraan Pondok Pesantren berdasarkan hukum nasional.
Penyuluhan Pengurusan Legalitas Lembaga Pengelola Zakat Di Pondok Terpadu Daarul Ilmi Cipeundeuy Abdul Rojak, Encep; Mujahid; Malki Ahmad Nasir; Fariz Farrih Izadi
Jurnal Pengabdian Multidisiplin Vol. 3 No. 3 (2023): Jurnal Pengabdian Multidisiplin
Publisher : Kuras Institute & Scidac Plus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51214/00202303693000

Abstract

The Integrated Islamic Boarding School Daarul Ilmi Cipeundeuy is a major educational institution. This institution was founded in 1993 AD, and has produced many graduates spread across the archipelago. One of the areas taught in theory and practice is zakat management. Every time we enter Ramadan, a zakat committee is formed by pesantren caregivers consisting of teachers and students. Since the establishment of the zakat management institution until 2022 it has not been legalized, even though the rules for zakat management have been regulated in the Zakat Law Number 13/2011. This is also due to limited human resources in terms of positive law. The purpose of this activity is to provide literacy on the legal aspects of zakat management institutions and how to register to become legal zakat managers. The method used in this service is in the form of seminars and mentoring. The seminar was filled with counseling by expert resource persons and service teams, and assistance was also carried out by sharing and mapping the ideal type of zakat manager for this institution. Through this service, pesantren caregivers, asatidz, and administrators of zakat institutions gain literacy about the legal aspects of zakat management and the management of permits. Through assistance carried out with the chairman of Baznas, the type of zakat management institution that is suitable for this institution is the zakat management unit (UPZ).
THE FULFILLMENT OF THE RIGHT TO HEALTH FOR INDONESIAN CITIZENS ABROAD: A HUMAN RIGHTS AND ISLAMIC LAW PERSPECTIVE Izadi, Fariz Farih; Setiawan, Dian Alan; Rohman, Abdul
JCH (Jurnal Cendekia Hukum) Vol 9, No 2 (2024): JCH (JURNAL CENDEKIA HUKUM)
Publisher : LPPM STIH Putri Maharaja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33760/jch.v9i2.897

Abstract

This research aims to explore BPJS Kesehatan as a mechanism for fulfilling the right to health, Indonesia's responsibility in ensuring the fulfillment of the right to health, and to evaluate the realization of the right to health for citizens abroad in the context of human rights theory and Islamic law perspectives regarding health rights. This study employs a normative legal research method by examining various literature-based sources. The findings conclude that the social security system is implemented through a social insurance mechanism designed to ensure that all Indonesian citizens are protected under an insurance system, thereby enabling them to meet their basic health needs. The fulfillment of Indonesian citizens' health rights has been primarily focused on healthcare services. However, essential health prerequisites such as access to clean drinking water, adequate sanitation, sufficient nutrition, health-related information, environmental health, and workplace health still need to be fully met. Safeguarding life (hifzu nafs) is one of the maqasid al-shariah, where preserving life results from preventive and curative health efforts, allowing every citizen to maintain their well-being with a decent and mentally fulfilling life. It demonstrates that the state's fulfillment of the right to health is aligned with the concept of hifzu nafs, or the preservation of life.
HAM DAN HUKUM ISLAM DALAM PENDIDIKAN ANAK: TELAAH KRITIS HADITS RIWAYAT AHMAD NO. 6756 TENTANG PEMUKULAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KONTEKS MODERN Iman Sunendar; Fariz Farrih Izadi
Jurnal Esensi Hukum Vol 6 No 1 (2024): Juni - Jurnal Esensi Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35586/jsh.v6i1.334

Abstract

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Salah satu instrumen internasional hak asasi manusia adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Instrumen Internasional HAM lainnya adalah konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat (Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment or CAT) ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum atau G.A Res, 39/46 pada 10 Desember 1984 dan mulai berlaku pada 26 Juni 1987. Selain itu, terdapat juga konvensi tentang Hak Anak (Convention on The Rights of The Child or CRC) ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum atau G.A. Res 44/25 tanggal 20 November 1989 dan dinyatakn berlaku sejak 2 september 1990. Pendidikan anak dalam Islam menitikberatkan kepada pendidikan jasmani dan rohani yang berlandaskan kepada ajaran agama Islam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah SAW bersabda mengenai pendidikan rohani anak sejak usia dini, Rasulullah SAW bersabda: Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash r.a: Bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Perintahkan anak-anakmu melaksanakan sholat sedang mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat sedang mereka berusia 10 tahun dan pisahkan antara mereka di tempat tidurnya” (HR Ahmad) Dalam hadis di atas, Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang tua untuk memulai mengajarkan anaknya shalat saat berusia tujuh tahun, dan memukul anak tersebut jika meninggalkan shalat, ketika anaknya berusia sepuluh tahun. Muncul kontradiksi antara pendidikan anak dalam Islam yang terkandung dalam hadis dan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pemukulan yang Rasulullah SAW perintahkan dalam hadis, dan mengetahui perpektif HAM dan Hukum Islam mengenai pemukulan dalam mendidik anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang mengkaji asas-asas hukum, kaidah/norma, lembaga dan proses hukum. Pendekatan ini ditunjang dengan pendekatan yuridis komparatif. Pendekatan yuridis normatif merupakan metode pendekatan yang digunakan melalui penelitian bahan pustaka yang merupakan data sekunder.
Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Sesama Jenis Dihubungkan dengan Tujuan Pendidikan Pesantren Akbar Ramdani, Ilham; Farrih Izadi, Fariz
Adagium: Jurnal Ilmiah Hukum Vol 3 No 2 (2025): Adagium: Jurnal Ilmiah Hukum
Publisher : PT. Meja Ilmiah Publikasi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70308/adagium.v3i2.106

Abstract

This research aims to determine and analyze the legal responsibility of Pesantren that ignore victims of homosexual violence in Pesantren in relation to legal protection for victims of homosexual violence in Pesantren in relation to the educational goals of Pesantren. The research method used is a normative juridical approach with qualitative methods to produce descriptive-analytical data. This research resulted in the conclusion that the Pesantren neglect of victims of homosexual violence is a violation that can be subject to administrative sanctions. However, the regulations that accommodate legal protection do not explain the mechanism for providing sanctions and categorizing the level of violations, giving rise to legal uncertainty. Legal protection for victims of homosexual violence in Pesantren is related to the educational goals of Pesantren; a) preventing sexual violence through the formation of superior individuals; b) preventing sexual violence by improving the quality of life of the community; c) development of Islamic values rahmatan lil 'alamin; d) the implementation of Pesantren based on national law.