G.R. Lono L. Simatupang
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pasca Sarjana,Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Karakter Musikal Lagu Gedé Kepesindenan Karawitan Sunda Irawan, Endah; Soedarsono, R.M.; L. Simatupang, G.R. Lono
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan Vol 15, No 1 (2014): Juni 2014
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v15i1.797

Abstract

Penelitian ini difokuskan pada tiga hal yaitu: (1) menemukan ciri-ciri musikal lagu gedé; (2)menunjukkan perbedaan relasi musikal antara lagu gedé dengan pertunjukan wayang golék dankiliningan; dan (3) menunjukkan kompleksitas hubungan garap di dalam lagu gedé, yaitu hubunganantara nyanyian sindén dengan nyanyian alok, rebaban, gambangan, dan kendangan. Penelitianini menggunakan pendekatan etnomusikologis didasarkan pada cara kerja ala Wim van Zanten,yaitu memadukan aspek musikologis dan antropologis. Musik ditempatkan sebagai objek utamasekaligus dasar relasinya dengan persoalan-persoalan kebudayaan dan masyarakat. Hasil penelitianini menunjukkan bahwa lagu gedé menunjukkan peran, proses, interaksi dan kompleksitas garapnyakhusus. Pada sisi pencipta lagu, lagu gedé diakui sebagai pengguritan yang sulit dan langka. Padasisi penyaji, membawakan lagu gedé diperlukan persyaratan seperti: modal vokal bagus, menguasaiperbendaharaan lagu dan laras, terampil menafsir garap lagu dan memberi sénggol-sénggol unik. Denganketiadaan lagu gedé, mutu garap kesenimanan sinden dan pangrawit dan jalinan interaksi kemampuanmusikal di antara pemeran garap vokal, rébab, gambang, dan kéndang mengalami keterbatasan.The Musical Characters of Lagu Gedé Kepesindenan on Sundanese Karawitan. The researchis mainly focused on the three things: (1) to find the musical characteristics of lagu gedé; (2) to show thedifference on the musical relationship of lagu gedé song with a puppet show and kiliningan; (3) to show thecomplexity of the working relationship on lagu gedé, such as the relationship between the singing of Sindenand the hymns of alok, rebaban, gambangan, and kendangan. The ethno musicological approach of lagugedé is based on the work method of Wim van Zanten which is a musical approach with an anthropologicalperspective. The two aspects – musicological and anthropological – are respectively combined. Music isintensively placed as the main object in order to discover the basis of its relation with cultural and socialissues. The results of the research on lagu gedé show the role, process, interaction, and complexity of the musicalinterpretation which are characterized by a slow tempo. From the composer’s point of view or the musicalcomposition, lagu gedé is recognized as a difficult and rare form of pengguritan. From the performers’ pointof view (the sinden or female vocalist and the pangrawit or musician), a number of special skills are requiredin performing lagu gedé. These may include a good voice, a good command of the musical repertoire, tuning,and musical composition, and the ability to interpret the music and provide the unique sénggol-sénggol aswell. By the absence of lagu gedé, there will be more limited quality of interpretation and artistry of thesinden and pangrawit, and the musical skills and interaction among the musicians (such as the vocalist,rébab, gambang, and kéndang players).
Struktur, Fungsi, dan Makna Talempong Bundo dalam Upacara Maanta Padi Saratuih Sriwulan, Wilma; Haryono, Timbul; Ganap, Victor; L. Simatupang, G.R. Lono
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan Vol 15, No 1 (2014): Juni 2014
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v15i1.800

Abstract

Talempong bundo adalah istilah untuk permainan musik talempong oleh sekelompok musisiperempuan di Nagari Singkarak Minangkabau. Permainan musik ini hanya dipertunjukkan dalamupacara maanta padi saratuih, yaitu upacara persembahan hasil panen yang dilakukan oleh perempuanperempuandari pihak induak bako dalam rangkaian tradisi perkawinan anak pisangnya. Dalam upacaraini induak bako menjemput anak pisang, membawanya ke rumah bako, kemudian mengantarkankembali dengan arak-arakan maanta padi saratuih. Talempong bundo merupakan satu-satunya musikprosesi yang dihadirkan dalam upacara itu, dan hingga saat ini kehadirannya masih dijunjung tinggioleh masyarakat setempat. Fokus dari tulisan ini menjelaskan latar belakang kehadiran talempong bundodi dalam upacara maanta padi saratuih, melacak dan menjelaskan struktur talempong bundo dan relasiantar struktur secara fungsional, dan kemudian menjelaskan makna talempong bundo dalam upacaratersebut. Melalui teori fungsionalisme struktural A.R. Radcliffe-Brown dibantu dengan teori simbolVictor Turner diperoleh pemahaman bahwa prosesi arak-arakan maanta padi saratuih yang didukungoleh bunyi-bunyian talempong bundo mengumandangkan kepada masyarakat bahwa eksistensi pihakinduak bako masih fenomenal di daerah tersebut. Talempong bundo merupakan simbol eksistensipihak induak bako dalam konteks legitimasi terhadap anak pisangnya. Keberadaan talempong bundodalam upacara maanta padi saratuih merupakan representasi sistem matrilineal dalam masyarakatMinangkabau di Nagari SingkarakThe Structure, Function, and Meaning of Talempong Bundo in the Ceremony of MaantaPadi Saratuih. Talempong bundo is a term that is used for music performace of talempong by some femalemusicians in Nagari Singkarak, Minangkabau. The music is typically performed only in the ceremony ofmaanta padi saratuih, namely an offering ceremony for a rice harvest that is made by some women of induakbako in a context of their anak pisang, a tradition of its marriage ceremony. In this induak bako ceremony,anak pisang is picked up, taken to rumah bako, and then returned back with maanta padi saratuih procession.It is interesting that talempong bundo is the only ritual music that is played in the ceremony, and until nowits existence is respected so much by the local community. The focus of this research is to explain a backgroundof talempong bundo in the ceremony of maanta padi saratuih, to search and explore a structure of talempongbundo and inter-structure functionally, and then to describe the meaning of talempong bundo in the ceremonyof maanta padi saratuih. With A.R. Radcliffe Brown’s structural functionalism theory, supported by VictorTurner’s symbol theory, it can be accepted that maanta padi saratuih procession enlivened by talempongbundo music performance announces to people of Nagari Singkarak specifically and Minangkabau peoplegenerally that induak bako’s existence is still phenomenon in this area. Talempong bundo is a symbol ofexistence of induak bako’s side for her legitimacy toward her anak pisang. Finally, an abstract reads that talempong bundo’s existence in the ceremony of maanta padi saratuih is a proof of matrilineal kinship systemamong Minangkabau community in Nagari Singkarak.
Pola Kellèghãn dan Teknik Vokal Kèjhungan Representasi Ekspresi Budaya Madura dan Pengalaman Estetiknya Mistortoify, Zulkarnain; Haryono, Timbul; Ganap, Victor; L. Simatupang, G.R. Lono
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan Vol 15, No 1 (2014): Juni 2014
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v15i1.796

Abstract

Kèjhungan adalah gaya nyanyian Madura yang memiliki ciri-ciri kontur melodi dengandidominasi nada-nada tinggi, penuh dengan ketegangan suara (nyaring), ekspresif, dan terpola.Kèjhungan seringkali dianalogikan sebagai sebuah bentuk ekspresi “keluh-kesah” semata. Kelantangansuara, ketinggian nada, dan pengolahan melodi yang penuh melismatis mengesankan nyanyian iniseperti orang yang sedang berteriak, membentak, dan merintih-rintih. Penelitian ini dilakukan untukmengungkap hubungan antara karakteristik kèjhungan dengan dunia pengalaman manusia pemiliknya.Oleh karenanya, aspek yang dikaji tidak hanya melihat aspek materi nyanyian itu sendiri, melainkanmelihat pula perilaku menyanyikannya. Melalui analisis struktural-hermeneutik dan pendekatanetnoestetik, ditemukan bahwa kellèghãn (pola-pola kalimat lagu) menjadi karakteristik pokok daribentuk kèjhungan dan teknik vokalnya yang bertumpu pada capaian ekspresi yang “menggebu-gebu”.Ide dan konsep yang tergali dibalik itu menunjukkan adanya relasi antara kebiasaan menyanyi orangMadura dengan pengalaman sejarah sosial-budayanya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwanyanyian Madura secara fenomenologis memberikan petunjuk yang sangat jelas sebagai representasidari ekspresi budaya dan pengalaman estetik, khususnya pada sub kultur barat Madura. Kellèghãn Pattern and Kèjhungan Vocal Technique, the Representation of Madurese CulturalExpression and Aesthetic Experience. Kèjhungan is a singing style specific to Madurese. It features thepatterned melodic contour dominated by high pitch vocal, expressiveness, and full of vocal intensity. Maduresekèjhungan is often misperceived only as a form of “moaning” due to its piercing sound, high pitch note, andmelismatic melody. Kèjhungan gives an impression of a person shrieking and moaning at the same time. Thestudy of kèjhungan was conducted to reveal the relationship between the singing characteristic and humanexperiences. Therefore, kèjhungan aspects should not only focus on the singing material itself, but it shouldalso include a study on how people sing it. Using the structural-hermeneutic analysis and ethno aestheticapproach, the kellèghãn (patterns of musical phrase) and vocal techniques that rest upon volatile expressionare the basic characteristics of kèjhungan. The idea and concept behind those techniques show a connectionbetween Madurese singing practice and the chronicle of their socio-cultural experience. Finally, this researchshows that in phenomenological aspect it gives a very clear clue on the representation of the Madurese cultureexpression and aesthetic experience, especially the sub-culture of West Madura.