Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Komposisi dalam Konteks Spesifik Pembacaan Naskah La Galigo Episode Malleleang Raunna La Worokelling di Kabupaten Wajo Suriadi, Nurkamila; Rahman, Nurhayati; Akhmar, Andi Muhammad
Jurnal Sosialisasi: Jurnal Hasil Pemikiran, Penelitian dan Pengembangan Keilmuan Sosiologi Pendidikan Volume 8, Nomor 3, November 2021
Publisher : Universitas Negeri Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26858/sosialisasi.v8i3.30806

Abstract

Pola budaya tradisional adalah produk dari tingkat pengaruh alam. Semakin tidak berdaya dan sekaligus semakin bergantung pada alam, semakin jelas pola budaya tradisionalnya. Jika adat-istiadat yang diturunkan dari warisan nenek moyang dipertahankan sepanjang kesinambungannya, maka tercipta tradisi dalam masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk Menganalisis corak komposisi Data dan cerita dalam setiap penyampaian cerita La Galigo episode Malleleang Raunna La Worokelling ditengah khalayak Masyarakat Bugis di Kabupaten Wajo. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Pustaka, Wawancara, dan Pengamatan. Dalam pengelolahan data, penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini menggambarkan langsung masalah penelitian tentang komposisi dalam konteks Spesifik Penyampaian La Galigo Episode Malleleang Raunna La Worokelling. Berdasarkan hasil penelitan dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat dua bentuk komposisi bahasa dalam naskah La Galigo Episode Malleleang Raunna La Worokelling, yakni bentuk majemuk yang unsur pertamanya menjadi pusat atau diterangkan oleh unsur penjelas atau menerangkan dan bentuk majemuk yang unsur-unsurnya tidak saling menerangkan, tetapi hanya berupa rangkaian yang sejajar atau kopulatif. Makna komposisi bahasa dalam naskah tidak bergantung dengan makna unsur yang membentuknya. Hal itu dikarenakan komposisi itu membentuk makna baru yang tidak sama dengan makna aslinya. Bentuk yang timbul dari proses komposisi bahasa Bugis dalam naskah La Galigo Episode Malleleang Raunna La Worokelling di Kabupaten Wajo ada lima, yaitu komposisi membentuk benda, komposisi membentuk kerja, komposisi membentuk sifat, komposisi membentuk keterangan, dan komposisi membentuk persona.
POLA FORMULA DALAM TOLOQ RUMPAQNA BONE Andi Muhammad Akhmar
WalennaE Vol 3 No 2 (2000)
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2032.758 KB) | DOI: 10.24832/wln.v3i2.108

Abstract

Tulisan ini mengangkat Toloq Rumpakna Bone, sebuah sastra bugis yang ditulis sekitar awal abad ke-20. Karya sastra ini berupa manuskrip yang  ditulis oleh I Mallaq Arung Manajeng dan memuat kisah peperangan anta kerajaan bone dengan hindia Belanda pada tahun 1905. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menetapkan teks suntingan Toloq Rumpakna Bone dan telaah pola formula. Berdasarkan telaah pola formula, maka formula dalam Tolok Rumpakna Bone dapat dikategorikan dalam formula satu baris dan setengah baris. 
Strategi Budaya Orang Bugis Pagatan dalam Menjaga Identitas Ke-Bugis-an dalam Masyarakat Multikultur Andi Muhammad Akhmar; Burhanuddin Arafah; Wahyuddin Pardiman
Kapata Arkeologi Vol. 13 No. 1, Juli 2017
Publisher : Balai Arkeologi Maluku

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/kapata.v13i1.392

Abstract

The Pagatan Buginese is a community which living in Pagatan area, Tanah Bambu regency, South Borneo which is culturally identified as Buginese. Even though they are known that their ancestors came from various parts of Sulawesi, the people of this community still identified themselves as separate entity, The Pagatan Buginese. This study use historical, sociolinguistic, and cultural perspective, has revealed that the presences of Buginese in Pagatan occur in several periods. The first period, the Buginese migration to Pagatan in the 18th Century, is the pioneer and founder of Pagatan Kingdom migration. The second period, in the early half of 20th Century, is a large-scale migration caused by Bone War in 1908. The third period, in the second half of 20th Century, is migration when DI/TII Kahar Muzakkar rebellion occurred. Furthermore, in the end of 20th Century, Buginese fisherman communities, who are initially only fishing in Pagatan, gradually bring their family and settle there which is known as pappagatang. The Buginese domination in socio-cultural, economy, and political sector is generated by their ability to adapt to other communities, especially Banjar as the native of Borneo. The Buginese have a number of excellences in agriculture, fishery, maritime, and trading sector, as well as the eminent ethos that rooted from cultural value sirri na pesse (dignity and compassion) and other living philosophy of Buginese.Orang Bugis Pagatan adalah sebuah komunitas yang tinggal di kawasan Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan, yang secara kultural diidentifikasi sebagai orang Bugis. Meskipun Orang Bugis Pagatan mengakui jika leluhurnya berasal dari sejumlah daerah Sulawesi Selatan, namun tetap mengidentifikasi diri sebagai sebuah entitas tersendiri, yaitu orang Bugis Pagatan. Penelitian yang menggunakan perspektif sejarah, sosiolinguistik, dan kajian budaya ini mengungkapkan bahwa keberadaan orang-orang Bugis di Pagatan berlangsung dalam beberapa periode. Periode pertama migrasi orang Bugis ke Pagatan pada abad ke-18, adalah kalangan perintis sekaligus pendiri kerajaan Pagatan. Periode kedua migrasi orang Bugis ke Pagatan berlangsung pada paruh awal abad abad ke-20, merupakan migrasi dalam skala besar yang diakibatkan oleh pecahnya perang Bone tahun 1908.  Periode ketiga migrasi orang Bugis ke Pagatan pada paruh kedua abad ke-20, yaitu saat berlangsungnya peristiwa pemberontakan DI/TII Kahar Muzakkar. Selain itu, pada akhir abad ke-20, terdapat pula kelompok-kelompok nelayan Bugis yang pada awalnya hanya mencari ikan di Pagatan, berangsur-angsur membawa keluarga mereka menetap di sana, yang dikenal dengan istilah pappagatang. Dominasi orang Bugis pada sektor sosial budaya, ekonomi, dan politik disebabkan oleh kemampuan mereka beradaptasi dengan komunitas lain, khususnya orang-orang Banjar sebagai penduduk asli Kalimantan. Orang Bugis memiliki sejumlah keunggulan dalam bidang pertanian, perikanan, kelautan, dan perdagangan, serta memiliki etos kerja yang tinggi yang bersumber dari nilai-nilai budaya siri na pesse (harga diri dan rasa iba) serta filosofi hidup orang Bugis lainnya. 
DARI BUGIS KLASIK KE BUGIS ISLAM: STUDI SASTRA ATAS BOTTINNA I LA DẾWATA SIBAWA I WẾ ATTAWEQ (BDA) [Classic to Islamic Buginess: Literary Study towards I La Dewata Sibawa I We Attaweq (BDA)] Andi Muhammad Akhmar
TELAGA BAHASA Vol 2, No 1 (2014): TELAGA BAHASA VOL.2 NO.1 TAHUN 2014
Publisher : Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36843/tb.v2i1.4

Abstract

Para penyusun buku Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan memasukkan sejumlah naskah yang berisi kisah perkawinan La Déwata dan Wé Attaweq ini dalam kelompok naskah La Galigo/sastra Galigosementara, Kern dan Matthes justru menganggap naskah –naskah tersebut bukan bagian dari siklus (cyclus) La Galigo. Perbedaan pandangan pendapat ini memunculkan masalah  yang menjadi fokus utama penelitian ini, yaitu  bagaimana pergeseran bentuk-bentuk formula dan komposisi cerita dari kedua pandagan terasebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap bagaimana pergeseran bentuk-bentuk formula dan komposisi cerita dalam BDA dalam kerangka pergeseran penciptaan teks dan tanggapan pembaca. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode resepsi sastra dalam analis datanya. Selain itu, kedua naskah BDA diperiksa dengan menggunakan teori rumus, semiotika, dan penerimaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi komposisi puisi, teks BDA versi klasik mengikuti sistem formula puisi La Galigo. Sementara itu, teks BDA versi islam memperlihatkan dua jenis kombinasi formula, yaitu kombinasi bersifat tetap dan kombinasi bersifat tidak tetap.Demikian pula struktur penceritaan pada kedua teks yang diamati memperlihatkan perbedaan yang menonjol. Pada teks BDA versi klasik hanya memuat memuat satu téreng (episode) yang isinya menceritakan satu peristiwa upacara perkawinan. Sementara itu, teks BDA versi Islam, memaut kisah yang luas, yaitu tujuh kali peristiwa perkawinan, dengan perluasan-perluasan cerita yang terdapat di dalamnya.The authors of Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan entered some texts that contains the story ofthe wedding of  La Dewata sibawa Attaweq in La Galigo texts meanwhile, Kern and Matthes actually considered the manuscripts are not the part of La Galigo cyclus. The difference of this point of view raises a problem that becomes the main focus of this study , how the form shift in two compositions of both point of view. The purpose of this study was to reveal how the shifting shapes and composition formula in the story within the framework of the shift BDA text creation and reader response .               This research was a qualitative descriptive method  with used literary reception in the data analyst . In additio , both texts BDA examined using the formula theor , semiotics, and acceptance. The results showed that in terms of the composition of poetry ,BDA text version of the classic poem follows the formula La Galigo system. Meanwhile, BDA text version of Islam shows two types of combination formulas, namely a combination of permanent and non-permanent character combinations. Similarly, the structure of storytelling in both the observed texts show marked difference . In the classic version of the BDA text contains only load one Tereng ( episodes ) that tells the events of the wedding ceremony. Meanwhile , BDA text version of Islam , bind extensive story , which is seven times the event of marriage ,with extensions stories contained there in . 
THE VIRTUE IN CORE VALUES OF BUGINESE CULTURE: A WORLDVIEW FROM PHILOSOPHICAL, RELIGIOUS, AND MORAL PERSPECTIVES Fathu Rahman; Andi Muhammad Akhmar; Muhammad Hasyim; M. Dalyan; Fakhriawan Fathu Rahman
Al-Qalam Vol 28, No 2 (2022)
Publisher : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31969/alq.v28i2.1108

Abstract

The purpose of this strive study is to reveal the implementation of core values principle of Buginese culture from three perspectives, namely of philosophy, religion, and moral perspective. The Buginese culture belongs to the Bugis people. Bugis people are a community that occupies the area of South Sulawesi alongside the Makassar, Toraja, and Mandar ethnics. They live in harmony and form social systems and institutions. As an ethnic that dominates the population of South Sulawesi, the Bugis ethnic strongly maintains their culture. This can be seen in their principle of core values in the Buginese culture. The core values of Buginese are also a reflection of their worldview in this life. This study aims to uncover 1) the principle of core values of Buginese ethnic through their cultural ideologies, and 2) the aspect of philosophy, religion, and moral perspectives behind their principle of core values. This study utilizes the Cultural Semantics theory with an interpretive qualitative method, which relies on its analysis of the descriptive meaning of expressions. The results of this study indicate that the principle of core values of Buginese culture is awake because they practice the cultural heritage of their ancestors by actualizing it in a contemporary context. The implication of this research is that a cultural-value is maintained when culture has a dynamic aspect to the needs of the cultural.