Fatima Safira Alatas, Fatima Safira
Department Of Child Health, Faculty Of Medicine, Universitas Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Efektivitas Granulocyte Colony Stimulating Factor untuk Anak dengan Acute on Chronic Liver Failure Fatima Safira Alatas; Kholisah Nasution; Muzal Kadim
Sari Pediatri Vol 23, No 2 (2021)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp23.2.2021.129-35

Abstract

Latar belakang. Gagal hati akut pada penyakit hati kronik (acute on chronic liver failure/ACLF) memiliki angka mortalitas tinggi dan saat ini terapi utamanya ialah transplantasi hati. Terapi dengan granulocyte colony stimulating factor (GCSF) bermanfaat bagi perbaikan fungsi hati dan mengurangi angka kematian yang cepat pada dewasa dengan ACLF.Tujuan. Melakukan telaah kritis efektivitas GCSF pada pasien anak dengan ACLF untuk memperbaiki fungsi hati.Metode. Penelusuran literatur melalui database Pubmed/Medline, Cochrane, Google Scholar, serta Paediatrica Indonesiana, dan Sari Pediatri 29 Juni 2020.Hasil. Terdapat satu studi acak yang sahih dengan subjek penelitian anak yang menunjukkan perbedaan skor Child-Pugh dan Pediatric End-stage Liver Disease (PELD) di hari ke-14 pemberian injeksi GCSF, tetapi tidak ada perbedaan skor di hari ke-30 dan 60. Skor PELD pada penelitian dipakai untuk anak usia kurang dari 12 tahun, sementara untuk anak lebih besar seperti pada kasus seharusnya memakai skor Model for End-stage Liver Disease (MELD) yang ditunjukkan studi pada kelompok dewasa.Kesimpulan. Terapi GCSF subkutan pada pasien anak dengan ACLF berpotensi efektif memperbaiki fungsi hati yang dinilai dengan skor Child-Pugh dan MELD atau PELD. Untuk dapat menjaga efektifitas terapi lebih lama, dapat dipertimbangkan untuk memperpanjang durasi pemberian GCSF dan memberikannya lebih dini.
Gambaran Epidemiologi Infeksi Nosokomial Aliran Darah pada Bayi Baru Lahir Fatima Safira Alatas; Hindra Irawan Satari; Imral Chair; Rinawati Rohsiswatmo; Zakiudin Munasir; Endang Windiastuti
Sari Pediatri Vol 9, No 2 (2007)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp9.2.2007.80-6

Abstract

Latar belakang. Infeksi nosokomial (IN) pada bayi baru lahir sampai saat ini masih merupakan masalahserius di setiap rumah sakit karena dapat meningkatkan morbiditas, mortalitas, lama dan biaya rumahsakit serta risiko kecacatan pada bayi yang terinfeksi.Tujuan penelitian. Mengetahui gambaran epidemiologi, pola kuman dan resistensi mikroorganisme penyebabIN aliran darah (INAD) pada bayi baru lahir di ruang rawat Divisi Perinatologi Departemen IKA RSCM.Metode. Penelitian ini merupakan penelitian prospektif deskriptif dengan desain studi seksi silang diruang rawat Divisi Perinatologi IKA RSCM.Hasil. Insidens INAD pada bayi baru lahir yaitu 34,8 infeksi per 100 pasien baru atau 50 infeksi per 1000kelahiran dengan case fatality rate 27,4% dari seluruh kasus INAD (2) Infeksi bakteri gram negatif (GN)merupakan bakteri terbanyak dengan kuman terbanyak Acinetobacter calcoaceticus 28,8% (3) Sensitivitasbakteri GN terhadap antibiotika lini pertama dan kedua rendah sedangkan lini ketiga yaitu meropenemdan lini keempat yaitu siprofloksasin cukup baik yaitu masing-masing 66,67 – 100%.Kesimpulan. Angka kejadian dan case fatality rate INAD pada bayi baru lahir masih cukup tinggi. Infeksibakteri gram negatif masih merupakan penyebab terbanyak
Gambaran Kadar Natrium dan Kalium Plasma Berdasarkan Status Nutrisi Sebelum dan Sesudah Rehidrasi pada Kasus Diare yang Dirawat Di Departemen IKA RSCM Hasri Salwan; Agus Firmansyah; Aswitha Boediarso; Badriul Hegar; Muzal Kadim; Fatima Safira Alatas
Sari Pediatri Vol 9, No 6 (2008)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp9.6.2008.406-11

Abstract

Latar belakang. Pemberian cairan rehidrasi parenteral dapat mengatasi gangguan natrium (Na) dan kalium(K) plasma pada anak dengan diare. Status nutrisi dapat mempengaruhi perbaikan gangguan Na dan Kplasma saat rehidrasi. Respon perbaikan kadar Na dan K plasma pada anak diare dengan status nutrisikurang dan buruk (NKB) berbeda dengan anak status nutrisi baik (NB)Tujuan Menilai pengaruh status nutrisi terhadap kadar Na, K plasma, dan perubahannya pada saat dehidrasidan rehidrasi.Metode. Penelitian potong lintang retrospektif terhadap data sekunder pasien diare yang dirawat diDepartemen IKA RSCM dengan rehidrasi mengunakan cairan KAEN 3B. Kelompok penelitian dibagi menjadikelompok nutrisi baik (NB) dan kelompok nutrisi kurang dan buruk (NKB). Jumlah subjek penelitian 32pada setiap kelompok. Faktor perancu yaitu muntah, demam, terapi oralit, dan gambaran klinis diare.Hasil. Status nutrisi BB/TB kelompok NB 105,1±10,7 dan kelompok NKB 78,2±12,0, dengan nutrisi buruknya28,1%. Pada kelompok NB, kadar Na dehidrasi 135,4±8,17 meq/l, rehidrasi 138,6±6,73 meq/l, meningkat3,2±8,70 meq/l. Pada kelompok NKB, kadar Na dehidrasi 134,3±7,12 meq/l, rehidrasi 132,2±5,23 meq/l,menurun 1,8±6,14 meq/l. Pada kelompok NB, kadar K dehidrasi 3,6±0,86 meq/l, rehidrasi 3,9±0,81 meq/l,meningkat 0,36±0,90 meq/l. Pada kelompok NKB, kadar K dehidrasi 3,7± 0,82 meq/l, rehidrasi 3,9±0,70meq/l, meningkat 0,26±0,70 meq/l. Kesemuanya tidak berbeda bermakna (p>0,05) antara gizi baik atau kurang/buruk. Dari semua variabel perancu muntah (p=0,009) dan komplikasi (p=0,026) yang tersebar tidak merata.Kesimpulan. Tidak didapatkan perbedaan kadar Na dan K saat dehidrasi, rehidrasi, dan perubahannyapada kelompok NB dan NKB 
Faktor Risiko Diare Persisten pada Pasien yang Dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta IGN Sanjaya Putra; Agus Firmansyah; Badriul Hegar; Aswitha D Boediarso; Muzal Kadim; Fatima Safira Alatas
Sari Pediatri Vol 10, No 1 (2008)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp10.1.2008.42-46

Abstract

Latar belakang. Program pengobatan rehidrasi oral telah berhasil mengontrol kematian akibat diare akut.Sekitar 3%-20% kasus diare akut pada anak akan berkembang menjadi diare persisten. Kematian akibatdiare persisten cukup tinggi ± 65% dari seluruh kematian akibat diare.Tujuan. Menentukan faktor risiko terjadinya diare persisten dan mengukur besar pengaruh tiap faktorrisiko tersebut terhadap terjadinya diare persisten pada anak yang dirawat di ruang rawat inap bagian anakRS Dr. Cipto Mangukusumo Jakarta.Metode. Rancang penelitian retrospektif, kasus-kontrol. Data penelitian diperoleh dari catatan medikpasien, semua pasien (54 pasien) diare persisten yang dirawat mulai 1 Januari 2004-30 Juni 2007 yangmemenuhi kriteria inklusi dipilih sebagai kasus dan 108 pasien diare akut dipilih secara consecutive samplingsebagai kontrol.Hasil. Pada analisis univariat didapatkan perbedaan bermakna antara 54 pasien dengan diare persisten(kasus) dan 108 pasien dengan diare akut (kontrol) dalam hubungan melanjutnya diare akut menjadi diarepersisten pada faktor risiko: pemberian antibiotik (p=0,042, RO :1,984, IK : 0,021-3,854), anemia (p=0,005,RO :2,568, IK : 1,313-5,024 ) dan malnutrisi (p= 0,001, RO : 10,974, IK :3,442-34,814). Pada regresilogistik multivariat, dua faktor risiko memperlihatkan hubungan yang bermakna yaitu anemia (p=0,025,RO :2,374, IK : 1,117-5,047) dan malnutrisi (p= 0,001, RO : 12,621, IK :3,580-44,814).Kesimpulan. Anemia dan malnutrisi pada diare akut merupakan faktor risiko untuk melanjutnya diare akutmenjadi diare persisten. 
Irritable bowel syndrome and its associated factors in adolescents Lara Fillekes; Ari Prayogo; Fatima Safira Alatas; Badriul Hegar
Paediatrica Indonesiana Vol 54 No 6 (2014): November 2014
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (110.794 KB) | DOI: 10.14238/pi54.6.2014.344-50

Abstract

Background Irritable bowel syndrome (IBS) is a commonfunctional gastrointestinal disorder. Increasing prevalences havebeen reported in Asian adolescent populations, however, therehave been few reports on Indonesian adolescents.Objective To investigate the prevalence of IBS and associatedfactors among adolescents in Jakarta.Methods This cross-sectional study included senior high schoolstudents in a district of Jakarta. Students were asked to fillquestionnaires based on the Rome III criteria for IBS. They werethen divided into groups: those with IBS and those without IBS,for the purposes of comparison.Results Out of 232 adolescents (145 females and 87 males) withmean age of 16.06 (SD 0.91) years, 14 (6.0%) had IBS. Elevenout of 14 adolescents with IBS reported upper abdominal painas well as periumbilical/lower abdominal pain. Irritable bowelsyndrome was not associated with socioeconomic status, food anddrink habits, the use of antibiotics, or scolding as a parental formof discipline. However, a significant higher proportion in the useof corporal punishment was found in IBS adolescents comparedto the non-IBS (P=0.034). In addition, stress related to scolding,as a parental form of discipline was more likely to be found in theIBS group than in the non-IBS group (P=0.019).Conclusion The prevalence of IBS among adolescents in Jakartais 6%, which is lower compared to those of other Asian countries.Corporal punishment at home and stress related to scolding athome are found to be associated with IBS.
Autoimmune Hepatitis Fatima Safira Alatas; Gryselda Hanafi; Lestari Kanti Wilujeng; Nielda Kezia Sumbung
Archives of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition Vol. 1 No. 1 (2022): APGHN Vol. 1 No. 1 May 2022
Publisher : The Indonesian Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (442.045 KB) | DOI: 10.58427/apghn.1.1.2022.17-27

Abstract

Autoimmune hepatitis (AIH) is a condition caused by self-perpetuating immune response towards hepatocytes in liver. In children, AIH may progressed more rapidly compared to adults. Thus, early diagnosis and prompt treatment are the key for successful management of AIH. Five main characteristics of AIH include female predominance, increased IgG or hypergammaglobulinemia, circulatory autoantibody seropositivity, and hepatitis interface from the histological finding. Liver biopsy is needed to evaluate the degree of damage and to confirm the diagnosis. The standard regiment for AIH include prednisone (or prednisolone) and azathioprine. Other alternative treatments available for non-responder, such as mycophenolate mofetil, tacrolimus, cyclosporine, budesonide, rituximab, and infliximab. AIH treatment is recommended to be taken minimally for 2-3 years before attempting treatment termination.
Characteristics of Pediatric Patients with Diarrhea in Indonesia: A Laboratory-based Report Lia Amanda; Karin Nadia Utami; Andria Amanda Pulungan; Diar Riyanti Rudiatmoko; Fatima Safira Alatas
Archives of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition Vol. 1 No. 2 (2022): APGHN Vol. 1 No. 2 August 2022
Publisher : The Indonesian Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (192.545 KB) | DOI: 10.58427/apghn.1.2.2022.8-15

Abstract

Background: Diarrhea is still a common health problem in Indonesia, with high morbidity and mortality rate. The severity of diarrhea is associated with age, nutritional status, and cause of diarrhea. This study aims to describe the characteristics and laboratory findings, particularly stool analysis, in pediatric patients with diarrhea. Methods: A retrospective study was conducted using data from patients aged 0 to 18 with diarrhea who underwent stool analysis in Cipto Mangunkusumo Hospital between 2012 and 2016. Results: The average age of children with diarrhea was 45 months, with most patients (55,6%) being under two years old children. More than half of the patients were boys (58.8%). Two-thirds of the patients (67%) presented with watery stool diarrhea. The interpretation of stool analysis indicated that nearly half of the patients (48%) experienced diarrhea due to bacterial infection, followed by fat malabsorption (20.8%). Similar results were also seen in the stool analysis of children aged 0-24 months, with the prevalence of bacterial infection (35.2%) and fat malabsorption (30.2%) being the most commonly identified etiology of diarrhea. Conclusion: In Indonesia, children under two and male gender were more frequently reported to experience diarrhea. The primary manifestation of pediatric diarrhea was watery stools, while the most common etiology was bacterial infections.
Functional gastrointestinal disorders and nutritional status in junior high school students Fatima Safira Alatas; Khansa Salsabila; Nadira -; Nasya Amalia; Gryselda Hanafi
Paediatrica Indonesiana Vol 62 No 4 (2022): July 2022
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/pi62.4.2022.243-8

Abstract

Background The prevalence of functional gastrointestinal disorders (FGIDs) is increasing among students in Indonesia. More adolescents came to the clinic with symptoms of functional constipation (FC), irritable bowel syndrome (IBS), and functional dyspepsia (FD). Objective To analyze the relationship between the nutritional status, dietary pattern, and physical activity with the incidence of the FGIDs among Indonesian junior high school students. Methods A cross-sectional study, consisting of 292 students aged 11 to 14 years were recruited in March 2018. Questionnaires on the ROME Criteria for FGIDs, dietary patterns, and physical activity were distributed to the students’ parents and returned in 24 hours. Results The overall prevalence of FGIDs in this study was 26.4%. Among 292 junior high school students, 19.5% were diagnosed with FC, 6.2% with IBS, and 17.5% with FD. Overnourishment (overweight or obese) was found in 51.4% of the subjects. A significant association was found between FC and overnutrition (OR 2.27; 95%CI 1.21 to 4.28; P=0.011). Nutritional status did not affect the incidence of IBS nor FD. Rarely eating breakfast significantly increase the occurrence of FD (OR 4.80; 95%CI 1.61 to 13.25; P=0.004). No significant association between dietary patterns and physical activity with the prevalence of the other FGIDs. Conclusion Nutritional status does not significantly affect the prevalence of IBS and FD. Overnourishment is associated with increased occurrence of FC. Eating breakfast twice weekly or more may reduce the probability of FD. Lack of healthy dietary pattern and physical activity are not correlated with other FGIDs.
Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Virus Hepatitis C pada Anak dengan Penyakit Ginjal Kronik di Indonesia Ellen Wijaya; Fatima Safira Alatas; Cahyani Gita Ambarsari
Sari Pediatri Vol 25, No 3 (2023)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp25.3.2023.190-202

Abstract

Latar belakang. Anak dengan penyakit ginjal kronik yang memerlukan hemodialisis merupakan kelompok risiko tinggi terjadinya infeksi virus hepatitis C. Infeksi virus hepatitis C pada anak dengan penyakit ginjal kronik memerlukan diagnosis dan tata laksana adekuat untuk mencegah progresifitas penyakit dan komplikasi menjadi karsinoma hepatoselular.Tujuan. Menelaah lebih lanjut diagnosis dan tata laksana infeksi virus hepatitis C pada anak dengan penyakit ginjal kronik di Indonesia.Metode. Penelusuran pustaka database elektronik, yaitu instrumen pencari Pubmed®, EBSCOHost®, dan penelusuran manual. Kata kunci yang digunakan adalah (“children” atau “pediatric”) dan “hepatitis C” dan “end stage renal disease” dan “treatment” dengan menggunakan batasan. Penelitian berbentuk kasus-kontrol, kohort, maupun potong lintang, dipublikasikan dalam bahasa Indonesia atau Inggris, dan diterbitkan dalam 20 tahun terakhir (2002-2022).Hasil. Ditemukan enam artikel yang relevan terhadap pertanyaan klinis. Hasil telaah kritis dan telaah berdasarkan validity, importance dan applicability.Kesimpulan. Hepatitis C pada anak seringkali tanpa gejala atau gejala ringan, memerlukan konfirmasi melalui pemeriksaan molekular. Terapi VHC pada anak PGK yang menjalani hemodialisis kontroversial, tetapi dosis disesuaikan interferon dan ribavirin dapat mencegah progresi penyakit. Klinisi harus mendiagnosis dan mengelola infeksi VHC pada anak PGK untuk mendukung eliminasi hepatitis pada 2030 sesuai target WHO
Hubungan Status Nutrisi dan Morbiditas pada Anak dengan Kolestasis Kronik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Nur Aryani; Fatima Safira Alatas
Sari Pediatri Vol 25, No 2 (2023)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp25.2.2023.99-105

Abstract

Latar belakang. Kolestasis adalah suatu kondisi gangguan aliran empedu yang memengaruhi asupan nutrisi dan perkembangan anak. Tujuan. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi hubungan status nutrisi dan morbiditas pada anak dengan kolestasis kronik. Metode. Studi ini menggunakan metode kohort retrospektif yang melibatkan 97 pasien anak dengan kolestasis kronik. Data antropometri, usia, jenis kelamin, penyebab dasar penyakit, dan morbiditas pasien kemudian dikumpulkan dan dievaluasi. Status nutrisi dinilai berdasarkan kurva WHO 2006. Hasil. Hasil menunjukkan bahwa 46% pasien mengalami kondisi gizi buruk dan 27% gizi kurang berdasarkan pengukuran Lingkar Lengan Atas (LLA) per usia, sementara 66% pasien termasuk ke dalam kategori pendek dan 30% sangat pendek berdasarkan tinggi badan (TB) per usia. Studi ini menunjukkan hubungan antara common cold dan gizi buruk pada anak dengan kolestasis kronik. Kesimpulan. Meski terdapat hubungan antara pruritus, gangguan gastrointestinal, dan perdarahan saluran cerna dengan status gizi, tetapi tidak menunjukkan hasil yang signifikan setelah analisis multivariat. Faktor lain seperti organomegali, asites, dan defisiensi nutrisi tertentu juga berkontribusi terhadap penurunan nafsu makan dan berpotensi mengakibatkan gizi buruk pada anak. Penemuan ini menegaskan pentingnya tatalaksana gizi yang komprehensif dan penanganan dini bagi pasien anak dengan kolestasis kronik.