Masayu Rita Dewi
Bagian Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RS Moh. Hoesin, Palembang

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Faktor yang Memengaruhi Luaran Kualitas Hidup Anak dengan Hidrosefalus Setelah Pemasangan Shunt Ventrikulo-Peritoneal di Rumah Sakit Umum dr. Mohammad Hoesin Palembang Erni Desmita; Masayu Rita Dewi; Syarif Darwin; Trijoso Permono; Irfannuddin Irfannuddin; Raden Muhammad Indra
Sari Pediatri Vol 23, No 5 (2022)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp23.5.2022.299-305

Abstract

Latar belakang. Anak hidrosefalus dengan VP shunt dapat mengalami penurunan kualitas hidup (QoL) akibat berbagai faktor yang hingga kini belum banyak diteliti.Tujuan. Menilai luaran QoL anak hidrosefalus dengan VP shunt dan faktor yang memengaruhinya.Metode. Anak berusia 5-18 tahun dengan hidrosefalus yang dipasang VP shunt tahun 2010-2015 diidentifikasi melalui rekam medis. Orangtua kemudian diwawancarai dengan panduan kuesioner HOQ (hydrocephalus outcome questionnaire). Hasil meliputi skor QoL pada aspek fisik, kognitif, dan keseluruhan. Skor 0 menunjukkan luaran terburuk dan skor 1 terbaik.  Dilakukan analisis perbedaan skor berdasarkan faktor risiko (usia saat pemasangan, etiologi, adanya kejang dan komplikasi shunt) dan analisis kategorik berdasarkan pencapaian skor standar penelitian terdahulu (0,69).Hasil. Terdapat 95 anak yang diidentifikasi, 18 meninggal dan 46 dengan data tidak lengkap sehingga terdapat 31 anak yang dianalisis.  Skor HOQ yang didapatkan, yaitu fisik 0,75±0,27, sosial-emosional 0,78±0,22, kognitif 0,66±0,31, dan keseluruhan 0,73±0,25. Skor HOQ keseluruhan lebih rendah pada anak dengan komplikasi. Kejang (RR 2,52) dan komplikasi shunt (RR 4,85) berhubungan dengan luaran buruk. Analisis multivariat menunjukkan hanya komplikasi yang berhubungan dengan QoL buruk (adjusted OR 15,11).Kesimpulan. Luaran QoL ditemukan lebih baik dibandingkan penelitian sebelumnya. Kejang dan komplikasi shunt dapat berpengaruh negatif terhadap luaran QoL anak hidrosefalus dengan VP shunt.
Prediktor Klinis Perdarahan Intrakranial Traumatik pada Anak Msy Rita Dewi MS; Irawan Mangunatmadja; Yeti Ramli
Sari Pediatri Vol 9, No 2 (2007)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (107.723 KB) | DOI: 10.14238/sp9.2.2007.132-7

Abstract

Latar belakang. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab anak sering di rumah sakit. Berdasarkanprosedur American Academy of Pediatric (AAP), CT-scan direkomendasikan pada anak trauma kepaladengan riwayat kehilangan kesadaran minimal < 1 menit. Namun sulit saat anamnesis tentang kehilangankesadaran. Sampai saat ini CT-scan belum tersedia pada semua fasilitas kesehatan di Indonesia sehinggaperlu parameter klinik yang dapat membantu memprediksi adanya perdarahan intrakranial traumatik.Tujuan penelitian. Mengetahui prediktor klinik adanya perdarahan intrakranial traumatik pada anak.Metode. Studi retrospektif, dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam kurun waktu 18 bulan(Januari 2004-Juli 2005) pada semua pasien berusia < 15 tahun yang datang berobat dan mempunyai hasilCT-scan. Data dianalisis dan diuji kemaknaan dengan uji Chi square dan dihitung rasio odd, analisismultivariat dengan logistik regresi. Nilai p < 0,005 dianggap bermakna.Hasil. Terdapat 503 kasus cedera kepala berusia < 15 tahun yang datang berobat namun hanya 196 kasusyang mempunyai hasil CT-scan. Dari hasil analisis terdapat 37 (18,9%) kasus penderita dengan perdarahanintrakranial, 159 (81,1%) tanpa perdarahan. Faktor yang dapat dijadikan prediktor perdarahan intrakranialadalah fraktur tengkorak dengan nilai p = 0,005, OR = 2,980. Konfiden interval 95% (CI =1,399-6,351)dengan statistik Wald 8,003 serta skala koma Glasgow dengan p = 0,01, OR = 0,350; 95% CI = 0,157 –0,781 dengan statistik Wald 6,581.Kesimpulan. Fraktur tengkorak dan SKG merupakan prediktor perdarahan intrakranial traumatik. Halini berhubungan dengan sifat plastis tengkorak anak yang tidak mudah fraktur oleh benturan ringan. Bilabenturan kuat, tengkorak yang elastis dapat mengabsorbsi energi dan tengkorak yang lunak menyebabkanlebih mudah terjadi kompresi dan distorsi otak
Karakteristik Klinis Trauma Kepala pada Anak di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Msy Rita Dewi MS; Irawan Mangunatmadja; Yeti Ramli
Sari Pediatri Vol 9, No 5 (2008)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp9.5.2008.354-8

Abstract

Latar belakang. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab anak dibawa ke rumah sakit. Pada umumnyatrauma terjadi karena kecelakaan lalu lintas. Di Amerika sekitar 300.000-400.000 anak dirawat karenacedera. Di Indonesia hanya ada data sporadis.Tujuan. Mendapatkan gambaran karakteristik klinis pada anak dengan cedera kepala di RS Dr. CiptoMangunkusumo.Metode. Studi deskriptif retrospektif dengan data sekunder diambil dari data catatan medik dari bulanJanuari 2004 - Juli 2005.Hasil. Selama kurun waktu penelitian ditemukan jumlah kasus trauma kepala pada anak usia <15tahun 503 kasus. Usia terbanyak antara umur 6-10 tahun, rasio laki-laki: wanita adalah 1.7: 1. Keluhanterbanyak adalah nyeri kepala (25,6%), dan muntah (20,9%). Mekanisme cedera banyak yang tidakdiketahui (61,6 %). Skala koma Glasgow (SKG) 13-15 yang paling banyak dijumpai (91,8%), gangguansaraf kranialis dan gangguan motorik (1,2%), dan Jejas hematom 9,5%. Pemeriksaan radiologiksederhana jarang dikerjakan. Enam puluh persen pemeriksaan rawat inap, 61% dan 36,4% hiduptanpa cacat.Kesimpulan. Kasus trauma kepala pada anak usia <15 tahun, lebih sering terjadi pada anak laki-lakidibanding anak perempuan kelompok usia terbanyak antara 6-10 tahun. Fraktur tengkorak dan perdarahanintrakranial jarang terjadi pada anak-anak
Ketepatan Parameter Klinis dalam Memprediksi Mortalitas Perdarahan Intrakranial Spontan pada Anak Usia Kurang dari Satu Tahun Liveana Sugono; Msy Rita Dewi; Erial Bahar
Sari Pediatri Vol 17, No 4 (2015)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp17.4.2015.255-60

Abstract

Latar belakang. Pada anak usia di bawah satu tahun, perdarahan intrakranial memiliki tingkat mortalitas yang tinggi. Diperlukan parameter untuk memprediksi mortalitas guna menentukan tata laksana segera yang tepat sehingga diperoleh hasil akhir yang lebih baik.Tujuan. Mendapatkan tingkat akurasi parameter klinis dalam memprediksi mortalitas perdarahan intrakranial spontan pada anak dengan usia kurang dari satu tahun.Metode. Dilakukan uji prognostik dengan data retrospektif dan prospektif dari rekam medik Januari 2009 -Desember 2014 terhadap anak usia di bawah satu tahun yang dirawat di rumah sakit Moh. Hoesin dengan perdarahan intrakranial tanpa riwayat trauma kepala. Parameter klinis yang diamati, yaitu gejala klinis dan neurologis, pemeriksaan laboratorium termasuk pT dan apTT. Dilakukan analisis untuk menentukan hubungan parameter dengan mortalitas.Hasil. Didapatkan 136 anak yang memenuhi kriteria inklusi, 103 bertahan hidup, 33 meninggal dunia. Dari analisis multivariat ditemukan penurunan reflek cahaya, GCS<8, Hb<7g/dL dan pemanjangan apTT memengaruhi mortalitas dengan probabilitas tertinggi 75,75%. Kemudian disusun sistem skoring dengan alokasi skor berdasarkan Odds ratio. Didapatkan beberapa sistem skoring dengan sensitivitas antara 72,7%-93,94%, spesifisitas antara 42,72%-77,67% dan akurasi antara 55,15%-76,47%.Kesimpulan. Berbagai parameter klinis ditemukan dapat memengaruhi mortalitas perdarahan intrakranial spontan pada anak usia di bawah satu tahun. Beberapa sistem skoring kemudian disusun dari temuan penelitian, meski belum memiliki nilai prediksi mortalitas yang ideal
Duration and dose of antiepileptic drugs and serum calcium levels in children Arinta Atmasari; Masayu Rita Dewi; Aditiawati Aditiawati; Masagus Irsan Saleh
Paediatrica Indonesiana Vol 57 No 2 (2017): March 2017
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (399.329 KB) | DOI: 10.14238/pi57.2.2017.104-7

Abstract

Background Antiepileptic drugs (AEDs) may affect calcium metabolism through several mechanisms. Much evidence has confirmed that carbamazepine and valproic acid, as the most widely used AEDs in epileptic children, leads to decreased serum calcium levels. This effect was suggested to be time and dose dependent. However, correlations between AEDs and calcium levels in Indonesian epileptic children have not been well studied.Objective To investigate possible correlations between total calcium levels and durations of therapy as well as doses of carbamazepine and valproic acid.Methods This analytical, cross-sectional study was performed from March to May 2015 in the Neuropediatric Outpatient Ward of Mohammad Hoesin Hospital, Palembang, South Sumatera. A total of 60 epileptic children taking carbamazepine and or valproic acid monotherapy were included and grouped accordingly. A single blood test was done for every participant to measure total serum calcium level. Correlation between daily dose or duration of AED with calcium level was assess using the Spearman-rho test.Results The mean total serum calcium levels in the carbamazepine and valproic acid groups were 9.48 (SD 0.83) mg/dL and 9.58 (SD 0.63) mg/dL, respectively. There was a statistically significant moderate correlation between the duration of carbamazepine therapy and total calcium level (r = 0.36; P=0.001). The cut-off point for duration of therapy was 23 months. There were no significant correlations between total calcium level and mean daily carbamazepine dose, nor between total calcium level and duration and dose of valproic acid therapy.Conclusion Longer duration of carbamazepine therapy is associated with low total serum calcium level, but carbamazepine dose is not. In addition, duration and dose of valproic acid are not associated with low total serum calcium level.
The effect of regular aerobic exercise on urinary brain-derived neurotrophic factor in children Yunita Fediani; Masayu Rita Dewi; Muhammad Irfannuddin; Masagus Irsan Saleh; Safri Dhaini
Paediatrica Indonesiana Vol 54 No 6 (2014): November 2014
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (222.254 KB) | DOI: 10.14238/pi54.6.2014.351-7

Abstract

Background Nervous system development in early lifeinfluences the quality of cognitive ability during adulthood.Neuronal development and neurogenesis are highly influencedby neurotrophins. The most active neurotrophin is brain-derivedneurotrophic factor (BDNF). Physical activity has a positiveeffect on cognitive function. However, few experimental studieshave been done on children to assess the effect of aerobic regularexercise on BDNF levels.Objective To assess the effect of regular aerobic exercise onurinary BDNF levels in children.Methods This clinical study was performed in 67 children aged6-8 years in Palembang. The intervention group (n=34) engagedin aerobic gymnastics three times per week for 8 weeks, while thecontrol group (n=33) engaged in gymnastic only once per week.Measurements of urinary BDNF were performed on both groupsbefore and after intervention. Mann-Whitney and Wilcoxon ranktests were used to analyze the differences between groups.Results There was no difference in urinary BDNF levels betweenthe two groups prior to the intervention. After intervention,the mean urinary BDNF levels were significantly higher in theintervention group than in the control group, 230.2 (SD 264.4)pg/mL vs. 88.0 (SD 35.4) pg/mL, respectively (P=0.027). We alsofound that engaging in aerobic gymnastics significantly increasedurinary BDNF levels from baseline in both groups (P=0.001).Conclusion Regular aerobic exercise can increase urinary BDNFlevels and potentially improve cognitive function. Aerobic exerciseshould be a routine activity in school curriculums in combinationwith the learning process to improve children’s cognitive ability.