Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Sejarah Pemberontakan dalam Tiga Bab: Modernitas, Belasting, dan Kolonialisme dalam Sitti Nurbaya Moh Atikurrahman; Awla Akbar Ilma; Laga Adhi Dharma; Audita Rissa Affanda; Istanti Ajizah; Risyatul Firdaus
SULUK: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya Vol. 3 No. 1 (2021): Maret
Publisher : Program Studi Sastra Indonesia UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (422.763 KB) | DOI: 10.15642/suluk.2021.3.1.1-22

Abstract

Meskipun Politik Etis menjanjikan modernitas Eropa yang mencerahkan namun ongkos dari kebijakan tersebut akhirnya juga dibebankan kepada pribumi yang notabene jarang merasakan dampak kolonialisme. Penerapan pajak perorangan (belasting) kemudian direspon masyarakat Hindia dengan pemberontakan. Dalam hal ini Perang Kamang (1908) dapat dipahami sebagai kesumat atas kebijakan simbolik pemerintah kolonial. Peristiwa pemberontakan berlatar Melayu pada peralihan abad XX tersebut tersaji dalam Sitti Nurbaya, sebuah roman yang bercorak melodrama sentimentil. Dengan memanfaatkan teori sosiologi sastra Swingewood diketahui roman modern pertama berbahasa Melayu Hindia tersebut menyajikan ketegangan antara manusia modern Samsulbahri dan manusia tradisional Datuk Meringgih. Duel mereka menandai goncangan yang tak terelakkan dalam dunia Melayu yang tengah menyongsong modernitas bikinan kolonial. Senjakala kebudayaan Melayu yang segera digantikan pranata Eropa digambarkan melalui ketegangan antargolongan dalam menempatkan adat Melayu konteks sosial-historis.
Le Flâneur du tiers monde: diri, liyan, dan kisah perjalanan dalam Bon Voyage Monsieur Le Président! Novi Kurniawati; Moh Atikurrahman
SULUK: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya Vol. 3 No. 1 (2021): Maret
Publisher : Program Studi Sastra Indonesia UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (518.388 KB) | DOI: 10.15642/suluk.2021.3.1.72-84

Abstract

Tidak seperti subgenre lain, sastra perjalanan hendak menegaskan narasi yang dibangunnya berasal dari persepsi objektif. Selain untuk meyakinkan pembaca, sastra perjalanan ingin menekankan jika acuannya adalah realitas, bukan fiksi atau fabrikasi semata. Tulisan ini bertendensi untuk menganalisis motif perjalanan dalam Bon Voyage Monsieur Le Président. Cerita tersebut merupakan salah satu cerita perjalanan Gabriel García Márquez yang terkumpul dalam Douze Contes Vagabonds. Dua belas cerita dalam kumpulan tersebut berkisah tentang pengalaman melancong seseorang dari Dunia Ketiga ke Dunia Pertama, Eropa. Dalam konteks yang lebih luas, akar dari catatan perjalanan berasal dari representasi Barat atas Timur sebagai travel report dalam aktivitas kolonialisme Eropa. Sehingga kisah-kisah perjalanan dalam Douze Contes Vagabonds harus dipahami sebagai counter-travel, karena subjek pencerita (pelancong/flâneur), yang menggunakan kelana sebagai modus operandi, berasal dari Dunia Ketiga.
PROSA, RUANG, DAN KOTA PASCAKOLONIAL Moh. Atikurrahman
POETIKA Vol 2, No 2 (2014): Issue 2
Publisher : Literary Studies, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/poetika.v2i2.10445

Abstract

Today, the studies on post-colonial urban space in relation with Indonesian modern prose can be said to be minimal. On the other hand, in the history of Indonesian literature, we are endowed with writers like Armijn Pane, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Budi Darma etc., who consistently write prose with the background of the ex-colonial towns. Unfortunately, there is no enough studies of the encounter between those writers with the city as a representation of a post-colonial experience. This paper tried to track the integral relationship between Indonesian modern prose writers to the city by using the spatial space theory in relation to the study of post-colonial literature in Indonesia. This analysis used the spatial theory by Sara Upstone as the approach, especially regarding to space (spatial) city.Keywords: spatial, city, postcolonial. 
Anasir-Anasir Kisah Perjalanan dalam Helen dan Sukanta: Travel Writing Carl Thompson Ahmad Taqiyuddin Hidayah; Asep Abbas Abdullah; Moh Atikurrahman
SULUK: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya Vol. 4 No. 1 (2022): Maret
Publisher : Program Studi Sastra Indonesia UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/suluk.2022.4.1.47-56

Abstract

Tulisan ini menempatkan Helen dan Sukanta sebagai teks bergenre perjalanan. Sepintas lalu narasi novel Pidi Baiq ini seperti memusat pada kisah sejoli dari senjakala kolonialisme Hindia Belanda. Helen, seorang perempuan keturunan Belanda yang lahir dan tumbuh di sebuah kawasan perkebunan di pedalaman Ciwidey, Bogor jatuh hati pada Sukanta. Kisah asmara mereka kandas lantaran perbedaan rasial. Tragedi itu sendiri diceritakan oleh protagonis kepada narator utama novel yang kebetulan tengah melawat ke Belanda. Oleh sebab itu, kisah Helen tersebut sangat bergantung pada bagaimana sikap dan posisi narator novel untuk merespon dan merepresentasikan kenangan protagonis. Dalam penelitian ini novel Baiq dikaji sebagai representasi sastra perjalanan. Sebuah catatan yang bersumber pada aktivitas perjalanan bagi Carl Thompson mengemukakan beberapa pokok penting, yakni informasi atau keadaan riil belahan dunia lain (reporting the world), sikap pribadi seorang (revealing the self), dan respon terhadap orang asing (respresenting the other) yang notabene berbeda budaya. Secara umum penggambaran novel menempatkan narator sebagai pelancong merupakan diri (self) yang secara aktif bersikap sehingga menentukan jalan cerita dalam Helen dan Sukanta.
Monopoli Lada dan Emas di Pantai Barat Sumatera: Konflik Internal Melayu dan Intervensi VOC dalam Narasi Hulubalang Raja Karya Nur Sutan Iskandar Moh Atikurrahman; Meiyra Nur Laili; M. Ridwan
Jurnal Tamaddun Vol 10, No 2 (2022)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24235/tamaddun.v10i2.10948

Abstract

In the Indonesia-centrism historiography devide et impera is generally understood as the intrigue of the colonizer to dominate the archipelago. Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)'s cunning tactic is related to the colonialism of abundant natural resources in the archipelago. The historical narrative that emerged was that the VOC was accused of being the ringleader of dividing the nation in order to smooth out the ambitions of monopoly on spices and other commodities. The European Meneer was labeled as an antagonist who maneuvered in order to control the maritime trade network of the archipelago. On the other hand, in historical reconstruction, trade competition between brothers and/or local rulers tends to be ignored. In fact, their conflict (internal Malay) is more entrenched, massive, and latent. This article aims to explore medieval primordial conflicts along the West Coast of Sumatra. As a narrative balance, the novel Nur Sutan Iskandar, which takes the background from 1665-1668, is examined because it offers an alternative discourse about a dramatic chronicle between traders and rulers of Aceh and Minangkabau. In modern Indonesian literature, Hulubalang Raja (1934) is known as a historical literary work. From the perspective of New Historism, the conflict between Raja Adil and Hulubalang Raja is a representation of the Malay people. The colossal conflict between the Malays is understood as the author's literary strategy to trick Balai Pustaka's censorship. In addition, the text of the story can also be interpreted as a message to the readers of the 30s decade who are experiencing contractions to realize the idea of a nation-state which will later be called "Indonesia". Instead of cornering the Kompeni, the main problems of the people of the archipelago at that time were exposed through colossal conflicts between the nation's children. In the romance narrative of the Balai Pustaka tradition, the dominant narrative is the internal conflict of the Malay. Meanwhile, the double storylines of the shortcut novels seem confusing and incoherent. However, the fictional building was related to the repression of the colonial side through Balai Pustaka which aggressively censored, tightened, and banned books that were considered subversive to the power of the Dutch East Indies.
Belenggu Maskulinitas dalam Kultur Matrilineal Minangkabau: Ambivalensi Sitti Nurbaya dan Beberapa Citra Kolosal Gender pada Roman Marah Roesli Moh Atikurrahman; Wahidah Zein Br Siregar; Shabrina An Adzhani
SULUK: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya Vol. 4 No. 2 (2022): September
Publisher : Program Studi Sastra Indonesia UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/suluk.2022.4.2.94-104

Abstract

Meskipun Marah Roesli menempatkan perempuan sebagai sorot utama karya gubahannya, namun tampilan judul roman belum cukup sugestif untuk memuaskan horison harapan pembaca berlensa feminis mengenai kode-kode gender dalam Sitti Nurbaya (1920). Sebaliknya, keberadaan protagonis perempuan dalam roman justru tampak problematis. Pertama, Sitti Nurbaya tidak dilihat dari kacamata seorang perempuan (pengarangnya laki-laki). Kedua, protagonis perempuan justru ditempatkan sebagai gravitasi konflik maskulin yang menyebabkan Samsulbahri dan Datuk Meringgih berseteru. Tulisan ini mengetengahkan pelbagai citra feminitas yang dinarasikan melalui tokoh-tokoh feminin dalam roman Marah Roesli. Tidak hanya berfokus pada sosok Sitti Nurbaya, sosok seperti Putri Rabiah, Sitti Fatimah, dan Sitti Alimah justru menawarkan citra keperempuanan yang lebih menarik dan mengesankan. Putri Rabiah mewakili gambaran perempuan Minangkabau yang diberkati kultur matrilinel yang menempatkan perempuan sebagai poros sosial, ekonomi, budaya Minangkabau. Sedangkan Sitti Fatimah dan Sitti Alimah merepresentasikan citra kosmopolit dan radikal dari lingkungan keluarga saudagar Melayu di awal kemodernan Melayu.
THE SACRED NAME ON THE BOTTLE: Perspektif Semiologi Saussurean dalam Kampanye Marketing Holywings Indonesia Audita Ressa Affanda; Moh. Atikurrahman
Al-Mishbah: Jurnal Ilmu Dakwah dan Komunikasi Vol 18 No 2 (2022)
Publisher : Komunitas Dosen Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24239/al-mishbah.Vol18.Iss2.336

Abstract

This research focuses on Instagram uploads from Holywings Indonesia which juxtapose two sacred names (Muhammad and Maria) with bottles of liquor (Gordon's Gin). The promotional upload then went viral until Holywings Indonesia was deemed to have blasphemed religion. This paper places the Holywings Indonesia promotional upload as a material object of semiotic studies. In the researcher's opinion, these uploads represent sign phenomena and tagging systems. Every language expression, image, color, and so on has a basis of meaning implied behind the sign. For research purposes, Saussure's scheme of signs (semiology) is used as a methodological tool in understanding the meaning of signs (markers and signifieds) uploaded by the Holywings Marketing Campaign.