Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Allometric Equation for Pinang (Areca catechu) Biomass and C Stocks Cahyo Prayogo; Rika Ratna Sari; Degi Harja Asmara; Subekti Rahayu; Kurniatun Hairiah
AGRIVITA, Journal of Agricultural Science Vol 40, No 3 (2018): OCTOBER
Publisher : Faculty of Agriculture University of Brawijaya in collaboration with PERAGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17503/agrivita.v40i3.1124

Abstract

Pinang nut (Areca catechu L.) is a major agroforestry crops in Papua with high economic value. This study developed allometric equations for estimating Pinang biomass on the basis of stem diameter and height by destructive sampling inagroforestry systems. Aboveground biomass was measured and linked to plant stem diameter at various heights (0.13 and 130 cm above the ground) and plant height. The resultant equation was used for biomass estimates in various agroforestry systems with Pinang trees, with total of 18 plots differentiated in bottom, middle and upper slope positions. As expected for palm trees, plant height is a better predictor (Y = 0.816 H1.42; R2 = 0.89) of biomass than stem diameter, with equal results for diameter measurements at 13 or 130 cm height (Y = 0.0689 D2.59; R2 = 0.74). Best results were for an equation combining diameter and plant height: Y = 0.03883*H*D1.2; R2 = 0.96. Agroforestry systems on the upper slopes had the highest carbon stocks (38.8 Mg ha-1) than the middle and lower slopes (25.9 and 22.5 Mg ha-1, respectively). Aboveground carbon stocks of Pinang in study area ranged from 0.96 to 20.9 kg C tree-1 with an average of 10.1 kg C tree-1.
Turning Volcanic Ash into Fertile Soil: Farmers’ Options in Coffee Agroforestry After the 2014 Mount Kelud Eruption Rizki Maulana Ishaq; Danny Dwi Saputra; Rika Ratna Sari; Didik Suprayogo; Widianto Widianto; Cahyo Prayogo; Kurniatun Hairiah
AGRIVITA, Journal of Agricultural Science Vol 42, No 1 (2020)
Publisher : Faculty of Agriculture University of Brawijaya in collaboration with PERAGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17503/agrivita.v42i1.2494

Abstract

Post eruption land reclamation consists of hoeing, mixing volcanic ash with soil, adding external organic and/or in-organic fertilizers and making infiltration-pits (‘rorak’). This study, after the 2014 eruption of Kelud volcano, aimed to evaluate: (a) soil physico-chemical fertility post eruption, (b) impact of organic inputs interacting with ash in infiltration pits on soil C and N underneath (1st experiment), (c) biomass loss (decomposition) of local biomass (Trema orientalis and Parasponia andersonii) in a coffee agroforestry system (2nd experiment). Measurements in the ash-affected (+Ash) Tulungrejo-village (Ngantang-Malang district) were contrasted with an area without recent ash deposits (-Ash) in Krisik (Gandusari-Wlingi district). The 1st experiment (-Ash site) treatments did not lead to statistically significant influences on soil conditions just below the infiltration pits during 12 weeks of monitoring. The 2nd experiment quantified rate of biomass loss from litterbags. In +Ash location, litter half-life time (t50) was 19.5 weeks for coffee or Parasponia as single biomass source to 24 weeks for Coffee+Sengon+Durian. In -Ash location decomposition was slower, with t50 of 24 weeks for Parasponia to 27 weeks for Coffee+Sengon+Durian biomass. Concentrations of soil NH4 and NO3 below the litterbags peaked between 4 to 8 weeks, with nitrification lagging behind on ammonium release.
Karakteristik Hutan Rakyat Jati dan Sengon serta Manfaat Ekonominya di Kabupaten Malang Rika Ratna Sari; Kurniatun Hairiah; Suyanto Suyanto
Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : Department of Agricultural Social Economics, Faculty of Agriculture, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (501.443 KB) | DOI: 10.21776/ub.jepa.2018.002.02.6

Abstract

Penanaman pepopohan di lahan pertanian dalam sistem agroforestry dan hutan rakyat diharapkan mampu meningkatkan keberlanjutan lansekap yang dinilai dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Hal ini dipengaruhi oleh manajemen lahan yang menentukan proses pengambilan keputusan terkait sistem penggunaan lahan yang dipilih dan jenis tanaman yang akan ditanam. Keberadaan pohon dalam sistem hutan rakyat diharapkan mampu memperbaiki produktivitas lahan dan dapat memberikan pendapatan untuk perbaikan dalam aspek ekonomi. Penilaian manfaat ekonomi pohon dalam kurun waktu tertentu dapat dilakukan melalui analisis Net Present Value (NPV). Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi keuntungan yang diperoleh petani pada sistem hutan rakyat khususnya tanaman sengon dan jati dibandingkan dengan tanaman semusim (jagung dan bawang merah) serta menganalisis sistem mana yang lebih menguntungkan ditinjau dari aspek ekonomi dan ekologi.Survey dilakukan dengan metode purposive sampling dengan tujuan untuk mendapatkan informasi terkait biaya produksi dan pendapatan dari petani yang benar-benar mengelola sistem hutan rakyat. Penelitian ini dilakukan pada di Kabupaten Malang yang merupakan sentra hutan rakyat di Jawa Timur. Populasi pohon rata-rata pada hutan rakyat adalah 1396 pohon ha-1. Hutan rakyat jati dan sengon, sekitar 77% didominasi oleh kayu sedang (BJ 0,6 – 0,75 g cm-3), dan 23% kayu ringan. Total cadangan karbon di Hutan rakyat jati cukup tinggi bila dibandingkan dengan hutan rakyat sengon. Secara ekonomi, hutan rakyat jati memiliki nilai NPV tertinggi yakni Rp. 643.514.720,-/ha/30 tahun, sedang hutan rakyat sengon sekitar 44% lebih rendah (Rp. 357.833.338,-/ha/30 tahun). Nilai NPV pada hutan rakyat lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman semusim sehingga hutan rakyat lebih menguntungkan secara ekonomi dibandingkan tanaman semusim. Secara ekologi hutan rakyat mampu memperbaiki kondisi lahan dan kesuburan tanah secara perlahan melalui masukan seresahnya, serta dapat menekan limpasan permukaan karena tutupan kanopinya dan meningkatkan cadangan karbon