Claim Missing Document
Check
Articles

Found 21 Documents
Search

ANALISIS KONSEP TEOLOGIS JABATAN IMAM, RAJA, DAN NABI YANG DILEKATKAN KEPADA PENDETA HKBP Binsar Jonathan Pakpahan; Gunawan Simatupang
Voice of Wesley: Jurnal Ilmiah Musik dan Agama Vol 5, No 2 (2022): J.VoW Vol 5. No. 2 (2022)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologia Wesley Methodist Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36972/jvow.v5i2.147

Abstract

Tata Gereja dan Tata Laksana HKBP 2002 menyatakan dengan jelas bahwa dalam jabatan kependetaan HKBP itu tercakup ketiga jabatan Kristus, yaitu imam, raja, dan nabi. Gagasan ini mempengaruhi sejumlah pendeta dan teolog HKBP untuk berpikir dan bertindak bahwa pendeta adalah jabatan gerejawi yang menjadi wakil Kristus di jemaat. Gagasan jabatan pendeta sebagai imam, raja, dan nabi ternyata menguatkan supremasi pendeta yang ditunjukkan dalam bentuk pembaruan Tata Gereja HKBP sebagai gereja yang pendeta-sentris. Melalui analisis historis dan teologis, artikel ini akan menampilkan perkembangan konsep jabatan Kristus sebagai imam, raja, dan nabi tersebut secara kronologis dari zaman Perjanjian Lama (PL) sampai sekarang. Penelitian ini  membuktikan bahwa pernyataan pendeta adalah pemegang ketiga jabatan Kristus tidak tepat. Selain itu, analisis terhadap dokumen-dokumen yang mendukung pernyataan tersebut juga membuktikan adanya sejumlah kerancuan dan penjelasan yang kurang memadai dan tidak menguatkan klaim tersebut.
Sistem Ladang Gilir Balik Sebagai Ekoteologi Masyarakat Dayak Sterra Helena Mathilda; Binsar Jonathan Pakpahan; Sandro Hasoloan Tobing
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 4, No 1 (2021): September 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v4i1.150

Abstract

Makalah ini bermaksud untuk membangun sebuah ekoteologi dari sistem ladang gilir balik (ladang berpindah) masyarakat Dayak. Sistem ladang gilir balik adalah teknik menanam padi yang memerhatikan faktor berikut: memilih lahan, menebas, menebang, membakar, menugal, hingga menuai. Sebagai aktivitas pertanian, sistem ladang gilir balik sering disalahpahami oleh pemerintah dan masyarakat modern sebagai sebuah aktivitas yang merusak lingkungan. Tetapi, melalui metode kualitatif deskriptif, dibantu dengan analisis Robert P. Borrong dan Daniel P. Scheid, penelitian ini menemukan bahwa sistem ladang gilir balik adalah sebuah kearifan lokal yang bisa digunakan untuk membangun sebuah teologi yang berdasar kepada kepedulian ekologi. Borrong memberikan fokus penting pada isu ekoteologi kontekstual, dan Scheid menggunakan dialog kosmologis sebagai sebuah pola pikir hidup bersama antarciptaan, baik antara manusia dan nonmanusia. Ladang gilir balik adalah narasi kehidupan masyarakat Dayak peladang di Kalimantan untuk memaknai relasi antarciptaan. Sebuah ekoteologi kontekstual yang menghargai alam sangat diperlukan tengah krisis ekologi. Pendekatan ekoteologi kristiani akan memperlihatkan bahwa narasi masyarakat lokal di Indonesia memiliki nilai penghargaan akan alam.
Sistem Ladang Gilir Balik Sebagai Ekoteologi Masyarakat Dayak Sterra Helena Mathilda; Binsar Jonathan Pakpahan; Sandro Hasoloan Tobing
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 4, No 1 (2021): September 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v4i1.150

Abstract

Makalah ini bermaksud untuk membangun sebuah ekoteologi dari sistem ladang gilir balik (ladang berpindah) masyarakat Dayak. Sistem ladang gilir balik adalah teknik menanam padi yang memerhatikan faktor berikut: memilih lahan, menebas, menebang, membakar, menugal, hingga menuai. Sebagai aktivitas pertanian, sistem ladang gilir balik sering disalahpahami oleh pemerintah dan masyarakat modern sebagai sebuah aktivitas yang merusak lingkungan. Tetapi, melalui metode kualitatif deskriptif, dibantu dengan analisis Robert P. Borrong dan Daniel P. Scheid, penelitian ini menemukan bahwa sistem ladang gilir balik adalah sebuah kearifan lokal yang bisa digunakan untuk membangun sebuah teologi yang berdasar kepada kepedulian ekologi. Borrong memberikan fokus penting pada isu ekoteologi kontekstual, dan Scheid menggunakan dialog kosmologis sebagai sebuah pola pikir hidup bersama antarciptaan, baik antara manusia dan nonmanusia. Ladang gilir balik adalah narasi kehidupan masyarakat Dayak peladang di Kalimantan untuk memaknai relasi antarciptaan. Sebuah ekoteologi kontekstual yang menghargai alam sangat diperlukan tengah krisis ekologi. Pendekatan ekoteologi kristiani akan memperlihatkan bahwa narasi masyarakat lokal di Indonesia memiliki nilai penghargaan akan alam.
ETIKA MENGINGAT BAGI BANGSA PELUPA Binsar J. Pakpahan
Jurnal Ledalero Vol 16, No 1 (2017): Seratus Tahun Sesudah Perang Dunia Pertama
Publisher : Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (295.73 KB) | DOI: 10.31385/jl.v16i1.54.34-54

Abstract

Indonesians have the tendency to forget their problems as a way of solving them. The main question to be explored in this paper is who has the task to remember, and what to remember. Forgetfulness is thought to come from several factors: language, the manner one accepts things that happened, and as an escape from problems that are considered unsolveable. Memory has become a political commodity when it is remembered or forgotten for certain goals. Nevertheless, to remember is better than to forget in terms of dealing with the painful past. Remembering is our responsibility to hear the voice of the victims of history, so that tragic history will not repeat itself. Some Indonesian ethnic groups have shown that they have a basis for remembrance in their culture and we can use this as a basis for communal remembrance in dealing with the painful past. Keywords: remember, forget, Indonesian language, communal memory,truth, history, responsibility Bangsa Indonesia memiliki kebiasaan untuk melupakan masalah yang ada. Pertanyaan utama yang akan dieksplorasi adalah, siapa yang memiliki tugas utama untuk mengingat, dan apa yang harus diingat. Kebiasaan untuk melupakan di Indonesia muncul dari beberapa faktor: bahasa, penerimaan akan kejadian yang dialami, dan pelarian dari masalah yang dianggap tidak bisa diselesaikan. Ingatan juga menjadi sebuah komoditas politik ketika dia diingat dan dilupakan demi tujuan tertentu. Meskipun menyakitkan, mengingat masa lalu untuk perubahan di masa depan adalah pilihan yang lebih baik dari melupakannya. Mengingat adalah tanggung jawab kepada para korban dalam sejarah supaya suara mereka terdengar, masa lalu tidak terulang lagi, dan perjalanan sebuah bangsa ke depan. Beberapa suku di Indonesia menunjukkan bahwa tindakan mengingat juga ada dalam budaya dan dia dapat digunakan menjadi dasar ingatan komunal bagi bangsa Indonesia dalam penyelesaian kasus-kasus masa lalu yang menyakitkan. Kata-kata kunci: mengingat, melupakan, bahasa Indonesia, ingatan komunal, kebenaran, sejarah, tanggung jawab
Konsep trinitarian pneumatologis sebagai landasan teologi agama-agama Butarbutar, Rut Debora; Pakpahan, Binsar Jonathan
KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) Vol 7, No 2: Teologi Menstimulasi Nilai-nilai Kemanusiaan dan Kehidupan Bersama dalam Bingkai Kebang
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30995/kur.v7i2.205

Abstract

The research explored the use of a pneumatological trinitarian theology as a basis of the theology of religions in the Indonesian context of diversity. We can develop a new basis of the theology of religions that goes beyond exclusivism and pluralism by using the trinitarian approach towards God’s saving act in the Holy Spirit that moves beyond the church's wall. The research used Veli-Mati Kärkkäinen’s pneumatological trinitarian theology. Kärkkäinen explained that God’s saving grace through the Holy Spirit, in the perichoretic movement, moved towards human boundaries, to call humans to experience God’s saving act. At the end of the research, we would find that this specific theological approach is more suitable for Christians in understanding the Triune God but would be problematic to be understood by the people outside of Christianity. AbstrakTulisan ini mengangkat pendekatan trinitarian pneumatologis yang bisa digunakan sebagai dasar landasan teologi agama-agama dalam konteks keberagaman di Indonesia. Dengan menggunakan pemahaman teologi trinitarian dengan penekanan kepada karya keselamatan Allah dalam Roh Kudus yang melampaui batas gereja, sebuah teologi agama-agama dibangun atas basis baru yang melampaui eksklusivisme atau pluralisme. Penelitian ini akan menggunakan pemikiran teologi trinitarian pneumatologis Veli-Mati Kärkkäinen dengan metode penelitian kepustakaan. Kärkkäinen menjelaskan bahwa karya keselamatan Allah dalam Roh Kudus, yang tidak terlepas dari gerak perikoresis, bergerak melampaui sekat yang dibuat manusia, untuk memanggil manusia kepada karya keselamatan Allah. Pada akhirnya, pandangan trinitarian pneumatologis lebih khusus untuk orang Kristen sendiri dalam memahami Allah Trinitas namun mungkin akan lebih sulit untuk dipahami oleh orang di luar kekristenan.
Partisipasi aktif dalam ibadah online sebagai tanda persekutuan Pakpahan, Binsar Jonathan
KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) Vol 8, No 1: April 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30995/kur.v8i1.467

Abstract

This article aims to explain the differences between the online community and fellowship (church) through the dimensions of active participation in online worship. A fellowship is a community of baptized who confessed their faith and are actively involved in their calling. In a local church, members are united by common culture, language, and history. It is feared that online worship carried out during the Covid-19 pandemic will reduce the meaning of fellowship. Through descriptive qualitative method plus observation, with the theory from Alan Rathe and F. Gerrit Immink regarding active participation, this study found three indicators that could help churches prepare their worship to invite active participation as a sign of fellowship. The three indicators are “in” which refers to the common ground, namely initiation in the Triune God; "with" which refers to the congregation's togetherness to follow and participate both in terms of time and ability to interact; and "by" that is doing something together such as singing and responding to the same ritual. AbstrakArtikel ini bertujuan untuk menjelaskan perbedaan komunitas dan persekutuan (gereja) online melalui dimensi partisipasi aktif dalam ibadah secara online. Persekutuan adalah komunitas orang-orang yang dibaptis yang memiliki pengakuan iman, dan terlibat aktif dalam tugas panggilannya. Dalam bentuk gereja lokal, anggota diikat oleh kesamaan budaya, bahasa, dan sejarah. Ibadah online yang dilaksanakan dalam masa pandemi Covid-19 dikhawatirkan akan mengurangi makna persekutuan. Melalui metode kualitatif deskriptif ditambah observasi, dengan teori dari Alan Rathe dan F. Gerrit Immink mengenai partisipasi aktif dalam ibadah, penelitian ini menemukan tiga indikator yang mengukur partisipasi jemaat dalam ibadah. Ketiga indikator itu adalah “dalam” yang merujuk kepada kesamaan landasan yaitu inisiasi dalam Allah Tritunggal; “bersama” yang merujuk kepada kebersamaan jemaat mengikuti dan berpartisipasi baik dari sisi waktu maupun kemampuan berinteraksi; dan “dengan cara” yaitu melakukan sesuatu bersama seperti bernyanyi dan merespons tata ibadah yang sama.
Analisis teologis dan historis pemahaman tohonan sebagai jabatan dan ordinasi di Huria Kristen Batak Protestan Binsar Jonathan Pakpahan
KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) Vol 8, No 2: Oktober 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30995/kur.v8i2.570

Abstract

The Protestant Batak Christian Huria's understanding of the theology of office has received particular attention since the 2002 Church Order and Administration which was made after the Godang Reconciliation Synod. Church office, translated with the word tohonan are wrongly translated as tahbisan or ordination. The inconsistency influences direct or indirect the conclusion that the pastor??"s ordination, one of the offices in HKBP, represents Christ??"s office. By conducting a theological and historical analysis of HKBP??"s church office and ordination, this research will prove that the HKBP's understanding of tohonan is inconsistent. The inconsistency of understanding church offices is influenced by contextual needs that made the church add ecclesiastical offices during the development of the church, mistranslations, and incorrect theological understandings of offices and ordination. To restore the spirit of the royal priesthood that was echoed by the reformer Martin Luther, HKBP must revisit its understanding of the tohonan (office) and the relationship between officeholders.AbstrakPemahaman Huria Kristen Batak Protestan mengenai teologi jabatan mendapat perhatian khusus sejak Tata Gereja dan Tata Laksana 2002 yang dibuat setelah Sinode Godang Rekonsiliasi. Jabatan gereja yang diterjemahkan dengan kata tohonan ternyata diterjemahkan secara inkonsisten sebagai tahbisan atau ordinasi. Perubahan tersebut juga secara tidak langsung mendorong kesimpulan bahwa tohonan pendeta, sebagai salah satu jabatan di HKBP, mencakup semua tohonan Kristus. Melalui penelitian kepustakaan dan analisis historis dan teologis, penelitian menelusuri terminologi mengenai tohonan sebagai jabatan gereja dan ordinasi. Penelitian menunjukkan bahwa pemahaman HKBP mengenai hierarki jabatan disertai oleh pemahaman tohonan tidak konsisten antara jabatan gereja dan ordinasi. Inkonsistensi pemahaman tersebut dipengaruhi oleh kebutuhan kontekstual pelayanan dari masa ke masa yang membuat gereja menambah jabatan gerejawi dengan fungsi khusus. Penambahan jabatan gereja, yang juga diberikan dengan ordinasi. Selain faktor utama tersebut, ada juga kesalahan penerjemahan serta pemahaman teologi yang tidak tepat mengenai jabatan dan ordinasi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa HKBP perlu mengembalikan semangat reformasi imamat am yang rajani yang kembali didengungkan oleh Martin Luther.
MEMBANGUN TEOLOGI PUBLIK DALAM KONTEKS MASYARAKAT KEPULAUAN: CONTOH KASUS GEREJA MASEHI INJILI DI TIMOR Binsar Jonathan Pakpahan
Jurnal Teologi (Journal of Theology) Vol 12, No 01 (2023)
Publisher : P3TK, Sanata Dharma University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/jt.v12i01.5272

Abstract

Konsep berteologi publik apa yang sesuai dengan masyarakat kepulauan juga harus disesuaikan dengan konteks spesifik tersebut. Penelitian ini akan membangun sebuah argumen untuk sebuah teologi publik bagi masyarakat kepulauan berdasarkan pilihan model berteologi yang ada. Melalui penelitian kepustakaan, makalah memperlihatkan beberapa model berteologi dari E. Harold Breitenberg Jr. dan Eneida Jacobsen. Breitenberg berargumen bahwa teologi di ruang publik harusnya bersifat komunal, dan Jacobsen memberi beberapa model cara teologi hadir di ruang publik: disclosure (secara jelas menunjukkan bahasa teologis), universal (berbahasa yang dipahami publik, namun tidak menunjukkan secara kuat latar belakang teologisnya), dan factual (berkarya secara nyata). Melalui penelusuran konteks Gereja Masehi Injili di Timor yang berada di kepulauan provinsi Nusa Tenggara Timur, makalah ini menunjukkan bahwa model berteologi di konteks kepulauan adalah model komunal yang menampilkan teologinya secara nyata (disclosure) dan pada saat yang sama juga mengerjakan karya nyata di jemaat (factual). Gereja Masehi Injili di Timor sudah memiliki landasan teologi yang kuat dalam Pokok-pokok Eklesiologi GMIT yang mendorong mereka untuk terlibat dalam percakapan mengenai kemiskinan dan membangun percakapan lebih serius mengenai ekoteologi.
Pemetaan Tantangan Lembaga Pendidikan HKBP Berdasarkan Teori Jobs to be Done Binsar Jonathan Pakpahan
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan Vol. 10 No. 1 (2023)
Publisher : Universitas Kristen Satya Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24246/j.jk.2023.v10.i1.p58-66

Abstract

This article explains the challenges of Protestant Christian Batak Church (Huria Kristen Batak Protestan – HKBP) educational institutions, especially those managed by the Protestant Batak Christian Huria Education Board (BPP-HKBP). The research aims to solve the problems of mapping HKBP primary and secondary educational institutions. By using the method of field research and school data, assisted by systems thinking theory analysis, the internal problems found in HKBP educational institutions are no longer one. Still, they are already in the form of a circle: a lousy reputation reduces the number of students making schools financially weak and lacking adequate human resources and infrastructure, which brought the importance even less. The way to break the deadlock is to find a way to strengthen the reputation in the form of branding new values. The Jobs to be Done theory helps this research see that the new value proposal must be based on the needs of prospective users of different generations. The result is that the study finds that the branding theme centered on values ​​and character is the best solution to improve the image of HKBP educational institutions. This research helps improve the HKBP education institution’s management by mapping the user needs and providing answers to these needs, which could be helpful not only in HKBP but also in other educational institutions.
Falsafah Tallu Lolona dan Perspektif Teologi Penciptaan Norman Wirzba sebagai Landasan Ekoteologi Kontekstual Binsar Jonathan Pakpahan; Hiskianta Septian Masseleng
KHARISMATA: Jurnal Teologi Pantekosta Vol 6, No 1: Juli 2023
Publisher : Sekolah Tinggi Alkitab Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47167/kharis.v6i1.227

Abstract

This article builds a contextual eco-theology based on the Toraja’s local wisdom of tallu lolona and Norman Wirzba's eco-theology to respond to the environmental crisis, especially in Toraja. Tallu lolona is the philosophy of the Toraja people which shows the relationship between humans, animals, and plants as fellow creatures. The relations between creations should form a harmony because no creature should be dominant than others. Meanwhile, Norman Wirzba emphasized that God is the creator and humans should not dominate other creations; they are responsible for protecting and caring for them. Through descriptive methods with the theology of creation, the research shows that the philosophy of tallu lolona combined with the emphasis on God is the creator and humans are only part of creation, strengthen the contextual eco-theology especially for the Toraja people. Humans must no longer abuse other creation purposes for their interests but must respect and care for them. Artikel ini membangun ekoteologi kontekstual berdasarkan falsafah Tallu Lolona dan ekoteologi Norman Wirzba untuk menjawab krisis lingkungan hidup khususnya di Toraja. Tallu Lolona merupakan falsafah masyarakat Toraja yang memperlihatkan hubungan manusia, binatang dan tumbuhan sebagai sesama ciptaan. Relasi antar ciptaan membentuk kerukunan dan harmoni karena tidak ada yang lebih dominan. Sementara Norman Wirzba memberi penekanan bahwa Tuhan adalah pencipta dan manusia tidak boleh mendominasi ciptaan lain, bahkan bertanggung jawab untuk menjaga dan merawatnya. Melalui metode deskriptif dan pendekatan teologi penciptaan, penelitian menunjukkan bahwa falsafah Tallu Lolona yang dikombinasikan dengan penekanan bahwa Tuhan adalah pencipta dan manusia hanya bagian dari ciptaan, membuat bangunan ekoteologi kontekstual khususnya bagi masyarakat Toraja menjadi kuat. Manusia tidak boleh lagi menyalahgunakan tujuan ciptaan lainnya untuk kepentingan dirinya, namun harus menghargai bahkan merawatnya.