I Ketut Sukadana
Universitas Warmadewa

Published : 23 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 23 Documents
Search

Sanksi Kasepekang Dalam Hukum Adat Bali I Ketut Sukadana; Diah Gayatri Sudibya; Ni Made Sukaryati Karma
KERTHA WICAKSANA Vol. 15 No. 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.15.1.2021.72-79

Abstract

Traditional villages in Bali as now regulated through the Bali Provincial Regulation Number 4 of 2019, have the same government system. Activities carried out in traditional villages cover the custom and religious fields, where a traditional village in Bali has its own customary rules which are outlined in the village awig-awig. Customary village government is autonomous, meaning that each customary village has its own rules which only apply to the residents of the village / banjar concerned. In general, the rules contained in awig-awig must not at all conflict with the prevailing regulations at the national or regional levels. But in reality there are still awig-awig in some traditional villages that contain sanctions that are no longer suitable to the times, such as still applying the Kasepekang customary sanction, namely exclusion from the association of living together. The exclusion of members of the community is not half-hearted, and some have even closed off access to the outside of their home yard. The problems examined in this study: (1) the regulation of sanctions in Balinese customary law, and (2) the factors that become the reasons for the implementation of the kasepekang customary sanctions. This type of research is empirical with data collection techniques using interviews with informants. Based on the research results, it can be said that the customary sanctions arrangements are listed in the awig-awig of each customary village, namely indik pamidanda (regarding sanctions); As for the reason that the kasepekang sanction is still being applied in people's lives is because the person concerned is outrageous and difficult to foster, besides this type of sanction is stated in awig-awig so that the prajuru adat (traditional leader) still has a legal basis to apply it.
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM SISTEM PEWARISAN MENURUT HUKUM ADAT BALI DI DESA ADAT KEROBOKAN Ni Putu Yuni Purnamawati; I Wayan Wesna Astara.; I Ketut Sukadana.
Jurnal Preferensi Hukum Vol. 3 No. 3 (2022): Jurnal Preferensi Hukum
Publisher : Warmadewa Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55637/jph.3.3.5591.537-543

Abstract

Anak angkat adalah anak yang bukan berasal dari keturunan suami istri yang sah namun anak yang diambil, dipelihara dan diperlakukan selayaknya anak kandung pada umumnya. Adapun rumusan masalah (1).Bagaimanakah hak dan kewajiban anak angkat terhadap orang tua angkatnya menurut hukum adat Bali (2).Bagaimanakah kedudukan anak angkat dalam pewarisan apabila orang tua angkatnya sudah memiliki anak laki-laki Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hak, kewajiban serta kedudukan anak angkat dalam sistem pewarisan apabila orang tua angkatnya sudah memiliki anak laki-laki. Penelitian ini merupakan metode penelitian empiris. Hasil penelitian menunjukkan kedudukan anak angkat menurut hukum adat Bali serta hak mewaris anak angkat menurut hukum adat Bali dan khususnya dikaitkan dengan awig-awig Desa Adat Kerobokan. hasil penelitian di lapangan pengangkatan anak yang dilakukan aleh masyarakat Desa Adat Bualu berdasarkan kata sepakat. Dari kedua belah pihak baik dari keluarga angkat maupun keluarga kandung. Akibatnya mereka tidak mempermasalahkan kedudukan si anak angkat dalam pewarisan walaupun si anak angkat dari keluarga bahkan anak orang lain. Dengan demikian pengangkatan anak didasarkan 64 atas perjanjian, pengangkatan anak itu ada sejak dicapainya kata sepakatAdapun simpulan yang diberikan dalam penelitian ini yaitu, Hak dan kewajiban anak angkat menurut hukum adat Bali adalah sama dengan hak dan kewajiban anak kandung, yaitu berhak mewarisi harta orang tuanya dan berkewajiban melakukan dan menggantikan tugas orang tua terhadap krama desa adat. Kedudukan anak angkat dijadikan sebagai penerus keturunan orang tua angkatnya serta anak angkat berkedudukan sebagai ahli waris penuh pada orang tua angkatnya dan terputusnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Penerapan Sanksi Pelanggaran Awig-Awig Terhadap Krama Banjar Tegeha Desa Adat Sempidi Kadek Yogi Pranata Mulyawan A; I Nyoman Putu Budiartha; I Ketut Sukadana
Jurnal Interpretasi Hukum Vol. 3 No. 3 (2022): Jurnal Interpretasi Hukum
Publisher : Warmadewa Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55637/juinhum.3.3.5789.435-440

Abstract

Awig-awig is a rule set by village adat or krama Banjar Adat, which is used as a guideline in carrying out Tri Hita Karana in accordance with Mascara village and French religion in adat/banjar villages with the same reaction by adat. Continue to learn the concept of Tri Hita Karana in such a way that breaking the front hand will cause a major imbalance or harmonization of the summary and will also be punished according to the agreement of the hand. On that basis, the problem posed in this thesis is how to apply the awig awig punishment in the Banjar traditional village of Tegeha Sempidi to the residents of Banjarese manners who violate the rules and elements of Banjar manners. / violators of ethics. The research method used is experimental legal research with a community approach and direct field work. The results of this study, enforcement of sanctions is carried out because Paruman is led by Kelian and Banjar Prajuru and is supported by all krama banjara who follow Paruman and its prohibition elements. cheat by reducing the size of rice.