Articles
Kebebasan Berpendapat Terhadap Pemerintah Melalui Media Sosial Dalam Perspektif UU ITE
Rahmawati, Nur;
Muslichatun, Muslichatun;
Marizal, M
Widya Pranata Hukum : Jurnal Kajian dan Penelitian Hukum Vol 3, No 1 (2021)
Publisher : Universitas Widya Mataram
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.37631/widyapranata.v3i1.270
Pemerintah menuntut keaktifan masyarakat dalam mengkritik pemerintah. Namun, pernyataan tersebut menimbulkan polemik berbagai kalangan. Tujuan penulisan ini ialah untuk mengetahui respons mahasiswa terkait pemerintah yang menuntut untuk dikritik, namun terancam oleh UU ITE. Dan membahas bentuk jaminan hukum agar masyarakat dalam mengkritik pemerintah dapat terlindung dari sanksi pidana. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, dengan melakukan survei melalui kuesioner, dan metode yuridis normatif yaitu menganalisis permasalahan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan literatur hukum. Adanya UU ITE membuat masyarakat khawatir dalam memberi kritik dan masukan kepada pemerintah karena kurangnya jaminan atas kebebasan berpendapat dalam memberikan kritikan kepada pemerintah melalui media sosial.
KONSEP HYBRID CONTRACT DALAM STUDI PERBANDINGAN
Muhammad Marizal;
Fahrul Hamdani Khoerudin
Literasi Hukum Vol 4, No 2 (2020): Literasi Hukum
Publisher : Universitas Tidar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (330.902 KB)
Tulisan ini menjelaskan tentang pelaksanaan konsep formulasi Hybrid Contract dalam studi perbandingan antara Hukum Perjanjian Islam dengan Hukum Perjanjian Barat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Metode penelitian yg digunakan dalam mengkaji topik ini adalah dengan metode penelitian yuridis normative dengan studi perbandingan serta menggunakan pendekatan konspetual. Sumber dan data yang digunakan dalam kajian ini bersumber dari literature baik dari buku, jurnal,peraturan perundang-undangan, dan kita-kitab berbahasa Arab. Hasil kajian ini adalah, bahwa; (1) dalam ketentuan Hukum Perjanjian Islam, hukum dari konsep Hybrid Contract atau Multi Akad adalah boleh selama akad-akad yang membangunnya boleh dilakukan, dan mengenai tiga hadis Nabi Muhammad SAW. yang melarang pelaksanaan Hybrid Contract merupakan pengecualian pada akad-akad tertentu saja, sebagai contoh konsep Hybrid Contract antara perjanjian jual beli dengan jual beli. Kemudian kebolehan ini diperkuat dengan adanya aturan yang membatasi pelaksanaan konsep Hybrid Contract ini agar para pihak tidak terjerumus dalam praktik muamalah yang dilarang oleh ajaran agama Islam. (2) Sedangkan dalam Hukum Perjanjian Barat (KUHPerdata) disimpulkan bahwa konsep Hybrid Contract atau Perjanjian Campuran diperbolehkan karena didukung dengan adanya Teori Kombinasi atau Teori Kumulasi yang membolehkan percampuran beberapa jenis Perjanjian Bernama dalam satu bentuk perjanjian yang baru dengan dasar Asas Kebebasan Berkontrak yang menjelaskan bahwa tiap orang berhak untuk membuat perjanjian dengan siapapun dan dalam bentuk perjanjian apapun baik bentuk dan jenis perjanjian bernama, tidak bernama, atau mengkobinasi beberapa perjanjian
Kebebasan Berpendapat Terhadap Pemerintah Melalui Media Sosial Dalam Perspektif UU ITE
Nur Rahmawati;
Muslichatun Muslichatun;
M Marizal
Widya Pranata Hukum : Jurnal Kajian dan Penelitian Hukum Vol. 3 No. 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.37631/widyapranata.v3i1.270
Pemerintah menuntut keaktifan masyarakat dalam mengkritik pemerintah. Namun, pernyataan tersebut menimbulkan polemik berbagai kalangan. Tujuan penulisan ini ialah untuk mengetahui respons mahasiswa terkait pemerintah yang menuntut untuk dikritik, namun terancam oleh UU ITE. Dan membahas bentuk jaminan hukum agar masyarakat dalam mengkritik pemerintah dapat terlindung dari sanksi pidana. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, dengan melakukan survei melalui kuesioner, dan metode yuridis normatif yaitu menganalisis permasalahan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan literatur hukum. Adanya UU ITE membuat masyarakat khawatir dalam memberi kritik dan masukan kepada pemerintah karena kurangnya jaminan atas kebebasan berpendapat dalam memberikan kritikan kepada pemerintah melalui media sosial.
Implementasi Restorative Justice Pada Penyelesaian Kasus Pencemaran Nama Baik Dalam UU ITE
Sodik Muslih;
Mutiara Ramadhani;
Diyah Ayu Riyanti;
Muhammad Marizal
Widya Pranata Hukum : Jurnal Kajian dan Penelitian Hukum Vol. 3 No. 2 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.37631/widyapranata.v3i2.443
Indonesia merupakan negara hukum yang menjamin kebebasan berpendapat yang diatur dalam Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945. Kebebasan berpendapat melalui media elektronik diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi, pada faktanya kebebasan berpendapat belum sepenuhnya mendapat perlindungan sebagai hak konstitusional. Selain itu, terdapat beberapa pasal yang belum jelas batasannya, sehingga menimbulkan multitafsir dan pelaksanaanya justru membatasi kebebasan berpendapat di ruang publik. Oleh karena itu, Kepolisian republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Polri Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif. Jenis kajian penulisan ini menggunakan metode yuridis-normatif melalui studi pustaka dengan menggunakan bahan hukum primer maupun sekunder. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Restorative Justice berperan untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan melibatkan masyarakat, korban serta pelaku kejahatan dengan tujuan tercapai keadilan bagi seluruh pihak. Sehingga terciptanya keadilan bagi pelaku yang menyatakan kebebasan berpendapat..
PARAMETER KEYAKINAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PIDANA
Triantono Triantono;
Muhammad Marizal
Justitia et Pax Vol. 37 No. 2 (2021): Justitia et Pax Volume 37 Nomor 2 Tahun 2021
Publisher : Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24002/jep.v37i2.3744
According to Article 183 of the Criminal Procedure Code, a judge may not impose a sentence on a person unless he has at least two valid evidence and he is convinced that a criminal act actually occurred and that the defendant was guilty of committing it. In this context there are at least two means of evidence and belief must be applied cumulatively based on the negative evidence theory (negative wettelijk bewijs theorie) adopted in Indonesia. The word two means of evidence refers to the parameter that there must be at least two pieces of evidence from the four pieces of evidence that have been determined limitatifly based on Article 184 of the Criminal Procedure Code, but the problem is that there is no clear measure (parameter) regarding the judge's conviction. The results of the study concluded that the judge's confidence parameters consisted of formal parameters and material parameters. Formal parameters are very much determined by formal evidence as stipulated in law and jurisprudence. Meanwhile, material actors have a freer character not only to see formal procedural facts but also to juridical, sociological, and philosophical aspects.
Konsep Moderasi Pidana Mati RKUHP dalam Perspektif HAM dan Kepentingan Negara
Triantono Triantono;
Muhammad Marizal
Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi Vol. 5 Issue 1 (2022) Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi
Publisher : Faculty of Sharia, Islamic State University (UIN) Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (373.217 KB)
|
DOI: 10.24090/volksgeist.v5i1.6399
The debate over the imposition of the death penalty has long existed between the Abolitionists and Retentionists. The core problem of the debate is that the death penalty intersects with human rights and the interests of the state in maintaining public order. Indonesia, which chooses to apply the death penalty, cannot be separated from these two problematic aspects. This study aims to answer two problems: first, the death penalty debate in Indonesia including its historical aspects; second, the concept of middle ways (moderation) of the death penalty in the Draft of the Criminal Code (RKUHP). This is a normative legal research in which data are collected through library research on legal materials. The gathered data are analyzed in a qualitative description to answer the problems posed in the research. The results of the study show that the death penalty has become a part of the history of Indonesia due to the complexity of the legal system in Indonesia which is influenced by the Dutch, local custom, and Islamic legal systems. The concept of a middle way (moderation) of the death penalty in the RKUHP has placed the death penalty not as a principal penalty but is specific and alternative. Its implementation is also carried out after the probationary period. This is an interesting concept to bridge the death penalty debate in Indonesia. However, there are still problems related to changes to the death penalty, clemency issues, the length of delay in the death penalty and institutions that can amend the death penalty. In addition, there are also problems in determining the death penalty as a result of very serious crimes, because the indicators of most serious crimes have not been determined in a harmonious and consistent manner.
KIPRAH FILSAFAT HUKUM PADA PENDIDIKAN HUKUM DI ERA KECERDASAN BUATAN (ARTIFICIAL INTELLIGENCE)
Aditya Putra Kurniawan;
Triantono Triantono;
Muhammad Marizal
Literasi Hukum Vol 6, No 2 (2022): LITERASI HUKUM
Publisher : Universitas Tidar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (359.348 KB)
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tentang kiprah filsafat hukum khususnya pada pendidikan hukum di era kecerdasan buatan (artificial intelligence). Menurut penulis hal ini menarik untuk dianalisis berhubungan dengan adanya narasi yang kuat serta dikotomis berkaitan dengan kontribusi Pendidikan tinggi hukum khususnya di era kecerdasan buatan (artificial intelligence) sebagai dampak dari era disrupsi. Dikotomisasi yang dimaksud berhubungan dengan proses maupun produk dari Pendidikan hukum yang mengarah pada keahlian professional praktik atau pada kearifan dan kebijaksanaan. Kendati secara idel dua hal tadi tidak bisa dipisahkan, namun narasi dikotomis itu terasa menguat seiring dengan adanya revolusi indusitri 4.0. Kondisi ini seolah menghasilkan sekat antara filsafat hukum dan Pendidikan Hukum. Melihat daripada itu, maka ada 2 (dua) permasalan yang akan dikaji, yaitu: 1) Eksistensi filsafat hukum di era Kecerdasan Buatan; 2). Relevansi filsafat hukum pada Pendidikan hukum di Era Kecerdasan Buatan (Artifisial Intelligence). Dengan menggunakan penelitian kepustakaan persoalan tersebut akan dianalisis sehingga menghasilkan diskripsi analitis tentang kiprah filsafat hukum pada Pendidikan hukum di era kecerdasan buatan (artificial intelligence). Hasil penelitian menunjukan bahwa filsafat hukum tetap eksis sebagai basis moral atau etika dan keadilan di era penegakkan hukum menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelegence). Filsafat hukum dapat berperan dalam mengakhiri dikotomi dari suatu pendidikan hukum melalui internalisasi nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan sehingga keberadaan hukum dapat menghadirkan kesejahteraan manusia berlandaskan moral dan keadilan ditengah era kecerdasan buatan (Artificial Intelligence).
PENGARUH PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TERHADAP TINGKAT PERCERAIAN DI KABUPATEN TEMANGGUNG
Tifani Azzahra Nisa;
Indira Swasti Gama Bhakti;
Muhammad Marizal
LONTAR MERAH Vol 5, No 2 (2022): Kekerasan Seksual dan Perlindungan Terhadap Perempuan
Publisher : Universitas Tidar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Perkawinan merupakan sesuatu yang sakral atau salah satu peristiwa yang penting dalam kehidupan manusia, karena dengan perkawinan manusia dapat meneruskan keturunannya tersebut. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (1). Tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Hal ini sesuai dengan pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Di Kabupaten Temanggung perkawinan banyak dilakukan pada saat usia yang belum mencukupi batas usia yang ditentukan oleh undan-undang sehingga harus ada persetujuan Pengadilan berupa Dispensasi nikah yang diajukan oleh orang tua. Adapun faktor dari terjadinya perkawinan di bawah umur di Temanggung itu sendiri yaitu Faktor Ekonomi, Faktor pendidikan, Faktor Keluarga. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui tingkat perkawinan di bawah umur yang terjadi di Kabupaten Temanggung dan mengungkapkan faktor yang menjadi alasan pasangan perkawinan di bawah umur mengajukan gugatan perceraian. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis normatif dengan menggunakan data primer dimana data yang bersumber dari Pengadilan Agama Kabupaten Temanggung serta data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif analisis melalui pendekatan Undang-Undang. Maka berdasarkan hasil penelitian, Perkawinan yang dilakukan di bawah umur berpengaruh terhadap tingkat perceraian yang terjadi di Kabupaten Temanggung
PENGARUH PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TERHADAP TINGKAT PERCERAIAN DI KABUPATEN TEMANGGUNG: Kekerasan Seksual dan Perlindungan Terhadap Perempuan
Nisa, Tifani Azzahra;
Gama Bhakti, Indira Swasti;
Marizal, Muhammad
LONTAR MERAH Vol. 5 No. 2 (2022): Kekerasan Seksual dan Perlindungan Terhadap Perempuan
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31002/lm.v5i2.3043
Perkawinan merupakan sesuatu yang sakral atau salah satu peristiwa yang penting dalam kehidupan manusia, karena dengan perkawinan manusia dapat meneruskan keturunannya tersebut. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (1). Tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Hal ini sesuai dengan pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Di Kabupaten Temanggung perkawinan banyak dilakukan pada saat usia yang belum mencukupi batas usia yang ditentukan oleh undan-undang sehingga harus ada persetujuan Pengadilan berupa Dispensasi nikah yang diajukan oleh orang tua. Adapun faktor dari terjadinya perkawinan di bawah umur di Temanggung itu sendiri yaitu Faktor Ekonomi, Faktor pendidikan, Faktor Keluarga. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui tingkat perkawinan di bawah umur yang terjadi di Kabupaten Temanggung dan mengungkapkan faktor yang menjadi alasan pasangan perkawinan di bawah umur mengajukan gugatan perceraian. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis normatif dengan menggunakan data primer dimana data yang bersumber dari Pengadilan Agama Kabupaten Temanggung serta data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif analisis melalui pendekatan Undang-Undang. Maka berdasarkan hasil penelitian, Perkawinan yang dilakukan di bawah umur berpengaruh terhadap tingkat perceraian yang terjadi di Kabupaten Temanggung
Dynamics of Customary Land Rights for Public Interest in Indonesia
Marizal, M;
Aulia Pravasta Indrianingrum;
Hilman Rigel Nugroho
Widya Pranata Hukum : Jurnal Kajian dan Penelitian Hukum Vol. 4 No. 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.37631/widyapranata.v4i2.685
Customary land which is one part of the customary law community has a large and significant role in the existence of the existence of the customary law community in an area. It is undeniable that land is an important element for meeting the needs and achieving the level of welfare of each person, including customary law communities. Utilization of ulayat land or called ulayat rights owned by indigenous peoples is actually used and intended for the welfare of indigenous peoples. Basically, the use of ulayat land in Indonesia is carried out based on the communal style (togetherness) which is one of the characteristics of customary law communities. Along with the times, with the limited amount of land in the territory of Indonesia, but collided with the increase in the number of people and population density that continues to increase, it has implications for the discovery of customary land uses carried out by other than customary law communities. The dynamics that often become a problem in the utilization of customary land are interesting to be studied in more depth. This type of research belongs to the type of normative juridical, with the research method used in compiling this paper is descriptive-qualitative method. Keywords: Customary Law Community, Communal Land, Customary Rights