Fahmi Zulkipli Lubis
Universitas Galuh

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEDOPHILIA Dudung Mulyadi; Anda Hermana; Fahmi Zulkipli Lubis
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol 10, No 1 (2022): Jurnal Ilmiah Galuh Justisi
Publisher : Universitas Galuh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/justisi.v10i1.7193

Abstract

Negara Republik Indonesia telah banyak memberikan perhatian terhadap hak-hak anak. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang usaha kesejahteraan anak dan ikut serta Indonesia dalam menandatangai konvensi tentang anak hak-hak anak (Convention On The Right of The Child) sebagai hasil Sidang Umum PBB pada tanggal 26 Januari 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No 36 Tahun 1990. Namun dalam pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain peraturan pemerintah belum semuanya diwujudkan secara efektif, kesigapan aparat dalam penegakan hukum, dan kurangnya perhatian dan peran serta masyarakat dalam permasalahan anak. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan penelitian deskriptif analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan baik secara langsung maupun virtual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tindak pidana Pedofhilia secara eksplisit tidak di atur dalam hukum Indonesia tetapi hal ini harus di paham tentang arti Pedophilia sendiri yang di mana melakukan tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, dan anak sendiri itu di lindungi dari tindakan eksploitasi seksual yang terdapat dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan bagi pelaku tindak Pidana Pedophilia dapat dikenai Pasal 82 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
ANALISIS PERKARA NOMOR 278/Pid.B/2020/PN Tsm BERDASARKAN PASAL 45 AYAT (1) UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN PASAL 303 bis KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Fahmi Zulkipli Lubis; Yat Rospia Brata; Dewi Mulyanti; Rachmatin Artita; Iwan Setiawan
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol 10, No 2 (2022): Jurnal Ilmiah Galuh Justisi
Publisher : Universitas Galuh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/justisi.v10i2.8603

Abstract

Kenyataan di lapangan perjudian online belum sepenuhnya dipidana dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juga mengatur tindak pidana perjudian secara online yang memiliki unsur-unsur khusus seperti unsur Pasal yang terdapat dalam Pasal 45 ayat (1) Jo. Pasal 27 ayat (2). Sebagai salah satu contoh adalah Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya yang mengadili perkara-perkara peradilan tingkat pertama dengan Nomor Perkara 278/Pid.B/2020/PN Tsm. Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah untuk memperoleh data-data dan informasi mengenai analisis perkara nomor 278/Pid.B/2020/PN Tsm berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, untuk memperoleh data-data dan informasi mengenai analisis perkara nomor 278/Pid.B/2020/PN Tsm berdasarkan Pasal 303 bis KUHP, dan untuk memperoleh data-data dan informasi mengenai analisis perkara nomor 278/Pid.B/2020/PN Tsm berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan Pasal 303 bis KUHP.Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu metode penelitian deskriptif analitis dengan metode pendekatan yuridis normatif yaitu suatu metode penelitian hukum yang didasarkan pada norma-norma hukum yang bersumber dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hasil analisis perkara nomor 278/Pid.B/2020/PN Tsm terhadap Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah terpenuhi sifat melawan hukum formil dan materilnya. Pembuktiannya dapat menggunakan teori pembuktian berdasar Undang-Undang secara positif yaitu jika alat bukti tersebut telah terpenuhi, hakim sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan putusannya tanpa harus timbul keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang ada. Kesulitan terhadap penerapan Pasal tersebut adalah pemenuhan alat bukti. Terhadap Pasal 303 bis KUHP telah terpenuhi sifat melawan hukum formil dan materilnya dengan teori pembuktian yang sama. Penentuan terhadap kedua Pasal tersebut menggunakan asas in dubio pro reo yang menurut kamus hukum diartikan yaitu jika ada keragu-raguan mengenai sesuatu hal haruslah diputuskan hal-hal yang menguntungkan terdakwa.
TIMBULNYA REVENGE PORN AKIBAT TOXIC RELATIONSHIP DAN PERLINDUNGANNYA DALAM PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI Setiawan, Iwan; Lubis, Fahmi Zulkipli
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol 12, No 1 (2024): Jurnal Ilmiah Galuh Justisi
Publisher : Universitas Galuh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/justisi.v12i1.12611

Abstract

Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) terus meningkat setiap tahunnya. Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2022, kasus KBGO tercatat sebanyak 1.721 kasus. Salah satu bentuk dari KBGO yang saat ini marak terjadi adalah revenge porn. Pada kasus revenge porn, korban dapat mengalami kekerasan fisik maupun non fisik. Kekerasan fisik bisa berupa verbal bertujuan mengancam korban hingga mendominasi agar korban terpaksa menuruti keinginan pelaku. Sedangkan kekerasan non fisik dapat berupa kerugian yang kemudian mempengaruhi semua aspek kehidupan, antara lain psikologis, tekanan mental, emosional, kerugian ekonomi, keterasingan sosial. Kehilangan kepercayaan diri hingga mengisolasi diri. Faham patriarki yang merupakan salahsatu faktor terjadinya toxic relationship yaitu faham yang memosisikan laki-laki berkedudukan lebih tinggi dari wanita sehingga mereka beranggapan dapat memperlakukan wanita atau kekasihnya sesuka hatinya dan bertindak semena-mena. Faktor ini bisa menjadi salah satu pemicu adanya korban kekerasan meliputi fisik, psikologis, seksual/reproduksi, ekonomi, sosial, sipil, hukum, dan tidak dihargainya hak asasi perempuan dalam hubungan sosial. Sehingga karenanya, Revenge porn mengarah kepada sebuah ancaman yang dilakukan oleh seorang laki-laki teman, pacar, atau mantan pacar akibat kecewa yang mendalam, ditinggal pergi, tidak ingin berpisah, memaksa untuk kembali bersama, ataupun melakukan pengancaman dan mengintimidasi wanita (korban) supaya melakukan keinginannya. Kasus revenge porn yang terjadi di Indonesia, apabila dianalisis lebih dalam, yang diangkat dan dijadikan bahan pemberitaan lebih mengungkap pelaku dan bagaimana hukuman pelaku. Korban dalam hal ini luput dari perhatian dan dipandang bahwa hanya sebatas korban saja tanpa adanya tindakan bagaimana pemenuhan hak dan perlindungan terhadap korban. Perlindungan hukum dari kasus revenge porn ini sebagaimana berdasarkan Pasal 68 sampai dengan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, bahwa perlindungan yang diperoleh oleh Korban revenge porn yaitu terdiri dari hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan, meliputi pelayanan pengaduan, kesehatan, hukum dan/atau bantuan hukum, rehabilitasi sosisal, medicolegal, dan psikologis. Pencegahan dan penanggulangan terkait kasus revenge porn ini lebih ditekankan kepada korban dengan memberikan pembinaan dan pendampingan yang dilakukan oleh instansi terkait.
PERLINDUNGAN KORBAN DARI DOSA BESAR PERGURUAN TINGGI Zulkipli Lubis, Fahmi; Duana, Rima
Case Law : Journal of Law Vol. 6 No. 1 (2025): Case Law : Journal of Law | Januari 2025
Publisher : Program Studi Hukum Program Pasca Sarjana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/caselaw.v6i1.4477

Abstract

Perlindungan korban terhadap kekerasan seksual di Perguruan Tinggi khusus diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Pada tanggal 10 Oktober 2024 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Perubahan ini berimplikasi terhadap pencegahan dan penanganan dosa besar perguruan tinggi. Identifikasi masalah yang menjadi fokus kajian ini menganalisis bagaimana perlindungan korban dari dosa besar perguruan tinggi berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan setelah peraturan ini dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Metodologi penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan yaitu perlindungan korban dari dosa besar perguruan tinggi berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi pertamakali perguruan tinggi membentuk Pansel PPKS berdasarkan Pasal 23, Pansel PPKS membentuk Satgas PPKS, Satgas PPKS melaksanakan tugasnya melalui mekanisme sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38, dan kategori kekerasan seksual yang dapat diproses oleh Satgas PPKS berdasarkan Pasal 5 ayat (2). Perlindungan korban dalam lingkup Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi yaitu terhadap laporan yang masuk setelah tanggal 10 Oktober 2024 baru dapat diproses setelah terlebih dahulu perguruan tinggi membentuk Satgas PPKPT serta mempersiapkan sarana dan prasarananya. Kategori kekerasan yang dapat diproses berdasarkan Pasal 7 Permendikbudristek ini.
KORBAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Lubis, Fahmi Zulkipli; Setiawan, Iwan
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol 13, No 1 (2025): Jurnal Ilmiah Galuh Justisi
Publisher : Universitas Galuh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/justisi.v13i1.17395

Abstract

Korban dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana belum secara tegas merumuskan ketentuan yang secara nyata atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban. Tidak merumuskan jenis pidana restitusi (ganti rugi) yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi korban dan/atau keluarga korban. Rumusan Pasal-Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana cenderung berkutat pada rumusan tindak pidana, pertanggungjawaban dan ancaman pidana. Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada tanggal 2 Januari tahun 2026 ke depan di Indonesia, berdasarkan Pasal 622 menentukan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9) dinyatakan tidak berlaku. Kajian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana khusunya terhadap korban perlu dikaji lebih dalam agar supaya pada saat berlakunya nanti dapat diketahui sehingga korban mendapatkan perlindungan hukum. Dalam penelitian ini difokuskan mengenai bagaimanakah korban dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Metode penelitian yang digunakan yaitu jenis penelitian yuridis normatif, spesifikasi penelitian deskriptif analisis dan pendekatan penelitian dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Kesimpulan dari hasil penelitian yaitu korban dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana setidak-tidaknya telah terakomodir dan secara eksplisit tertuang dalam PasalĀ  25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 54 ayat (1) huruf i, Pasal 70 ayat (1), Pasal 94, Pasal 137, Pasal 292, Pasal 294 sampai dengan Pasal 299, Pasal 448, Pasal 463, Pasal 478, Pasal 483, dan Pasal 600, sehingga karenanya yang semula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana belum secara tegas tercantum dalam pasal demi pasal, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kepastian hukum bagi korban tindak pidana terakomodir.
ANALISIS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BAYI PERSPEKTIF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN HUKUM PIDANA Lubis, Fahmi Zulkipli; Heriyanti, Silvia Widyani
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol 13, No 2 (2025): Jurnal Ilmiah Galuh Justisi
Publisher : Universitas Galuh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/justisi.v13i2.19482

Abstract

Masalah pembunuhan bayi tidak akan terlepas dari masalah kehamilan dan kelahiran, karena pembunuhan bayi tidak akan terjadi apabila tidak ada kehamilan dan kelahiran. Kaitannya dengan pembuktian materil dalam KUHP, proses kehamilan dan kelahiran akan melibatkan ilmu kedokteran kehakiman atau ilmu kedokteran forensik dalam pemeriksaan apakah bayi itu mati pada saat kehamilan atau pada saat setelah dilahirkan. Metode penelitian yang digunakan yaitu jenis penelitian yuridis normatif, spesifikasi penelitian deskriptif analisis dan pendekatan penelitian dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Kesimpulan dari hasil penelitian yaitu pembunuhan bayi perspektif ilmu kedokteran forensik untuk dapat dikualifikasi sebagai pembunuhan bayi haruslah dilakukan pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan. Berdasarkan analisis ilmu kedokteran atau dari segi medis pada saat bayi dilahirkan berarti saat keluarnya bayi dari kandungan sampai dengan saat keluarnya placenta. Jika diukur dengan tenggang waktu, secara umum bahwa pada kelahiran normal berlangsung dalam waktu kurang lebih antara 15 menit sampai 60 menit. Akan tetapi tidak masalah dengan waktu tersebut, asal saja pembunuhan bayi dilakukan pada saat bayi keluar dari kandungan atau pada saat keluarnya placenta atau dalam tenggang waktu di antara kedua peristiwa itu. Sedangkan kalimat tidak lama setelah dilahirkan, karena wanita yang melahirkan tersebut takut diketahui orang telah melahirkan maka pengertian tidak lama setelah bayi dilahirkan haruslah tenggang waktunya hanya berlangsung dalam tempo yang amat singkat yakni dalam fase perawatan. Sebab waktu yang singkat dalam fase perawatan dimungkinkan orang lain belum mengetahui terjadinya kelahiran tersebut serta bayi dalam keadaan hidup. Kemudian dalam perspektif hukum pidana pembunuhan bayi jika dihubungkan dengan keilmuan hukum pidana ialah pembunuhan terhadap bayi yang dilahirkan hidup dilakukan oleh wanita yang melahirkannya pada saat bayi tersebut dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan. Pada saat dilahirkan diartikan sejak mulai terjadinya kelahiran bayi sampai dengan keluarnya placenta secara tuntas. Sedangkan tidak lama setelah dilahirkan berarti sejak selesainya perawatan. Jika pembunuhan dilakukan dengan cara pengguguran kandungan, maka yang benar-benar patut dihukum ialah pengguguran terhadap embrio yang sudah menjadi janin dengan bentuknya menyerupai manusia. Adapun mengenai pembunuhan bayi yang dilakukan setelah kelahiran batas waktunya sangan relatif, jika sudah diketahui orang lain haruslah dipandang sebagai pembunuhan biasa