Julitasari Sundoro
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Tinjauan Etika Dokter sebagai Eksekutor Hukuman Kebiri Soetedjo Soetedjo; Julitasari Sundoro; Ali Sulaiman
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.339 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i2.18

Abstract

Dewasa ini, kejahatan seksual sangat mudah ditemui, mulai dari kasus pelecehan seksual hingga pemerkosaan yang berujung pada tindakan pembunuhan.  Kejahatan tersebut bahkan tidak memandang bulu, baik pria maupun wanita, dewasa hingga anak-anak dapat menjadi korban dari pelaku kejahatan seksual. Pedofil merupakan orang dengan gangguan dorongan seks berlebih dengan target anak-anak di bawah umur. Menanggapi peningkatan tren kejahatan pedofilia, pemerintah mengeluarkan UU No. 17 Tahun 2016 yang menetapkan hukuman kebiri kimia bagi para pelaku sebagai bentuk perlindungan terhadap anak. Dokter sebagai profesi yang memiliki kompetensi terbaik di bidang kesehatan (kemanusiaan) kemudian menghadapi dilema terkait tinjauan etik kedokteran yang ada terhadap kasus ini. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah mengeluarkan fatwa penolakan dokter sebagai eksekutor kebiri yang dinilai dapat mencederai sumpah profesi, mengingat efektivitas kebiri yang masih dipertanyakan dan risiko komplikasi lain yang harus dihadapi terpidana dengan hukuman kebiri.
Tata Laksana Sidang MKEK Membuat Fatwa Etik Kedokteran Yuli Budiningsih; Pukovisa Prawiroharjo; Anna Rozaliyani; Wawang Sukarya; Julitasari Sundoro
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 3 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (138.749 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i3.25

Abstract

Dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Ikatan Dokter Indonesia (AD/ART IDI) 2015, wewenang untuk membuat fatwa etik kedokteran dimandatkan tunggal kepada Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pusat. Dengan demikian, kepengurusan MKEK Pusat 2015-2018 merupakan kepengurusan pertama yang menerima mandat ini. Dalam perjalanannya ternyata sistem yang ada belum efektif, karena tata cara persidangan pembuatan fatwa belum diatur dalam Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja (Ortala) MKEK. Dalam upaya perbaikan Ortala diusulkan agar kewenangan pembuatan fatwa etik kedokteran  dilakukan satu pintu melalui MKEK Pusat dan dimandatkan ke divisi khusus, yang akan membuat fatwa setelah melakukan proses kajian etik ilmiah terlebih dahulu. Sidang fatwa etik kedokteran akan mengundang para penulis kaji etik ilmiah, organisasi profesi yang berkepentingan, dan minimal tiga orang tokoh masyarakat yang terkait. Fatwa yang dibuat bersifat mengikat serta dapat menjadi materi dan bahan pertimbangan dalam sidang pembinaan dan kemahkamahan MKEK. Walaupun demikian, fatwa ini tidak bersifat sakral dan sangat terbuka dengan perubahan.
Tinjauan Etik Layanan Konsultasi Daring dan Kunjungan Rumah Berbasis Aplikasi Pukovisa Prawiroharjo; Julitasari Sundoro; Jonathan Hartanto; Ghina Faradisa Hatta; Ali Sulaiman
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3, No 2 (2019)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (170.502 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v3i2.33

Abstract

Teknologi digital telah merambah berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah jasa layanan kedokteran berbasis aplikasi di gawai baik berupa konsultasi kedokteran maupun fasilitasi kunjungan rumah oleh dokter. Berbagai keuntungan dan kenyamanan dirasakan oleh pasien yang menggunakan layanan ini. Namun, layanan ini memerlukan berbagai adaptasi terutama dalam pertimbangan etik dan regulasi. Perusahaan aplikasi sebagai pihak ketiga dan penyedia layanan, seyogyanya juga mengambil tanggungjawab sebagai “fasilitas layanan kesehatan daring” termasuk menjaga rekam medik, mengelola komplain hingga sengketa medik, serta memiliki tata kelola organisasi layaknya fasilitas layanan kesehatan pada umumnya. Dokter yang menjadi subyek layanan perlu mawas diri dari kekeliruan dalam memberikan simpulan dan konsultasi, terlebih dalam memberikan resep obat. Terutama jangan sampai penyakit yang berpotensi mengakibatkan kematian atau kecacatan tidak teridentifikasi. Pemberian saran dan motivasi kepada masyarakat yang menjadi klien pengguna layanan untuk melanjutkan upaya diagnosis dan penanganan lebih lanjut ke fasilitas layanan kesehatan harus senantiasa dilakukan. Izin praktek dokter perlu diregulasi khusus sehingga dokter yang menjadi subyek layanan terlindung dari aspek hukum administratif. Pemerintah bersama organisasi profesi perlu meregulasi proses-proses yang berkaitan dengan perwujudan hal-hal tersebut.
Konflik Kepentingan dalam Profesi Dokter Rianto Setiabudy; Julitasari Sundoro
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3, No 1 (2019)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (185.636 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v3i1.28

Abstract

Sebagaimana halnya dengan pekerjaan profesional lainnya, dokter juga sering terpapar terhadap masalah konflik kepentingan (KK) dalam pekerjaannya sehari-hari. Ada banyak contoh pelanggaran etika oleh dokter yang timbul akibat masalah KK ini. Sebagian dilakukan dengan kesengajaan, sebagian lagi dilakukan tanpa sadar seolah-olah perilaku itu adalah sesuatu yang biasa dilakukan dan tidak ada yang salah dengan itu. Setidaknya ada dua pasal dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang memberi rambu etika terkait masalah KK ini. Untuk menghindarkan dampak negatif KK ini ada beberapa tindakan yang dapat dikerjakan, antara lain penghindaran yang menyeluruh, pengungkapan, pengambilan sikap netral, dan penggunaan bantuan pihak luar.