Bambang Sadono
Unknown Affiliation

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Rekonstruksi Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Suatu Kajian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Junaidi, Muhammad; Sadono, Bambang
Jurnal Selat Vol 5 No 2 (2018): JURNAL SELAT
Publisher : Program Studi Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (855.355 KB) | DOI: 10.31629/selat.v5i2.387

Abstract

Understanding the discretion or freedom act in countries such laws Indonesia is still have a dilemma due to the position of discretion position as a form of a policy still understood in partial not only the organizers State but also law enforcement. This is what then cause contradiction in the implementation of the State. This study was conducted by the ultimate goal is to provide clarity of the position of the implementation of the discretion in the implementation of the area. In addition to the research also want to analyze the extent of Law No. 23 Year 2014 on the Government the set in the discretion as one of the instrument of public policy. Through the juridical normative this research is expected to see and examines the extent apply the norm and asas that was supposed to be built in the construction of discretion against the implementation of the area. The approach is then do analysis in qualitative with the support of the data secondary consisting of the primary law, the legal tertiary and its laws secondary. The repositioning of discretion in the implementation of local government should certainly put discretion as a manifestation of the whole of the regional administration. The hierarchy of laws and regulations that often become obstacles element in understanding the implementation of discretion needs to be straightened out in accordance with the framework guidelines that the hierarchy of the law only as an element of the means of production in favor of justice, while through politics which is a forerunner to the creation of the essence of the law which aims to achieve fairness, certainty and expediency. 
PERUMUSAN FALSAFAH PEWAYANGAN DALAM NORMA HUKUM Bambang Sadono
Masalah-Masalah Hukum Masalah-Masalah Hukum Jilid 41, Nomor 3, Tahun 2012
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2844.566 KB) | DOI: 10.14710/mmh.41.3.2012.367-374

Abstract

Abstract Puppet art, especially the content of his philosophy, is very rich in references to the life of nation and state building are ideal. Puppet raises many pearls of wisdom that is useful in many national and state life.Existence and expression of the philosophy of puppetry, more of the institutionalization of the values of personal and social. Personal and social norms, their enforcement depends on the personal moral awareness or community concerned. Actually be more effective if its institutionalization through legal norms, because the state has the obligation to guard it. But the institutionalization of these values into the philosophy and culture have not been conducted with the maximum norm. To facilitate, to rich culture including philosophy, could be a reference source of civic life, it takes an umbrella and national recognition in the form of legislation. It required a systematic effort to strive for indigenous culture and philosophy of Indonesia, is really the soul of and politics of national law.   Keywords : Formulation, Puppet Philosophy, Legal Norms Abstraksi Kesenian wayang, khususnya kandungan filsafatnya, sangat kaya akan tuntunan kehidupan bangsa untuk membangun negara yang ideal. Di dalam kesenian Wayang banyak terkandung kebijaksanaan yang berguna dalam kehidupan berbangsa dan negara. Keberadaan dan ekspresi dari filosofi wayang, lebih dari pelembagaan nilai-nilai pribadi dan sosial. Penegakan norma tersebut tergantung pada kesadaran moral pribadi atau masyarakat yang bersangkutan. Sebenarnya lebih efektif jika melalui pelembagaan dalam norma hukum, karena negara memiliki kewajiban untuk menjaganya. Tapi pelembagaan nilai-nilai ini ke dalam filsafat dan budaya belum dilakukan dengan maksimal. Untuk memudahkannya, budaya yang kaya filsafat, bisa menjadi sumber referensi dari kehidupan masyarakat. Maka dibutuhkan payung hukum dan pengakuan Negara dalam bentuk undang-undang. Untuk itu diperlukan upaya sistematis dalam memperjuangkan budaya, adat dan filosofi Indonesia kedalam sistem politik dan hukum nasional   Kata kunci : Perumusan, Falsafah Wayang, Norma Hukum
POLITISASI HAK PENGELOLAAN (HPL) DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN NASIONAL Bambang Sadono
Masalah-Masalah Hukum Vol 39, No 4 (2010): Masalah-Masalah Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2262.395 KB) | DOI: 10.14710/mmh.39.4.2010.372-377

Abstract

To facilitate the economic development, the government of the New Order era (1966-1998) practised the Agrarian Law politicization. Politicization of the policy include In setting the Management Authority (Hak Pengelolaan-HPL). HPL has no legal basis in accordance with the hierarchy of procedural legislation, and in substance are also contrary to the fundamental purpose of basic regulation. As a result, causes a lot of controversy and problems in practice. Many cases due to HPL, happens every where. The presence of HPL should be straightened out, especially in term of legal system, given the correct legal basis, or eliminated altogether
Rekonstruksi Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Suatu Kajian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Muhammad Junaidi; Bambang Sadono
Jurnal Selat Vol. 5 No. 2 (2018): JURNAL SELAT
Publisher : Program Studi Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (855.355 KB) | DOI: 10.31629/selat.v5i2.387

Abstract

Pemahaman diskresi atau kebebsan bertindak dalam negara hukum seperti Indonesia masih mengalami dilema akibat posisi dari kedudukan diskresi sebagai wujud pengambilan kebijakan masih dipahami secara parsial bukan hanya penyelenggara Negara akan tetapi juga penagak hukum. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kontradiksi dalam penyelenggaraan Negara. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utamanya yaitu memberikan kejelasan kedudukan terhadap pelaksanaan diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu penelitian ini juga ingin mengalisis sejauah mana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pmerintah daerah mengatur keberlakuan diskresi sebagai salah satu instrument pembuatan kebijakan publik. Melalui pendekatan yuridis normative penelitian ini diharapkan melihat dan mengkaji sejauh mana keberlakuan norma dan asas yang seyogyanya perlu dibangun dalam konstruksi dasar diskresi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pendekatan tersebut kemudian dilakukan analisis secara kualitatif dengan dukungan data secunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum tertier dan bahan hukum secunder. Reposisi diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tentunya harus menempatkan diskresi sebagai wujud utuh penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hierarki perundang-undangan yang acapkali menjadi unsur hambatan dalam memahami implementasi diskresi perlu diluruskan sesuai dengan kerangka pedoman bahwa hierarki hukum hanya sebagai unsur alat produksi mendukung keadilan, sedangkan politiklah yang merupakan cikal bakal terciptanya esensi dari hukum yang bertujuan mencapai keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
PRO KONTRA TERHADAP PROSEDUR DAN SUBSTANSIOMNIBUS LAW RANCANGAN UNDANG-UNDANGCIPTA KERJA Sadono, Bambang; Rahmiaji, Lintang Ratri
Jurnal Hukum & Pembangunan
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

There are at least two main issues concerning the pros and cons of this omnibus law. First is the posedural issue in the process of making laws. Omnibus law should not be solely to support economic growth and facilitate investment. At thesame time other issues must be considered, for example human rights. So that the omnibus law is not merely a technical problem of legal drafting, but is also part of the implementation of the countrys legal politics. This study uses a literature reviewanalysis method. The results of the deepening of the literatureexplain that the reasons for urgent needs, and limited time, the government or the Parliament can not only pursue the efficiency of time and effectiveness of the target, because the making ofthe law must meet the required procedures, so that the authority granted by the constitution is validated. What must be guarded is not to get the idea of finding a breakthrough, not only concerning the substance of the legislation, but also the draftingprocedures, and the systematic system of the legislation, it will cause new complications in the legislative draftingsystem.
HARMONISASI NORMA ATAS PENGATURAN JABATAN TERTENTU YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA ASING KATEGORI PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN Risty, Alvian Octo; Arifin, Zaenal; Sadono, Bambang; Sukarna, Kadi
JURNAL USM LAW REVIEW Vol. 4 No. 1 (2021): MAY
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/julr.v4i1.3330

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis pengaturan jabatan tertentu yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing kategori pertambangan dan penggalian dalam Kepmenaker RI No. 228 Tahun 2019 serta harmonisasi norma yang dibutuhkan atas pengaturan jabatan tertentu yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing kategori pertambangan dan penggalian. Disisi lain, Pemerintah Indonesia juga harus melindungi dan memproritaskan tenaga kerja dalam negeri agar tercipta kesinambungan antara perekonomian dan pasar kerja nasional dan Indonesia dihadapkan dengan permasalahan mengenai peningkatan jumlah tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia dari beberapa negara investor khususnya negara China. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pengaturan jabatan tertentu yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing kategori pertambangan dan penggalian dalam Kepmenaker RI No. 228 Tahun 2019 dan Bagaimana harmonisasi norma yang dibutuhkan atas pengaturan jabatan tertentu yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing kategori pertambangan dan penggalian. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Hasil penelitian ini adalah   Kepmenaker RI No. 228 tahun 2019 ditengah modernisasi industri pertambangan dan penggalian mengubah regulasi untuk mendatangkan investor dalam satu paket tenaga kerjanya. Jabatan direksi sampai tenaga buruhnya seperti: Perwakilan Perusahaan untuk Pengeboran /lepas pantai, pengawas, teknisi operasi, penata dan staff dan golongan pokok pertambangan panas bumi pada 95 jabatan tidak ada keterangan sebagai kualifikasi jabatan. Terdapat disharmonisasi vertikal Kepmenaker RI No. 228 tahun 2019 dengan Undang-Undang No.11 tahun 2020, Peraturan Presiden No. 20 tahun 2018 dan Permen ESDM No. 25 tahun 2018.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN POLITIK UANG PADA PEMILU 2019 Widiastanto, Ari; Sukarna, Kadi; Hidayat, Arif; Sadono, Bambang
JURNAL USM LAW REVIEW Vol. 4 No. 1 (2021): MAY
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/julr.v4i1.3370

Abstract

Penelitian ini bertujuan  untuk mengkaji dan menganalisis penegakan hukum terhadap pelanggaran politik uang pada Pemilu 2019 dan kendala serta penegakan hukum yang ideal terhadap pelanggaran politik uang pada Pemilu 2019. Metode penlitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Hasil penelitian ini adalah penegakan hukum dapat berjalan dengan baik apabila terpenuhinya beberapa faktor, yaitu faktor hukum, penegak hukum, sarana, masyarakat, dan budaya . Kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran politik uang ialah sulitnya pembuktian dalam upaya mengungkap kegiatan politik uang pada Pemilu 2019 . Kesulitan mengenai pembuktian terhadap kasus politik uang perlu diupayakan proses penegakan hukum yang ideal. Penegakan hukum ideal terhadap pelanggaran politik uang pada pemilu 2019 adalah harus berdasarkan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan .
REPOSISI KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA DALAM PENGATURAN TERKAIT PERTAHANAN KEAMANAN KEMARITIMAN NASIONAL Ardyantara, David Maharya; Sukarna, Kadi; Sadono, Bambang; Arifin, Zaenal
JURNAL USM LAW REVIEW Vol. 3 No. 2 (2020): NOVEMBER
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/julr.v3i2.2593

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimana posisi kewenangan antar lembaga negara dalam   pengaturan terkait pertahanan   keamanan kemaritiman nasional dan bagaimana reposisi kewenangan antar lembaga negara dalam   pengaturan terkait pertahanan keamanan kemaritiman nasional. Posisi dan reposisi tentang kewenangan antar lembaga negara yang terkait dengan pertahanan keamanan maritim nasional sangat berpengaruh kepada kedaulatan maritim nasional menuju Indonesia sebagai poros maritim dunia. Indonesia dapat digolongkan sebagai negara kepulauan tetapi belum dapat digolongkan sebagai negara maritim karena kewenangan dalam pertahanan keamanan maritim masih terjadi tumpang tindih kewenangan. Sehingga perlu dilakukan   reposisi kewenangan antar lembaga negara dalam   pengaturan terkait pertahanan keamanan kemaritiman nasional. Metodelogi penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Berdasar analisa terdapat lima lembaga negara yang benar-benar terkait dengan pertahanan dan keamanan maritim di perairan Indonesia yang terdiri dari TNI AL,Badan Keamanan Laut,Kepolisian,Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai, Direktorat Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan. Kedua peraturan perundangan ini secara spesifik menggarisbawahi pentingnya menciptakan sistem pertahanan keamanan maritim, dan kewajiban dalam menjaga keselamatan pelayaran. Pendekatan teoritik dilakukan mellaui Teori Sistem Hukum, Teori Kedaulatan dan Teori Kewenangan. Hasil yang didapatkan dalam reposisi kewenangan antar lembaga negara adalah : menempatkan TNI AL sebagai lembaga militer murni di wilayah maritim sebagai komponen utama   pertahanan maritim nasional  seperti diamanatkan pada Pengaturan Tata Ruang Laut yang tercantum dalam UU Nomor 17 tahun 1985 tentang ratifikasi UNCLOS 1982. Serta optimalisasi Bakamla sebagai koordinator tunggal lembaga sipil negara dalam keselamatan dan keamanan laut (sea and coast guard). Sekaligus sinegitas TNI dengan Bakamla sebagai reperesentasi lembaga militer dan lembaga sipil negara. 
KEWENANGAN POLRI DALAM PEMBUBARAN ORMAS YANG TELAH DIBATALKAN STATUS HUKUMNYA Zulianto, Zulianto; Junaidi, Muhammad; Soegianto, Soegianto; Sadono, Bambang
JURNAL USM LAW REVIEW Vol. 3 No. 2 (2020): NOVEMBER
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/julr.v3i2.2868

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan membahas kewenangan Polri dalam   pembubaran ormas yang telah dibatalkan status hukumnya, Untuk menganalisis dan membahas kendala dan solusi atas kewenangan Polri dalam   pembubaran ormas yang telah dibatalkan status hukumnya. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. setiap orang berhak atas kebebasan hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, penjelasan dalam Pasal 28 E ayat (2) UUD 1945. Penerbitan Perppu 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, merupakan landasan dalam pencabutan status HTI. Kepolisian berwenang mengambil tindakan tegas atas setiap dugaan pelanggaran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Organisasi Kemasyarakatan. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif. Kepolisian berwenang mengambil tindakan tegas atas setiap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh ormas yang tidak taat terhadap peraturan yang ada, termasuk   kepada anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang lembaganya telah dibubarkan pemerintah.Hak memberikan sanksi pidana ada di tangan polisi sebab Perppu merupakan produk hukum yang setara dengan Undang-undang. Penerapan sanksi atas pelanggaran Undang-Undang dimiliki aparat kepolisian. Perjalanan penerapan perppu ada pelanggaran hukum yang menjurus ke aspek pidana, maka nanti tugasnya polisi bukan Satpol PP. Dalam menjalankan kewenangan Polri terdapat beberapa   hambatan, yaitu sebagai berikut : faktor hukum, faktor penegakan hukum, faktor sarana atau fasilitas pendukung, faktor masyarakat, faktor kebudayaan. Dalam mengatasi hambatan yaitu memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang pelaksanaan tugas dan kewenangan Polri dalam mengawasi ormas dan menindak ormas yang melakukan tindak pidana, diantaranya dilakukan dengan cara:tindakan preemtif, preventif dan represif.    
KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN DI INDONESIA Sadono, Bambang; Lubab, Ali; Arifin, Zaenal; Sukarna, Kadi
JURNAL USM LAW REVIEW Vol. 3 No. 2 (2020): NOVEMBER
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/julr.v3i2.2870

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatatnegaraan di Indonesia. Salah  satu  hasil  dari  Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD Negara RI Tahun  1945 adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan  Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi.  Sementara itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga  negara.     Penelitian ini menggunakan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Perkembangan  konsep    trias politica juga turut memengaruhi perubahan struktur kelembagaan di Indonesia. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara salah satunya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) keberadaan yang keberadaannya dalam struktur ketatanegaraaan di negeri ini sering menjadi perdebatkan oleh berbagai pihak karena Komisi Pemberantasan Korupsi Sifat yang independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan.  Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah   Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia saat ini dan Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang seharusnya dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia,teori yang di gunakan dalam penelitian ini adalah trias politica dan kepastian hukum,  penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.  Kesimpulan penelitian ini adalah keberadaan lembaga Komisi Pemberantasan  Korupsi secara yuridis adalah sah berdasarkan konstitusi dan secara sosiologis telah menjadi kebutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia. Untuk mewujudkan Komisi Pemberantasan Kosupsi bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dan Kedududukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaran di Indonesia akan menjadi lebih kuat maka kedudukannya menjadi organ konstitusi (constitusional organs)   atau masuk kedalam konstitusi maka di perlukan Amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.