Azhari Yahya
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Peredaran Kosmetik Yang Mencantumkan Nomor Izin Edar Fiktif Di Kota Banda Aceh Yana Indah Pertiwi; Azhari Yahya
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 3, No 4: November 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pasal 7 huruf (b) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Dalam kenyataannya di Kota Banda Aceh masih ditemukan kosmetik yang dipalsukan dan mengandung bahan berbahaya serta men cantumkan nomor izin edar fikif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan Penyebab terjadinya peredaran produk kosmetik berbahaya yang mencantumkan nomor izin edar fiktif, Peran BPOM Kota Banda Aceh dalam melakukan pengawasan serta Sanksi bagi produsen atau pelaku usaha yang mencantumkan nomor izin edar fiktif dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen di Banda Aceh. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum empiris atau metode penelitian lapangan (field research). Untuk memperoleh datanya, maka peneliti melakukan kajian secara kepustakaan (library research), dengan menelaah buku-buku dan bahan lainnya yang berkenaan dengan kajian artikel dan penelitian secara lapangan (field research),seperti melakukan wawancara dengan informan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya peredaran kosmetik berbahaya yang mencantumkan nomor izin edar fiktif dikarenakan produsen tidak mendaftarkan produk yang akan diedarkan ke BPOM. Bagi konsumen disebabkan harga yang relatif murah sehingga tidak memikirkan dampak apa yang akan ditimbulkan. Bagi BPOM disebabkan kurangnya bidang pengawasan, pemeriksaan dan penindakan. Adapun peran dan upaya BPOM Kota Banda Aceh dilakukan dengan melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penindakan setiap produsen yang menyalahi aturan pemerintah terkait dengan peredaran kosmetik palsu dengan mencantumkan nomor izin edar fiktif. Oleh karena itu, sanksi hukum bagi produsen yang memperdagangkan kosmetik mencantumkan nomor izin edar fiktif diancam dengan pasal 19 ayat (1) dan Pasal 62 ayat (1) UUPK. Disarankan kepada pelaku usaha agar mengetahui tata tertib dalam menjalankan usahanya sesuai dengan Standar Operasional Prosedur. Disarankan kepada konsumen agar lebih jeli dan berhati-hati dalam memilih kosmetik. Serta pihak BBPOM dan Dinas terkait harus gencar dalam melakukan pengawasan dan penyuluhan, serta memberikan sanksi yang tepat dan tegas terkait dengan peredaran produk kosmetik yang tidak memiliki nomor izin edar.
PELAKSANAAN KONTRAK BAGI HASIL MINYAK DAN GAS BUMI ANTARA BADAN PENGELOLA MIGAS ACEH DAN TRIANGLE PASE INC DI WILAYAH KERJA PASE, KABUPATEN ACEH UTARA DAN ACEH TIMUR Amira Nurdin; Azhari Yahya
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 4, No 1: Februari 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Berdasarkan Pasal 160 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan PP No. 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh, Provinsi Aceh mempunyai kewenangan melalui Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) untuk melakukan pengelolaan migas yang berada di Aceh. Tugas utama BPMA bukan hanya menerapkan, mengontrol dan mengawasi Kontrak Bagi Hasil (KBH) tetapi juga melakukan negosiasi dan penandatanganan kontrak. BPMA dan Triangle Pase Inc (TPI) telah menandatangani KBH Wilayah Kerja Pase pada 22 Mei 2015 untuk waktu 30 tahun. Dalam kegiatan pengelolaan WK Pase  wajib mengikutsertakan Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh (PDPA). KBH memuat sejumlah kewajiban kontraktual yang harus dilaksanakan oleh para pihak seperti pelaksanaan CSR, pengrekrutan tenaga kerja dan pendirian anak perusahaan. Akan tetapi TPI belum melaksanakan kewajiban tersebut sesuai dengan KBH. Oleh karena itu, PDPA dapat melakukan gugatan hukum ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Ganti Rugi Akibat Perbuatan Melawan Hukum Atas Kesalahan Tenaga Kesehatan Dalam Pelaksanaan Imunisasi Tamardi Arief; Azhari Yahya
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (490.258 KB)

Abstract

Di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa, “tiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Salah satu bentuk perbuatan melawan hukum adalah kesalahan tenaga kesehatan dalam pelaksanaan imunisasi yang mewajibkan tenaga kesehatan atas salahnya mengganti kerugian tersebut. Lebih khusus aturan tentang ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum oleh tenaga kesehatan diatur dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Akan tetapi, di Puskesmas Beutong dan Puskesmas Suka Mulia Kabupaten Nagan Raya, masih terdapat 2 (dua) kasus atas kesalahan tenaga kesehatan dalam pelaksanaan imunisasi. Penulisan artikel ini bertujuan untuk menjelaskan penyebab terjadinya kesalahan tenaga kesehatan dalam pelaksanaan imunisasi, untuk menjelaskan bentuk ganti rugi yang diberikan kepada peserta imunisasi yang mengalami kerugian. Data penelitian untuk penulisan artikel ini, diperoleh melalui penelitian kepustakaan dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku teks, serta pendapat para sarjana dan penelitian lapangan dengan mewawancarai responden dan informan. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa penyebab terjadinya   kesalahan tenaga kesehatan dalam pelaksanaan imunisasi dikarenakan tenaga kesehatan tidak bekerja sesuai dengan standar operasional prosedur yaitu penyuntikan terlalu dalam dan pemberian vaksin yang masih dingin. Hal ini menyebabkan terjadinya efek buruk pada peserta imunisasi. Bentuk ganti rugi yang diberikan kepada peserta imunisasi yang menderita kerugian, hanya berupa pengobatan dan perawatan, sementara ganti rugi lainya dan ganti rugi secara immateril untuk saat ini belum bisa diberikan dikarenakan belum adanya alokasi dana khusus untuk kasus Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Kepada tenaga kesehatan disarankan agar bertugas sesuai dengan pedoman standar operasional prosedur. Kepada Dinas Kesehatan disarankan agar dapat mengalokasikan dana khusus untuk memberikan ganti rugi akibat KIPI.
Legal Certainty Of Investment Related Licencing In Plantation Sector Muhammad Raza Pasaribu; Azhari Yahya
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (608.156 KB)

Abstract

According to Article 4 paragraph (2) point b the Act Number 25 of 2007 on Investment, the government has an obligation to ensure legal certainty for any investor operating in Indonesia to enhance investment climate in this country. This legal certainty needs to be ensured and provided by the government from the beginning until the end of investment process. However, the fact in Aceh Tamiang District shows that legal certainty provided by the government to foreign investor PT Simpang Kiri Plantation Indonesia is not yet in line with the above stipulation. This condition becomes the main issue that will be analyzed in this article. This research aims to analyze legal certainty provided to the investor in plantation sector in Aceh Tamiang District, and to scrutinize hindrance factors faced by PT Simpang Kiri Plantation Indonesia in conducting investment in plantation sector in this District. The method used in this research is an empirical research method. The primary data used in this article was obtained through interviewing respondents and informants. Then, library research to acquire secondary data was done by reading some literatures which are related to this topic that consists of legislations, books, goverment documents and other scholarly works. This study found that legal certainty provided by the government to PT Simpang Kiri Plantation Indonesia is relatively low. This condition can be undrestood from a long bureaucracy that must be passed by this company when they need an investment licence to proceed with their investment. In addition, there are also some hindrances faced by this company in conducting its investment in Aceh Tamiang District namely hard to get new license for new investment, and long bureaucracy process from the government to proceed with any activity designed by the company including public health service.  It is recommended that the government should provide better legal certainty for investor to enhance investment climate in Aceh Province especially Aceh Tamiang District. Besides, the government is suggested to take legal action to remove any hindrance factors faced by investors to speed up investment growth in this area.
Perlindungan Konsumen Terhadap Pangan Curah Yang Tidak Berlabel Di Kota Banda Aceh Siti Rizka Nerissa; Azhari Yahya
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (243.038 KB)

Abstract

Tujuan penelitian artikel ini untuk menjelaskan pelaksaan perlindungan konsumen terhadap peredaran produk pangan curah yang tidak berlabel, akibat hukum bagi pelaku usaha yang memperdagangkan produk pangan curah yang tidak berlabel dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk pangan curah yang tidak berlabel. Penelitian ini bersifat yuridis empiris. Data penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan lapangan. Penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, pendapat para sarjana, buku-buku dan artikel. Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer melalui wawancara dengan responden dan informan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan perlindungan konsumen terhadap pangan curah yang tidak berlabel di Kota Banda Aceh belum terlaksana dengan baik karena kurangnya tingkat kesadaran pelaku usaha. Akibat hukum bagi pelaku usaha yang memperdagangkan pangan curah akan mendapatkan teguran dan penyuluhan dari dinas terkait antara lain Disperindag dan BPPOM. Apabila teguran tidak ditanggapi, maka pihak terkait dapat melakukan tindakan penarikan produk, pemusnahan produk, pencabutan izin usaha, dan penjatuhan sanksi atas perbuatannya. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen yang dirugikan antara lain melakukan pengaduan langsung kepada pelaku usaha tersebut serta dapat menggugat pelaku usaha melalui jalur litigasi dan/atau jalur non-litigasi temasuk juga melalui BPSK. Disarankan kepada konsumen, agar lebih berhati-hati dalam memilih produk pangan. Disarankan kepada pelaku usaha untuk taat pada aturan hukum serta memahami kewajibannya dan tidak curang dalam memproduksi barang dan/atau jasa. kepada Dinas terkait disarankan agar lebih aktif dalam memberikan penyuluhan kepada konsumen dan pelaku usaha, serta menjatuhkan akibat sanksi yang tegas dan tepat sasaran terhadap pelaku usaha yang masih memperdagangkan pangan curah.
Penyertaan Modal Pemerintah Aceh Pada Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh Suzanna Verinica; Azhari Yahya; M. Jafar
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 1: April 2017 (Print Version)
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (334.144 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i1.12283

Abstract

Pasal 5 Ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 4 Tahun 1994 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh menyatakan bahwa Perusahaan Daerah didirikan dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah, turut berperan serta dalam pengembangan perekonomian daerah, memperluas pemerataan pembangunan dan hasilnya. Pengaturan penyertaan modal pemerintah Aceh tertuang juga dalam Qanun Aceh Nomor 16 Tahun 2013 tentang Penyertaan Modal Pemerintah Aceh Pada Badan Usaha Milik Aceh, Penyertaan Modal Pemerintah Aceh adalah pengalihan kepemilikan kekayaan Aceh yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal Aceh pada Badan Usaha Milik Daerah dengan prinsip saling menguntungkan. Tujuan penelitian untuk mengetahui dan menganalisis alasan pemerintah Aceh dalam melakukan penyertaan modal pada Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh, untuk mengetahui dan menganalisis legalitas penyertaan modal Pemerintah Aceh pada Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh, serta untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana tanggungjawab Pemerintah Provinsi Aceh sehubungan dengan penyertaan modal pada Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dan yuridis empiris dengan mengunakan data primer, data sekunder dan tersier. Hasil penelitian menunjukan bahwa pertama, adanya alasan hukum dan alasan politis Pemerintah Aceh dalam mempertahankan eksistensi Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh, kedua, penyertaan modal Pemerintah Aceh pada PDPA mempunyai legal standing yang jelas, namun demikian, masih terdapat kelemahan-kelemahan dalam pengawasan. Ketiga, Pemerintah Aceh bertanggung jawab terhadap kekurangan penyertaan modal pada PDPA sebagaimana yang telah diatur dalam Perda  Nomor 4 Tahun 1994 Tentang pendirian PDPA, mengingat modal tersebut sangat diperlukan agar kegiatan operasional perusahaan dapat berjalan dengan lancar.Article 5 (1) of Local Law on Special Region of Aceh Province Number 4, 1994 regarding the Establishment of Local Enterprise of Pembangunan Aceh states that local enterprise is established with the aim of increasing the revenue, participating in regional economic development, broadening the development and its results. The regulation on Capital Participation of Aceh Government ruled in Qanun Aceh Number 16, 2013 regarding the Joint Capital of Aceh Government at the Local Enterprise of Aceh at the Aceh Government Enterprises, the joint of capital at the Government of Aceh is to transfer the owning of Aceh Treasury that is previously apart of the property that is not separated from the property to be accounted as the capital of Aceh at the Local Enterprises with the principle of reciprocity. This research aims to know and analyze the reason of Government of Aceh in jointing capital at the Aceh Local Enterprise of Pembangunan Aceh, to know and analyze the legality of joint capital of Aceh Government at the Enterprise of Pembangunan Aceh, and to know and analyze the responsibility of Aceh Government in relation to local enterprise of Pembangunan Aceh local enterprise. This is normative legal research (juridical normative) or doctrinal legal research and juridical empirical research by applying primary, secondary and tertiary data. The result of the research shows that firstly there is a legal and political reasons in defending the existence of to local enterprise of Pembangunan Aceh Secondly, the joint venture of Aceh’s Government in PDPA has a clearly legal standing nevertheless thee are weaknesses in the monitoring. Thirdly, the Government of Aceh is responsible towards the lack of joint venture of PDPA as ruled in the Local Regulation Number 4, 1994 on the PDPA Establishment as the capital is really needed in order to keep the company operation working well. 
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Pasien Pengguna Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kelas 3 Eka Ryanda Pratiwi; Mahdi Syahbandir; Azhari Yahya
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 1: April 2017 (Print Version)
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (333.182 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i1.12270

Abstract

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat kesehatan. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menyatakan bahwa Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlidungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Dalam Pasal 224, 225, dan 226 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang UUPA, kewajiban kepada Pemerintah Aceh untuk memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh kepada penduduk Aceh terutama penduduk miskin, fakir miskin, anak yatim dan terlantar. Pasien BPJS Kelas 3 di beberapa Rumah Sakit di Kota Banda Aceh memerlukan perlindungan secara hukum dalam menerima pelayanan kesehatan yang bertujuan menjamin adanya kepastian hukum yang didapatkan oleh pasien, sehingga pasien terhindar dari kerugian saat menerima pelayanan kesehatan yang seharusnya diberikan secara baik dan optimal oleh tenaga kesehatan.Kerugian sebagaimana dimaksud berupa kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian menderita penyakit/cacat sebagai akibat perbuatan/kesalahan dokter. Bentuk ganti kerugian berupa perawatan kesehatan dalam rangka memulihkan kondisi pasien, pengembalian uang atau pengembalian barang dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.National Social Security Agency (BPJS) has a function to conduct national health of social security based social insurance principle and equity principle aiming at securing the members in order to obtain the benefit of health care. Article 1 point 2 of the Act Number 24, 2011 regarding National Social Security Agency stipulates that Social Security is one of the forms of social protection in securing all people to fulfill basic need of proper lives. Articles 224, 225, and 226 of the Act Number 11, 2006 regarding Aceh Governance Act oblige the Aceh Government especially the poor, orphan and abandoned kids. Patients of the National Social Security Agency of Class 3 in several hospitals in Banda Aceh need law protection in providing health services aiming to secure the existence of law certainty acquired by the patients hence it prevents from the loss while accepting the health services that should be provided well and optimally by medical staffs. The loss aforementioned are damages, contamination, or suffering from illness/disability resulted from medical malpractice. The kinds of the loss are health care in recovering patients’ condition, compensating or returning things or the compensation that is not based on existing rules.
Eksekusi Terhadap Putusan Hakim Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap Dalam Perkara Faraid di Mahkamah Syar’iyah Jantho Muhammad Syukri; Azhari Yahya; Iman Jauhari
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 3: Desember 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (350.329 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i3.11766

Abstract

Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa: “Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh Ketua Pengadilan.” Namun pada kenyataannya ada para pihak yang menolak melaksanakan kewajibannya sebagaimana termuat dalam putusan pengadilan meskipun putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis putusan hakim dalam perkara faraid di Mahkamah Syar’iyah Jantho sehingga tidak dapat dieksekusi, hambatan dalam melakukan eksekusi dan upaya yang dilakukan untuk mencegah hambatan pelaksanaan eksekusi tersebut. Metode Penelitian ini adalah yuridis empiris melalui pengambilan data lapangan dan kepustakaan. Penelitian lapangan dimaksudkan untuk memperoleh data primer. Penelitian kepustakaan sebagai data sekunder dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan literatur yang ada relevansi dengan masalah yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan Hakim hanya mengikuti prosedur penegakan hukum formil dan materil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Majelis Hakim kurang menggali hukum nilai-nilai hukum adat yang berlaku dalam masyarakat. Hambatan dalam melakukan eksekusi karena pihak tergugat memanfaatkan celah hukum mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Upaya yang dilakukan untuk mencegah hambatan tersebut dengan memberikan pemahaman hukum kepada masyarakat melalui meja informasi tentang proses hukum dalam perkara perdata.According Article 54 section (2) of Law Number 48 of 2009 of Judiciary Power (Law of Judiciary Power) states that: “The Implementation of court judgment in civil case is conducted by secretary of court and bailiff led by Head of the Court”. However, in fact, there are several parties refuse to perform the obligation according to the court judgment, even when it is conducted by the secretary of court and the bailiff and led by the Head of the Court. The practice of the court judgment faces several obstacles instead of being in permanent legal force status (in kracht van gewijsde). This research is conducted to analyze the legal consideration of in faraid case at Sharia Court of Jantho which makes it non-executable, the obstacles in performing execution towards the court judgment of permanent legal force at Sharia Court of Jantho, and the efforts implemented to prevent occurring obstacles in executing the court judgment at Sharia Court of Jantho. The research method used in this study is empirical yuridicial through data gained in field and library research. Field research is performed to collect primary data by doing interview to respondents and informants. The library research is conducted by studying books, laws and other relevant literatures. The results of this study shows that the legal consideration of in faraid case at Sharia Court of Jantho is in accordance to the procedure of law enforcement which refers to formil and materiil law as stated in Law of Judiciary Power. The obstacle in doing the execution towards the court judgment of permanent legal force at Sharia Court of Jantho in the form of verdict without the presence of the defendant (verstek), legal review, and the lack of understanding of the disputing parties that new supplication or request to the Head of the Sharia Court is needed to do the execution. The efforts that is done to overcome the obstacle is by giving the knowledge and understanding of law to public via information desk concerning the court process and technical phases of civil case and the expenses that occurs.
Kendala dan Hambatan Dalam Pelaksanaan Penanaman Modal di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Gita Melisa; Azhari Yahya; Mahdi Syahbandir
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 3: Desember 2017
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (252.36 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i3.9634

Abstract

Salah satu upaya Pemerintah guna memperlancar kegiatan pengembangan fungsi Kawasan Sabang, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang menjadi Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah Kepada Dewan Kawasan Sabang yang salah satu pelimpahan kewenangannya adalah pada Bidang Penanaman Modal. Kedua peraturan ini dikeluarkan dengan tujuan memperlancar fungsi kegiatan penanaman modal di Kawasan agar dapat berjalan maksimal. Namun dari hasil penelitian, ditemukan masih ada beberapa faktor kendala dan hambatan pelaksanaan penanaman modal tidak berjalan maksimal seperti kurangnya  kemampuan SDM secara internal BPKS dan sarana infrastruktur penunjang investasi, kondisi kemanan yang belum kondusif, kesulitan dalam menarik minat investor, kurangnya kenyamanan dalam berinvestasi, letak regional Kawasan yang belum strategis serta belum dijadikannya Kawasan Sabang sebagai daerah tujuan investasi.One of the government efforts to stimulate the activity of Sabang’s regional development function is done through the Act Number 37, 2000 regarding the Establishment of the Government Regulation Replacing the Act Number 2, 2000 regarding the Free Trade Area and Free Port of Sabang becoming the Act and the Government regulation number 83, 2010 on the Distribution of the Government Authority to Sabang Regional Board which is one of the authorities given is in the field of Capital Investment. Both regulations are issued in order to boost the capital investment function in the region hence it can run maximally. However, the research shows that there are some hurdles in the capital investment for instances lack of human resources of BPKS, and supporting infrastructures are, insecure, lack of effort to attract investors, lack of confortable condition, the position that is not strategic and the region has not been targeted as the capital investment region.
Perlindungan Hukum Terhadap Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Kematian Tenaga Kontrak Pada Sekretariat Daerah Aceh Taufik Taufik; Azhari Yahya; Mahdi Syabandir
Syiah Kuala Law Journal Vol 3, No 2: Agustus 2019
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (511.772 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v3i2.11719

Abstract

Badan yang menyelenggarakan jaminan sosial dibidang tenaga kerja yaitu BPJS Ketenagakerjaan. Badan ini menyelenggarakan beberapa program diantaranya jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Pemerintah Aceh khususnya Sekretariat Daerah Aceh berkewajiban memberikan perlindungan jaminan sosial kepada tenaga kontrak dengan mendaftarkan mereka pada BPJS Ketenagakerjaan. Akan tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak ada tenaga kontrak yang bekerja pada Sekretariat Daerah Pemerintah Aceh yang didaftarkan pada BPJS Ketenagakerjaan. Oleh karena itu artikel ini bertujuan untuk menjelaskan pelaksanaan perlindungan hukum terhadap jaminan kecelakaan kerja dan kematian tenaga kontrak pada Sekretariat Daerah Aceh. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah penelitian yuridis-empiris dengan pendekatan Undang-Undang. Hasil penelitian menunjukkan dari keseluruhan 514 tenaga kontrak yang bekerja pada Sekretariat Daerah Aceh belum ada satupun yang didaftarkan oleh Pemerintah Aceh pada program BPJS Ketenagakerjaan. Masih terdapat beberapa kendala yang menghalangi pelaksanaan jaminan kecelakaan dan kematian tersebut. Salah satu kendala yang sangat signifikan adalah tidak adanya anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Aceh untuk itu. Tidak adanya aturan sanksi tegas secara rinci mengenai pemberi kerja dalam memberikan perlindungan jaminan kecelakaan kerja dan kematian khususnya tenaga kontrak. Disarankan agar Pemerintah Aceh segera mendaftarkan para tenaga kontraknya pada program BPJS Ketenagakerjaan sehingga hak mereka dapat terlindungi.The institution holding social security in the field of labor is called as BPJS of Labor. This body conducts several programs that are working accident security and death security. The local Aceh Government especially at the Regional Secretary of Aceh is compulsory to provide by registering them at the BPJS on Labor. However, in practical fact shows no any single employee working at the Aceh Regional Secretariat at the BPJS on Labor have not been registered yet. Thus this research aims to evaluate the implementation of legal protection towards the accident and death of the contracting employers at Secretariat Office of Aceh. This is empirical juridical research through statutory approach. The findings are firstly, from 514 of contracting employees there is no one of registered by Aceh Government into the BPJS on Labor. There are several obstacles on the implementation of providing such working accident security and death security. One of the most significant hurdles is that there is no budget for it. In addition there is no any detail sanction for the employers who are not registering working accident security and death security especially for contracting workers. It is recommended that the Government of Aceh should register the employees soon at the BPJS on Labor hence their rights are protected.