Derry Angling Kesuma
Fakultas Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda, Palembang, Indonesia

Published : 13 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB TINGGINYA ANGKA CERAI GUGAT PADA MASA PANDEMI COVID-19 DI KOTA PALEMBANG Derry Angling Kesuma; Rohman Hasyim
Jurnal Hukum Tri Pantang Vol 7 No 1 (2021): JURNAL HUKUM TRI PANTANG
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Tamansiswa Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51517/jhtp.v7i1.294

Abstract

Faktor penyebab terjadinya perceraian pada masa pandemi Covid 19 karena beberapa faktor yaitu, karena faktor zina, mabuk, madat, judi, meninggalkan salah satu pihak, dihukum penjara, poligami, KDRT, cacat badan, perselisihan atau pertengkaran terus menerus, kawin paksa, murtad, dan ekonomi. Dan faktor paling dominan adalah faktor perselisihan atau pertengkaran terus menerus. Faktor selanjutnya adalah karena meninggalkan salah satu pihak. Strategi pencegahan dan penanggulangan terjadinya cerai gugat tidak hanya tanggung jawab pemerintah. Hal ini disebabkan karena perceraian bersifat multidimensional sehingga aspek sosial, kultural, dan moral, serta semua unsur potensi dan pranata sosial dalam komunitas lokal juga berperan dalam menanggulangi bahkan mencegah terjadinya perceraian. Keluarga menjadi pendekatan yang merangkul calon suami istri memberikan pendidikan tentang keluarga. Sebab keluarga memiliki delapan fungsi, meliputi fungsi agama, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan lingkungan. Fungsi agama mengajarkan cara beribadah sesuai agamanya. Fungsi sosial mengajarkan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang harus dilestarikan. Fungsi cinta kasih mengajarkan saling mengasihi antar anggota keluarga. Fungsi perlindungan melindungi dari ancaman fisik maupun psikis.
HAK AZASI DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA DALAM KULTUR BUDAYA HUKUM DI-ERA OTONOMI DAERAH: indonesia Bambang Sugianto; Derry Angling Kesuma
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol 26, No 1, Maret 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Hak dan Kewajiban Masyarakat tidak bisa terpisah dari kewajiban Pemerintah Daerah, karena hak dan kewajiban harus dilindungi oleh regulasi daerah melalui pelayanan dasar untuk masyarakat, tetapi sekarang banyak ditinggalkan dan regulasi sering menyamping hak dasar masyarakat. Penulisan ilmiah menggunakan metodologi yuridis normatif dengan membandingkan data pustaka dan perundang-undang yang berhubunga dengan regulasi daerah. Persoalan kebutuhan dasar masyarakat termasuk pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan terjadi ketimpangan ini dimana pemerintahan daerah lebih fokus kepada regulasi ekonomi dengan tujuan pertumbuhan dan percepatan pembangunan lebih dutamakan bukan berbicara layanan dasar masyarakat. Kedepan Pemerintah Daerah dalam menerbitkan regulasi melalui Peraturan Daerah harus memperhatikan hak dasar dan pelayanan dasar sebagai pertimbangan fhilosopy suatu regulasi Kata Kunci : Hak dan Kewajiban, Otonomi Daerah Abstract The Rights and Obligations of the Community cannot be separated from the obligations of the Regional Government,because rights and obligations must be protected by local regulations through basic services to the community, but now many are abandoned and regulations often sidestep people's basic rights. Scientific writing uses normative juridical methodology by comparing library and statutory data relating to regional regulations. The issue of the basic needs of the community including basic health and education services occurs this imbalance where the local government is more focused on economic regulation with the aim of growth and accelerated development rather than talking about basic community services. In the future, Regional Governments in issuing regulations through Regional Regulations must consider the basic rights and basic services as consideration for regulation
Tanggungjawab Negara (State Responsibility) Terhadap Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik (Diplomatic Immunity) Berdasarkan Konvensi Wina 1961 Sehubungan Dengan Teori Kedaulatan Negara (State of Sovereignty) Derry Angling Kesuma
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol 18, No 1, Maret 2014
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Konvensi wina 1961 tentang hubungan diplomatik menegaskan bahwa status gedung perwakilan diplomatik tidak dapat diganggu gugat (Inviolable) karena merupakan suatu kerahasiaan diplomatik sehingga pejabat-pejabat dari negara penerima tidak boleh memasukinya, kecuali dengan persetujuan kepala perwakilan. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap kekebalan dan keistimewaan wakil diplomatik, maka negara penerima dapat dikatakan tidak dapat memberikan perlindungan dan kenyamanan terhadap para diplomatik dalam menajalankan fungsi dan misi-misinya. Negara penerima memperbaiki sekaligus mempertanggungjawabkan pelanggaran hak tersebut dan menjaga kehormatan dari negara pengirim wakil diplomatik sebagai negara yang berdaulat. Penyelesaian sengekata internasional dalam kasus pelanggaran kewajiban internasional negara penerima dapat ditempuh dengan berbagai cara diantaranya melalui prosedur penyelesaian secara damai, yaitu dengan menggunakan jalur diplomatik atau jalur negoisasi yang didasarkan pada itikad baik dari kedua negara yang merupakan langkah awal yang paling baik dalam penyelesaian sengketa. Bila kesepakatan gagal diambil dalam jalur diplomasi, maka dapat ditempuh cara-cara penyelesaian sengketa secara hukum dan membawanya ke mahkamah internasional bahkan dapat dilakukan juga dengancara kekerasan yaitu perang, akan tetapi hal tersebut sebisa mungkin harus dihindari demi terwujudnya kedamaian dunia.
PROSEDUR PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK Derry Angling Kesuma
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol 22, No 2, September 2016
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Prosedur penyelesaian tindak pidana secara formal yang dilakukan anakyang dimulai tahap penyidikan dan penyeledikan, penentuan, pemeriksaan di pengadilan, dan pelaksanaan hukuman pada dasarnya telah mengatur perlakuan khusus. yang harus diterapkan pada anak demi kepentingan terbaik anak. sedangkan diversi dan restorative justice merupakan penyelesaian tindak pidana secara tidak formal untuk menghindari gtrauma bagi anak selama proses peradilan. tindakan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap semua pihak sehingga tercapai keadilan. penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan pelanggaran lalu lintas, hakim harus mempertimbangkan segala hal yang menyangkut anak tersebut seperti keadaan aank, keadaan keluarga, keadaan lingkungan dan juga laporan dari lembaga kemasyarakatan setempat. dan untuk sanksi dapat dikenakan sanksi pidana dan sanksi tindakan. penerapanya sendiri harus dibedakan dengan penerapan sanksi terhadap orang dewasa.
Implementasi Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya Derry Angling Kesuma
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2016: Volume 3 Nomor 1 Desember 2016
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1087.219 KB) | DOI: 10.46839/lljih.v3i1.64

Abstract

Perlindungan hukum bagi pemilik lahan yang dikuasai oleh orang lain yaitu dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, maka berdasarkan ketentuan pasal 19 undang-undang pokok agraria, negara membuat pranata hukum yaitu berupa penyelenggaraan pendaftaran tanah yang teknis pelaksanaannya diatur dalam peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997. Pendaftaran tanah tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah. Penerapan hukum bagi warga yang menggunakan lahan tanpa izin yang berhak atau kuasanya adalah dengan upaya penyelesaian perkara-perkara yang timbul akibat pelaksanaan penguasaan tanah/lahan (landreform) dibentuklah pengadilan landreform berdasarkan undang- undang nomor 1 tahun 1964. Tetapi kenyataannya pengadilan ini tidak dapat bekerja secara efektif, berdasarkan undang-undang nomor 7 tahun 1970 pengadilan landreform ini dihapus. Apabila terjadi sengketa yang berkenaan dengan landreform, maka penyelesaiannya dilakukan melalui: 1. Peradilan umum, berdasarkan undang-undang nomor 14 tahun 1970 apabila sengketa itu bersifat perdata dan pidana. 2. Aparat pelaksanaan landrefotm apabila mengenai sengketa administrasi. Dan ancaman pidana kurungan yang dapat diterapkan terdapat pada pasal 6 ayat (1) peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 51 tahun 1960. Kata Kunci: Larangan Pemakaian Tanah Tanpa lzin Yang Berhak Abstract: Legal protection for owners of land held by others that in order to achieve legal certainty, then under the provisions of Article 19 of the basic agrarian law, the state made a legal order that is the organization of the technical implementation of land registration stipulated in Government Regulation No. 24 of 1997. the land registry aims to provide legal ertainty and legal protection to rights holders on the ground. Implementation of the law for the people who use the land without their permission or their proxies are entitled to efforts to resolve the cases that arise from the implementation of land tenure/land (land reform) landreform court established by law number 1 in 1964. But in fact this court can work effectively, based on law No. 7 1970 court reform is removed. In the event of a dispute regarding the land reform, the settlement is done through: 1. The general Justice, based on Law No. 14 of 1970 when the dispute is civil and criminal 2. Apparatus if the implementation that can be applied contained in Article 6 paragraph (1) a government regulation in lieu of law number 51 of 1960 Daftar Pustaka Buku-buku: A.P Parlindungan, 2009, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung, Alumni. H.M Arba, 2015, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika. Irawan Soerodjo, 2014, Hukum Pertahan Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL), Yogyakarta, Laksbang Mediatama. J. Andy Hartanto, 2013, Hukum Pertanahan Karakteristik Jual Beli Tanah yang Belum Terdaftar Hak Atas Tanahnya, Surabaya, Laksbang Justitia. Philippus M. Hadjon, 1986, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu. Soedikno Mertokusumo, 1998, Hukum Dan Politik Agraria, Jakarta, Karunika-Universitas Terbuka. Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty. Undang-undang Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.
SINERGITAS KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA GRATIFIKASI DALAM STRUKTUR HUKUM PIDANA DI INDONESIA Derry Angling Kesuma; Husnaini Husnaini
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2019: Volume 6 Nomor 1 Desember 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v6i1.486

Abstract

Abstrak Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK adalah lembaga negara bantu yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Walaupun memiliki independensi dan kebebasan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, namun KPK tetap bergantung kepada cabang kekuasaan lain dalam hal yang berkaitan dengan keorganisasian. KPK juga memiliki hubungan kedudukan yang khusus dengan kekuasaan yudikatif, karena Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang bertugas dan berwenang memeriksa serta memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Harmonisasi antara KPK, Kepolisian, serta Kejaksaan mengenai kewenangan sama-sama bisa menangani tindak pidana korupsi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Khusus KPK bisa menangani kasus korupsi dengan syarat melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara, mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Kata Kunci : Penegakan Hukum, Sinergitas, Tindak Pidana Korupsi Abstract The Corruption Eradication Commission or KPK is an auxiliary state institution which in carrying out its duties and authorities is independent and free from the influence of any power. Although it has independence and freedom in carrying out its duties and authorities, the KPK still relies on other branches of power in matters relating to the organization. The KPK also has a special position relationship with judicial power, because Article 53 of Law Number 30 of 2002 concerning the Corruption Eradication Commission mandates the establishment of a Corruption Criminal Court (Tipikor) which has the task and authority to examine and decide on corruption crimes whose prosecution is filed by the Corruption Eradication Commission. KPK. Harmonization between the KPK, the Police, and the Prosecutor's Office regarding their respective authorities can handle corruption in accordance with their respective main duties and functions. Specifically, the Corruption Eradication Commission (KPK) can handle corruption cases on condition that it involves law enforcement officers, state administrators, and other people who are related to corruption crimes committed by law enforcement officers or state administrators, receive attention that is disturbing to the public and involves state losses of at least Rp. 1.000.000.000,00 (one billion rupiah).
Pekerja Anak, Upaya Implementasi Konvensi Hak Anak di Indonesia, Faktor Penyebab dan Metode Pencegahannya Derry Angling Kesuma
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2015: Volume 2 Nomor 1 Desember 2015
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1909.34 KB) | DOI: 10.46839/lljih.v2i1.75

Abstract

Faktor-faktor yang menyebabkan anak Indonesia terutama yang tinggal di kota Palembang terkategori anak jalanan, pengemis dan gelandangan adalah disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: a. anak jalanan, pengemis dan gelandangan mempunyai kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, mempunyai cacat tubuh sehingga mcmpersulit mencari pekerjaan, dan mempermudah bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pengemis. karena rasa iba orang lain akan memperbanyak pendapatan mereka. Sedangkan gambaran anak jalanan latar belakang pendidikanya rendah. kondisi ekonomi keluarga pas-pasan, berusia sekolah tetapi mereka lebih tertarik untuk berada di jalanan dan bekerja sebagai gelandangan dan pengemis, karena tidak diikat oleh peraturan, latar belakang pendiidikan relatif rendah (ada yang sedang sekolah dasar/menengah pertama). Latar belakang sosial, budaya dan ekonomi yang mendorong dan menarik untuk tetap bertahan menjadi anak jalanan dan pengemis dapat dikatagorikan menjadi dua yaitu Faktor besar pendapatan yang dapat diperoleh dan pengemis merupakan pekerjaan yang mudah. Jaringan hubungan yang ditemukan diantara para pengemis dan anak jalanan tidak terjadi secara formal dalam organisasi yang permanen, tetapi dilakukan secara informal dan spontan. Oleh karena itu, pada dasarnya tidak terdapat jaringan dalam arti yang sesungguhnya, yang ada hubungan antar pengemis atau anak jalanan dalam melaksanakan pekerjaan. Aktor-aktor yang terlibat dalam hubungan tersebut adalah anak-anak, orangtua, saudara, teman. Hubungan-hubungan yang terbentuk dalam kumpulan dapat bersifat saling memanfaatkan, koordinatif-ekspioitasi, dan koordinatif-kerjasama. Alternatif model penanganan anak jalanan mengarah kepada 3 jenis model yaitu family base, institutional base dan multi-system base. Untuk menanggulangi anak Indonesia terutama yang berada di kota Palembang tidak akan menjadi anak jalanan. pengemis dan Gelandangan dapat juga dilakukan dengan cara menerapkan model Street-centered intervention, Family- centered intervention, Institutional-centered intervention, dan Community-centered intervention. Kata Kunci: Implementasi, Hak Anak Abstract: Factors that led to Indonesian children who live ini the city of palembang categorized street children, beggars and bums are caused by things as follows: a. Street children, beggars and homeless families have economic conditions that mediocre,,, have a disability which makes it difficult finding a job, and make it easier for them to get a job as a beggar, because the compassion of others will increase their income. While the picture of street children background pendidikanya low, the economic conditions of families mediocre, old school but they are more interested in being on the streets and working as geandangan and beggars, because it is not bound by regulations, educational background is relatively low (there being primary shool/secondary). social background, cultural and economic push and pull to survive become street children and beggars can be categorized into two major factors yaitu revenue that can be obtained and begging an easy job. Network of relationships found between beggars and street children do not occur formally within the organization permanently, but done informallu and spontaneously. Therefore, basically there is no network in the real sense, that there is a relationship betwen beggars or street children in carrying out the work. Actors involved in the relationship are children, parents, relatives, friends. Relationships are formed in the collection can mutually exploit, coordinative-exploitation, and coordinative-cooperation. Alternative models of handling street children leads to three types of models of family base, institutional base and multi-system base. To cope with the children of Indonesia, especially in the city of Palembang ankan not become street children, beggars and homeless could also be done by applying the model of Street-centered intervention, Family-centered intervention, Institutional-centered intervention, and community-centered intervention. Daftar Pustaka Penulis adalah Dosen Tetap pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang Afrizal, "A Study of Matrilineal Kin Relation in Cotemporary Minangkabau Society of West Sumatera", Tesis Master of Art, Tasmania University , 1996. Farid Mohammad,. "Pekerja Anak, Upaya Implementasi Konvensi Hak Anak di Indonesia dan Konvensi ILO (no.l38)", Jurnal Analisis Sosial, Edisi 5 Juli 1997, Akatiga dan UNICEF, Jakarta, 1997. Hanandini, Dwiyanti, dkk., "Tindak Kekerasan dan Pelecehan Seksual terhadap Anak Jalanan", Laporan Penelitian, Dana HEDS, 2004. Hanandini, Dwiyanti, dkk, Perlindungan Anak Jalanan dari Tindak Kekerasan dan pelecehan Seksual, Laporan penelitian, Dana HEDS, 2005. Parsons et.al dalam Pramono, Wahyu, Pekerja Anak Sektor Informal Di Terminal Bus dan Angkutan Kota Kotamadya Padang, Laporan Penelitian (tidak diterbitkan), Lembaga Penelitian Universitas Andalas, padang, 2000. Suharto, Edi, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial,PT. Refika Aditama, Bandung, 2005. Soetomo. Masalah sosial dan pembangunan, PT. Dunia pustaka Jaya, Jakarta, 1995. Utomo, Suwarno. 1996. "Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja Anak Usia Sekolah di Sektor Informal di Kotamadya Bengkulu" Tenaga Kerja Anak Indonesia: Rangkuman dan Sari Literatur, PDII-LIIP dan UNICEF, Jakarta. Wiyoga, Giwo Rubiyanto, dalam "Anak Jalanan Juga Anak Bangsa", http:// www.jurnalnasional.com/ diakses tanggal 01 November 2015 http://www.hupelita.com), diakses tanggal 01 November 2015 http://www.antara-sumbar.com, diakscs tgl 12-8-2009, diakses pada tanggal 01 November 2015
PENINGKATAN PEMBANGUNAN EKONOMI MELALUI POLITIK HUKUM OMNIBUS LAW Kinaria Afriani; Derry Angling Kesuma; Husnaini Husnaini
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2021: Volume 7 Nomor 2 Juni 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v7i2.441

Abstract

Abstrak Omnibus Law sebagai upaya Pemerintah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi di Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dalam perumusan maupun implementasinya harus berimbang dalam tataran efektivitas dan akuntabilitas dengan memperhatikan aspek yuridis, politik, sosiologi dan ekonomi. Kata kunci: Pembangunan Ekonomi, Politik Hukum , Omnibus Law Abstract Omnibus Law, the Government's efforts to improve economic development in Indonesia and improve the welfare of all Indonesian people in its formulation and implementation must be balanced in the level of effectiveness and accountability by taking into account juridical, political, sociological and economic aspects.
TELAAH KRITIS PENEGAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DALAM MEREDUKSI TINDAK PIDANA PEREDARAN NARKOTIKA YANG MENJADIKAN ANAK DIBAWAH UMUR MENJADI KURIR NARKOTIKA Darmadi Djufri; Derry Angling Kesuma
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2019: Volume 5 Nomor 2 Juni 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v5i2.798

Abstract

Abstrak Upaya refresive Badan Narkotika Nasional untuk mereduksi peredaran narkotika yang menjadikan anak dibawah umur menjadi kurir narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai berikut: a. melakukan Razia, b. Operasi pemberantasan penyelundupan narkoba, c. Terapi/pegobatan dan rehabilitasi terhadap pecandu narkoba. Faktor-faktor penghambat dalam pemberantasan tindak pidana narkotika secara umum meliputi faktor dari segi padatnya jumlah penduduk Indonesia, faktor dari segi letak geografis negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan, kendala dari segi rehabilitasi, faktor dari segi penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. selain itu adapun yang menjadi kendala dalam pemberantasan perantara narkotika meliputi faktor dari segi modus operandi yang digunakan semakin canggih sehingga sulit untuk dilacak oleh petugas, faktor dari segi teknologi informasi aparat penegak hukum yang masih terbatas, dimana teknologi yang dimilki oleh aparat penegak hukum tidak sebanding dengan perkembangan teknologi yang semikin canggih yang dimilki oleh perantara narkotika. Kata Kunci : Penegakan Hukum, Anak, Narkotika Abstract Refresive efforts by the National Narcotics Agency to reduce the circulation of narcotics which turns minors into narcotics couriers based on Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics as follows: a. conduct raids, b. Operations to eradicate drug smuggling, c. Therapy / treatment and rehabilitation of drug addicts.Inhibiting factors in eradicating narcotics crimes in general include factors in terms of the dense population of Indonesia, factors in terms of the geographic location of Indonesia which is an archipelagic country, obstacles in terms of rehabilitation, factors in terms of implementation of Law Number 35 of 2009 In addition, the obstacles in eradicating narcotics intermediaries include factors in terms of the modus operandi used which is increasingly sophisticated making it difficult for officers to track them, factors in terms of law enforcement officers' information technology which is still limited, where the technology owned by law enforcement officers is not comparable with the development of increasingly sophisticated technology owned by narcotics intermediaries.
AKSIOMA PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA DALAM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN PERSELISIHAN Derry Angling Kesuma
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2017: Volume 3 Nomor 2 Juni 2017
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v3i2.811

Abstract

Abstrak Masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks di era industrialisasi sekarang. Oleh karena itu, diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah. Pekerja dapat melakukan upaya hukum terkait dengan pemutusan hubungan kerjanya guna terselesainya masalah tersebut. Langkah-langkah penyelesaian perselisihan tersebut adalah dengan menggunakan (1) lembaga perundingan bipartit, (2) lembaga konsiliasi, (3) lembaga arbitrase, (4) lembaga mediasi, dan (5) pengadilan hubungan industrial, dan jikalau masih belum ditemukan tiitk terang, maka masing-masing pihak dapat melakukan Upaya Hukum. Masing-masing lembaga ini mempunyai kewenangan absolut yang berbeda dalam menyelesaikan empat jenis perselisihan hubungan industrial. Apabila pihak pengusaha tidak dapat memberikan hak-hak pekerja sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, pihak pekerja dapat melakukan upaya hukum melalui beberapa macam perundingan antara lain perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase serta di Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung. Kata Kunci : Perselisihan, Konflik Kepentingan, Perlindungan Hukum Abstract The problem of industrial relations disputes has become increasingly increasing and complex in the current era of industrialization. Therefore, institutions and mechanisms for resolving industrial relations disputes are needed that are fast, appropriate, fair and inexpensive. Employees can take legal action related to termination of employment in order to resolve the problem. The steps for resolving these disputes are to use (1) a bipartite negotiating institution, (2) a conciliation institution, (3) an arbitration institution, (4) a mediation institution, and (5) an industrial relations court, and if there is still no clear point found, then each party can take legal action. Each of these institutions has different absolute authority in resolving four types of industrial relations disputes. If the employer is unable to provide the worker's rights as stipulated in the applicable laws and regulations, the worker can take legal action through several types of negotiations, including bipartite negotiations, mediation, conciliation, arbitration as well as at the Industrial Relations Court and the Supreme Court. . Keywords: Dispute, Conflict of Interest, Legal Protection