Claim Missing Document
Check
Articles

Found 23 Documents
Search

Kebijakan Formulasi Pemberian Remisi Yang Berorientasi Pada Kepentingan Narapidana Kasus Korupsi Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dalam Rangka Pemenuhan Hak-Hak Narapidana Chepi Ali Firman Zakaria
Aktualita : Jurnal Hukum Volume 1 No. 1 (Juni) 2018
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (287.565 KB) | DOI: 10.29313/aktualita.v1i1.3711

Abstract

Salah satu tugas dari sistem pemasyarakatan, adalah memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak narapidana, diantaranya hak untuk mendapatkan remisi, yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana. Berkaitan dengan remisi untuk narapidana kasus korupsi, diatur dalam PP Nomor 99 Tahun 2012. Pemberlakuan PP ini menimbulkan pro kontra, karena dianggap memperberat syarat untuk pemberian remisi bagi narapidana yang melakukan tindak pidana berat seperti terorisme, narkotika, dan korupsi. Akibat adanya pro kontra ini, timbul keinginan dari Kemenkumham untuk merevisi PP tersebut, karena dianggap memperberat syarat pemberian remisi.
Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana Pelecehan Seksual Ditinjau dari Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Adela Berliana Nugraha; Chepi Ali Firman Zakaria
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 2 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (64.145 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i2.2529

Abstract

Abstract. The crime of sexual harassment is a dangerous problem in social life, because it is not only a physical and psychological burden on the victim, the crime of sexual harassment is a problem that also burdens the state. This crime of decency and sexual harassment has reached a very complex stage, disturbing and worrying the community. However, looking at the facts on the ground which show that sexual harassment crimes that occur in Indonesia where the victim is the weakest position are often used as perpetrators in other crimes, therefore the purpose of this study is to find out how the optimal legal protection for victims is by regulation and practice. This study uses a normative juridical research method with the nature of the research using analytical descriptive with secondary data obtained through literature study or documentation study. Then, all data and information were processed using qualitative data analysis. The research approach used is a statutory approach and a conceptual approach. The results of this study indicate that suppressing legal protection for victims of criminal acts of sexual harassment optimally in practice becomes an urgency, given the rise of cases of sexual violence in Indonesia. Optimal law enforcement to protect victims of sexual violence is Article 5 of Law Number 31 of 2014 concerning Amendments to Law Number 13 of 2006 concerning Protection of Witnesses and Victims, and also entitled to medical assistance, rehabilitation, compensation and restitution. Abstrak. Tindak pidana kekerasan seksual merupakan suatu persoalan yang sangat serius dalam kehidupan bermasyarakrat, karena selain menjadi beban fisik dan psikis terhadap korban, tindak pidana pelecehan seksual ini merupakan persoalan yang juga membebani negara. Kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual ini sudah sampai pada tahap begitu kompleks, meresahkan serta mencemaskan masyarakat. Namun, melihat fakta lapangan yang menunjukan bahwa kejahatan pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia yang mana korbannya adalah posisi yang paling lemah sering dijadikan sebagai pelaku dalam tindak pidana lain, oleh karena itu tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum yang optimal bagi korban secara regulasi dan praktik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan sifat penelitian menggunakan deskriptif analitis dengan data sekunder diperoleh melalui cara studi kepustakaan atau studi dokumentasi. Kemudian, seluruh data dan informasi diolah dengan menggunakan analisis data kualitatif. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang- undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengekan perlindungan hokum terhadap korban tindak pidana pelecehan seksual yang optimal secara praktik menjadi suatu hal yang urgensi, mengingat maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia. Penegakan hokum yang optimal melindungi korban kekerasan seksual terdapat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan korban, serta juga berhak mendapatkan sebuah bantuan medis, rehabiltasi, kompensasi dan juga restitusi.
Perlindungan Hukum bagi Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Dihubungan dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Muhamad Kevin Audi; Chepi Ali Firman Zakaria
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 1 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (124.173 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i1.379

Abstract

Abstract. Currently criminal acts are growing with various types and modus operandi, in addition, criminal perpetrators also use technology to support the implementation of a crime. New types of crime are increasingly emerging including cyber terrorism, revenge porn, cybercrime, human trafficking, sexual violence against children and women and various other types of crimes. On the one hand, legal protection for victims is highlighted in the State of Indonesia where victims are often not protected as they should be entitled. On the other hand, marrying the victim to the perpetrator on the basis of maintaining the disgrace of prolonged trauma for the victim is what often happens today. In the case of children members of the DPRD committed rape in the city of Bekasi against women. Based on these issues, this study aims to find out the legal protection and rights for victims of rape crimes associated with law number 31 of 2014 concerning the protection of witnesses and victims. This research method uses normative juridical and this research is descriptive analysis. While the data used in this study is secondary data obtained from the results of literature and using qualitative descriptive analysis methods. So it was obtained that victims of rape crimes get legal protection stated in articles 5, 6, and 7 of law number 31 of 2014 concerning the protection of witnesses and victims in the form ofpensation and restitution. And victims also get medical assistance, psychosocial and psychological rehabilitation assistance, such assistance according to the Witness and Victim Protection Agency. Abstrak. Saat ini tindak pidana semakin berkembang dengan berbagai macam jenis dan modus operandinya, disamping itu para pelaku tindak pidana juga memanfaatkan teknologi guna mendukung terlaksananya suatu kejahatan. Berbagai jenis kejahatan baru semakin bermunculan diantaranya cyber terrorism, revenge porn, cybercrime, human trafficking, kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan serta berbagai jenis kejahatan lainnya. Di satu sisi perlindungan hukum bagi korban tindak pidana pemerksoaan sangat disoroti di Negara Indonesia dimana bahwa korban seringkali tidak dilindungi hak haknya sebagaimana mestinya. Disisi lain menikahkan korban dengan pelaku atas dasar menjaga aib berujung trauma berkepanjangan bagi korban, inilah yang sering terjadi dewasa ini. Dalam kasus anak anggota DPRD melakukan pemerkosaan di kota Bekasi terhadap perempuan. Berdasarkan permasalahan tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum serta hak hak bagi korban tindak pidana pemerkosaan yang dihubungkan dengan undang undang nomor 31 tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban. Metode penelitian ini menggunakan yuridis normatif dan penelitian ini bersifat Deskriptif Analisis. Sedangkan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari hasil kepustakaan dan menggunakan metode analisis Deskriptif Kualitatif. Maka diperoleh hasil bahwa korban tindak pidana pemerkosaan mendapatkan perlindungan hukum yang tertera pada pasal 5, 6, dan 7 undang undang nomor 31 tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban berupa kompensasi dan restitusi. Dan korban pun memperoleh bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis, bantuan tersebut sesuai Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban. Korban berhak mendapatkan perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya berdasarkan undang undang nomor 31 tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban.
Disparitas Putusan pada Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Oknum Dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Qisthi Rabathi; Chepi Ali Firman Zakaria
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 1 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (124.449 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i1.527

Abstract

Abstract. This research is motivated by the increasing number of corruption cases conducted by prosecutors as law enforcement officials in Indonesia. Corruption itself is included in White Collor Crime where the crime is committed by the stakeholders, so that in the settlement of the case there is often a disparity of verdicts due to conflicts of interest of some parties. The purpose of this research is to find out indications of criminal disparity in corruption cases and the causes of criminal disparity in corruption cases. Therefore this research is categorized qualitative research with the research method used is normative juridical, The material studied in normative legal research is library material or secondary data. The data collection techniques used in this study are the study of literature and internet media, by collecting data from books, scientific papers, laws, articles, journals, and documents related to those studied. The results of this study show that of the two corruption convictions that have been presented there is a disparity caused by several factors, the Panel of Judges is the main factor in the disparity of criminal verdicts because the Panel of Judges in each criminal corruption case varies, taking into account several reasons that can ease and incriminate the accused. Abstrak. Penelitian ini dilatar belakangi oleh semakin banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh jaksa sebagai aparat penegak hukum di Indonesia. Korupsi sendiri termasuk kedalam kejahatan kerah putih (White Collor Crime) dimana kejahatan tersebut dilakukan oleh para pemangku kekuasaan, sehingga pada penyelesaian kasusnya sering terjadi disparitas putusan karena adanya konflik kepentingan beberapa pihak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui indikasi disparitas pidana dalam perkara tindak pidana korupsi dan penyebab disparitas pidana dalam perkara tindak pidana korupsi. Oleh karena itu penelitian ini dikategorikan penelitian kualitatif dengan metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, Bahan yang diteliti di dalam peneltian hukum normatif adalah bahan pustaka atau data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan media internet, dengan mengumpulkan data dari buku-buku, karangan ilmiah, undang-undang, artikel, jurnal, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan yang diteliti. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dari kedua putusan tindak pidana korupsi yang telah dipaparkan terdapat disparitas yang disebabkan oleh beberapa faktor, Majelis Hakim merupakan faktor utama terjadinya disparitas putusan pidana karena Majelis Hakim pada setiap kasus tindak pidana korupsi berbeda-beda, dengan mempertimbangkan beberapa alasan yang dapat meringankan dan memberatkan terdakwa.
Pemenuhan Hak Kesehatan bagi Wargabinaan di Lembaga Pemasyarakatan Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Muhammad Firman Ardiansyah; Chepi Ali Firman Zakaria
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 1 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (120.521 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i1.735

Abstract

Abstract. In the process of enforcing the law for criminals to be integrated back in the community through the Penitentiary is a place to carry out the construction of Prisoners and Correctional Students. The manifestation of Article 12 of Law No.12 of 1995 on Correctional Services requires that every inmate get a decent place to live, the right to nutritious food and the right to health services. Terkait with health services in Law No. 12 of 1995 mentions that one of the rights of inmates is "to get health services and proper food". But in contrast to the conditions on the ground with the application of the law is difficult to implement. Departing from this, the question arises: How is the fulfillment of health rights for fostered citizens in The Class IIA Banceuy Bandung Correctional Institution based on Law No. 12 of 1995 on Correctional Services? Whatis the concept of good development of health rights to the built citizens in The Correctional Institution Class IIA Banceuy Bandung based on Law No. 12 of 1995 on Correctional Services? . Research on thesis writing uses empirical juridical methods with sampling techniques. The data collection techniques used include observations, interviews and documentation. The results of this study show that the fulfillment of the health rights of lapas residents Class II-A Banceuy Bandung can be said to be insufficient due to lack of medical personnel and or not in accordance with Permenkumham No.M.HH.02.UM.06.04 of 2011,and not in accordance with article 17 paragraph 4 of PP No. 32 of 1999 related to health care outside LAPAS. This requires that the governmentcanbe more careful in understanding the context of the laws and regulations and their derivative regulations at the level of implementation related to the fulfillment of health rights for the citizens can be carried out in accordance with the applicable. Abstrak. Dalam proses menegakan hukum bagi pelaku kejahatan agar terintegrasi kembali dimasyarakat melalui Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat melaksanakan pembinaan Narapidana. Pasal 12 UU No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mewajibkan setiap narapidana mendapatkan tempat tinggal yang layak, hak untuk mendapatkan makanan yang bergizi juga hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.” Selanjutnya dengan pelayanan kesehatan didalam UU No. 12 Tahun 1995 menyebutkan bahwa salah satu hak narapidana ialah “mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak”. Namun pada praktiknya penerapan undang-undang dirasa sulit dilaksanakan. Berangkat dari hal tersebut maka timbul pertanyaan: Bagaimana pemenuhan hak kesehatan bagi warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banceuy Bandung dihubungkan UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan? Serta Bagaimana konsep pembinaan yang baik atas hak kesehatan terhadap warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banceuy Bandung dihubungkan UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan?. Penelitian pada penulisan skripsi ini menggunakan metode yuridis empiris dengan teknik sampling. Teknik pengumpulan data mengunakan observasi, wawancara. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa pemenuhan hak kesehatan wargabinaan LAPAS Kelas II-A Banceuy Bandung belum cukup memadai dikarenakan kurangnya tenaga medis dan atau tidak sesuai dengan Permenkumham No. M.HH.02.UM.06.04 Tahun 2011, dan tidak sesuai pasal 17 ayat 4 PP No. 32 Tahun 1999 terkait penanganan kesehatan diluar LAPAS. Hal ini mengharuskan pemerintah dapat lebih teliti melihat kondisi dilapangan.
PertanggungJawaban Pidana atas Tindak Pidana Penipuan terhadap Dana Nasabah PT Aku Digital Indonesia Dihubungkan dengan Pasal 378KUHP Tentang Penipuan Maulida Intan Syafika; Chepi Ali Firman Zakaria
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 1 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (248.924 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i1.860

Abstract

Tindak pidana korporasi ialah suatu hal yang perbuatannya melawan hukum yang dilanggar oleh suatu badan hukum. Salah satu hal yang dalam tindak pidana korporasi adalah sulitnya suatu korporasi atau badan hukum diproses dengan hukum sampai ke pengadilan, baru pengurusnya saja yang diminta mengenai pertanggungjawaban pidana seperti dalam perkara tindak pidana penipuan yang dilakukan oleh pengurus PT Aku Digital Indoneisa. Dalam penelitian ini terdapat permasalahan mengenai Apakah PT Aku Digital Indonesia sebagai korporasi dapat dikenakan Tindak Pidana Penipuan? Bagaimana pertanggungjawaban korporasi terhadap PT Aku Digital Indonesia dikaitkan dengan pasal 378 KUHP tentan penipuan? Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriftif analis dan pendekatan metode yuridis normatif sebagai penelitian berbagai bahan kepustakaan dengan pengumpulan dan penemuan informasi melalui studi kepustakaan serta didukung dengan studi lapangan. Teknik pengumpulan data menggunakan kajian kepustakaan dilengkapi dengan kajian lapangan untuk mendapatkan data primer sebagai pelengkap data sekunder. Analisis data menggunakan metode yuridis kualitatif. Kesimpulan penelitian ini PT Aku Digital Indonesia sebagai korporasi dapat Dikenakan pasal 378 KUHP sebagai tindak penipuan, yang dapat dikenakannya pasal 378 KUHP tentang Penipuan untuk memberikan sanksi penjara kepada para pengurus PT Aku Digital Indonesia sebagai pelaku tindak pidana penipuan dan sanksi pidana denda kepada PT Aku Digital Indonesia sebagai badan hukum, pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap PT Aku Digital Indonesia oleh aparat penegak hukum dengan menerapkan pasal 378 KUHP tentang Penipuan, dan upaya hukum yang dilakukan oleh penegak hukum untuk memproses PT Aku Digital Indonesia yang telah melakukan tindak pidana korporasi yaitu melakukan penyidikan dan penyelidikan oleh Polrestabes Bandung untuk membuktikan bahwa korporasi telah melakukan tindak pidana penipuan. Kata Kunci : korporasi, pertanggungjawaban, penipuan.
Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Pakaian Bekas Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan Yoga Gintara; Chepi Ali Firman Zakaria
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 1 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (263.216 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i1.1270

Abstract

Abstract. Law enforcement is believed to guarantee and protect the interests of the community. Prohibition of importing used clothes Minister of Industry and Trade Decree Number: 229/MPP/Kep/7/1997, Article 3 for health reasons, furthermore, smuggling of used clothes violates Article 102 letter (a) of Law Number: 17 of 2006 concerning Amendments to Law Law Number: 10 of 1995 concerning Customs. Then in the context of the Tanjung Balai Karimun District Court Number 23/pidsus/2020/Pn Tbk there is a disparity in decisions when compared to the Tanjung Balai Asahan District Court Number 243/Pid.B/2017/PN Tjb. The lack of investigations considered by the council has made the act of smuggling used clothes not yet providing a deterrent effect in suppressing the progress of the case. The author's assessment in making the decision on Decision Number: Balai Karimun Number: 23/Pid.Sus/2020/Pn Tbk is still not optimal if it is related to the purpose of punishment as an effort to retaliate and prevent the recurrence of the crime of smuggling. Abstrak. Penegakan hukum diyakini untuk menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat. Laranagn mengimpor pakain bekas KepMen Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 229/MPP/Kep/7/1997, Pasal 3 dengan alasan keshatan, selanjutnya penyelundupan pakaina bekas melanggar Pasal 102 huruf (a) Undang-undang Nomor : 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor : 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Kemudian pada konteks PN Tanjung Balai Karimun Nomor 23/pidsus/2020/Pn Tbk terjadinya disparitas putusan jika dibandingkan dengan PN Tanjung Balai Asahan Nomor 243/Pid.B/2017/PN Tjb. Masih kurangnya penelusuran yang dipertimbangankan oleh majlis menjadikan tindak penyelundapan pakain bekas belum memebrikan efekjera dalam menekan lajunya kasus tersebut. Penilain penulis daalam membrikan putusan pada Putusan Nomor: Balai Karimun Nomor: 23/Pid.Sus/2020/Pn Tbk masih belum maksimal jika dikaitakan dengan tujuan pemidaan sebagai upya pembalasan dan pencegahan agar tidak terulang laginya tindak pidana penyelundupan.
Pertanggungjawaban Pidana Pelaku yang Melakukan Tindak Pidana dalam Keadaan Tidak Sadar Diri (Trance) Menurut Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam Muhammad Rizky Kaisar; Chepi Ali Firman Zakaria
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 3 No. 1 (2023): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v3i1.4944

Abstract

Abstract. This article is entitled Criminal Responsibility of Criminal Offenders in a State of Unconsciousness (Trance) According to the Perspective of Indonesian Criminal Law and Islamic Criminal Law. The method used in this paper is normative juridical methods connected with research on events that occur in society. The occurrence of crime the phenomenon of trance or in Indonesia is often known as "kerasukan", it is still difficult for the human mind to accept because it is beyond human reason. This phenomenon is also always associated with an element of culture and religion that prevails in Indonesia. The elements of a criminal act consist of subjective elements including the subject and the existence of an element of error and an element of purpose, namely acts that are against the law, actions that are prohibited or prohibited by law/legislation and the violators are subject to criminal sanctions, and are carried out in time, place and circumstances. certain. Criminal responsibility is born by passing on objective reproaches to actions that are stated as applicable criminal acts, and subjectively to the perpetrators of criminal acts who meet the requirements to be subject to a criminal penalty for their actions. In Islamic law, one element of criminal responsibility can occur if the act is committed voluntarily. An act can only be held criminally responsible if he is able to realize that his actions are against the law and can determine his will according to his conscience. Abstrak. Artikel ini berjudul Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Yang Melakukan Tindak Pidana Dalam Keadaan Tidak Sadar Diri (Trance) Menurut Perspektif Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana Islam. Metode yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dihubungkan dengan meneliti kejadian yang terjadi di masyarakat. Terjadinya tindak pidana dalam keadaan tidak sadar diri (Trance) atau di Indonesia sering dikenal dengan istilah “kerasukan”, masih sulit untuk diterima oleh akal manusia dikarenakan berada diluar nalar manusia. Fenomena ini juga selalu dikaitkan oleh suatu unsur budaya dan agama yang berlaku di Indonesia. Unsur-unsur tindak pidana terdiri dari unsur subjektif meliputi subjek dan adanya unsur kesalahan dan unsur objektif yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum, tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam pidana, dan dilakukan dalam waktu, tempat dan keadaan tertentu. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan yang bersifat objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pelaku tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai suatu hukuman pidana karena perbuatannya. Dalam syari’at Islam, Salah satu unsur pertanggungjawaban pidana bisa terjadi apabila perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri. Suatu perbuatan hanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila ia mampu menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadarannya.
Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terkait Pembelaan Terpaksa dalam Perkara Penganiayaan yang Menyebabkan Kematian Reyvita Salsabila; Chepi Ali Firman Zakaria
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 3 No. 1 (2023): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v3i1.5010

Abstract

Abstract. In criminal law there are reasons for the abolition of punishment, one of which is justification. The justification reasons set out in Article 49 paragraph (1) are forced defense, tthat removes the element against the law and becomes the judge's consideration in making a decision at trial. This problem regarding forced defense was found in Decision Number 1225/Pid.B/2020/PN-Jkt.Sel.The purpose of this research was to proving that the basis for the judge's considerations regarding forced defense in cases of maltreatment that led to death in Decision Number 1225/Pid.B/2020/PN-Jkt.Sel is correct and to find out that the imposition of imprisonment for 4 years is proportional and in accordance with the purpose of sentencing. This study uses research methods juridical-normative, uses several approaches such as the statutory approach, and the case approach. The data used is sourced from primary data from legal sources, and secondary data obtained from books, journals, articles, internet data, and dictionaries.The results of this study concluded that: (1) The judge's consideration in case 1225/Pid.B/2020/PN-Jkt.Sel the defendant Riska was not quite right because the defendant's actions, namely as a forced defense aimed at protecting himself as referred to in Article 49 Criminal Code. The action is the actualization of the principle of subsidiarity, so the actions taken by the defendant were acts of self-defense because they were the last step to be taken. (2) In case 1225/Pid.B/2020/PN Jkt.Sel, the defendant Riska was proven guilty of maltreatment which resulted in death and the judge sentenced the defendant to 4 years in prison. In this case the decision has not been proportional and has not been in accordance with the purpose of sentencing. Abstrak. Dalam hukum pidana terdapat alasan peniadaan pidana yang salah satunya yakni alasan pembenar. Alasan pembenar yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) adalah pembelaan terpaksa (noodweer) yang dimana alasan tersebut merupakan suatu pembelaan yang menghapus elemen melawan hukum dan menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan di persidangan. Permasalahan mengenai pembelaan terpaksa ini ditemukan pada Putusan Nomor 1225/Pid.B/2020/PN-Jkt.Sel. Penelitian ini berguna untuk membuktikan bahwa dasar pertimbangan hakim terkait pembelaan terpaksa dalam perkara penganiayaan yang menyebabkan kematian pada Putusan Nomor 1225/Pid.B/2020/PN-Jkt.Sel telah tepat dan guna mengetahui bahwa penjatuhan sanksi pidana penjara selama 4 (empat) tahun telah proporsional dan sesuai dengan tujuan pemidanaan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, dimana penulis menggunakan beberapa pendekatan seperti pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan kasus. Data yang digunakan bersumber dari data premier yang disumber-sumber hukum, dan data sekunder yang diperoleh dari buku, jurnal, ariket, data internet, dan kamus. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa: (1) Pertimbangan hakim pada perkara 1225/Pid.B/2020/PN-Jkt.Sel terdakwa Riska kurang tepat karena aksi terdakwa yakni sebagai pembelaan terpaksa yang ditujukan untuk melindungi dirinya sendiri sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49 KUHP. Aksi tersebut merupakan aktualisasi dari asas subsidiaritas, sehingga dapat dikatakan tindakan yang dilakukan terdakwa merupakan tindakan membela diri karena sebagai langkah yang terakhir untuk dilakukan. (2) Pada perkara 1225/Pid.B/2020/PN Jkt.Sel terdakwa Riska terbukti melakukan penganiayaan yang menyebabkan kematian dan terdakwa dijatuhi putusan penjara selama 4 tahun oleh hakim. Dalam hal ini putusan tersebut belum proposional dan belum sesuai dengan tujuan pemidanaan.
Bebasnya Tuntutan Pencabutan Hak Politik dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan dengan Tujuan Pemidanaan Bintang Raihan Sulaeman; Chepi Ali Firman Zakaria
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 3 No. 1 (2023): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v3i1.5056

Abstract

Abstract. Corruption is a crime that is very detrimental to the nation and state and can damage the morale of the nation so that corruption is grouped into extraordinary crime which requires extra action in eradicating it, so that one of the state's efforts in eradicating corruption is by imposing the maximum possible principal punishment and addition in the form of revocation of political rights. In this case, there are several questions regarding what the judge considers in making a decision in the form of revocation of political rights and what are the obstacles to law enforcement. At this writing the author uses normative juridical research methods which are carried out by examining primary and secondary legal materials. The results of the study show that the verdict does not explicitly state the existence of the revocation of political rights and should in the judge's consideration be able to see a similar case that occurred where the case against the defendant the Minister of Social Affairs Juliari Batubara was sentenced to an additional penalty for revocation of political rights, and obstacles to law enforcement for criminal acts of corruption in demands for the revocation of political rights in the official cluster is a discrepancy with the Constitutional Court Regulations which have stipulated a waiting period of 5 (five) years for convicts who carry out their decisions, which the accused should then undergo a fair or just punishment for what he has done for the delict he has committed Abstrak. Korupsi adalah suati tindak pidana yang sangat merugikan bangsa dan negara serta dapat merusak moral bangsa sehingga korupsi dikelompokan menjadi extra ordinarycrime yang membutuhkan tindakan extra pula dalam pemberantasannya, sehingga salah satu upaya negara dalam hal memberantas tindak pidana korupsi yaitu dengan menjatuhkan hukuman pokok semaksimal mungkin dan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik. Dalam hal ini terdapat beberapa pertanyaan mengenai apakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan berupa pencabutan hak politik serta bagaimana hambatan penegak hukumnya. Pada penulisan ini penulis menggunakan metode penelitian normative yuridis yang dilakukan dengan meneliti bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukan bahwa amar putusan tidak dengan tegas menyebutkan adanya penjatuhan pencabutan hak politik serta seharusnya dalam pertimbangan hakim dapat melihat kasus serupa yang terjadi dimana kasus yang menerpa terdakwa Menteri Soasial Juliari Batubara dijatuhi hukuman tambahan akan pencabutan hak politik, dan hambatan penegakan hukum tindak pidana korupsi dalam tuntutan pencabutan hak politik dalam klaster pejabat ialah ketidaksesuaian dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi yang sudah menetapkan rentang waktu tunggu 5 (lima) tahun kepada terpidana yang melaksanakan putusannya yang kemudian dengan seharusnya terdakwa menjalani hukuman setimpal atau adil dengan apa yang diperbuatkanya atas delict yang pernah dilakukannya.