Dedi Fitri Yadi
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran /Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 48 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Gambaran Dokumentasi Penilaian Nyeri pada Pasien Anak di Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Afifah, Shofura; Prayoga, Stanza Uga; Yadi, Dedi Fitri
Majalah Anestesia dan Critical Care Vol 34 No 1 (2017): Februari
Publisher : Perdatin Pusat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penilaian nyeri merupakan langkah penting dalam manajemen nyeri, tetapi dokumentasi nyeri yang tidak memadai serta oligoanalgesia pada pasien anak di Instalasi Gawat Darurat (IGD) masih dilaporkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan dokumentasi penilaian nyeri pada pasien anak di IGD Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung serta menggambarkan penggunaan analgesik berdasarkan skor nyeri. Penelitian ini merupakan studi lintang potong retrospektif yang dilakukan pada subjek rekam medis 625 pasien berusia 0–18 tahun yang berkunjung ke IGD RSHS selama periode Januari–Maret 2015. Variabel yang diambil adalah usia, jenis kelamin, jenis kunjungan, alasan kunjungan, status triase, diagnosis pasien, dan pemberian analgesik. Hasil penilaian nyeri menggunakan skala Wong Baker FACES, 61,6% pasien anak didokumentasikan skor nyerinya. Pasien obstetri dan ginekologi (0,8%), pasien klasifikasi darurat (10,4%), pasien bayi (19,7%), dan pasien dengan alasan berkunjung nyeri (24,2%) menunjukkan dokumentasi skor nyeri yang lebih rendah pada kelompok kategorinya. Dari setiap pasien yang didokumentasikan nyerinya, 45,9% menerima analgesik. Pasien yang tidak didokumentasikan penilaian nyerinya menerima analgesik paling sedikit (21,2%). Analgesik yang digunakan di IGD adalah NSAID (41,6%), parasetamol (29,7%), analgesik tidak spesifik (27,6%), dan opioid (1,1%). Dokumentasi penilaian nyeri pada pasien anak IGD RSHS masih suboptimal. Perlu dilakukan peningkatan dokumentasi penilaian nyeri untuk memperbaiki manajemen nyeri. Kata kunci: Analgesia, emergensi, pediatrik, skor nyeri   Pain Assessment Documentation of Pediatric Patients in Emergency Department, Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung Pain is a subjective experience and difficult to quantify in children. Pain assessment is an important step in pain management, but inadequate pain score documentation and oligoanalgesia in Pediatric emergency patients are still reported. The objective of this research was to describe pain score documentation of pediatric patients in the Emergency Department (ED) of Dr. Hasan Sadikin General Hospital and to describe analgesic use based on documented pain score. This was a retrospective cross-sectional study conducted on the medical record of 625 patients aged 0–18 years old who visited the ED during the period of January–March 2015. Variables taken were age, sex, type of visit, reason for visit, triage classification, patient diagnosis, and analgesic use. Based on pain assessment using Wong Baker FACES scale, 61.6% of visits had documented pain score. Patients visiting theobstetrics and gynecology ED (0,8%), emergency-classified patients (10,4%), infant patients (19,7%), and visits designated as painful (24,2%) exhibited lower pain score documentation in each category. Of every patient who reported pain, 45,9% received analgesics. Patients who presented with no documented pain assessment received the least amount of analgesics (21,2%). Analgesics used in the ED were NSAID (41,6%), paracetamol (29,7%), unspecified analgesics (27,6%), and opioid (1,1%). Pain assessment documentation in Dr. Hasan Sadikin General Hospital ED stands suboptimal. Inadequate analgesic prescription of pediatric patients was found. Pain score documentation needs to be improved. Key words: Analgesia, emergency, pain score, pediatrics
Perbandingan Sevofluran dengan Propofol Target Controlled Infusion (TCI) sebagai Rumatan Anestesi terhadap Waktu pulih Sadar dan Komplikasi Mual Muntah pada Operasi Timpanoplasti Desvita Rosana; Dedi Fitri Yadi; Ricky Aditya
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (644.603 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1620

Abstract

Praktik anestesi membutuhkan kualitas anestesi yang baik, efek samping minimal, serta pemulihan cepat. Propofol dan sevofluran memiliki efek farmakologis pemulihan pascaanestesi yang cepat. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbandingan sevofluran dengan propofol target controlled infusion (TCI) sebagai rumatan anestesi terhadap waktu pulih sadar dan komplikasi mual muntah pada operasi timpanoplasti. Penelitian  dilakukan periode Agustus–November 2018 di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian merupakan prospektif eksperimental menggunakan uji klinis acak buta tunggal terhadap 44 subjek yang dibagi acak menjadi dua kelompok, yaitu kelompok propofol TCI  (kelompok P, n=22) dan kelompok  sevofluran (kelompok S, n=22). Selama operasi dicatat lama operasi, jumlah opioid, waktu pulih sadar, dan komplikasi mual muntah. Analisis statistik data numerik dengan uji t tidak berpasangan dan Mann Whitney, data kategorik dengan uji chi square. Hasil penelitian tidak ada perbedaan signifikan (p>0,05) untuk karakteristik pasien, lama operasi, dan jumlah opioid perioperatif. Waktu pulih sadar kelompok sevofluran lebih cepat signifikan dibanding dengan propofol TCI (10,26±1,91 menit dan 13,36±1,72 menit; p<0,05). Komplikasi mual muntah pascaoperasi kelompok sevofluran lebih besar signifikan dibanding dengan propofol TCI (15 dan 1; p<0,05). Simpulan, sevofluran memiliki waktu pulih sadar lebih cepat dibanding dengan propofol TCI, namun komplikasi mual muntah sevofluran lebih besar. Comparison between Effect of Sevoflurane with Propofol Target Controlled Infusion (TCI) as Maintenance of Anesthesia on Emergence Time and Nausea-Vomiting Complication in Timpanoplasty SurgeryCurrent modern anesthesia practice requires good anesthetic quality, minimum side effect, and early recovery. Propofol and sevoflurane have pharmacological properties that include fast recovery after anesthesia. The aim of this study was to evaluate the comparative effects of sevoflurane versus propofol target controlled infusion (TCI) for maintenance of anesthesia with respect to emergence time and postoperative nausea and vomiting (PONV) complication in patients undergoing timpanoplasty surgery. The study was carried out from August–November 2018 in Dr. Hasan Sadikin Bandung Hospital. It was a prospective single blind experimental study conducted on 44 subjects who were randomly divided to receive either propofol TCI (group P, n=22) or sevoflurane (group S, n=22). Duration of surgery, total ammount of opioid used, emergence time, and postoperative nausea and vomiting complication were recorded. Numerical data were tested by unpaired t test and Mann Whitney while categorical data were tested by chi-square. The results showed that patient characteristics, duration of surgery, and total amount of opioid used were not significantly different (p>0.05). Emergence time of the sevoflurane (S) group was significantly faster than the propofol (P) group (10.26+1.91 and 13.36+1.72, respectively; p<0.05). The complication of postoperative nausea and vomiting in group S was significantly higher compared to group P (15 and 1, respectively; p<0.05). It is concluded that sevoflurane has faster emergence time compared to propofol TCI, but PONV complication of sevoflurane is higher.
Perbandingan Keberhasilan dan Waktu Intubasi Endotrakeal pada Manekin antara Bantal Intubasi Standar dengan Bantal Intubasi Modifikasi Sendy Setiawan Permana; Erwin Pradian; Dedi Fitri Yadi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (469.192 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n3.1363

Abstract

Intubasi pipa endotrakeal adalah standar baku manajemen jalan napas. Direct laryngoscopy dengan memposisikan kepala dan leher secara sniffing position menggunakan bantal agar visualisasi glotis optimal merupakan kunci untuk melakukan tindakan intubasi endotrakea. Tujuan penelitian adalah membandingkan keberhasilan dan lama waktu intubasi endotrakea pada manekin menggunakan bantal intubasi standar dengan bantal intubasi modifikasi. Penelitian menggunakan metode crossover randomized study dengan teknik nonprobability sampling oleh 31 orang residen anestesi pada manekin di ruang skill lab Departemen Anestesiologi dan Terapi Intesif FK Unpad  RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Februari 2018. Penelitian dibagi menjadi kelompok bantal intubasi standar (A) melakukan intubasi endotrakeal menggunakan bantal intubasi standar dilanjutkan menggunakan bantal intubasi modifikasi. Kelompok bantal modifikasi (B) melakukan intubasi endotrakeal dengan bantal intubasi modifikasi dilanjutkan menggunakan bantal intubasi standar, dinilai keberhasilan dan lama waktu intubasi. Data dianalisis dengan uji-t dan Uji Mann-Whitney dengan p<0,05 dianggap bermakna. Analisis data statistik menunjukkan angka keberhasilan yang sama pada kedua kelompok, sedangkan lama waktu intubasi endotrakea lebih singkat pada kelompok bantal modifikasi dibanding dengan kelompok bantal standar yang berbeda bermakna (p<0,05). Simpulan penelitian menunjukkan waktu intubasi menggunakan bantal intubasi modifikasi lebih singkat dibanding dengan menggunakan bantal standar, sedangkan keberhasilan intubasi sama pada kedua kelompok.Kata kunci: Bantal intubasi, intubasi endotrakea, sniffing positionComparison of Successful Intubation and Time of Intubation in Mannequin using Standard Intubation Pillow and Modified Intubation PillowEndothracheal intubation is the gold standard in airway management. Direct laryngoscopy by positioning the head and the neck in a sniffing position with the help of a pillow will facilitate optimal visualization of the trachea, which is the key to a successful endotracheal intubation. The purpose of this study was to assess the time needed to intubate mannequin using modified intubation pillow when compared to standard intubation pillow. This was a crossover randomized study using nonprobability sampling technique conducted inn March 2018 on of 31 anesthesia residents who were working on a mannequin in the Skill Laboratory of Anesthesiology and Intensive Therapy Department of Dr. Hasan Sadikin General Central Hospital. Subjects were divided into two groups: group A that used the standard intubation pillow, followed by the modified intubation pillow and group B that used the modified intubation pillow, followed by the standard intubation pillow. The success rate and the time needed to intubate were recorded. Data were analyzed using t-test and Mann-Whitney test with a p score of <0.05 considered to be significant. The statistical analysis showed the same success rate in both groups, while the time needed to intubate was shorter in the modified pillow group with p<0.05. Hence, the use of modified intubation pillow shorten the time needed to intubate, while the success rate is similar when compared to standard pillow.Key words: Endotracheal intubation, intubation pillow, sniffing position 
Penggunaan Anestesi Lokal dan Adjuvan pada Analgesi Epidural di Wilayah Jawa Barat Tahun 2015 Dedi Fitri Yadi; Muhamad Ibnu; Ezra Oktaliansah
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (583.788 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n2.1107

Abstract

Analgesi epidural yang optimal akan menghasilkan penanganan nyeri yang baik dengan efek samping minimal dan meningkatkan kepuasan pasien. Sampai saat ini belum terdapat data di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Barat mengenai penggunaan anestesi lokal dan adjuvan pada analgesi epidural. Tujuan penelitian ini mecari data mengenai penggunaan anestesi lokal dan adjuvan yang digunakan oleh dokter spesialis anestesi di wilayah Jawa Barat pada tahun 2015. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus hingga September 2016 di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pengambilan data menggunakan kuesioner dan pendekatan cross sectional. Kuesioner dikirimkan kepada 120 dokter spesialis anestesi di Jawa Barat melalui jasa pos dan 30 kuesioner diberikan langsung kepada dokter spesialis anestesi yang bekerja di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Angka respons yang didapatkan sebesar 47,3%. Hasil penelitian ini didapatkan dokter spesialis anestesi di Jawa Barat yang masih melakukan analgesi epidural pada tahun 2015 sebesar 73,2%. Obat anestesi lokal yang paling banyak digunakan untuk analgesi epidural adalah bupivakain sebesar 94,23%. Konsentrasi terbanyak 0,125% sebesar 82%. Adjuvan yang paling banyak digunakan adalah fentanil sebesar 96,9%. Simpulan penelitian ini sebagian besar dokter spesialis anestesi masih menggunakan epidural sebagai analgesi sehingga bupivakasin dan fentanil menjadi obat terbanyak yang digunakan.Kata kunci: Analgesi epidural, anestesi lokal, adjuvan  Local Anesthetic and Adjuvan Used for Epidural Analgesia in West Java in 2015Optimal analgesia epidural technique should promote effective pain relief with minor adverse event and major pastient satisfactory. Up till now, there was no data about local anesthetic and adjuvan agent used for epidural analgesia by anesthesiologist in Indonesia, especially in West Java. The purpose of this study to find data regarding local anesthetic and adjuvan agent used for epidural analgesia by anesthesiologist in Indonesia, especially in West Java in 2015. This research was conducted from August to September 2016 in the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy Dr. Hasan Sadikin Hospital in Bandung. This is a descriptive study with cross sectional approach using questionairre. Questionairre was sent to 120 anesthesiologist through mail and 30 questionairre was given to anesthesiologists worked at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. Response was obtained 47.3%. This study shows that there were 73.2% anesthesiologist performed epidural analgesia in 2015. The most  local anesthetic used in epidural blockade was bupivacaine, amounted 94.23% and the most concentration is 0.125%, amounted 82%. The most used adjuvant was fentanyl, 96.9%. In Conclusion, most of the anesthesiologist used epidural as an analgesia so bupivacaine and fentanyl used most frequentKey words: Epidural analgesia, local anesthetic, adjuvan
Perbandingan Angka Keberhasilan Blokade Saraf Iskiadikus Pendekatan Parasakral dengan Labat Menggunakan Stimulator Saraf pada Operasi Daerah Kruris dan Pedis Rika Marlina; Dedi Fitri Yadi; Tinni T. Maskoen
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 3, No 3 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (328.42 KB)

Abstract

Blokade saraf iskiadikus digunakan pada operasi daerah kruris dan pedis. Blokade saraf iskiadikus pendekatan Labat membutuhkan rangkaian penanda anatomis, sementara parasakral menggunakan penanda anatomis sederhana. Penelitian bertujuan membandingkan angka keberhasilan blokade saraf iskiadikus pendekatan parasakral dengan Labat. Penelitian uji acak terkendali tersamar ganda dilakukan pada 32 pasien dewasa di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dan Rumah Sakit Dr. Slamet Garut selama Desember 2014–Januari 2015. Tempat penyuntikan kelompok Labat pada 4 cm distal garis proyeksi tegak lurus terhadap pertengahan trokanter mayor dan spina iliaka superior posterior. Tempat penyuntikan kelompok parasakral pada 6 cm distal garis proyeksi antara spina iliaka superior posterior dan tuberositas iskiadikus. Penyuntikan 30 mL bupivakain 0,4% dilakukan bila terdapat respons motorik pada arus 0,3 mA. Perbandingan angka keberhasilan diuji dengan Uji Eksak Fisher, bermakna jika p<0,05. Blokade saraf iskiadikus kelompok parasakral berhasil pada 15 subjek, sedangkan Labat berhasil pada 8 subjek dengan nilai p=0,015. Angka keberhasilan blokade saraf iskiadikus pendekatan parasakral lebih tinggi dibanding dengan Labat menggunakan stimulator saraf pada operasi daerah kruris dan pedis.Kata kunci: Blokade saraf iskiadikus, keberhasilan, penanda anatomis, pendekatan parasakral, pendekatan LabatComparison of Success Rates between Parasacral Approach and Labat Approach Applied in Sciatic Nerve Block Using Nerve Stimulator in Leg and Foot SurgeriesAnesthesiologist uses sciatic block in leg and foot surgeries. Labat sciatic block uses a series of anatomical landmarks, while parasacral uses simple anatomical landmarks. This study compared the success rate of parasacral approach of sciatic block to Labat approach using nerve stimulator in leg and foot surgeries. A double-blind randomized controlled trial study was conducted on 32 adult patients at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung and Dr. Slamet General Hospital Garut during the period of December 2014 to January 2015. In Labat group, a line was drawn from greater trochanter to posterior superior iliac spine. Then, from the midpoint of this line, a second line was drawn perpendicularly and extended caudally to 4 cm. The end of this line represented the needle entry. In parasacral group, a line was drawn from posterior superior iliac spine to ischial tuberosity. The needle entry was then marked on this line at 6 cm from the posterior superior iliac spine. Thirty mL of 0.4% bupivacaine was injected when a proper motor response was elicited at 0.3 mA. Comparison of success rates were analyzed using Fisher’s exact Test with p-value<0.05 considered significant. Fifteen blocks in parasacral group were successful compared to 8 blocks in Labat group, with p-value of 0.015. The success rate of parasacral approach of sciatic block is higher than in the Labat approach when using nerve stimulator in leg and foot surgeries. Key words: Sciatic nerve block, success, anatomical landmarks, parasacral approach, Labat approach DOI: 10.15851/jap.v3n3.613
Blok Aksilar dengan Panduan Ultrasonografi pada Operasi Debridement Lengan Bawah Pasien Systemic Lupus Erythematosus, Gagal Ginjal Kronik, Sirosis Hepatis, dan Gagal Jantung Mohamad Andy Prihartono; Dedi Fitri Yadi; Erwin Pradian
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (528.82 KB)

Abstract

Blok aksilar sangat menguntungkan dilakukan pada operasi daerah lengan bawah. Pasien wanita berusia 28 tahun dengan diagnosis systemic lupus erithematosus (SLE), gagal ginjal kronik, sirosis hepatis dan gagal jantung, direncanakan operasi nekrotomi debridement di lengan bawah di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Maret 2012. Dilakukan anestesi blok aksilar dengan panduan ultrasound Sonosite M Turbo menggunakan high frequency probe linear, jarum stimulasi 50 mm dan nerve stimulator dengan obat anestesi lokal bupivakain 0,5% dengan adjuvan epinefrin 1:200.000. Keberhasilan blok aksiler dikonfirmasi dengan menstimulasi sensoris dan nervus motorik yang telah diblok. Blok tercapai secara sempurna dalam waktu ±15 menit. Operasi dilakukan setelah blok tercapai dan operasi berlangsung selama 1 jam. Simpulan, blok aksilar dengan panduan ultrasound memberikan hasil yang memuaskan dengan angka keberhasilan yang tinggi. Pada pasien ini sangat menguntungkan dilakukan anestesi regional blok saraf perifer dibandingkan dengan anestesi umum karena komplikasi penyakit yang banyak.Kata kunci: Blok aksilar, systemic lupus eritematosus, ultrasounografiAxillary Block with Ultrasound Guided for Debridement of the Forearm in Patient with Systemic Lupus Erythematous, Chronic Renal Failure, Hepatic Cirrhosis, and Congestive Heart DiseaseAxillary block is beneficial when applied to a forearm operation. A 28-year-old female patient diagnosed with systemic lupus erythematosus, chronic renal failure, hepatic cirrhosis and heart failure, was planned for necrotomy debridement operation of the forearm in Dr. Hasan Sadikin Hospital-Bandung in March 2012. An axillary block anesthesia was done with Sonosite M Turbo ultrasound guidance that used high frequency linear probe, 50 mm stimulating needle, and nerve stimulator containing bupivacaine 0.5% and epinephrine adjuvant 1:200,000. The operation can be initiated after the block was achieved and the duration of operation was 1 hour. In conclusions, axillary block with ultrasound guidance gives satisfying result with higher success rate. Peripheral nerve block (regional anesthesia) is more beneficial to this patient than general anesthesia due to multiple complications.Key words: Axillary block, systemic lupus erythematosus, ultrasound   DOI: 10.15851/jap.v1n2.124
Gambaran Suhu Inti Tubuh Preanestesi dan Pascaanestesi pada Pasien Sectio Caesarea di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Nadya Aliza Mulyadi; Suwarman Suwarman; Dedi Fitri Yadi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 3 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (945.495 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n3.1567

Abstract

Perubahan suhu inti tubuh dapat terjadi pada pasien perioperatif dan disebabkan oleh beberapa faktor seperti jenis operasi, jenis anestesi yang diberikan, durasi operasi, dan tata laksana yang dilakukan pascaoperasi, begitu pula pada kondisi pemulihan suhu inti tubuh. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran umum suhu inti tubuh preanestesi dan pascaanestesi pada pasien sectio caesarea di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung.Penelitian ini dilakukan kepada pasien peripartum yang menjalani operasi sectio caesarea pada September hingga Oktober 2018 di Central Operation Theater dan Ruang Pemulihan Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung menggunakan metode observasional dengan pendekatan potong lintang secara total sampling, jumlah sampel didapatkan 47 orang. Suhu inti tubuh diukur sebelum preanestesi dan pascaanestesi menggunakan termometer timpanik. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif dengan hasil berupa frekuensi dan persentase yang disajikan dalam bentuk tabel atau grafik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perubahan suhu inti tubuh dengan rerata penurunan 0,15˚C, yakni terdapat penurunan sebanyak 63,8% dan peningkatan sebanyak 36,2%. Simpulan, semua pasien pada penelitian ini mengalami perubahan suhu inti tubuh. Lebih banyak pasien yang mengalami penurunan suhu inti tubuh dibanding dengan peningkatan suhu inti tubuh. Pengendalian faktor eksternal mengurangi risiko penurunan suhu inti tubuh berlebih. Pre-Anesthesia and Post-Anesthesia Core Body Temperature of Patients Underwent Caesarean Section in Dr. Hasan Sadikin General Hospital BandungChanges in core body temperature can occur to anyone, especially to perioperative patients. Perioperative patient’s core body temperature change is caused by various factors such as the type of surgery, type of anesthesia used, duration of surgery, postoperative management, and core temperature recovery process. This study was conducted to describe pre-anesthesia and post-anesthesia core body temperature of patients underwent caesarean section in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This was a cross-sectional observational study on peripartum patients underwent caesarean section during the period between the third week of September to the third week of October 2018 at the Central Operation Theater and Recovery Room of Dr. Hasan Sadikin General Hospital. Sampling was performed using total sampling approach, resulting in 47 subjects. The core body temperature was measured with tympanic thermometer before anesthesia and after anesthesia. Data analysis was carried out descriptively in the form of tables and graphs of frequencies and percentages. Results showed that the core body temperature change with a decrease of 0.15˚C, decreased core body temperature was seen in 63.8% of the subjects with the remaining 36.2% experienced an increase in core body temperature. In conclusion, the all subjects in this study experienced changes in core body temperature with a decrease in temperature as the more likely change. Controlling the external factors can reduce the risk of excessive core body temperature decline.
Perbandingan Pemberian 20 mL dengan 30 mL Bupivakain 0,5% terhadap Mula Kerja dan Lama Kerja Blokade Saraf Iskiadikus Pendekatan Parasakral Menggunakan Alat Stimulasi Saraf pada Operasi Ekstremitas Bawah Canang Irving Amrizal; Dedi Fitri Yadi; Rudi Kurniadi Kadarsah
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (554.584 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n1.1004

Abstract

Blokade saraf iskiadikus pendekatan parasakral merupakan salah satu pilihan anestesi untuk operasi ekstremitas bawah. Blokade ini memiliki angka keberhasilan yang tinggi dan membutuhkan anestetik lokal yang lebih sedikit. Penelitian ini bertujuan membandingkan pemberian 20 mL dengan 30 mL bupivakain 0,5% terhadap mula kerja dan lama kerja blokade saraf iskiadikus pendekatan parasakral menggunakan alat stimulasi saraf di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dan RSD Dr. Slamet Garut selama periode bulan Oktober–November 2015. Penelitian eksperimental secara randomized controlled trial dilakukan pada 36 pasien dewasa yang menjalani operasi ekstremitas bawah. Pasien dibagi dalam dua kelompok secara acak, tiap-tiap kelompok terdiri atas 18 pasien. Kelompok A mendapatkan bupivakain 0,5% sebanyak 20 mL dan kelompok B mendapatkan 30 mL. Hasil menunjukkan bahwa mula kerja blokade sensorik dan motorik pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0,05). Hasil penelitian menggunakan uji-t dan uji Mann Whitney menunjukkan bahwa lama kerja blokade sensorik dan motorik pada kelompok A lebih singkat bermakna dibanding dengan kelompok B (p<0,05). Simpulan penelitian ini adalah pemberian 20 mL bupivakain 0,5% pada blokade saraf iskiadikus pendekatan parasakral menghasilkan mula kerja blokade sensorik dan motorik yang sama cepat dan lama kerja blokade sensorik dan motorik yang lebih singkat dibanding dengan pemberian 30 mL bupivakain 0,5%.Kata kunci: Blokade saraf iskiadikus, bupivakain, lama kerja blokade, mula kerja blokade, pendekatan parasakralComparison of Onset and Duration of Action between 20 mL with 30 mL of 0.5% Bupivacaine on Ischiadicus Nerve Block with Parasacral Approach Assisted by a Nerve Stimulator for Lower Ekstremity SurgeryIschiadicus nerve block with parasacral approach is an anesthetic option for surgery in the lower extremity. This method offers many advantages such as high rate of successful block and less use of local anesthetic agent. The purpose of this study was to compare the onset and duration of action of ischiadicus nerve block with parasacral approach assisted by a nerve stimulator using 20 mL of 0.5% bupivacaine to 30 mL of 0.5% bupivacaine in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung and Dr. Slamet Hospital Garut between the period of October to November 2015. This experimental randomized controlled study was performed on 36 adult patients undergoing lower extremity surgeries. Patients were divided randomly into two groups consisting of 18 patients. Group A was given 20 mL of 0.5% bupivacaine while group B was given 30 mL of 0.5% bupivacaine. The onset and duration of action of sensory and motoric blocks were recorded. The t-test and Mann Whitney test used in this study showed that the duration of sensory and motoric blocks in group A was significantly shorter than that of group B (p<0.05). It is concluded that the ischiadicus nerve block with parasacral approach using 20 mL of 0.5% bupivacaine has the same onset but shorter duration of sensory and motoric blocks compared to 30 mL of 0.5% bupivacaine.Key words: Bupivacaine, duration of block, ischiadicus nerve block, onset of block, parasacral approach 
Perbandingan Bupivakain 0,25% dengan Kombinasi Bupivakain 0,25% dan Deksametason 8 mg pada Blok Transversus Abdominis Plane dengan Panduan Ultrasonografi sebagai Analgesia Pascahisterektomi Eddo Alan Delis; Erwin Pradian; Dedi Fitri Yadi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (50.921 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n2.1240

Abstract

Analgesia dinding abdomen anterior dan lateral dapat dilakukan dengan blok transversus abdominis plane (TAP). Penelitian ini bertujuan menilai waktu kebutuhan analgesik pertama dan skor nyeri 2, 4, 6, 12, 24 jam pascahisterektomi antara bupivakain 0,25% dengan kombinasi bupivakain 0,25% dan deksametason 8 mg pada blok TAP. Penelitian menggunakan uji klinis acak terkontrol buta tunggal, dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung pada bulan Oktober–Desember 2017. Pasien dibagi menjadi grup bupivakain 0,25% (grup B, n=20) dan grup kombinasi bupivakain 0,25% deksametason 8 mg (grup BD, n=20). Uji statistik menggunakan uji-t berpasangan, Uji Wilcoxon, dan uji chi-square. Hasil penelitian mengungkapkan waktu kebutuhan analgesik pertama lebih lama pada grup BD (866,45±98,11 menit) dibanding dengan grup B (352,75±43,32 menit) dengan perbedaan signifikan (p<0,05). Median skor nyeri  pascahisterektomi grup BD pada 4 jam (1), 6 jam (2), 12 jam (2), dan 24 jam (2) lebih rendah dibanding dengan grup B dengan median skor nyeri 4 jam (2), 6 jam (3), 12 jam (4), dan 24 jam (3), dengan perbedaan signifikan (p<0,05). Simpulan penelitian ini adalah kombinasi bupivakain 0,25% dan deksametason 8 mg pada blok TAP menghasilkan waktu kebutuhan analgesik pertama lebih lama dan skor nyeri pascahisterektomi lebih rendah dibanding dengan bupivakain 0,25%.Kata kunci: Blok transversus abdominis plane, deksametason, skor nyeri, waktu kebutuhan analgesik pertamaComparison between 0.25% Bupivacaine  and Combination of 0.25% Bupivacaine and 8 mg Dexamethasone  on Transversus Abdominis Plane Block Ultrasound-guided as Post- Hysterectomy Analgesia Analgesia for  anterior and lateral abdominal walls can be provided through transversus abdominis plane (TAP) block. This study aimed to evaluate the timing of first analgesic requirement and post- hysterectomy pain scores at 2, 4, 12, 24 hours between 0.25% bupivacaine and combination of 0.25% bupivacaine and 8 mg dexamethasone on TAP block. This was a randomized single-blind controlled trial study on patients Dr. Hasan Sadikin Hospital (RSHS) Bandung in the period of October–December 2017. Patients were randomly divided into 0.25% bupivacaine (B group, n=20) and o0.25% bupivacaine 8 mg dexamethasone combination (BD group, n=20). Statistical test was performed using paired t test, Wilcoxon test, and chi-square test. It was revealed that the time to first analgesic requirement was longer in BD group (866.45±98.11 minutes) than in B group (352.75±43.32 minutes) with a significant difference (p<0.05). The post-hysterectomy pain score medians in BD group at 4 hours (1), 6 hours (2), 12 hours (2), and 24 hours (2) were lower than those of B group with a significant difference (p<0.05). Therefore, 0.25% bupivacaine and 8 mg dexamethasone combination for ultrasound-guided TAP block presents longer time to first analgesic requirement and lower pain score compared to  0.25%. bupivacaine Key words:  Dexamethasone, pain  score, time  to  first  analgesic requirement,   transversus abdominis plane  block 
Perbandingan Intubasi Endotrakea Menggunakan Clip-on Smartphone Camera Videolaryngoscope dengan Laringoskop Macintosh pada Manekin Fariz Wajdi Latuconsina; Dedi Fitri Yadi; Suwarman Suwarman
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 1 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (930.841 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n1.1287

Abstract

Intubasi endotrakea merupakan gold standard dalam manajemen jalan napas. Teknik laringoskopi direk merupakan teknik yang sulit sehingga berpotensi menyebabkan kegagalan khususnya pada orang yang tidak berpengalaman. Tujuan penelitian ini menilai keberhasilan, lama waktu, dan kemudahan intubasi endotrakea pada manekin menggunakan clip-on smartphone camera videolaryngoscope dibanding dengan laringoskop Macintosh. Penelitian dilakukan menggunakan metode crossover randomized study melibatkan 23 orang mahasiswa kedokteran di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Oktober 2017. Dari penelitian ini didapatkan keberhasilan intubasi endotrakea menggunakan clip-on smartphone camera videolaryngoscope lebih tinggi (96%) dibandingkan dengan menggunakan laringoskop Macintosh (65%). Lama waktu intubasi endotrakea rata-rata juga terbukti lebih singkat menggunakan clip-on smartphone camera videolaryngoscope (32 detik) dibanding dengan laringoskop Macintosh (52 detik). Intubasi endotrakea menggunakan clip-on smartphone camera videolaryngoscope lebih mudah (4) dibanding dengan menggunakan laringoskop Macintosh (6). Ketiga variabel menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p<0,05. Simpulan, penggunaan clip-on smartphone camera video laryngoscope untuk intubasi endotrakea memiliki keberhasilan yang lebih tinggi, lama waktu intubasi endotrakea yang lebih singkat, dan intubasi endotrakea yang lebih mudah dibanding dengan menggunakan laringoskop Macintosh.Kata kunci: Clip-on smartphone camera videolaryngoscope, intubasi  endotrakea, laringoskopi direk, video-laryngoscope