Dedi Fitri Yadi
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran /Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 48 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Jarak antara Saraf Femoralis dan Arteri Femoralis pada Daerah Lipat Inguinal Orang Dewasa dengan Menggunakan Pencitraan Ultrasonografi untuk Panduan Letak Penyuntikan Blokade Saraf Femoralis Nur Intan Nasution; Dedi Fitri Yadi; A. Muthalib Nawawi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 3, No 3 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (529.528 KB)

Abstract

Blokade saraf femoralis merupakan salah satu metode blokade saraf perifer yang digunakan untuk memfasilitasi operasi ekstremitas bawah. Blokade femoralis memiliki efek analgesia perioperatif yang efektif dengan sedikit efek samping sistemik, penurunan kebutuhan opioid serta mobilisasi lebih awal dan murah. Arteri femoralis digunakan sebagai penanda anatomis pada blokade saraf femoralis karena letaknya berdekatan dengan saraf femoralis. Penelitian ini bertujuan mengetahui jarak titik tengah saraf femoralis terhadap titik tengah arteri femoralis di daerah lipatan inguinal orang dewasa menggunakan pencitraan ultrasonografi untuk membantu keberhasilan blokade saraf femoralis. Metode penelitian adalah deskriptif analisis. Penelitian dilakukan terhadap 43 subjek sukarelawan berusia 18–60 tahun dengan indeks massa tubuh normal. Penelitian telah dilakukan bulan September–Oktober 2014 di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Unpad dan Central Operating Theatre (COT) lantai 4 Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Analisis data menggunakan Uji Mann-Whitney dan uji t. Hasil penelitian, jarak rata-rata titik tengah arteri femoralis terhadap titik tengah saraf femoralis pada laki-laki  1,075±0,13 cm dan pada perempuan 1,069±0,13 cm. Simpulan penelitian, jarak arteri femoralis dan saraf femoralis 1,07 cm lateral terhadap arteri femoralis. Kata kunci: Blokade saraf femoralis, saraf femoralis, ultrasonografiDistance between Femoral Nerve and the Femoral Artery at the Level of Inguinal Crease with Ultrasound as a Guid for Femoral Nerve Block InjectionAbstractThe femoral nerve block is one the peripheral nerve block methods that are used to falicitate lower extremity surgical procedures. The advantages of femoral nerve block include an effective perioperative analgesia with minimum systemic side effects, lower dosage of opioids, early mobilization and cost effective. This study aimed to measure the distance from the mid point of the femoral nerve to the mid point of the femoral artery at the level of inguinal crease of adults with ultrasound guidance that will determine the success rate of femoral nerve block. A descriptive analytic study involving 43 volunteer subjects aged 18–60 years was performed at the Anesthesiology and Intensive Care Department of the Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran and Central Operating Theatre (COT) of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung between September and October 2014. Statistical analysis are using Mann-Whitney test and independent t-test. Results showed that the average distance from the mid point of the femoral nerve to the mid point of the femoral artery in male was 1.075±0.13 cm and in female was 1.069±0.13 cm. This study  conclude that the average distance of femoral artery to the femoral nerve is 1.07 cm lateral to the femoral artery. Key words: Femoral nerve, femoral nerve block, ultrasonography DOI: 10.15851/jap.v3n3.610
Penggunaan Teknik Obat dan Permasalahan Blokade Epidural di Wilayah Jawa Barat pada Tahun 2015 Muhammad Ibnu; Dedi Fitri Yadi; Ezra Oktaliansah
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 3 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (685.823 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n3.1171

Abstract

Blokade epidural merupakan salah satu jenis anestesi regional yang memiliki rentang implikasi lebih luas dibanding dengan blokade spinal. Perbedaan teknik maupun rejimen obat untuk blokade epidural meningkat seiring dengan meningkatnya ketertarikan di bidang anestesi regional dikarenakan teknik anestesi regional memberikan efek analgesi yang efektif tanpa memengaruhi kesadaran pasien dan meningkatkan kenyamanan pasien. Tujuan penelitian ini mencari data mengenai penggunaan, teknik, rejimen obat, dan permasalahan yang dialami oleh dokter anestesi di Jawa Barat dalam melakukan blokade epidural. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus hingga September 2016 di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pengambilan data menggunakan kuesioner dan pendekatan cross sectional. Kuesioner dikirimkan kepada 120 dokter spesialis anestesi di Jawa Barat melalui jasa pos dan 30 kuesioner diberikan langsung kepada dokter spesialis anestesi yang bekerja di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Angka respons yang didapatkan sebesar 47,3%. Hasil penelitian ini didapatkan dokter spesialis anestesi yang masih melakukan blokade epidural pada tahun 2015 sebesar 73,2%, teknik penusukan yang paling banyak dilakukan adalah pendekatan midline sebesar 73%, dan identifikasi rongga epidural paling banyak dengan pendekatan lost of resistance sebesar 80,7%. Obat anestesi lokal yang paling banyak digunakan untuk blokade epidural adalah bupivakain sebesar 95,9%. Adjuvan yang paling banyak digunakan adalah fentanil sebesar 92,3%. Permasalahan yang berkaitan dalam pelaksanaan tindakan blokade epidural pada tahun 2015 paling banyak adalah permasalahan staf di ruangan dalam membantu menangani pasien dengan epidural, yaitu sebesar 38,03%.Epidural Blockade Administration Technique and Issues in West Java in 2015Epidural blockade is one of the regional anesthesia techniques with wider implication than the spinal blockade. The techniques and drug regimens used in epidural blockade vary with the increasing interest on regional anesthesia due to its effective analgesic effect without decreasing consciousness and by increasing patients’ comfort. The purpose of this study was to explore the use, techniques, drug regimens, issues experienced by anesthesiologists in West Java in performing epidural blockade. This study was conducted from August to September 2016 at the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy, Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung. This was a cross-sectional descriptive study using a questionnaire. Questionnaires were mailed  to 120 anesthesiologists in West Java area and 30 additional questionnaires were distributed directly to anesthesiologists working at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. The response was  47.3%. This study showed that 73.2% anesthesiologists performed epidural blockade in 2015, with 73% used the midline approach and 80.7% used the loss of resistance method to identify the epidural space. The majority used bupivacaine (95.5%) as the local anesthetics. The most frequently used adjuvant was fentanyl (95.9%). The most frequently mentioned problem associated with epidural blockade in 2015 was the lack of staff’s ability to assist the anesthesiologist in performing epidural blockade (38.03%).
Perbandingan Penggunaan Jarum Sudut Tumpul dengan Jarum Tuohy untuk Transversus Abdominis Plane Block terhadap Penyebaran Anestetik Lokal pada Operasi Ginekologi Aris Darmoko; Dedi Fitri Yadi; Tinni Trihartini Maskoen
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 3, No 2 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1452.744 KB)

Abstract

Transversus abdominis plane block (TAPB) merupakan salah satu teknik anestesia regional untuk memblokade nyeri saat dilakukan sayatan kulit di dinding abdomen. Penelitian ini bertujuan membandingkan penggunaan jarum sudut tumpul dengan jarum tuohy untuk TAPB terhadap penyebaran anestetik lokal pada operasi ginekologi. Jenis penelitian eksperimental dengan uji acak terkontrol buta tunggal dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Juli–Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan terhadap 30 wanita berusia 18–60 tahun dengan status fisik American Society of Anesthesiologists (ASA) I–II yang menjalani operasi ginekologi dalam anestesi umum. Penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu jarum sudut tumpul dan jarum tuohy. Teknik TAPB dilakukan di kedua sisi abdomen menggunakan 20 mL bupivakain 0,125%. Sebelum dan sesudah TAPB dilakukan pencitraan ultrasonografi untuk membandingkan penyebaran anestetik lokal. Analisis statistika menggunakan Uji Mann-Whitney dan uji Z. Hasil penelitian ini menunjukkan penyebaran anestetik lokal pada kelompok jarum sudut tumpul 50% dan pada kelompok jarum tuohy 26,7% secara statistika berbeda bermakna (p<0,05). Simpulan, pada operasi ginekologi dengan teknik TAPB penggunaan jarum sudut tumpul lebih baik dibanding dengan jarum tuohy terhadap penyebaran anestetik lokal.Kata kunci: Jarum tuohy, jarum sudut tumpul, penyebaran anestetik lokal, transversus abdominis plane blockComparison between Short Bevel Needle and Tuohy Needle Use in Transversus Abdominis Plane Block on Local Anesthetic Spread During  Gynecological SurgeriesTranversus abdominis plane block (TAPB) is one of the regional anesthesia techniques which enable multimodal analgesia involving skin incision in abdominal wall. This study aimed to compare the use of short bevel needle and tuohy needle for TAPB on the spread of local anesthetics in gynecological surgeries through a experimental randomized single blind trial. This study was conducted in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung on July–August 2014 to 30 woman between 18–60 years with the American Society of Anesthesiologists (ASA) physical status I–II underwent gynecological surgery under general anesthesia. The subjects were divided into 2 groups, short bevel needle and tuohy needle groups. The block was given on both sides of the abdomen using 20 mL of bupivacaine 0.125%. Before and after TAPB, an ultrasonography was performed to assess the spread of local anesthetics. Mann Whitney and Z test were used for statistical analysis. The results showed the spread of local anesthetic with short bevel needle was 50%, and with tuohy needle was 26.7%, the difference based on statistical analysis was significant (p<0.05). In conclusions, the use of dull angle needle is better than tuohy needle in the spread of local anesthetics in TAPB in patients undergo gynecological surgeries.Key words: Local anesthetic spreading, transversus abdominis plane block, short bevel needle,  tuohy needle DOI: 10.15851/jap.v3n2.575
Penentuan Garis Interkrista Iliaka terhadap Vertebra dengan Teknik Palpasi untuk Kepentingan Blokade Neuroaksial yang Diproyeksikan oleh Pencitraan Ultrasonografi Rian Safirta; Dedi Fitri Yadi; Abdul Muthalib Nawawi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 3, No 1 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Blokade neuroaksial membutuhkan penanda anatomis sebagai panduan letak penyuntikan. Salah satu penanda anatomis yang dipakai adalah garis interkrista iliaka atau garis Tuffier. Berbagai penelitian menunjukkan variabilitas letak garis interkrista iliaka terhadap vertebra. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui letak garis interkrista iliaka yang dibentuk dengan teknik palpasi terhadap vertebra menggunakan pencitraan ultrasonografi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kategorik yang dilakukan secara prospektif observasional terhadap 56 subjek di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dari bulan Januari hingga Februari 2014. Setiap subjek penelitian dilakukan pencatatan usia dan jenis kelamin kemudian dilakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan indeks massa tubuh. Setelah itu ditentukan garis interkrista iliaka masing-masing subjek penelitian dan dilakukan pencitraan menggunakan ultrasonografi untuk menentukan proyeksi terhadap vertebra. Data dikelompokkan secara kategorik sesuai parameter yang diukur sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar proyeksi garis interkrista iliaka terhadap vertebra adalah setinggi lumbar 3 yang didapatkan pada subjek penelitian laki-laki dengan karakteristik tinggi badan di atas rata-rata tinggi badan orang Indonesia. Simpulan penelitian adalah jenis kelamin dan tinggi badan memengaruhi letak proyeksi dari garis interkrista iliaka terhadap vertebra pada subjek.Kata kunci: Blokade neuroaksial, garis Tuffier, ultrasonografiThe Intercristal Line Location Identified by Palpation Towards Vertebrae for Neuraxial Blockade as Measured by Ultrasound Imaging AbstractIn order to perform neuraxial block, a marker is needed as a puncture guide. One of the markers used worldwide is the intercristal line or Tuffier’s line. Many studies have shown that the line location in vertebrae is variable; hence this study was conducted to identify the intercristal line location through palpation towards the vertebrae in Indonesian people, which was measured by ultrasound imaging. This study was a categorical descriptive research conducted prospectively towards 56 people who met the inclusion criteria in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from January to February 2014. The subject’s age, sex, height, and weight were directly measured and recorded and body mass index was also calculated. The intercristal line was then drawn and ultrasonography was performed to identify the vertebral level of the line. The results were categorized according to the previous parameters. It was shown that most of the intercrestal lines  were located in lumbar 3 and they were mostly in men with above average height. In conclusion, sex and height are some of the factors that affect the intercristal line location towards the vertebraKey words: Neuraxial block, Tuffier’s line, ultrasound imaging DOI: 10.15851/jap.v3n1.380  
Perbandingan Laringoskopi Indirek Kaca Laring dengan Laringoskopi Indirek Video Smartphone dalam Menilai Visualisasi Laring dan Kenyamanan Pasien Paulus Sulistiono; M. Andy Prihartono; Dedi Fitri Yadi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (628.75 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n2.1254

Abstract

Salah satu pemeriksaan preoperatif yang dapat digunakan sebagai prediktor kesulitan intubasi adalah laringoskopi indirek.  Penelitian ini bertujuan menilai visualisasi laring dan kenyamanan pasien antara laringoskopi indirek kaca laring dan laringoskopi indirek video smartphone. Penelitian menggunakan  metode prospective randomized parallel trial, dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung pada bulan November–Desember 2017. Pasien dibagi menjadi kelompok laringoskopi indirek kaca laring (kelompok LIKL, n=22) dan kelompok laringoskopi indirek video smartphone (kelompok LIVS, n=22). Uji statistik menggunakan Uji Mann-Whitney. Hasil penelitian mengungkapkan visualisasi laring lebih jelas pada kelompok LIVS (1,73 SD±0,77) dibanding dengan kelompok LIKL (2,50 SD±0,86) dengan perbedaan signifikan (p<0,05). Kenyamanan yang lebih baik pada kelompok LIVS (skala di atas 5) dibanding dengan kelompok LIKL (skala di atas 5) dengan perbedaan signifikan (p<0,05). Simpulan penelitian ini adalah visualisasi laring dan kenyamanan pasien pada laringoskopi indirek dengan video smartphone lebih baik bila dibanding dengan laringoskopi indirek kaca laring.Kata kunci: Kaca laring, kesulitan intubasi, laringoskopi indirek, video smartphone  Comparison between Indirect Laryngoscopy Laryngeal Mirror and Indirect Laryngoscopy Smartphone Video in Evaluating Laryngeal Visualization and Patient ComfortIndirect laryngoscopy is an examination modality which can be performed during pre-operative phase as a predictor of difficult intubation. The purpose of this study was to compare indirect laryngoscopy using laryngeal mirror and indirect laryngoscopy using smartphone video in evaluating laryngeal visualization and providing convenience to patients during the examination procedure. This prospective randomized parallel trial was conducted at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from November to December 2017. Patients were assigned to two study groups: those who underwent indirect laryngoscopy using laryngeal mirror (LIKL group, n=22) and those who underwent indirect laryngoscopy using smartphone video (LIVS group, n=22). Mann-Whitney test was utilized as the statistical test method. Result of this study showed that laryngeal visualization was significantly superior in LIVS group compared to LIKL group (1.73 SD±0.77 vs 2.50 SD±0.86, respectively, p value<0.05). Patient comfort was significantly superior in LIVS group compared to LIKL group (comfort score above 5 vs comfort score above 5, respectively, p value <0.05). Therefore, it is concluded that laryngeal visualization using indirect langryngoscopy with smartphone video is more comfortable than the one that uses direct laryngoscopy with laryngeal mirror.Key words: Difficult intubation, indirect laryngoscopy, laryngeal mirror, smartphone video
Blok Aksilar pada Pasien Pseudoaneurisma pada Antebrakii Sinistra yang Disertai Gagal Ginjal Terminal Yunita Susanto Putri; Dedi Fitri Yadi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1225.265 KB)

Abstract

Pada pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis dapat terjadi pseudoaneurisma di tempat dilakukannya pintasan arteri vena. Gagal ginjal terminal dapat memengaruhi sistem tubuh yang lain. Hampir semua obat dieksresikan melalui ginjal dan hampir semua obat anestesi menurunkan aliran darah ginjal, glomerular filtration rate, dan produksi urin. Blok aksilar adalah salah satu blok pleksus brakialis yang banyak dilakukan dan dapat menghasilkan blok sempurna untuk prosedur operasi yang dilakukan pada bawah siku tangan. Pada laporan kasus ini, seorang wanita berusia 62 tahun dengan pseudoaneurisma pada pergelangan tangan kiri akibat pintasan arteri vena untuk akses hemodialisis dilakukan evakuasi hematoma dan ligasi arteri radialis sinistra dalam anestesi blok aksilar di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Agustus 2012. Pasien datang dengan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 170/80 mmHg, nadi teraba 85 kali per menit kuat regular dengan isi cukup dan saturasi oksigen 96% dengan udara bebas. Operasi berlangsung selama satu setengah jam dengan keadaan pasien durante operasi tetap stabil. Penanganan anestesi pada pasien dengan gagal ginjal terminal membutuhkan pemahaman perubahan patologis yang berhubungan dengan penyakit ginjal, kondisi medis lain yang menyertai, dan farmakokinetik obat-obatan yang digunakan. Penanganan yang optimal dilakukan untuk meminimalisasi kerusakan ginjal yang telahterjadi sebelumnya.Kata kunci: Blok aksilar, gagal ginjal terminal, pseudoaneurismaAxillary Block on a Patient with Pseudoaneurism on Left Antebrachii with Terminal Renal FailurePatients with end stage renal disease on hemodialysis often developed pseudoaneurysm in the artery venous shunt area. End stage renal disease is a multisystem disease. Most drugs were excreted through the kidney and most anesthesia drugs have the potential in reducing renal blood flow, glomerular filtration rate and urine production. Axilary block is one of the plexus brachialis block commonly used and provide excellent blockade for under elbow procedures. A 62 year old woman with pseudoaneurysm in the right wrist underwent artery venous shunt procedure for hemodialysis. In this patient, hematoma evacuation was performed and left artery radial was ligated under axilary block anesthesia at Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung August, 2012. Patient was alert with blood pressure 170/80 mmHg, pulse rate 85x/minutes and oxygen saturation 96% on free air. The procedure was performed within about one and half hour, and patient was stable. Anesthesia management in end stage renal disease patient requires an understanding of< the pathological changes accompany renal disease, other medical conditions and pharmacokinetics of the used drugs. Optimal management was done to minimalize kidney damage occured previously.Key words: Axilary block, end stage renal disease, pseudoaneurysm DOI: 10.15851/jap.v2n1.239
Anesthesia Management of Oculocardiac Reflex in Strabismus Surgery: A Case Study Diva Zuniar Ritonga; Dedi Fitri Yadi; Muhamad Adli
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 9, No 1 (2021)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v9n1.2388

Abstract

There are various types of eye surgery with each requires special attention in anesthesia management. Strabismus surgery has several risks that need to be considered; one of which is oculocardiac reflex. The oculocardiac reflex is a condition characterized by decreased heart rate caused by the pressure on the globe or by traction on the extraocular muscles and conjunctiva or the orbital structures. This reflex can manifest as an asystole if left untreated. This is a case report of a 19-year-old male with ASA classification 1 presented with esotropia of left and right eyes. General anesthesia was used for anesthesia with 100 mcg fentanyl, 100 mg propofol, and 25 mg atracurium for induction and, for airway management, LMA size 3 was used. Sevoflurane 2–3 vol% with oxygen and nitrous oxide was given as maintenance. During the surgery, the heart rate dropped to 35 beats per minute when the operator pulled the medial rectus muscle in the first eye. The surgery was then paused and the heart rate was incrementally increased to 65 beats per minute without any other intervention. Then, as the operator pulled the medial rectus muscle in the second eye, the heart rate decreased to 55 beats per minute and the surgery continued with the heart rate slowly increased without any intervention. The remaining surgery time was uneventful. Knowledge and early intervention of oculocardiac reflex conditions should be well understood by all anesthesiologist to avoid more catastrophic conditions. Manajemen Anestesi untuk Reflek Okulokardiak pada Operasi Strabismus: Laporan KasusTerdapat banyak jenis operasi pada mata, setiap operasi membutuhkan penanganan anestesi yang khusus. Operasi strabismus memiliki beberapa risiko yang perlu menjadi perhatian, salah satunya adalah refleks okulokardiak. Refleks okulokardiak merupakan konisi yang ditandai dengan penurunan denyut jantung disebabkan oleh tekanan pada bola mata atau penarikan pada otot-otot ekstraokular pada konjungtiva atau strukur orbita. Tanpa penanganan refleks ini dapat menyebabkan asistol. Sebuah laporan kasus mengenai laki-laki 19 tahun dengan klasifikasi ASA 1, dengan esotropi pada kedua mata yang akan dilaksanakan operasi strabismus. Anestesi umum dilaksanakan dengan obat-obat induksi fentanil 100 mcg, propofol 100 mg, dan atrakurium 25 mg, LMA ukuran 3 digunakan untuk managemen jalan napas. Sevofluran 2–3% dengan oxygen dan nitrous oxide digunakan untuk rumatan. Sewaktu operasi denyut nadi menurun sampai 35 kali per menit ketika operator menarik otot medial rektus pada mata pertama, kemudian operasi diminta dihentikan sementara, kemudian denyut nadi meningkat perlahan kembali ke 65 kali per menit tanpa pemberian intervensi lain. Kemudian, ketika operatot menarik otot medial rektus pada mata kedua denyut jantung menurun ke 55 kali per menit, operasi dilanjutkan dan denyut jantung meningkat tanpa intervensi lain. Operasi berlangsung tanpa kejadian lain. Pengetahuan dan penanganan awal kondisi refleks okulokardiak perlu diketahui oleh dokter anestesi untuk mencegah kondisi yang lebih berbahaya.
Korelasi antara Panjang Garis Sternoakromion dan Titik Penyuntikan Blokade Pleksus Brakialis pada Anestesi Vertical Infraclavicular Block Menggunakan Pencitraan Ultrasonografi pada Pria Dewasa Dedi Fitri Yadi; Ike Sri Redjeki; Tatang Bisri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 1 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (520.913 KB) | DOI: 10.15851/jap.v4n1.739

Abstract

Anestesi regional untuk operasi di daerah lengan bawah dapat dilakukan blokade pleksus brakialis vertikal infraklavikula. Penelitian ini bertujuan menemukan korelasi antara panjang garis sternoakromion dan letak penyuntikan menggunakan pencitraan ultrasonografi untuk vertical infraclavicular block (VIB) pada pria dewasa. Penelitian potong lintang dengan mengukur titik tengah garis antara fosa jugularis dan akromion pada 48 pria dewasa. Pencitraan ultrasonografi dilakukan menggunakan probe linear untuk menentukan letak penyuntikan. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Oktober 2011–Januari 2012. Hasil pengukuran didapatkan panjang garis sternoakromion kanan rata-rata 18,35±1,16 cm. dan kiri 18,39±1,22 cm. Titik tengah sternoakromion kanan rata-rata 9,18±0,59 cm dan kiri 9,19±0,61 cm. Jarak letak titik penyuntikan menggunakan ultrasonografi kanan 9,41±0,7 cm dan kiri 9,46±0,72. Terdapat korelasi positif (r kanan=0,874 dan r kiri=0,862) antara garis sternoakromion dan jarak letak titik penyuntikan menggunakan pencitraan ultrasonografi.Kata kunci: Blokade vertikal infraklavikular, letak penyuntikan blokade infraklavikular, pencitraan ultrasonografi Correlation between the Sternoacromion Line Length and Plexus Brachialis Vertical Infraclavicular Block Injection Site Using Ultrasonography Scan on Adult MalesAbstractSurgery on the lower part of the arm can be managed by brachial plexus vertical infraclavicular block. Needle placement for vertical infraclavicular block is not always at the midpoint of the sternoacromion line. The aim of this study was to find the correlation between sternoacromion length and needle placement using ultrasond scan for vertical infraclavicular block on adults males. This was a cross sectional study measuring the midlle point of sternoacromion line on 48 adult male volunteers whom never had any injury or operation on shoulder areas. Linear probe ultrasound was used to determine the needle placement. This study was conducted in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung within the period of October 2011–January 2012. Pearson correlation test and linear regression were used to analyze the data. Result of this study showed an average right strernoacromion length of 18.35±1.16 cm, an average left sternoacromion leght of 18.39±1.22 cm, an average midpoint right sternoacromion of 9.18±0.59 cm, and an average midmpoint left sternoacromion of 9.19±0.61. The average ultrasound right point was 9.41 cm and 9.46 cm for the left point. Hence, thereare significant correlations (r right=0.874, r left=0.862) between sternoacromion length and ultrasound injection point for vertical infraclavicular block.Key words: Injection site for infraclavicular block, ultrasound scan, vertical infraclavicular block DOI: 10.15851/jap.v4n1.739
Efek Pemberian Magnesium Sulfat 45 Mg/kgBB terhadap Kualitas Tindakan Intubasi Endotrakeal Tanpa Obat Pelumpuh Otot dan Perubahan Respons Hemodinamik Fatima Fatima; Erwin Pradian; Dedi Fitri Yadi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (14.027 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1590

Abstract

Intubasi endotrakeal merupakan tindakan berisiko tinggi yang menghasilkan stimulasi adrenergik. Intubasi endotrakeal menggunakan obat pelumpuh otot sebagai standar baku dapat menimbulkan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan rekurisasi pascabedah. Intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot ditujukan untuk prosedur pembedahan yang singkat, membutuhkan identifikasi saraf, dan terdapat kontraindikasi pemberian obat pelumpuh otot. Tujuan penelitian ini mengkaji pemberian magnesium sulfat 45 mg/kgBB terhadap kualitas intubasi dan respons hemodinamik pada tindakan intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental secara acak buta ganda yang dilakukan secara prospektif terhadap 42 subjek penelitian yang menjalani prosedur pembedahan dengan anestesi umum di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin, Bandung pada bulan April–Juli 2018. Pada penelitian ini, data numerik diuji dengan uji t tidak berpasangan, sedangkan data kategorik diuji dengan uji chi-square dan Mann Whitney. Hasil penelitian menunjukkan kualitas intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot lebih baik dengan disertai penurunan respons hemodinamik pada kelompok yang diberikan magnesium sulfat 45 mg/kgBB dibanding dengan kelompok kontrol (p<0,05). Simpulan, pemberian magnesium sulfat 45 mg/kgBB meningkatkan kualitas tindakan intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot yang dinilai menggunakan skor Copenhagen dan menurunkan respons hemodinamik pada tindakan intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuhotot.Effect of 45 mg/kgBW Magnesium Sulphate on Quality of Endotracheal Intubation without Neuromuscular Blocking Agents and Change in Hemodynamic ResponsesEndotracheal intubation is a high-risk procedure that can stimulate adrenergic response. Neuromuscular blocking agent is used to facilitate endotracheal intubation but it has undesirable effects such as anaphylactic reaction and postoperative recurarization. This technique is indicated for short surgical procedures, requires nerve identification, and is contraindicated for neuromuscular blocking agent. The purpose of this study was to review the effect of 45 mg/kgBW magnesium sulphate to the quality of intubation and hemodynamic responses in endotracheal intubation without neuromuscular blocking agent. This was a prospective double blind experimental study conducted on 42 research subjects  underwent surgical procedures under general anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital, Bandung in the period of April–July 2018. In this study, numerical data were tested by unpaired t test. Categorical data were tested by chi-square and Mann Whitney tests. The results showed that the quality of endotracheal intubation without neuromuscular blocking agent improved with minimum hemodynamic changes in the group receiving 45 mg/kgBW magnesium sulphate (p<0.05). It is concluded that 45 mg/kgBW magnesium sulphate improves intubating quality assessed using Copenhagen score and decreases hemodynamic responses to endotracheal intubation without neuromuscular blocking agents.
Gambaran Letak Saraf Radialis, Ulnaris, Medianus, dan Muskulokutaneus terhadap Arteri Aksilaris di Aksila Menggunakan Pencitraan Ultrasonografi Heni Herliani Listianto; Dedi Fitri Yadi; Rudi Kurniadi Kadarsah
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 2 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (635.383 KB)

Abstract

Blokade aksiler merupakan pilihan anestesi untuk operasi lengan bawah dan tangan dengan angka keberhasilan beragam berkaitan dengan variasi letak target saraf yang dibuktikan pada penelitian di luar negeri menggunakan pencitraan ultrasonografi (USG). Sampai sekarang tidak ada publikasi penilaian variasi letak saraf-saraf tersebut di Indonesia. Penelitian deskriptif observasional-cross sectional dilakukan pada 75 relawan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada November–Desember 2014 untuk mengkaji letak saraf radialis, ulnaris, medianus, dan muskulokutaneus terhadap arteri aksilaris di aksila menggunakan pencitraan USG. Letak saraf pada kedua aksila dicatat menggunakan acuan lingkaran 12 sektor berpusat pada arteri aksilaris. Analisis data menggunakan Uji Sapiro-Wilk, Mann-Whitney dan Wilcoxon, serta diolah dengan SPSS versi 21.0. Analisis 150 hasil pencitraan USG menunjukkan saraf medianus berada di superior, yaitu sektor 12 (75%), 11 (23%), dan 1 (2%). Saraf ulnaris di medial, yaitu sektor 9 (67%), 8 (31%), dan 10 (2%). Saraf radialis di inferomedial, yaitu sektor 7 (78%), 8 (16%), dan 6 (6%). Saraf muskulokutaneus di lateral, yaitu sektor 4 (89%), 5 (8%), dan 3 (3%). Simpulan penelitian adalah letak saraf radialis, ulnaris, medianus, dan muskulokutaneus bervariasi. Variasi letak saraf radialis, ulnaris, dan medianus ditemukan pada lebih dari seperempat subjek, sedangkan hanya sepersepuluh subjek memiliki variasi letak saraf muskulokutaneus.Kata kunci: Arteri aksilaris, letak saraf, medianus, muskulokutaneus, radialis, ulnaris, ultrasonografiUltrasonographic Assessment of Radial, Ulnar, Median and Musculocutaneous Nerves Location to the Axillary Arteryat the AxillaAxillary block is one of anesthesia technics for arm and hand surgery with varied success rates due to location variations of the targeted nerves. This has been proven by many prior studies under surface ultrasonography (USG) in many countries. Until currently, no similar study has been conducted in Indonesia. This descriptive observational–cross sectional study was performed on 75 volunteers in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in November–December 2014 to describe the locations of radial, ulnar, median, and musculocutaneous nerves to the axillary artery using USG. The locations of those nerves at the axilla were converted into a 12-section pie-chart with the axillary artery as the axis. Data were analyzed using Sapiro-Wilk, Mann-Whitney, and Wilcoxon tests and processed using SPPS 21.0 version. Assessment of 150 USG scans revealed that the median nerves are located superior to the axillary artery, i.e. in sector 12 (75%), 11 (23%), and 1 (2%). Ulnar nerves are located in the medial, i.e. in sector 9 (67%), 8 (31%), and 10 (2%). Radial nerves are located in the infero-medial, i.e. in sector 7 (78%), 8 (16%), and 6 (6%). Musculocutaneous nerves are located in the lateral, i.e. in sector 4 (89%), 5 (8%), and 3 (3%). It is concluded from this study that varied locations of radial, ulnar, median nerves are found in a quarterof subjects whereas only one tenth of the subjects have varied muculocutaneous nerves locations.Key words: Axillary artery,median, musculocutaneous, nerve location, radial, ulnar, ultrasonography DOI: 10.15851/jap.v4n2.824