Arifeen Yama
Chulalongkorn University

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Study of Corporal Punishment in Schools in Indonesia, 1966-2014 Nasution Nasution; Sugeng Harianto; Esa Putra Bayu Gusti Gineung Patridina; Izzatul Fajriyah; FX Sri Sadewo; Wasino; Arifeen Yama
Paramita: Historical Studies Journal Vol. 35 No. 1 (2025): History of Education
Publisher : istory Department, Faculty of Social Sciences, Universitas Negeri Semarang in collaboration with Masyarakat Sejarawan Indonesia (Indonesian Historical Society)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v35i1.16118

Abstract

Abstract: This study investigates the practice of corporal punishment in Indonesian schools across three major political periods—Sukarno, the New Order, and the Reform era—before implementing the Child-Friendly School Policy in 2014. Employing a historical method within a case study framework, this research draws on in-depth interviews with six purposively selected individuals who experienced corporal punishment during their school years. Findings reveal that corporal punishment was normalized in earlier eras to instill obedience and maintain classroom order. During the Sukarno and New Order periods, such punishment—ranging from beatings with rattan sticks and rulers to forced labor and public humiliation—was harsh and widespread. In contrast, the Reform era marked a gradual shift toward less severe and more symbolic punitive practices, reflecting the growing influence of child rights discourses. The introduction of the Child-Friendly School Policy in 2014 served as a pivotal policy intervention, significantly reducing the prevalence and severity of corporal punishment. Nonetheless, residual practices persist, indicating a gap between regulatory frameworks and actual implementation at the school level. This study highlights the urgent need for comprehensive pedagogical reform and targeted teacher training to eradicate corporal punishment and foster child-centered, non-violent educational environments. Abstrak: Penelitian ini mengkaji praktik hukuman fisik di sekolah-sekolah Indonesia pada tiga era politik yang berbeda—Era Sukarno, Orde Baru, dan Reformasi—sebelum diterapkannya Kebijakan Sekolah Ramah Anak pada tahun 2014. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan desain studi kasus, serta melibatkan enam informan yang secara purposif dipilih karena memiliki pengalaman menerima hukuman fisik selama masa sekolah. Temuan menunjukkan bahwa hukuman fisik diterima secara luas dan dianggap normal pada era sebelumnya sebagai upaya pendisiplinan untuk menanamkan kepatuhan dan ketertiban. Pada masa Sukarno dan Orde Baru, praktik hukuman fisik seperti pukulan dengan rotan atau penggaris, kerja fisik paksa, dan penghukuman yang bersifat mempermalukan sangat lazim dan cenderung keras. Sebaliknya, pada era Reformasi terjadi pergeseran menuju bentuk hukuman yang lebih simbolik dan tidak terlalu berat, seiring dengan meningkatnya pengaruh wacana hak anak. Penerapan Kebijakan Sekolah Ramah Anak menjadi titik balik penting dalam mengurangi frekuensi dan intensitas praktik ini. Namun demikian, beberapa bentuk hukuman fisik tetap bertahan, yang menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan dan praktik di lapangan. Studi ini menekankan perlunya reformasi pedagogis yang menyeluruh serta pelatihan guru untuk menghapuskan hukuman fisik dan mendorong terciptanya lingkungan pendidikan yang berpusat pada anak dan bebas dari kekerasan.
Kazakh Ethnogenesis and The Formation of Turkic Identity in Central Asia: A Historical and Cultural Analysis Arifeen Yama; Wasino
Paramita: Historical Studies Journal Vol. 35 No. 2 (2025): Military History
Publisher : istory Department, Faculty of Social Sciences, Universitas Negeri Semarang in collaboration with Masyarakat Sejarawan Indonesia (Indonesian Historical Society)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v35i2.24979

Abstract

Abstract: As a representative ethnos of the broader Turkic world in Central Asia, this study examines the historical development and modern identity of the Kazakh people. Tracing a trajectory from early Turkic empires and steppe nomadic traditions to the consolidation of the Kazakh Khanate and Soviet-era transformations, the research highlights the interplay of tribal genealogies, linguistic continuities, and Islamic influences particularly Sufi ethics in shaping Kazakh ethnogenesis. Drawing on historical texts, oral epics, and contemporary cultural practices, the paper positions Kazakhstan as both a historical heartland and a contemporary standard-bearer of Turkic civilisation. In the post-Soviet period, Kazakhstan has actively revitalized its Turkic and Islamic heritage through cultural diplomacy, digital platforms, and multilateral engagement with Turkic-speaking nations. The Kazakh identity, situated at the intersection of Kipchak ancestry, Sufi-Islamic tradition, and Eurasian geopolitics, demonstrates a dynamic continuity of Turkic civilisational identity through cultural memory, symbolic adaptation, and strategic reinvention. These findings not only deepen scholarly understanding of ethnogenesis and identity construction in Central Asia, but also underscore Kazakhstan’s evolving role in cultural diplomacy, heritage preservation, and regional nation-branding. Methodologically, this study demonstrates the value of integrating oral historiography with cultural diplomacy analysis in post-Soviet identity studies. The findings contribute to broader debates on post-Soviet nation-building, soft power strategy, and symbolic politics across the Turkic world.   Abstrak: Sebagai etnis representatif dari dunia Turki yang lebih luas di Asia Tengah, studi ini menelaah perkembangan sejarah dan identitas modern bangsa Kazakh. Dengan menelusuri jalur dari kekaisaran awal Turki dan tradisi nomaden stepa hingga konsolidasi Kekhanan Kazakh dan transformasi era Soviet, penelitian ini menyoroti interaksi silsilah kesukuan, kesinambungan linguistik, dan pengaruh Islam—khususnya etika sufistik—dalam membentuk etnogenesis Kazakh. Berdasarkan teks sejarah, epos lisan, dan praktik budaya kontemporer, tulisan ini memposisikan Kazakhstan sebagai tanah air historis sekaligus pembawa standar peradaban Turki di era modern. Pada periode pasca-Soviet, Kazakhstan secara aktif merevitalisasi warisan Turki dan Islam melalui diplomasi budaya, platform digital, dan keterlibatan multilateral dengan negara-negara berbahasa Turki. Identitas Kazakh, yang berada di persimpangan antara leluhur Kipchak, tradisi Sufi-Islam, dan geopolitik Eurasia, memperlihatkan kesinambungan dinamis identitas peradaban Turki melalui memori budaya, adaptasi simbolik, dan reinvensi strategis. Temuan ini tidak hanya memperdalam pemahaman akademis tentang etnogenesis dan konstruksi identitas di Asia Tengah, tetapi juga menegaskan peran Kazakhstan yang terus berkembang dalam diplomasi budaya, pelestarian warisan, dan nation-branding regional. Secara metodologis, studi ini menunjukkan nilai integrasi historiografi lisan dengan analisis diplomasi budaya dalam kajian identitas pasca-Soviet. Hasil penelitian ini memberikan kontribusi pada perdebatan lebih luas tentang pembangunan bangsa pasca-Soviet, strategi soft power, dan politik simbolik di dunia Turki.