Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

ARSITEKTUR MAXIMALIS, MUNGKINKAH TERJADI DI INDONESIA? (Maximalist Architecture, Will It Happpen in Indonesia ?) Muljadinata, Albertus Sidharta
Tesa Arsitektur Vol 11, No 1 (2013)
Publisher : Unika Soegijapranata Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACT The architectural development in architecture period tends to change along with the advance of the technology. Globalization a/so takes part in architectural development. Beside the advance of the technology, there are a lot of architects who brave enough to explore with kinds or architecture and it creates Maximalist Architecture. Etymologically, maximalist architecture can be described as science building or the art of building which is based on the unlimited property of objects. Between 1970-1980, architecture started to develop to many ways to the originality and individuality. It happened to come out from the simplicity, functionality and the international style. At that time, many architects had the same style and it lead to the tendency of not creating new sty/e. Yet, it changed. Therefore a lot of architects started to create new style, which later will be called post-modernism. In big cities in Indonesia, particularly in Java Island (Jakarta, Bandung, Surabaya), there are tendency of the development of architecture luxurious private houses which belongs to different person, doesnt want to have the same style with the house besides it; supported by the advance of the material technology, so the style comes to Maximalist Architecture. Key words: maximalist architecture, houses. ABSTRAK Perkembangan bentuk arsitektural selalu berada dalam periode arsitektur yang cenderung selalu berubah, seiring dengan kemajuan teknologi. Arus globalisasi juga memberikan banyak pengaruh pada perkembangan arsitektur. Selain kemajuan teknologi dan semakin banyaknya arsitek yang berani bereksplorasi dengan bentuk-bentuk arsitektur, maka timbul gejala Arsitektur Maximalis. Secara etimologis, arsitektur maximalis dapat diartikan sebagai ilmu bangunan atau seni membangun yang berlandaskan pada sifat-sifat ketidak-terbatasan. Antara tahun 1970-1980, arsitektur mulai berkembang menjadi berbagai arah yang berbeda dalam mencari keaslian dan individualitasnya. Ini sebenarnya telah dimulai untuk memenuhi keinginan untuk keluar dari simplisitas, fungsionalitas dan dari gaya international style. Pada waktu itu, banyak arsitek yang menjurus pad a gaya arsitektur yang sarna, sehingga menjadi suatu kecenderungan untuk tidak menciptakan hal-hal yang baru lagi. Namun hal ini mulai berubah, sehingga banyak arsitek mulai memiliki pemikiran-pemikiran baru, yang nantinya akan disebut dengan post-modernism. Pada kota-kota besar di Indonesia, terutama di pulau Jawa (Jakarta, Bandung, Surabaya), ada kecenderungan perkembangan bentuk-bentuk arsitektur bangunan rumah mewah mengarah pada sosok yang berbeda, tidak mau memiliki kesamaan bentuk dengan bangunan rumah di sebelahnya; didukung dengan kemajuan teknologi bahan yang demikian cepat, maka dijumpai bentuk-bentuk yang mengarah pada Arsitektur Maximalis. Kata kunci: arsitektur maximalist, rumah tinggal.
Pola Penggunaan Ruang Komunal di Kampung Batik, Semarang Widiastuti, Santi; Ardiyanto, Antonius; Muljadinata, Albertus Sidharta; Tarigan, Riandy
Arsitekta : Jurnal Arsitektur dan Kota Berkelanjutan Vol. 7 No. 01 (2025): Arsitekta: Jurnal Arsitektur dan Kota Berkelanjutan
Publisher : Program Studi Arsitektur Universitas Tanri Abeng

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47970/arsitekta.v7i01.842

Abstract

Kampung Batik Semarang memiliki potensi historis dan budaya yang kuat sebagai kawasan permukiman tematik berbasis batik. Namun, keterbatasan ruang terbuka menjadi kendala utama dalam mengakomodasi kebutuhan interaksi sosial warganya. Transformasi fungsi ruang terjadi seiring dengan dibukanya kawasan ini sebagai destinasi wisata budaya, sehingga ruang-ruang yang awalnya tidak dirancang sebagai ruang komunal meliputi teras rumah, badan jalan, hingga pos kamling yang beralih fungsi menjadi ruang bersama. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pola penggunaan ruang komunal di Kampung Batik Semarang melalui pendekatan kualitatif dengan metode pemetaan perilaku (behavioural mapping). Temuan menunjukkan bahwa pembentukan ruang komunal lebih didasarkan pada kondisi kognitif warga dan adaptasi terhadap lingkungan yang berubah, bukan pada perencanaan formal. Hal ini mencerminkan bahwa warga memiliki kemampuan untuk membentuk ruang sosial secara kolektif berdasarkan kebutuhan interaksi dan nilai kebersamaan. Ruang-ruang tersebut berfungsi sebagai katalisator sosial dalam konteks kampung padat yang terbatas lahannya, sekaligus menjadi bagian dari strategi warga dalam menyikapi tekanan dari program kampung tematik.
Manfaat Metode Fenomenologi dalam Mengkaji Isu Sosiospasial Permukiman di Indonesia: Telaah Literatur dan Perspektif Teoretis Prabawa, Made Suryanatha; Widjaja, Robert Rianto; Ardiyanto, Antonius; Muljadinata, Albertus Sidharta; Tarigan, Riandy
Tekstur (Jurnal Arsitektur) Vol 6, No 2 (2025): Tekstur (Jurnal Arsitektur)
Publisher : Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31284/j.tekstur.2025.v6i2.7014

Abstract

Penelitian ini mengkaji manfaat metode fenomenologi dalam memahami isu-isu sosiospasial permukiman di Indonesia melalui telaah literatur. Pendekatan ini meninjau berbagai sumber teoretis dan empiris untuk menganalisis penerapan fenomenologi dalam konteks lokal. Metode ini memungkinkan eksplorasi mendalam terhadap pengalaman subjektif individu dan kolektif, memberikan wawasan tentang makna ruang, praktik sosial, serta nilai-nilai budaya yang membentuk lingkungan binaan. Fenomenologi terbukti efektif dalam memahami hubungan dinamis antara manusia dan ruang, terutama dalam mengatasi isu-isu seperti gentrifikasi, konflik ruang, dan transformasi budaya. Pendekatan ini menawarkan perspektif unik dibandingkan metode positivistik dengan menyoroti makna subjektif dan intersubjektif. Hasil kajian menunjukkan bahwa fenomenologi mampu mengungkap dimensi tersembunyi dari interaksi sosial-spasial yang sering terlewatkan. Telaah literatur ini juga mengidentifikasi tantangan fenomenologi, seperti bias peneliti dan keterbatasan generalisasi. Oleh karena itu, integrasi dengan metode kuantitatif atau spasial direkomendasikan untuk menghasilkan analisis yang lebih holistik. Penelitian ini memperkaya pemahaman teoretis dan menawarkan panduan praktis bagi arsitek serta perencana dalam merancang permukiman yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.