Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search
Journal : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian

Kajian Keseragaman Kualitas Pengeringan Cabai Merah dengan Menggunakan Alat Pengering Tipe Hohenheim Edi Saputra; Mustaqimah Mustaqimah; Diswandi Nurba
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Vol 2, No 4 (2017): November 2017
Publisher : Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (987.197 KB) | DOI: 10.17969/jimfp.v2i4.5451

Abstract

Hasil penelitian pengeringan cabai merah menunjukkan bahwa pada perlakuan tanpa blansir terdapat suhu rata-rata dalam ruang alat pengering pada hari pertama yaitu sebesar 54°C dan pada hari kedua yaitu sebesar 46,6°C,sedangkan suhu rata-rata pada perlakuan diblansir yaitu sebesar 58,6°C. Kelembaban relatif rata-rata dala ruang alat pengering pada perlakuan tanpa blansir pada hari pertama yaitu sebesar 40,2% dan kelembaban relatif rata-rata pada hari kedua yaitu sebesar 51%, sedangkan kelembaban relatif rata-rata pada perlakuan di blansir yaitu sebesar 35,7%. Kadar air akhir pada cabai merah kering dengan perlakuan tanpa blansir yaitu =9,84%, =10,50%, =10,06%, =9,84%,=10,28% dan =9,62%. Sedangkan Kadar air akhir pada cabai merah kering dengan perlakuan diblansir yaitu =9,74%, =9,74%, =10,36%, =10,15%,=9,74% dan =9,53%. Kandungan vitamin C didapat pada cabai merah kering dengan perlakuan tanpa blansir yaitu =39,33%, =43%, =45,6%, =44,93%,=41,27% dan =37,73%. Sedangkan kandungan vitamin C akhir pada cabai merah kering dengan perlakuan diblansir yaitu =34,13%, =37,4%,=40,8%, =38,87%,=36,07% dan =33,36%.Uji organoleptik Cabai merah kering menunjukkan bahwa panelis lebih banyak menyukai dengan perlakuan diblansir.Study The Uniformity Of Drying Quality Of Red Peppers Using Hohenheim Type DryersAbstract. From the results of red pepper cultivation research showed that on treatment without blancing there is average temperature in the dryer room on the first day that is equal to 54%°C and on the second day that is equal to 46,6°C, while the average temperature at the blancing treatment that is equal to 58,6°C. The average relative humidity in the drying chamber on the bluffing treatment on the first day is 40,2% and the average relative humidity on the second day is 51%, while the average relative humidity at the blancing treatment is 35,7%. The final water content of dried red pepper with bluff treatment is P1 = 9,84%, P2=10,50%, P3=10,06%, P4=9,84%, P5=10,28% and P6=9,62%. While the final water content of dried red pepper with blancing treatment is P1=9,74%, P2=9,74%, P3=10,36%, P4=10,15%, P5=9,74% and P6=9.53%. The content of vitamin C was found in dry red chilli with the treatment without blancing that is P1=39,33%, P2=43%, P3=45,6%, P4=44,93%, P5=41,27% and P6=37,73%. While the final vitamin C content of dried red pepper with blancing treatment is P1=34,13%, P2=37,4%, P3=40,8%, P4=38,87%, P5=36,07% and P6=33.36%. The red pepper organoleptic test showed that the panelists preferred the treatment in blancing.
Kinerja Ghe Vent Dryer Dengan Menggunakan Lilin Sebagai Penyimpan Panas Afdhalul Ahmar; Mustaqimah Mustaqimah; Diswandi Nurba
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Vol 6, No 4 (2021): November 2021
Publisher : Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (631.483 KB) | DOI: 10.17969/jimfp.v6i4.18311

Abstract

Abstrak. Green house effect (GHE) vent dryer adalah alat pengering dengan memanfaatkan energi surya sebagai sumber energi pengeringan. Namun radiasi matahari terbatas pada waktu tertentu sehingga mengganggu prases pengeringan. Penambahan lilin sebagai media penyimpan panas adalah salah satu solusi agar alat  green house effect (GHE) vent dryer dapat beroperasi pada saat energi surya sudah meredup. Tujuan penelitian ini untuk menguji kinerja GHE Vent Dryer dengan menggunakan lilin sebagai media penyimpan panas. Data yang diukur dalam penelitian ini berupa suhu di dalam  ruang pengering (ruang 1, ruang 2 dan ruang 3), ruang absorber, suhu lingkungan dan kecepatan udara. Pengukuran dimulai dari pukul 08.00 WIB sampai sahu didalam ruangan menyamai suhu lingkungan, proses pengukuran dilakukan setiap 60 menit. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa rata-rata suhu absorber menggunakan lilin sebagai media penyimpan panas berkisar 31 ºC sampai 71 ºC dengan temperatur lingkungan yang di hasilkan 27 ºC sampai 35 ºC dan untuk terperatur dalam alat pengering sekitar 27 ºC sampai 58 ºC. Hasil pengukuran kecepatan udara pada penelitian ini berkisar 0,3 m/s sampai 1,5 m/s. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan batu serpihan sebagai media penyimpan panas pada alat GHE vent Dryer mampu mempertahankan panas pada ruang pengering selama 4 sampai 5 jam saat tidak ada radiasi matahari. Performance Of Ghe Vent Dryer By Using Wax As Heat StorageAbstract. Green house effect (GHE) vent dryer is a dryer that uses solar energy as a drying energy source. However, solar radiation is limited to a certain time so that it interferes with the drying process. The addition of wax as a heat storage medium is one solution so that the green house effect (GHE) vent dryer can operate when the solar energy has dimmed. The purpose of this study was to test the performance of the GHE Vent Dryer using wax as a heat storage medium. The data measured in this study were the temperature in the drying chamber (room 1, room 2 and room 3), absorber chamber, ambient temperature and air velocity. The measurement starts from 08.00 WIB until the temperature in the room equals the ambient temperature, the measurement process is carried out every 60 minutes. The results of this study found that the average temperature of the absorber using wax as a heat storage medium ranged from 31 C to 71 C with an ambient temperature of 27 C to 35 C and for a temperature setting in the dryer it was around 27 C to 58 C. The results of air velocity measurements in this study ranged from 0.3 m/s to 1.5 m/s. It can be concluded that the use of crushed stone as 
Modifikasi Pengering Efek Rumah Kaca (ERK) Atap Parabolik untuk Kacang Tanah (Arachis hypogaeai L.) Revi Alhafiz; Diswandi Nurba; Devianti Devianti
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Vol 7, No 2 (2022): Mei 2022
Publisher : Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (368.731 KB) | DOI: 10.17969/jimfp.v7i2.19796

Abstract

Abstrak. Tujuan dari penelitian ini untuk melakukan desain dan rancang bangun serta pengujian fungsional terhadap pengering Efek Rumah Kaca (ERK) atap parabolik untuk kacang tanah (Arachis hypogaeai L.). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Oktober 2021, bertempat di Laboratorium Perbengkelan Alat dan Mesin Pertanian Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh. Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah mendesain pengering Efek Rumah Kaca (ERK) atap parabolik menggunakan software SolidWorks 2017. Selanjutnya, rancang bangun pembuatan pengering ERK atap parabolik dan melakukan pengujian fungsional alat tanpa bahan dan menggunakan bahan kacang tanah untuk mengetahui performansi pengering ini sudah berfungsi dengan baik atau belum. Parameter penelitian pada penelitian ini adalah kadar air, kapasitas pengering, dan analisis energi panas.Hasil dari penelitian ini adalah prinsip kerja pengering ERK Atap Parabolik dengan mensirkulasikan udara panas yang terperangkap di dalam ruang pengering. Lalu, mengeluarkan udara menggunakan kipas outlet. Uji kinerja rancang bangun pengering ERK Atap Parabolik dapat berfungsi dengan baik dalam melakukan pengeringan, karena terlihat adanya fluktuasi suhu dalam ruang pengering selama 8 jam pengeringan. Rata-rata pengeringan menggunakan kacang tanah adalah 36,15℃, dan rata-rata suhu lingkungan adalah 29,4℃ . Kadar air akhir kacang tanah pada rak 1, 2, dan 3 sebesar 19,55%, 11,90%, dan 8,06%. Kadar air  kacang tanah pada rak 3 memenuhi SNI mutu II, sedangkan kadar air kacang pada rak 1 dan 2 belum memenuhi SNI. Kapasitas kerja pengeringan input (KKPI) adalah 1,875 kg/jam dan kapasitas kerja pengeringan output (KKPO) adalah 1,532 kg/jam. Energi panas yang dibutuhkan untuk pengeringan kacang tanah (Qd) adalah sebesar 803.128,61 Joule atau setara dengan 223,091 Wh. Sedangkan energi listrik yaitu dibutuhkan yaitu 427,68 Wh.Modification Of Greenhouse Effect Dryer (Erk) Parabolic Roof For Peanut (Arachis Hypogaeai L.)The purpose of this study was to design and construct and perform functional testing of the Roof parabolic Greenhouse Effect (ERK) dryer for peanuts (Arachis hypogaeai L.). This research was conducted from April to October 2021, at the Agricultural Equipment and Machinery Workshop Laboratory, Agricultural Engineering Study Program, Faculty of Agriculture, Syiah Kuala Darussalam University, Banda Aceh. The method used in this research is to design a parabolic roof greenhouse effect (ERK) dryer using the SolidWorks 2017 software. Next, design the manufacture of a parabolic roof ERK dryer and perform functional testing of the tool without materials and using peanuts to determine the performance of this dryer already working. well or not. The research parameters in this study were moisture content, drying capacity, and heat energy analysis.The result of this research is the working principle of Parabolic Roof ERK dryer by circulating hot air trapped in the drying chamber. Then, remove the used air using the outlet fan. The performance test of the Parabolic Roof ERK dryer design can function properly in drying, because it can be seen that there are temperature fluctuations in the drying chamber for 8 hours of drying. The average drying using peanuts is 36.15℃, and the average environmental temperature is 29.4℃. It can be seen that the temperature of using peanuts is higher than that of the environment. The final moisture content of peanuts on shelves 1, 2, and 3 was 19.55%, 11.90%, and 8.06%. The moisture content of peanuts on rack 3 meets SNI quality II, while the moisture content of peanuts on racks 1 and 2 does not meet SNI. The input drying working capacity (KKPI) is 1.875 kg/hour. Meanwhile, the output drying working capacity (KKPO) is 1,532 kg/hour. The heat energy required for drying peanuts (Qd) is 803.128.61 Joules or equivalent to 223.091 Wh. Meanwhile, the electrical energy required is 427.68 Wh.
Pengaruh Lama Perendaman Dalam Larutan Natrium Metabisulfit Terhadap Karakteristik Tepung Labu Kuning Ulfa Reza; Bambang Sukarno Putra; Diswandi Nurba
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Vol 4, No 3 (2019): Agustus 2019
Publisher : Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (797.789 KB) | DOI: 10.17969/jimfp.v4i3.11511

Abstract

Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik tepung labu kuning.   Parameter penelitian meliputi rendemen, kadar air, derajat keasaman (pH), kadar pati, uji organoleptik hedonik warna dan aroma. Data di analisa menggunakan ANOVA dan  excel. Hasil penelitian menunjukkan  nilai rata-rata rendemen tepung labu kuning tertinggi terdapat pada perlakuan 0 menit yaitu 11,33%, nilai rata-rata kadar air tepung labu kuning tertinggi terdapat pada perlakuan 60 menit yaitu 9,33%, nilai rata-rata derajat keasaman (pH) tertinggi terdapat pada perlakuan 0 menit yaitu 6,79,  nilai rata-rata kadar pati tertinggi terdapat pada perlakuan 40 menit yaitu 72,95%, nilai rata-rata uji organoleptik hedonik warna tertinggi terdapat pada perlakuan 60 menit yaitu 4,20 dengan skor 4 (suka), nilai rata-rata uji organoleptik hedonik aroma tertinggi terdapat pada perlakuan 0 menit yaitu 3,71 dengan skor 4 (suka).The Effect of soaking time in sodium metabisulfite solution on the characteristics of pumpkin Abstract. The purpose of this study was to determine the characteristics of pumpkin flour. The research parameters included yield, moisture content, acidity (pH), starch content, hedonic organoleptic color and aroma test. Data was analyzed using ANOVA and Excel. The results showed that the highest yield of pumpkin flour was at 0 minutes treatment which was 11.33%, the highest average value of water content of pumpkin flour was at 40 minutes treatment which was 9.33%, the average value of acidity degree (pH) is highest in 0 minute treatment, which is 6,793, the highest average value of starch is found in 40 minutes treatment which is 72.95%, the highest average hedonic organoleptic test value is found in 60 minutes treatment which is 4,20 with a score 4 (likes),  the highest average hedonic organoleptic test score was found at 0 minutes treatment which was 3.71 with a score 4 (likes).
Karakteristik Pengeringan Biji Jagung (Zea Mays L.) Menggunakan Alat Pengering Surya Adriyarkara Termodifikasi Athul Fadhli; Diswandi Nurba; Raida Agustina
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Vol 3, No 2 (2018): Mei 2018
Publisher : Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (681.635 KB) | DOI: 10.17969/jimfp.v3i2.7429

Abstract

Abstrak. Jagung merupakan tanaman penghasil karbohidrat terpenting. Pengeringan jagung pipil menggunakan alat pengering merupakan proses untuk menghasilkan jagung pipil yang siap diolah untuk pembuatan tepung jagung dengan batas kadar air tertentu sehingga menghaslkan jagung pipil dengan kualitas yang baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji karakteristik pengeringan biji jagung menggunakan alat pengering surya Termodifikasi. Metode penelitian  menggunakan 3,15 kilogram jagung pipil dengan kadar air awal 22% untuk proses pengeringan. Parameter yang dianalisis terkait alat pengering kolektor surya yaitu temperatur, kelembaban relatif, kecepatan udara dan iradiasi surya, sedangkan parameter yang dianalisis terkait bahan yaitu kadar air, lama waktu pengeringan, laju pengeringan dan organoleptik. Prosedur penelitian terdiri dari pengujian kosong dan pengujian dengan menggunakan jagung pipil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa temperatur rata-rata dalam rak pengering sebelum dilakukan modifikasi yaitu 44,4oC, temperatur rata-rata setelah dilakukan modifikasi yaitu 55,5oC dan temperatur rata-rata rak pengering pada pengeringan menggunakan jagung pipil yaitu 46,96oC. Kelembaban relatif rata-rata dalam rak pengering sebelum dilakukan modifikasi yaitu 40,1%, kelembaban relatif rata-rata dalam rak pengering setelah modifikasi yaitu 35,1% dan kelembaban relatif rata-rata pengeringan menggunakan jagung pipil yaitu 44,45%. Dari hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa nilai temperatur dan kelembaban pada alat setelah modifikasi lebih baik dibandingkan sebelum alat dimodifikasi. Pengukuran temperatur dan kelembaban relatif terdiri dari 4 titik pengukuran yaitu rak 1A,1B dan rak 2A, 2B. Kecepatan udara rata-rata yang diukur konstan yaitu 0,7 m/s pada ruang pengering, sedangkan lingkungan 1,1 m/s. Total iradiasi surya selama pengeringan yaitu 1848,84 W/m2. Kadar air jagung pipil masing-masing rak yaitu rak 1A 14,29%, rak 1B 14,47%, rak 2A 13,91% dan rak 2B 14,1%. Hasil dari pengujian organoleptik, panelis agak menyukai jagung pipil yang dikeringkan menggunakan alat pengering tersebut.Characteristics of Seed Drying (Zea mays L.) Using a Modified Adriyarkara Solar DryerAbstract. Corn is the most important carbohydrate plant. Drying corn using a drying tool is a process to produce corn that are ready to be processed for making corn flour with a certain water content limit so as to produce corn with good quality. The purpose of this study was to examine the characteristics of drying of corn kernels using a modified solar dryer. The research method used 3,15 kilogram of corn milled with the initial moisture content of 22% for drying process. The parameters analyzed in relation to solar collector dryers are temperature, relative humidity, air velocity and solar irradiation, while the parameters analyzed are materials such as moisture content, drying time, drying rate and organoleptic. The research procedure consists of unloaded testing and testing using corn. The results showed that the average temperature in the dryer tray before modification was 44,4°C, the average temperature after modification was 55,5°C and the average temperature of the dryer tray on drying using corn was 46,96oC. The average relative humidity in the dryer tray before modification is 40,1%, the average relative humidity in the dryer tray after modification is 35,1% and the average relative humidity of drying using corn is 44,45%. From the measurement results show that the value of temperature and humidity in the tool after modification is better than before. Measurement of temperature and relative humidity consist of 4 point of measurement that is tray 1A, 1B and tray 2A, 2B. Average mean air velocity measured is 0,7 m/s at the dryer room, while the environment is 1,1 m/s. Total solar irradiation during drying is 1848,84 W/m2. Moisture level of corn each shelves tray 1A is 14,29%, tray 1B is 14.47%, tray 2A is 13,91% and tray 2B is 14,1%. As a result of organoleptic testing, panelists rather like dried corn using the dryer.
Kajian Karateristik Mutu Gabah Selama Penyimpanan Menggunakan In-Store Dryer (ISD) Thahara Balqis; Ratna Ratna; Diswandi Nurba
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Vol 6, No 3 (2021): Agustus 2021
Publisher : Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (866.954 KB) | DOI: 10.17969/jimfp.v6i3.17516

Abstract

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu gabah selama dilakukan penyimpanan menggunakan In-Store Dryer. Penelitian ini menggunakan dua cara penyimpanan yaitu penyimpanan secara curah menggunakan In-Store Dryer dan penyimpanan dalam karung yang diletakkan diruangan. Tempat penyimpanan gabah yaitu ISD dan karung, sedangkan lama penyimpanan yaitu 0 hari, 20 hari, 40 hari dan 60 hari. Variabel respon penelitian ini adalah mutu gabah yang meliputi yaitu kadar air, protein, dan kadar abu. Perbedaan cara penyimpanan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi lama penyimpanan terhadap  mutu gabah, analisis data menggunakan regresi linear sederhana  dengan peubah bebas (X) terdiri atas lama penyimpanan selama 60 hari serta peubah terikat (Y) meliputi mutu gabah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gabah yang disimpan dalam ISD mampu mempertahankan kualitas dengan suhu dan RH penyimpanan. Hasil penelitian menunjukkan terjadi perubahan komposisi gabah selama 60 hari dengan suhu rata-rata yaitu 33,1⁰C dengan RH rata-rata 71,1%. Perubahan kimia yang terjadi selama penyimpanan meliputi kadar air rata-rata pada awal penyimpanan 13,61%, pada hari ke-60 turun menjadi 12,27%. Protein rata-rata pada awal penyimpanan 4,47% naik menjadi 4,67%. Kadar abu rata-rata pada awal penyimpanan 4,20% turun menjadi 4,13%. Lemak rata-rata pada awal penyimpanan 0,98% naik menjadi 1,31%. Karbohidrat rata-rata pada awal penyimpanan 76,75% naik menjadi 77,62%. Berdasarkan data hasil penelitian mutu fisik dari penyimpanan gabah menggunakan In-Store Dryer berdasarkan SNI 01-6128-1999 masuk dalam mutu kelas II, Sedangkan penyimpanan karung masuk dalam mutu kelas III.Study of Grain Quality Charateristics During Storage Using In-Store Dryer (ISD)Abstract. Storage using an In-Store Dryer is needed to know the quality characteristics of paddy grain. This study uses two storage methods, storage in silo using In-Store Dryer and storage in sacks placed in the room/warehouse. The storage places for grain are ISD and sacks, while the storage time is 0 days, 20 days, 40 days, and 60 days. The response variable of this study was the quality of grain which included moisture, protein, and ash content. Differences in storage methods to determine whether there is an interaction effect between place and storage time factors on grain quality, data analysis using simple linear regression with the independent variable (X) consisting of storage time for 60 days and the dependent variable (Y), including grain quality. The results showed that grain stored ISD could maintain quality with temperature and RH (relative humidity) of storage. The results showed a change in grain composition for 60 days with an average temperature of 33.1oC with an average RH of 71.1%. Chemical changes that occur during storage include the average moisture content at the beginning of storage 13.61%; on the 60th day, it decreased to 12.27%. Average protein at baseline of 4.47% increased to 4.67%. The average ash content at the beginning of storage was 4.20%, down to 4.13%. The average fat at the beginning of storage was 0.98%, increased to 1.31%. The average carbohydrate at the beginning of storage was 76.75%, increasing to 77.62%. The result showed that the physical quality of storage using In-Store Dryer based on SNI 01-6128-1999 is classified as class II quality. In contrast, sack storage is classified as class III quality.
Karakteristik Pengering Efek Rumah Kaca Tipe Terowongan Terhadap Kualitas Minyak Nilam Riski Satria; Fachruddin Fachruddin; Diswandi Nurba
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Vol 5, No 1 (2020): Februari 2020
Publisher : Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (544.682 KB) | DOI: 10.17969/jimfp.v5i1.13791

Abstract

Abstrak. Minyak atsiri adalah salah satu minyak yang dihasilkan dari bagian batang, kulit, daun, akar, bunga dan berbagai bagian tumbuhan yang lain dengan proses penyulingan. Salah satu minyak atsiri adalah minyak nilam, dalam dunia perdagangan minyak atsiri dikenal dengan nama Patchouly Oil. Walaupun tanaman nilam telah dibudidayakan  selama hampir 100 tahun, namun sampai sekarang masih banyak teknologi pengolahan masyarakat masih konvensional sehingga kualitas minyak yang dihasilkan masih rendah. Penelitian ini menggunakan metode pengeringan efek rumah kaca tipe terowongan dan pengeringan konvensional. Analisis kualitas minyak nilam yang diamati meliputi kadar air nilam, rendemen, warna, bobot jenis, indeks bias, dan kelarutan dalam etanol 90%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air nilam hasil pengeringan efek rumah kaca hanya membutuhkan waktu selama 1 hari untuk mengeringkan nilam dan menghasilkan kadar air rata-rata yaitu 22,45%, sedangkan pengeringan konvensional rata-rata kadar air yaitu 22,93% dan memerlukan waktu 2 hari untuk mengeringkan nilam. Hasil Rendemen dengan pengeringan efek rumah kaca menghasilkan rata-rata rendemen yaitu 0,40% sedangkan pengeringan konvensional menghasilkan rata-rata rendemen yaitu 0,39%. Warna minyak nilam dengan pengeringan konvensional dan pengeringan efek rumah kaca menghasilkan warna coklat kemerahan. Bobot jenis minyak nilam pengeringan efek rumah kaca rata-rata 0,966 sedangkan pengeringan konvensional rata-rata 0,954. Hasil indeks bias minyak nilam pengeringan efek rumah kaca yaitu sebesar 1,509 sedangkan pengeringan konvensional sebesar 1,508. Kelarutan dalam etanol 90% minyak nilam  pengeringan efek rumah kaca lebih baik karena jernih rata-rata pada larutan 1:9, sedangkan pengeringan konvensional jernih rata-rata pada larutan 1:10, dimana minyak nilam yang mudah larut dalam etanol 90% maka kualitas minyak nilam semakin baik. Berdasarkan kadar air dan kualitas minyak nilam seperti warna, bobot jenis, indeks bias dan kelarutan dalam etanol 90% merupakan pengeringan efek rumah kaca lebih baik secara kuantitas dan kualitas dibandingkan dengan pengeringan konvensional.Characteristic of tunnel type dryer of greenhouse effect on the quality of patchouli oil Abstract. Essential oil is the type of oil derived from stem, bark, leaves, root, flower, and other parts of plant through the process of distillation. One type of essential oil is Patchouli oil which is known as patchouli oil in the trading world. Even though patchouli plants have been cultivated for almost 100 years, the technology used to process the oil is still conventional that cause the oil quality to be low. This research utilized two methods which are greenhouse effect drying and conventional drying. The analysis of oil quality was done by observing the oil moisture, yield, color, specific gravity, refractive index, and its solubility in 90% ethanol. The result shows that the patchouli moisture by using the greenhouse effect drying needs one day to dry patchouli leaves that later produces moisture at the average of 22.45%. By using conventional drying, it took 2 days to dry that resulted in the moisture at the average of 22.93%. The result of oil yield out of the greenhouse effect drying is 0.40% in average, while by using the conventional drying the oil yielding resulted in 0.39% in average. As for the color of patchouli oil by using both the greenhouse effect drying and conventional drying result in reddish brown. The average specific gravity of patchouli oil by using the greenhouse effect drying is 0.966 at the average, while it resulted in the average of 0.954 by using conventional drying. The refractive index of patchouli oil by using greenhouse effect drying is at 1.509, while by using conventional drying is at 1.508. The solubility of patchouli oil in ethanol 90% ethanol using greenhouse effect drying is better with the ration of 1:9 to solution. However, the solubility of patchouli oil in 90% ethanol using conventional drying in ratio is 1:10. This means that the more soluble oil on 90% ethanol, the better the quality of the patchouli oil. Based on the moisture and patchouli oil quality like its color, specific gravity, refractive index, and solubility in 90% ethanol, it shows that greenhouse effect drying is better in quantity and quality than conventional drying.
Perancangan Alat Pemipih Semi Mekanis Untuk Biji Melinjo Agus Rizal Fiki; Diswandi Nurba; Mustaqimah Mustaqimah
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Vol 2, No 4 (2017): November 2017
Publisher : Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (678.934 KB) | DOI: 10.17969/jimfp.v2i4.5450

Abstract

Abstrak, Tanaman melinjo adalah tanaman yang tumbuh baik pada daerah tropis, salah satunya adalah Indonesia. Produk olahan melinjo adalah emping melinjo, emping melinjo sejenis kripik yang dibuat dari biji melinjo tua dan merupakan salah satu komoditi pertanian yang memiliki harga tinggi. Selama ini proses pembentukan emping melinjo masih menggunakan cara-cara sederhana yaitu dengan cara memukul. Perancangan alat pemipih adalah untuk membantu masyarakat dalam memproduksi emping melinjo dalam upaya untuk meningkatkan hasil produksi emping. Dari hasil pengujian yang dilakukan dengan menggunakan alat rancangan didapatkan waktu rata-rata 0,51 menit dengan kapasitas pemipih yang dapat menghasilkan emping melinjo rata-rata 15,914 gr. Sedangkan pemipih secara tradisional didapatkan rata-rata waktu 1,04 menit dengan kapasitas kerja tradisional didapatkan hasil pemipih 7,820 gr. Untuk memipih 5 biji melinjo dengan 3 kali ulangan pukulan keseragaman hasil yang bagus terdapat pada alat rancangan dengan ketebalan 0,95 mm dan diameter 3,45 cm, sedangkan pada alat pemipih tradisional terdapat nilai ketebalan 0,72 mm dengan diameter emping 3,65 cm. kehilangan hasil merupakan kehilangan kadar air yang dapat menurunkan berat awal biji menlinjo menjadi berat akhir emping. Kehilangan pada alat rancangan semi mekanis 39,41% dengan berat awal yang diratakan 8,105 gr dan pada alat tradisional 39,38% dengan berat yang telah diratakan 8,133 gr. Design A Mechanical Slaker Spring For Its Melinjo Abstract. Melinjo is a plant which grow at the tropics, one of them is Indonesia. The product from this melinjo is melinjo chips. Melinjo chips is a kind of chips made from old melinjo seed and is one of agricultural commodity which have a high price. So far to make the melinjo chips still using a simple way which is by mashing the gnetum gnemon seed. Designing a mashing instrument is an effort to improve the production of melinjo chips to help communities increasing melinjo chips products. From the tests carried out by using this design instrument obtained the average time is 51 seconds with average mashing work capacity 15,914 grams. While mashing in traditional way obtained the average time is 1 minutes 04 seconds with average traditional way work capacity 7,820 grams. To mashing 5 melinjo seed in 3 repetition the better mashing uniformity result is on the mashing instrument with 0,95 mm thickness and 3,45 cm diameters, while in traditional way obtained 0,72 mm thickness with 3,65 diameters. The lost result is cause by the lose of water level which can lower initial melinjo seed weight. The lost in this mashing semi-mechanic instrument is 39,41% with 8,105 grams average initial weight while in traditional mashing way is 39,38% with 8,133 grams average initial weight
Study Kinerja ISD dengan Penambahan Sistem Kontrol Suhu Udara dan Kelembaban pada Pengeringan Gabah Muliyani Muliyani; Mustaqimah Mustaqimah; Diswandi Nurba
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Vol 6, No 3 (2021): Agustus 2021
Publisher : Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1254.391 KB) | DOI: 10.17969/jimfp.v6i3.17518

Abstract

Abstrak. Pengeringan padi menggunakan in-store dryer (ISD) memiliki keunggulan seperti kemudahan dalam pengendalian suhu dan tidak terpengaruh cuaca. Penambahan sistem kontrol pada ISD diharapkan dapat meningkatkan kinerja ISD serta menjaga kestabilan suhu dan RH selama pengeringan berlangsung. Metode penelitian ini dilakukan dengan mengeringkan 100 kg gabah menggunakan ISD dengan kadar air awal 17,77%, yang dikeringkan hingga mencapai kadar air kering simpan (maks 14%). Parameter yang dianalisis berupa  suhu, kelembaban relatif (RH), kecepatan aliran udara pengering, kadar air dan laju pengeringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemasangan sistem kontrol dapat mengendalikan dan mempertahankan suhu ISD agar selalu berada di atas suhu lingkungan dengan selisih sekitar 5,1°C. Selain itu sistem kontrol juga dapat mengendalikan RH ISD agar lebih kecil dari RH lingkungan. Sistem kontrol juga mempengaruhi laju pengeringan, dimana laju pengeringan meningkat seiring meningkatnya kinerja sistem kontrol dalam mengendalikan suhu dan RH ISD.ISD Performance Study with The Addition of Air Temperature and Humidity Control System on Drying Paddy GrainAbstract. Drying paddy grain using an In-Store Dryer (ISD) has advantages such as ease of temperature control and is not affected by the weather. The addition of an ISD control system is expected to improve the ISD performance and maintain a stable temperature and RH during the drying process. This research method was carried out by drying 100 kg of paddy grain using ISD with an initial moisture content of 17.77%, dried to a storage dry moisture content (max 14%). Parameters analyzed were temperature, relative humidity (RH), drying airflow velocity, moisture content, and drying rate. The results showed that the installation of the control system could control and maintain the ISD temperature. It is always above the ambient temperature, with a difference of about 5.1°C. In addition, the control system can also control the ISD RH to be smaller than the environmental RH. The control system also affects the drying rate, where the drying rate increases with the increase in the control system's performance in controlling ISD temperature and RH.
Pengaruh Suhu dan Waktu Penyangraian Terhadap Warna Bubuk Kopi Arabika Nosy Islamyco; Mustaqimah Mustaqimah; Diswandi Nurba
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Vol 7, No 1 (2022): Februari 2022
Publisher : Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (319.009 KB) | DOI: 10.17969/jimfp.v7i1.19521

Abstract

Abstrak. Penyangraian kopi adalah pemanggangan kopi yang menggunakan perlakuan panas yang membentuk aroma dan citarasa kopi. Pada proses penyangraian warna biji kopi mengalami perubahan seiring berjalannya proses penyangraian dari warna biji kopi hijau menjadi kecoklatan/ hitam. Penyangraian bertujuan untuk menghasilkan kopi sangrai dengan warna kayu manis kehitaman. Warna dan rasa kopi yang akan dikonsumsi ditentukan oleh proses penyangraian. Faktor terpenting dari proses penyangraian adalah variasi suhu dan waktu saat penyangraian. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan warna bubuk kopi berdasarkan suhu dan waktu penyangraian dengan menggunakan camera digital dan aplikasi adobe photoshop. Metode analisis ini dapat mendeteksi warna dan rata-rata dalam satuan nilai permukaan L*a*b* bahan pangan. Warna dan struktur citra digital bubuk kopi dapat dianalisis di layar komputer. Oleh karena itu digunakan metode aplikasi citra digital, khususnya kamera digital Sony A5000 Mirrorless tanpa cahaya kamera dan dengan jarak fokus 12 cm dari objek. Setelah itu, gambar yang dihasilkan diplot terhadap warna dalam Adobe Photoshop Cs6. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan perlakuan variasi suhu dan lama penyangraian yang terdiri dari tiga taraf, yaitu suhu penyangraian terdiri dari suhu 200°C, 205°C dan 210°C sedangkan lama penyangraian terdiri dari 10 menit, 12 menit, dan 14 menit. Setiap perlakuan dilakukan tiga kali ulangan sehingga diperoleh 27 (dua puluh tujuh) satuan percobaan. Dari keseluruhan penelitian ini menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata warna bubuk kopi antara perlakuan variasi suhu dan waktu penyangraian biji kopi dengan uji Duncan pada signifikan p0,05.Kata kunci : Penyangraian, bubuk kopi,warna, L*a*b The Effect Of Roating Temperature And Time On The Color Of Arabica CoffeeAbstract. Coffee roasting is coffee roasting that uses heat treatment to form the aroma and taste of coffee. In the roasting process, the color of the coffee beans changes as the roasting process progresses from the color of the green coffee beans to brownish/black. Roasting aims to produce roasted coffee with a black cinnamon color. The color and taste of the coffee to be consumed is determined by the roasting process. The most important factor in the roasting process is the variation in temperature and time of roasting. The purpose of this study was to analyze differences in the color of coffee grounds based on temperature and roasting time using a digital camera and adobe photoshop application. This analytical method can detect the color and average in units of surface value L*a*b* food ingredients. The color and structure of the digital image of coffee grounds can be analyzed on a computer screen. Therefore, the digital image application method is used, especially the Sony A5000 Mirrorless digital camera without camera light and with a focal distance of 12 cm from the object. After that, the resulting image is plotted against the colors in Adobe Photoshop Cs6. The research design used was a Factorial Completely Randomized Design (CRD) with variations in temperature and roasting time consisting of three levels, namely the roasting temperature consisting of 200°C, 205°C and 210°C while the roasting time consisted of 10 minutes, 12 minutes, and 14 minutes. Each treatment was repeated three times to obtain 27 (twenty seven) experimental units. Overall, this study stated that there was no significant difference in the color of coffee grounds between the treatment with variations in temperature and roasting time of coffee beans with Duncan's test at significant p0.05.Keywords : Roasting, coffee grounds, color, L*a*b