Amillia Siddiq, Amillia
Departemen Obstetri & Ginekologi Universitas Padjadjaran RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 16 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Dengue Hemorrhagic Fever and its Effect on the Pregnancy Outcomes: A Case Series Farhanah, Aninda Yasmin; Siddiq, Amillia; Djuwantono, Tono; Adriansyah, Putri Nadhira Adinda
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 7 Nomor 2 Juli 2024
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/obgynia.v7i2.678

Abstract

Background: Dengue fever in pregnancy is associated with a more severe presentation and an increased risk of adverse obstetric and neonatal outcomes. We describe three cases of dengue fever in pregnancy with different fetal outcomes (intrauterine fetal death, fetal distress, and healthy neonate). Case Illustration: The first case involves a 23-year-old G1P0A0 at 31-32 weeks of gestation complaining of reduced fetal movement. She presented with a high-grade fever, anaemic, and thrombocytopenic. Her liver function was increased with AST 447 U/L and ALT 403 U/L. The fetal heart rate could not be detected. The second case involves a 26-year-old G3P2A0 at term pregnancy complaining of labor pain. She presented with vaginal bleeding, high-grade fever, and vomiting five days prior. Her liver function was also increased (AST 301 U/L and ALT 298 U/L). At presentation, fetal distress was detected. The third case involves a 19-year-old G2P1A0 presented with high-grade fever and nausea for five days. Her liver function was moderately increased (AST 68 U/L and ALT 76 U/L). She delivered a 3050-gram healthy neonate vaginally. Discussion: Dengue fever causes adverse obstetric outcomes. Endothelial injury exacerbated by plasma loss leads to placental dysfunction and poor fetal conditions. Unfortunately, dengue fever in pregnancy is not yet specifically addressed in our national guidelines. Conclusion: Increased severity of dengue fever in pregnancy may cause poor maternal and fetal outcomes.Demam Berdarah Dengue dan Dampaknya terhadap Luaran Kehamilan: Sebuah Serial KasusAbstrakPendahuluan: Demam berdarah dengue pada kehamilan terkait dengan tingkat keparahan penyakit dengue yang lebih berat dan meningkatnya risiko komplikasi obstetrik dan neonatus. Serial kasus ini menyajikan tiga kasus demam berdarah pada kehamilan dengan luaran janin yang berbeda (kematian janin intrauterine, gawat janin, dan neonatus sehat). Presentasi Kasus: Kasus pertama, G1P0A0 gravida 31 – 32 minggu, berusia 23 tahun, datang dengan keluhan utama berkurangnya gerakan janin. Keluhan demam, nyeri retro-orbital, mual, dan muntah dirasakan sejak 4 hari sebelumnya. Terdapat tanda konjungtiva anemis, trombositopenia, dan fungsi liver meningkat (AST 447 U/L dan ALT 403 U/L). Detak jantung janin tidak terdeteksi. Kasus kedua, G3P2A0 gravida aterm, 26 tahun, datang dengan keluhan mules-mules, perdarahan jalan lahir, demam, mual, dan muntah dirasakan sejak 5 hari sebelumnya. Pasien mengalami trombositopenia dan peningkatan fungsi liver (AST 301 U/L dan ALT 298 U/L). Pemeriksaan janin menunjukkan tanda gawat janin. Kasus ketiga, G2P1A0 gravida aterm, 19 tahun, datang dengan keluhan utama mules-mules. Keluhan demam dan mual dirasakan sejak 5 hari. Pemeriksaan menunjukkan trombositopenia dan fungsi liver sedikit meningkat (AST 68 U/L dan ALT 76 U/L). Pasien melahirkan neonatus sehat secara spontan dengan berat 3050 gram.Diskusi: Kebocoran plasma merupakan pencetus dari kerusakan endotel sehingga dapat mengakibatkan disfungsi plasenta dan kondisi janin memburuk. Namun, belum ada panduan resmi tatalaksana demam berdarah pada kehamilan di Indonesia.Kesimpulan: Meningkatnya tingkat keparahan demam berdarah pada kehamilan menyebabkan luaran maternal dan neonatus yang buruk.Kata kunci: Demam dengue, maternal, fetus, luaran, kehamilan
Comparison of Maternal and Perinatal Outcomes between Severe Preeclampsia without Complications and with HELLP Syndrome Riva, Salma Nisrina; Pribadi, Adhi; Siddiq, Amillia
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 7 Nomor 2 Juli 2024
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/obgynia.v7i2.719

Abstract

Introduction: Maternal and perinatal outcomes in severe preeclampsia conditions, without or accompanied by HELLP syndrome, are variable. There is currently a lack of research data in Indonesia comparing maternal and perinatal outcomes in both conditions. This study compares pregnancy outcomes between severe preeclampsia with no complications and severe preeclampsia with HELLP syndrome.Methods: This study employs an observational analytical approach, utilizing a retrospective cross-sectional design. The samplings contain 92 patients from the medical records of patients who were diagnosed with preeclampsia without complications and severe preeclampsia with HELLP syndrome at Hasan Sadikin Hospital Bandung from January 2021 to December 2023.Results: It was found that maternal with HELLP syndrome are five times more at risk for eclampsia compared to maternal with preeclampsia without complications. Maternal who have severe preeclampsia accompanied by HELLP are two times more at risk of having labor under 34 weeks or preterm compared to maternal with preeclampsia without complications. Other outcomes, including maternal mortality, DIC, acute renal failure, pulmonary edema, antepartum hemorrhage, as well as perinatal mortality, FGR, IUFD, and perinatal asphyxia, did not show a statistically significant difference in proportion (p > 0.05).Conclusion: There is a relationship between maternal and perinatal outcomes in severe preeclampsia without complications or with HELLP syndrome.Perbandingan Luaran Maternal dan Perinatal antara Preeklamsia Berat Tanpa Penyulit dan dengan Sindrom HELLPAbstrakPendahuluan: Luaran maternal dan perinatal pada kondisi preeklamsia berat, tanpa dan dengan sindrom HELLP, tergolong bervariasi. Saat ini masih minim data penelitian di Indonesia yang membandingkan hasil luaran maternal dan perinatal pada kedua kondisi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan luaran kehamilan antara preeklamsia berat tanpa komplikasi dan preeklamsia berat dengan Sindrom HELLP. Metode: Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain potong lintang retrospektif. Sampel penelitian ini adalah 92 pasien dari rekam medis pasien yang didiagnosis preeklamsia tanpa komplikasi dan preeklamsia berat dengan Sindrom HELLP di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung pada periode Januari 2021 hingga Desember 2023.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu dengan sindrom HELLP berisiko lima kali lebih besar untuk mengalami eklampsia dibandingkan dengan ibu dengan preeklampsia tanpa komplikasi. Ibu yang mengalami preeklampsia berat disertai HELLP berisiko dua kali lebih besar untuk mengalami persalinan di bawah 34 minggu atau prematur dibandingkan dengan ibu yang mengalami preeklampsia tanpa komplikasi. Luaran lain seperti kematian ibu, DIC, gagal ginjal akut, edema paru, perdarahan antepartum dan juga kematian perinatal, FGR, IUFD, asfiksia perinatal tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna secara statistik (p>0,05).Kesimpulan: Terdapat hubungan luaran maternal dan perinatal antara preeklamsia berat tanpa komplikasi atau dengan sindrom HELLP.Kata kunci: Luaran Maternal, Perinatal, Sindrom HELLP
Endocrine Control of Fetal Growth, the Delivery Process, and the Physiology of Childbirth Maelissa, Merlin Margreth; Siddiq, Amillia; Islamy, Nurul; Puspitasari, Maya Khaerunnisa; Lumentut, Anastasia Mariane; Wirawan, Wahyudi
Journal La Medihealtico Vol. 6 No. 2 (2025): Journal La Medihealtico
Publisher : Newinera Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37899/journallamedihealtico.v6i2.1903

Abstract

Childbirth is a complex physiological process characterized by the expulsion of the fetus from the uterus, marked by uterine contractions and cervical changes. The timing of labor is crucial for favorable pregnancy outcomes and is regulated by the neuroendocrine maturation of the fetus. Hormones like estrogen, progesterone, and human placental lactogen play key roles in fetal growth regulation, with fluctuations influencing birth weight and placental development. Progesterone inhibits labor by relaxing the uterus, while estrogen promotes labor by stimulating uterine contractions and cervical changes. The transition from uterine quiescence to active labor involves multiple stages, from myometrial relaxation to enhanced contractility. Labor progresses through phases, starting with quiescence, followed by the onset of rhythmic contractions, active labor, and concluding with involution. Uterine stretching and the role of fetal lung maturation also contribute to labor initiation, as fetal lung surfactant activates macrophages, leading to inflammation and progesterone withdrawal. This process synchronizes labor timing with fetal lung development. In conclusion, labor is influenced by a combination of endocrine and mechanical factors, including prostaglandins, cytokines, and hormones such as oxytocin and CRH. Proper endocrine regulation ensures timely labor, while disruptions in this system, such as premature or prolonged pregnancies, can lead to increased fetal morbidity and mortality.
Heterotopic Pregnancy after a Spontaneous Conception: A Case Report Hartanto, Amadea Ivana; Siddiq, Amillia; Erfiandi, Febia
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 8 Nomor 2 July 2025
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/obgynia.v8i2.808

Abstract

Introduction: Heterotopic pregnancy (HP) is a rare and potentially life-threatening condition in which an intrauterine pregnancy (IUP) and an ectopic pregnancy (EP) occur simultaneously. Increased awareness and early diagnosis are crucial to preventing complications. This case highlights the importance of timely identification and appropriate management of heterotopic pregnancy.Case report: A 32-year-old G2P1A0 pregnant woman was referred with a suspicion of heterotopic pregnancy. The patient had no prior complaints and had a spontaneous conception, there was no history of in vitro fertilization. At 2 months of gestation, an ultrasound revealed both an intrauterine pregnancy and an ectopic pregnancy. The laparoscopic diagnostic evaluation confirmed an enlarged right horn, requiring a wedge resection of the right horn. The procedure was completed successfully, and the intrauterine pregnancy progressed until term. This resulted in a cesarean section delivery of a healthy female infant weighing 3000 grams.Conclusion: This case underscores the need for a high index of suspicion when diagnosing heterotopic pregnancy, even in asymptomatic patients. Early recognition and surgical intervention significantly improve outcomes. The findings offer valuable insights for clinical practice and highlight the importance of vigilance in the evolving landscape of reproductive medicine.Kehamilan Heterotopik Pasca Konsepsi Spontan: Sebuah Laporan KasusAbstrakPendahuluan: Kehamilan heterotopik (KH) adalah kondisi langka dan berpotensi mengancam jiwa ketika kehamilan intrauterin (KIU) dan kehamilan ektopik (KE) terjadi secara bersamaan. Kesadaran yang lebih tinggi dan diagnosis dini sangat penting untuk mencegah komplikasi. Kasus ini menyoroti pentingnya identifikasi yang tepat waktu dan manajemen yang sesuai dari kehamilan heterotopik.Laporan kasus: Seorang wanita hamil G2P1A0 berusia 32 tahun dirujuk dengan kecurigaan kehamilan heterotopik. Pasien tidak memiliki keluhan sebelumnya dan kehamilan terjadi secara spontan, tanpa riwayat fertilisasi in vitro (IVF). Pada usia kehamilan 2 bulan, pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan adanya kehamilan intrauterin dan kehamilan ektopik. Evaluasi diagnostik laparoskopi mengonfirmasi adanya pembesaran tuba kanan sehingga dilakukan reseksi parsial tuba kanan. Prosedur ini berhasil diselesaikan sampai kehamilan intrauterine cukup bulan dan menghasilkan kelahiran bayi Perempuan sehat dengan berat 3000 gram melalui operasi sesar.Kesimpulan: Kasus ini menekankan perlunya tingkat kecurigaan yang tinggi dalam mendiagnosis kehamilan heterotopic termasuk pada pasien yang tidak bergejala. Pengenalan dini dan intervensi bedah secara signifikan meningkatkan hasil klinis. Temuan ini memberikan wawasan berharga untuk praktik klinis dan menyoroti pentingnya kewaspadaan dalam perkembangan ilmu kedokteran reproduksi.
Correlation between Leukocyte Esterase Levels and Pregnancy Latency Interval in Pregnant Women with a History of Preterm Premature Rupture of Membranes Andayani, Aviasti Pratiwi; Bayuaji, Hartanto; Siddiq, Amillia
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 7 Nomor 3 November 2024
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/obgynia.v7i3.681

Abstract

Introduction: Bacterial colonization of the vagina and cervix can lead to intra amniotic infections that increase the risk of chorioamnionitis, premature rupture of membranes, and preterm labor. Leukocyte esterase (LE) is an alternative test that is affordable and easy to perform to predict the risk of preterm labor due to urinary tract infection. We examined the correlation between leukocyte esterase levels and gestational latency interval in pregnant women with preterm premature rupture of membranes.Methods: This study is an observational study with a cross-sectional design from the medical records of singleton pregnancy patients with preterm premature rupture of membranes undergoing conservative treatment at Dr. Hasan Sadikin General Hospital, Bandung. Researchers analyzed the difference in mean latency interval and the correlation between leukocyte esterase levels and latency interval. The data processing results regarding the correlation between variables are presented in tables and graphs.Results: Of 101 patients, 76 patients met the inclusion criteria; 26 patients (34%) had negative results for leukocyte esterase examination, while 50 patients (66%) were positive. The average latency period of all patients was 2.16 days. The latency period ≤2 days occurred in 53% of patients, with the shortest latency period found in patients with leukocyte esterase +4 levels (1.5 days). Moreover, the ANOVA test results show that the correlation between the age latency period and leukocyte esterase levels obtained a value of f-ratio =1.44 with a p-value of 0.65, indicating no significant results at p<0.05.Conclusion: This study found no significant correlation between leukocyte esterase levels and the latency interval after preterm premature membrane rupture.Hubungan antara Kadar Leukosit Esterase dan Interval Masa Latensi Kehamilan pada Ibu Hamil dengan Riwayat Ketuban Pecah Dini pada Kehamilan PrematurAbstrakPendahuluan:Penjalaran infeksi bakteri dari kolonisasi bakteri pada vagina dan serviks menyebabkan infeksi intraamniotik yang meningkatkan risiko korioamnionitis, ketuban pecah dini, serta persalinan prematur. Penapisan infeksi saluran kemih (ISK) melalui pemeriksaan kadar leukosit esterase (LE) merupakan alternatif pemeriksaan yang terjangkau dan mudah dilakukan untuk mencegah persalinan prematur. Penelitian ini meneliti hubungan antara kadar leukosit esterase dan masa latensi kehamilan pada ibu hamil dengan ketuban pecah dini <34 minggu.Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain cross-sectional dari rekam medik pasien hamil tunggal dengan ketuban pecah dini <34 minggu yang menjalani perawatan konservatif di RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung. Kriteria eksklusi pada penelitian ini ialah penyulit lain pada ibu dan janin dan pemberian tokolitik. Peneliti menganalisis perbedaan rerata masa latensi serta hubungan kadar leukosit esterase dengan masa latensi kehamilan pada ketuban pecah dini <34 minggu. Hasil olah data mengenai hubungan antar variabel disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.Hasil: Dari 101 pasien, terdapat 76 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, didapatkan hasil pemeriksaan leukosit esterase negatif sebanyak 34% (26 pasien), dan positif pada 66% pasien (50 pasien). Rerata masa latensi dari seluruh pasien ialah 2,16 hari. Masa latensi ≤ 2 hari terjadi pada 53% pasien dengan masa latensi paling singkat didapatkan pada pasien dengan kadar leukosit esterase +4 yaitu 1,5 hari. Pada uji Anova hubungan rerata masa latensi dengan kadar leukosit esterase didapatkan nilai rasio-f = 1,44 dengan nilai p 0.65 yang menunjukkan hasil tidak signifikan pada p<0.05.Kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi signifikan antara kadar leukosit esterase dengan lama masa latensi kehamilan setelah ketuban pecah dini <34 minggu.Kata kunci: Infeksi saluran kemih; leukosit esterase; ketuban pecah dini; masa latensi
Anencephaly with Prior Caesarean Section: A Management Dilemma for Lethal Fetal Condition to Perform Labor Induction Rotinggo, Rico; Siddiq, Amillia; Hidayat, Yudi Mulyana
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 7 Nomor 3 November 2024
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/obgynia.v7i3.756

Abstract

Introduction: A failure of cranial neuropore closure during the third to fourth week of gestation is called anencephaly. It leads to the lack of a significant part of the brain, skull, and scalp. The recommended method of delivery in lethal conditions, such as anencephaly, is vaginal delivery. This case report describes anencephalic pregnancy with a history of prior cesarean section. Labor induction held a dilemma to perform, but cesarean section poses a risk of morbidity to the mother and will not improve fetal outcomes.Case Illustration: A 37-year-old woman, G4P3A0, 26-27 weeks of pregnancy, presented with a planned termination of pregnancy. The patient was known to have congenital malformation and anencephaly. The patient had a history of prior cesarean section. During admission, the patient showed no signs of delivery. The patient was then planned for labor induction with misoprostol 50 mcg on the posterior fornix. The delivery outcome was no uterine rupture or significant bleeding.Conclusion: Vaginal delivery is the first choice for the delivery method in cases with poor prognosis. Avoiding a cesarean section will protect the mother from further morbidity from a cesarean section.Anensefali dengan Riwayat Seksio Sesarea: Dilema Manajemen untuk Kondisi Janin Yang Lethal dalam Melakukan Induksi PersalinanAbstrakPendahuluan: Kegagalan penutupan neuroporus kranial selama minggu ketiga hingga keempat kehamilan disebut anensefali. Kondisi ini menyebabkan hilangnya sebagian besar otak, tengkorak, dan kulit kepala. Metode persalinan yang direkomendasikan dalam kondisi janin yang tidak bisa bertahan hidup, seperti anensefali, adalah persalinan melalui vagina. Laporan kasus ini akan menggambarkan kehamilan dengan anensefali pada pasien dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya. Induksi persalinan menimbulkan dilema untuk dilakukan, namun seksio sesarea meningkatkan risiko morbiditas bagi ibu tanpa memperbaiki hasil pada janin.Ilustrasi Kasus: Seorang wanita berusia 37 tahun, G4P3A0, usia kehamilan 26 - 27 minggu, datang dengan rencana terminasi kehamilan. Pasien diketahui memiliki malformasi kongenital dan anensefali. Pasien juga memiliki riwayat seksio sesarea sebelumnya. Saat masuk rumah sakit, pasien tidak menunjukkan tanda-tanda persalinan. Pasien kemudian direncanakan untuk induksi persalinan dengan misoprostol 50 mcg yang dimasukkan ke fornix posterior. Hasil persalinan tidak menunjukkan adanya ruptur uterus atau perdarahan yang signifikan.Kesimpulan: Persalinan melalui vagina adalah pilihan pertama untuk metode persalinan pada kasus dengan prognosis buruk. Menghindari seksio sesarea akan melindungi ibu dari morbiditas lebih lanjut akibat seksio sesarea.Kata kunci: Anensefali; Induksi; Letal; Manajemen Persalinan; Riwayat Seksio Sesarea