Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Serat Kulit Batang Gnetum Gnemon L. (Melinjo) sebagai Material Mebel Ramah Lingkungan Widiastuti, Retno; Perdana, Arif
Jurnal Tekstil Vol 7 No 1 (2024): Vol 7 No 1 Juni 2024
Publisher : Akademi Komunitas Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59432/jute.v7i1.93

Abstract

Perkembangan teknologi dan inovasi produk serat alam non tekstil (SANT) dari hasil hutan bukan kayu (HHBK)  beberapa tahun terakhir meningkat sangat pesat dan cepat. Penggunaan SANT sebagai bahan kerajinan selain akan menjadikan produk lebih eksotis diharapkan akan mampu memberikan dampak pada penurunan penggunaan kayu yang keberadaannya semakin terbatas. Dengan demikian penggunaan SANT untuk bahan kerajinan menjadikan komoditi ini menyumbang menurunkan carbon trade yang telah menjadi issue dunia. Kulit batang melinjo misalnya, sampai saat ini belum digunakan sebagai bahan yang memiliki nilai komersial, padahal jenis serat ini telah digunakan secara tradisional pada masyarakat  pedalaman misalnya noken (Irian), tali busur (Nias, Nusa Tenggara Barat), dan tali laso (Banten). Hasil uji menunjukkan bahwa serat kulit batang melinjo (bago) memiliki kekuatan serat yang cukup baik untuk dijadikan bahan kerajinan. Teknologi pengolahan sederhana yang berhasil ditemukan oleh peneliti memungkinkan temuan ini untuk diaplikasikan di IKM. Hasil dari penelitian ini diharapkan akan menjadi rujukan para perajin untuk memanfaatkan lebih luas lagi. Adapun hasil uji menunjukkan bahwa bago yang tidak dilakukan perlakuan menunjukkan kekuatan serat yang paling tinggi, diikuti dengan rendaman. Uji kekuatan tarik dan mulur kulit batang melinjo dibandingkan dengan serat lain yang telah menjadi komoditas ekspor seperti agel dan pandan relatif tidak berbeda jauh. Hal ini berarti serat batang melinjo (bago) mampu dan berpotensi sebagai bahan baku kerajinan. Penggunaan serat untuk kerajinan ini diharapkan akan mengurangi penggunaan kayu tropis yang semakin mahal dan langka di pasaran.
KERTAS SENI BERBAHAN LIMBAH PEWARNA ALAM RUMPUT LAUT JENIS SARGASSUM, ULVA DAN PELEPAH PISANG ABAKA Mandegani, Guring Briegel; Sumarto, Hadi; Perdana, Arif
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah Vol. 33 No. 1 (2016): Dinamika Kerajinan dan Batik
Publisher : Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Kerajinan dan Batik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22322/dkb.v33i1.1114

Abstract

ABSTRAKKertas seni merupakan kerajinan tangan dengan bahan dasar berbagai macam tanaman berserat. Serat pisang abaka, serat jerami dan serat padi telah mampu diolah menjadi kertas seni secara mandiri tanpa bahan perekat tambahan. Selama ini industri kertas seni yang ada sebagian besar menggunakan bahan baku pelepah pisang raja, pisang abaka, jerami, serat padi dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan keanekaragaman bahan baku, di antaranya dengan memanfaatkan material dari rumput laut maupun limbah rumput laut limbah pewarna alam tekstil. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakter kertas seni yang terbuat dari limbah pewarna alam dari rumput laut Sargassum sp. dan Ulva serta kombinasinya dengan material serat pisang abaka. Bahan baku pelepah pisang abaka dan limbah rumput laut diolah dengan cara pencacahan dengan ukuran 2-3 cm, direbus dengan soda api selama 2 jam, kemudian disaring dan didinginkan. Bahan kemudian saling dikombinasi dan dijadikan pulp menggunakan mesin blender. Pulp kemudian dicetak dan dianalisis secara fisik. Limbah rumput laut jenis Sargassum sp. dan Ulva dalam keadaan murni (100%) tidak dapat digunakan sebagai bahan pembuatan produk kertas seni, dikarenakan kandungan selulosa yang masih di bawah 40% sehingga kertas yang dihasilkan dari proses pencetakan bersifat rapuh, mudah sobek dan tidak rekat antara satu dengan yang lain. Sedangkan kertas dengan campuran serat pisang abaka, menghasilkan kualitas kertas seni dengan kekuatan fisik yang lebih baik daripada kertas seni murni dari rumput laut Sargassum sp. dan Ulva. Kata Kunci: kertas seni, rumput laut, Sargassum sp., Ulva, pisang abaka  ABSTRACTPaper art is a craft that uses a wide variety of fibrous plants. Abaca, straw and rice fibers can be processed into paper art independently without additional adhesive material. During this time, the existing art paper industries use many raw materials such as banana, abaca, etc., Therefore, it is necessary to conduct research and development in exploring new raw materials such as seaweed and waste of natural dyes from seaweed. The purpose of this study is to determine the character of art paper made from waste of natural dyes from Sargassum sp. and Ulva and its combination with abaca fiber. Abacá and waste materials from the seaweed are processed by being cut into 2-3 cm of length, boiled with caustic soda for 2 hours, then filtered and cooled. The materials are combined with each other and converted into pulp using a blender. The pulp is then printed and analyzed physically. Waste of seaweed Sargassum sp. and Ulva in a pure state (100%) cannot be used as materials for art paper products because the content of cellulose is still below 40% so that the paper produced from the printing process are fragile, easily brittle and  no adhesion between one another. Meanwhile, the paper art that uses abaca fibers produces paper art with better physical quality than paper art with 100% seaweed Sargassum sp. and Ulva. Keywords: Paper art, seaweed, Sargassum sp., Ulva
Penggunaan Larutan Ekstrak Etanol dari Temulawak Sebagai Fotosensitizer di Dalam Pemutihan (Pengelantangan) Pulp dengan Penyinaran Lampu Perdana, Arif
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah Vol. 30 No. 2 (2013): Dinamika Kerajinan dan Batik
Publisher : Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Kerajinan dan Batik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22322/dkb.v30i2.1153

Abstract

ABSTRAKEkstrak etanol dari temulawak (Curcuma Xanthorriza) dapat digunakan sebagai fotosensitiser pada pemutihan pulp dengan penyinaran lampu, dimana pada pemutihan ini menghasilkan oksigen singlet yang mendegradasi lignin di dalam pulp (delignifikasi) sehingga kenaikan kecerahan pulp meningkat secara signifikan. Kenaikan kecerahan pulp yang didapatkan pada pemutihan dengan penyinaran lampu pada saat waktu pemutihan 60 menit dan menggunakan ekstrak etanol temulawak sebagai fotosensitizer sebesar 4,23 %. Pemutihan dengan tidak menggunakan lampu tidak dapat meningkatkan kecerahan pulp yang cukup signifikan karena tidak menghasilkan oksigen singlet. Hasil kenaikan kecerahan pulp yang didapatkan pada pemutihan ini adalah 2,36 % pada generator oksigen singlet ditutup, dan 3,28 % pada generator oksigen singlet tidak ditutup dan 2,75 % pada pemutihan dengan pengaliran oksigen langsung ke reaktor pemutihan. Penyebab kenaikan kecerahan pulp yang lebih besar pada pemutihan pulp dengan tidak menggunakan penyinaran lampu dan generator oksigen singlet tidak ditutup daripada pemutihan pulp dengan tidak disinari lampu dan generator oksigen singlet ditutup adalah adanya kemungkinan jumlah foton yang masuk ke dalam reaktor oksigen singlet pada pemutihan dengan tanpa lampu dan reaktor oksigen singlet tidak ditutup adalah lebih besar, sehingga kemungkinan elektron dari fotosensitizer tereksitasi dan terbentuknya oksigen singlet lebih besar. Sedangkan penyebab kenaikan kecerahan pulp yang lebih besar pada pengaliran oksigen langsung ke reaktor pemutihan lebih besar daripada pemutihan pulp tidak disinari lampu dan generator oksigen singlet ditutup adalah dikarenakan pada pemutihan tanpa lampu dan tidak ditutup, oksigen triplet yang mengoksidasi pulp tidak menuju langsung ke pulp, akan tetapi melewati terlebih dahulu larutan fotosensitizer. Jadi sebagian oksigen masih ada di dalam larutan fotosensitizer, dan apabila oksigen menuju ke pulp membutuhkan waktu yang lebih lama apabila dibandingkan dengan oksigen dialirkan secara langsung menuju pulp.    Kata Kunci : pemutihan, pulp, oksigen singlet, kecerahanABSTRACTEtanol extract from temulawak can used as fotosensitizer in  pulp bleaching with lamp irradiating, which is in this pulp bleaching obtained singlet oxygen. This singlet oxygen can degradate lignin in pulp so that pulp  brightness increase  significantly after pulp bleaching. The brightness increasing obtained in pulp bleaching with lamp irradiating with bleaching time 60 minute dan use etanol extract from temulawak as fotosensitizer which the  brightness increasing is 4,23 %. Non lamp irradiating bleaching pulp cant increase brightness significantly. Brightness increasing which is obtained in this bleaching is 2,36 % in singlet oxygen generator not closed and 3,28 % in singlet oxygen generator closed. In bleaching with direct addition oxygen in bleaching reactor obtain brightness increase equal to 2,75 %. The cause increase of brightness in non lamp irradiating bleaching pulp and singlet oxygen generator not closed more than non lamp irradiating bleaching pulp and singlet oxygen generator closed is the existence of probability amount of foton which come into reactor is more in non lamp irradiating bleaching pulp and singlet oxygen generator not closed, so that amount of excited electron from fotosensitizer and singlet oxygen formed larger. While the cause of increase of brightness in bleaching with direct addition oxygen in bleaching reaktor is larger than non lamp irradiating bleaching pulp and singlet oxygen generator closed is triplet oxygen which oxydize pulp indirectly go to bleching reactor, but pass fotosensitizer solution particularly. So there is some of oxygen still in fotosensistizer solution and if oxygen go to bleaching pulp require some time more than compared with direct addition oxygen in bleaching reactor.                               Keywords : bleaching, singlet oxygen, pulp, brightness
GETAH POHON KUDO (Lannea coromandelica) SEBAGAI ALTERNATIF PEREKAT UNTUK PRODUK KERAJINAN Eskani, Istihanah Nurul; Perdana, Arif; Eskak, Edi; Sumarto, Hadi
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah Vol. 34 No. 1 (2017): DINAMIKA KERAJINAN DAN BATIK : MAJALAH ILMIAH
Publisher : Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Kerajinan dan Batik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22322/dkb.v34i1.2265

Abstract

Perekat yang biasa digunakan di industri kerajinan adalah perekat sintetis yang tidak aman bagi kesehatan maupun lingkungan. Pemanfaatan bahan baku dari alam sebagai substitusi bahan baku sintetis telah banyak dilakukan, termasuk bahan baku perekat. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan perekat yang aman digunakan untuk pembuatan barang kerajinan dengan menggunakan bahan baku dari getah pohon Kudo (Lannea coromandelica) yang biasa disebut dengan getah blendok. Getah blendok dilarutkan dalam air dengan rasio getah blendok : air = 1:3 kemudian dipanaskan dalam waterbath pada suhu 700C-800C selama 1 jam. Zat aditif Maleat Anhidrida (MAH) ditambahkan dengan kadar 2,5%, 5%, 7,5% dan 10% dari berat getah blendok, dengan masing-masing ditambahkan kadar Benzoil Peroksida (BPO) 0,75%. Perekat yang diperoleh diaplikasikan pada bahan kulit kayu Jomok (Arthocarpus elastica) dan selanjutnya dilakukan uji sifat-sifat fisis dan mekanisnya. Sifat fisis perekat dibandingkan dengan SNI 06-6049-1999 Perekat PVAc sedangkan sifat mekanisnya dibandingkan dengan performa perekat sintetis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat-sifat fisis perekat dari getah blendok telah sesuai dengan SNI dan sifat-sifat mekanisnya sebanding dengan performa perekat sintetis yang biasa digunakan di industri kerajinan.  Kata Kunci: Perekat alami, getah, pohon Kudo, maleat anhidrida