Claim Missing Document
Check
Articles

Found 21 Documents
Search

Pengaruh Pendedahan Pengharum Ruangan Gel dan Spray terhadap Diameter Tubulus Seminiferus dan Konsentrasi Sperma pada Tikus (Rattus norvegicus) Yuningtyaswari, -; Muhammad, Krisna; Noor, Zulkhah
Jurnal Mutiara Medika Vol 13, No 1 (2013)
Publisher : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pengharum ruangan mengandung subtansi berbahaya seperti phtalate dan formaldehid yang dapat mengganggu sistem reproduksi. Pthalate dan formaldehid sebagai radikal bebas berpengaruh terhadap ekspresi gen, produksi steroid hormon, gangguan sel Leydig, penurunan fungsi sel Sertoli, dan berkurangmya ekspresi reseptor pada sel-sel sistem reproduksi. Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium dengan post-test only group design. Subjek penelitian adalah 18 tikus (Rattus norvegicus) yang dibagi menjadi tiga kelompok (gel (G), spray (S) dan kontrol (K)). Perlakuan dilakukan selama 30 hari. Hari ke-31 dilakukan pembedahan untuk pengambilan organ testis dan perhitungan konsentrasi sperma. Organ dibuat preparat dengan pengecatan Hematoxilin Eosin, dilanjutkan dengan pengukuran diameter tubulus seminiferus di bawah mikroskop, lalu data diuji statistik dengan One-Way ANOVA. Hasil uji statistik dengan One-Way ANOVA menunjukkan perbedaan diameter tubulus seminiferus yang bermakna pada setiap kelompok uji (p<0,05) dengan hasil kelompok gel berdiameter paling kecil. Hasil uji One-Way ANOVA konsentrasi sperma tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05) akan tetapi kelompok gel menunjukkan konsentrasi sperma yang paling kecil. Disimpulkan bahwa pendedahan pengharum ruangan dapat mempengaruhi diameter tubulus seminiferus. Air Freshener contains harmful substances witch can disrupt the reproductive system such as formaldehyde and phthalate. Phthalate and formaldehyde as free radicals influence the gene expression, the production of steroid hormones, disturb Leydig cell, degeneration of Sertoli cell fuctions, and the expression of receptors on cells of the reproductive system is reduced. The aims of this study is to determined the effects of air freshener gels and spay exposure to the seminiferous tubules diameter and the concentration of sperm in rat. This research   is pure experimental laboratory approach with post-test only group design. Objects of this study were 18 white rats and it was divided into three groups (gel group (G), spray (S) and control (K)). The treatment carried out for 30 days with controled feed and condition of experimentals animals. We conduct surgery to got the diameter of the seminiferous tubules and sperm concentration in 31th day, and the data were formulate statistically by One-Way ANOVA. Statistical tests resulted significant comparison of seminiferous tubules diameter on each test group (p <0.05). In the statistical test of sperm concentration it hadn’t showed differences significanly (p> 0.05). It can be concluded that exposure to fragrances can affect indoor diameter of the seminiferous tubules.
Hubungan Kadar Yodium Urin dengan Kejadian Anemia dan Tumbuh Kembang Remaja di Daerah Endemik GAKI Yogyakarta Noor, Zulkhah; Vinenza, Elga Ria; Rahmatina, Izza
Jurnal Mutiara Medika Vol 12, No 2 (2012)
Publisher : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Gangguan pertumbuhan fisik dan seksual serta Anemia pernisiosa masih sering dijumpai pada pasien hipotiroidisme subklinis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari hubungan kadar ekskresi iodium urin (EIU) dengan anemia dan tumbuh kembang remaja termasuk indeks massa tubuh, usia menarche dan spermarche remaja di daerah endemik GAKI di Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian observasional, dengan desain secara cross sectional. Responden penelitian sebanyak 59 anak usia 12-16 tahun, terdiri dari 30 anak dari Lemahdadi, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul dan 29 anak dari Karangwuluh, Temon  Kulon Progo. Kadar EIU diukur dengan metode dry digestion di BP GAKI Magelang, pengukuran darah dilakukan di Hi-Lab di Yogyakarta. Pertumbuhan dan perkembangan remaja diperoleh melalui kuesioner, timbangan dan stadiometer. Data dianalisis dengan uji Mann Whitney dan uji korelasi Spearman. Kadar EIU responden termasuk kategori berlebihan dan sangat berlebihan. Persentase tertinggi BMI normal (56,25%) diperoleh pada kelompok EIU optimal. Sebaliknya, persentase IMT kurang tertinggi terdapat pada kelompok EIU berlebih (76,47%)  dan sangat berlebih (58,82%). Usia menarche dan spermarche responden adalah normal. Presentase anemia ditemukan sebanyak 33,90%. Disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat EIU dengan BMI, usia menarche dan spermarche dan jenis anemia (p > 0,05). Impaired physical growth, sexual and Pernicious anemia is frequently found in patients with subclinical hypothyroidism. The purpose of this study is to investigate the relationship with the UIE levels of anemia, and growth and development of adolescents, including body mass index, menarche and spermarche of adolescent in two GAKY endemic areas in Yogyakarta. This study is an observational, cross sectional design. Respondents are 59 children aged 12-16 years, consisted of 30 children from Lemahdadi, Bangun Jiwo, Kasihan, Bantul. and 29 children from Karangwuluh, Temon, Kulon Progo. Urinary iodine levels was measured by digestion method in BP GAKY Magelang, blood measurement carried out in Hi-Lab in Yogyakarta. Adolescent growth and development obtained through a questionnaire, the scales and stadiometer. Data were analyzed with Mann Whitney test and Spearman correlation test. The level of UIE of respondents in the two areas of research were excessive and very excessive. Highest percentage of normal BMI (56.25%) obtained at optimal UIE group. In contrast, the highest percentage of less BMI present in excess UIE group (76.47%) and very excess (58.82%). Spermarche and menarche age of respondents were normal. Percentage of anemia was found as 33.90%. It can concluded that there was no relationship between the level of UIE with BMI, age of menarche and spermarche and type of anemia (p> 0.05).
Pengaruh Senam Kebugaran Jasmani terhadap Fleksibilitas Sendi pada Wanita Usia 45-50 Tahun Noor, Zulkhah; Huda, Asep Nurul
Jurnal Mutiara Medika Vol 11, No 1 (2011)
Publisher : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Fleksibilitas sendi adalah kemampuan untuk bergerak bebas tanpa rasa sakit. Latihan fisik merupakan upaya untuk melatih tubuh dalam menjaga fleksibilitas sendi. Wanita berisiko menderita osteoporosis dan kehilangan fleksibilitas sendi mereka. Hal ini berakibat mudahnya cidera dan terbatasnya rentang gerak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan fleksibilitas sendi wanita usia 45-50 tahun yang melakukan latihan fisik dan tidak. Desain penelitian adalah cross sectional. Subyek adalah 20 orang wanita usia 45-50 tahun yang melakukan latihan fisik dan tidak. Data diperoleh dari kuesioner dan mengukur fleksibilitas sendi secara langsung menggunakan metode sit and reach. Fleksibilitas sendi mempunyai nilai e” 10 cm adalah baik, -10 cm hingga 10 cm adalah moderat dan d” 10  cm lebih buruk. Perbedaan nilai fleksibilitas sendi dianalisis dengan Mann Whitney Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai fleksibilitas sendi tertinggi wanita usia 45-50 tahun yang melakukan latihan fisik adalah 18 cm, terendah adalah 11 cm, rata-rata adalah 14,3±4.25 cm dan 100% masuk ke kategori baik. Fleksibilitas sendi nilai tertinggi wanita usia 45-50 tahun yang tidak melakukan latihan fisik adalah 2  cm, terendah adalah -17 cm, rata-rata -10 ± 7,63 cm, 25% masuk ke moderat kategori dan 75% masuk ke kategori buruk. Disimpulkan bahwa nilai fleksibilitas sendi wanita yang melakukan latihan fisik lebih baik secara bermakna daripada wanita yang tidak melakukan latihan fisik (p = 0,0001).
Uji Toksisitas Kurkumin pada Kultur Sel Luteal Noor, Zulkhah
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 1, No 2 (2001)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/1907

Abstract

Cur cumin, an active substance of turmerics (Curcuma domestica Val.; Cur-cuma xanthorhiza Robx.), is found to be an anti-fertility substance. The re¬search was aimed to examine the toxicity of curcumin to ovarian cell, espe¬cially luteal cell and to investigate the threshold of curcumin toxicity to luteal¬cell culture.The sample used were luteal cell cultures of 3-day-old corpus luteum of immature Sprague-Dawley rats which received ovulation induction of 8 iu PMSG. Luteal cell cultures were divided into 7 groups (n-10), each of which was given curcumin (mg/ml) 0 (vehicle); 0.075; 0.15; 0.3; 0.6; 1.2; 2.4, and incubated for 24 hours. Toxicity effect of curcumin was counted by hemocy- tometer with trypan blue. The difference of alive-cell number of each group was tested statistically with student t-test and Cythopatic Effect (CPE.J is counted with Reed & Muench formulation.Student t-test of mean data of alive cell showed significant difference (p<0.05) between the control group and groups which were given curcumin the same or greater than 0.15 mg/ml. Cythopatic Effect (CPE30) of curcumin to cell luteal culture is 0.55 mg/ml.Kurkumin zat aktif yang terdapat dalam rimpang kunyit (curcuma domestica Val), temulawak (Curcuma xanthorriza Robx) dan beberapa marga curcuma, ditemukan memiliki efek anti fertilitas. Penelitian ini dilakukan untuk uji toksisitas kurkumin pada sel ovarium untuk mengetahui ambang batas kurkumin yang menyebabkan kematian sel (toksis).Sampel penelitian adalah kultur sel luteal dari korpus luteum umur tiga hari dari tikus Sprague Dawley prepubertal yang mendapat induksi ovulasi dengan 8 iu PMSG. Kultur sel luteal dikelompokkam menjadi 7 kelompok (n=10), masing-masing kelompok mendapat kurkumin kadar bertingkat(mg/ml) 0; 0,075,0,15; 0,3; 0,6; 1,2; dan 2,4; kemudian diinkubasi selama 24 jam . Efek toksis kurkumin (kematian sel) dihitung menggunakan hemositometer dengan zat warna tripan blue. Perbedaan jumlah sel hidup tiap kelompok di uji dengan student t-test. Sedangkan Cythopatic Effect (CPE50) dihitung dengan rumus Reed & Muench.Student t-test rerata data sel luteal hidup menunjukkan perbedaan bermakna p<0,05) antara kelompok kontrol dengan kelompok yang mendapat kurkumin mulai konsentrasi 0,15 mg/ml. Perhitungan Cythopatic Effect (CPE50) kadar kurkumin sintesis mumi dalam metanol yang menyebabkan kematian sel luteal umur tiga hari sebanyak 50% adalah 0,55 mg/ml.
Perbedaan Prevalensi Toksoplasmosis pada Tikus dengan Uji Serologis Metode ELISA di Kecamatan Wirobrajan dan Sekitarnya Agustin, Nita Nathania; Noor, Zulkhah
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 9, No 1 (s) (2009)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Toksoplasmosis in mouse, though it doesn ’t infect directly to human, it is indirectly the source of infection to human. This is so because mouse is animal hunted by cat. Every mouse has different characteristic in every habitat, ranging from the side of ecosystem, kind offeed consumed, and how many mice can interact with other hospes like cat. From this habit it can result in the difference incidence of mouse infected by toxosoplasmosis and what extent it can infect other hospes based on its habitat. This research was to find out toxoplasmosis prevalence at mouse based on habitat serologically with ELISA method in Kecamatan Wirobrajan and the surroundings. This research used observasional method. Sample from this research was all mice caught in areas of river, market, and houses in Kecamatan Wirobrajan and the surroundings. Data collected were from mice as many as 83 mice namely 34 mice from market area, 23 mice from river area, and 26 mice from the housing area, which were taken the serum then it was read using ELISA. The result from ELISA showed that 4 mice (4.8%) were positively infected by toxoplasmosis, namely 1 mouse from the market (1.2%), 3 mice (3.6%) from the house, and found no mouse that was positive from the river (0%), then the result was examined statistically using the Kruskal Walis test that indicated the value of p=0,14 (P>0,005). Based on the result, it could be concluded that the difference of toksoplasmosis prevalence at mouse based on its habitat was not significantly different.Toksoplasmosis pada tikus meskipun tidak dapat menular secara langsung pada manusia, tetapi secara tidak langsung merupakan sumber penularan kepada manusia. Hal ini disebabkan oleh karena tikus merupakan binatang buruan bagi kucing. Setiap tikus memiliki karakteristik yang berbeda- beda di setiap habitatnya, mulai dari segi tempat hidupnya, jenis makanan yang dikonsumsinya, dan seberapa banyak tikus itu dapat berinteraksi dengan hospes lainnya seperti kucing. Dari kebiasaan inilah dapat saja menimbulkan perbedaan insidensi tikus yang terinfeksi toksoplasma dan sejauh mana dapat menginfeksi hospes lain berdasarkan habitatnya tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi Toksoplasmosis pada tikus berdasarkan habitat secara serologis dengan metode ELISA di Kecamatan Wirobrajan dan sekitarnya. Penelitian menggunakan metode observasional. Sampel penelitian adalah semua tikus yang tertangkap di sungai, pasar, dan perumahan di Kecamatan Wirobrajan dan sekitarnya. Data terkumpul yaitu tikus sebanyak 83 ekor, 34 ekor berasal dari pasar, 23 ekor dari sungai, dan 26 ekor berasal dari perumahan, diambil serum darah lalu dibaca dengan ELISA. Hasil ELISA diperoleh 4 ekor tikus (4.8%) positif terkena toksoplasma yaitu, 1 ekor berasal dari pasar (1.2%), 3 ekor (3.6%) berasal dari rumah, dan tidak ditemukan satupun tikus yang positif yang berasal dari sungai (0%), uji statistik dengan metode uji kruskal walis menunjukkan nilai p=0,14 (P>0,005). Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan prevalensi toksoplasmosis pada tikus berdasarkan habitatnya tidak berbeda bermakna.
Hubungan Kadar Ekskresi Yodium Urin Ibu Menyusui dengan Perkembangan Bayi Usia Bawah 2 Tahun di Daerah Endemik GAKY Saputra, Rizky Hermawan; Noor, Zulkhah
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 15, No 2 (2015)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) pada bayi berdampak menghambat proses tumbuh kembang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar ekskresi yodium urin (EYU) ibu menyusui dengan perkembangan bayi usia dibawah dua tahun di daerah endemik GAKY. Penelitian ini bersifat observational dengan desain cross sectional. Sampel penelitian adalah 30 ibu menyusui yang memiliki bayi berusia dibawah dua tahun. Kadar EYU diukur dengan menggunakan Ammonium Persulfat Dry Digestion dan Perkembangan bayi dinilai dengan menggunakan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP). Kadar median EYU ibu kemudian dikorelasikan dengan status perkembangan bayi, menggunakan uji Spearman. Hasil menunjukkan bahwa kadar EYU ibu optimal (173,5 ppm). Sebanyak sembilan ibu (30%) memiliki status EYU optimal, namun status perkembangan bayi dengan kategori meragukan sebanyak 12 bayi (40%). Hasil uji korelasi antara kadar EYU ibu dengan status perkembangan bayi menunjukkan p = 0,428; r = 0,150. Disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar EYU ibu menyusui dengan status perkembangan bayi usia dibawah dua tahun.Disorders due to iodine deficiency (GAKY) in infants have an effect inhibit the growth and development processes. This study aims to determine the relationship of urinary iodine excretion (UIE) of breastfeeding mothers with the development of infants aged under two years in the endemic areas of GAKY. This research is observational with cross sectional design. The sample was 30 breastfeeding mothers with babies under two years old. Urinary iodine excretion levels were measured using Dry Digestion Ammonium Persulfate and Infant Development were assessed using a Pre-Screening Appraisal Questionnaire (KPSP). The maternal UIE median level was then correlated with the infant’s developmental status, using the Spearman test. The results showed that the mother’s UIE level was optimal (173,5 ppm). There were nine mothers (30%) had optimal UIE status, but infant development status in the dubious category of 12 (40%). Result of correlation test between mother UIE level with infant development status showed p = 0,428; r = 0.150. It was concluded that there was no significant association between UIE of breastfeeding mothers and developmental status of infants aged under two years.
Hubungan Kadar Thyroid Stimulating Hormone (TSH) Darah dengan Perkembangan Motorik Anak Usia Bawah 2 Tahun di Daerah Endemik GAKY Noor, Zulkhah; Sekundaputra, Arby Shafara
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 16, No 1: January 2016
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v16i1.4729

Abstract

Salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang mengganggu tumbuh kembang anak adalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). Dalam perjalanannya pemerintah telah melakukan berbagai macam upaya penanggulangan GAKY namun kurang memuaskan. Dalam upaya membantu penanggulangan masalah GAKY dapat dilakukan dengan skrining dini, salah satunya adalah pemeriksaan Thyroid Stimulating Hormone (TSH) darah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan kadar TSH darah dengan perkembangan motorik bayi usia bawah 2 tahun. Penelitian ini adalah studi observsional dengan desain cross sectional. Subyek penelitian ini adalah 35 bayi usia bawah 2 tahun yang di ambil secara acak di 4 dusun, Desa Tegalrandu, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang. Pengukuran kadar TSH darah menggunakan metode ELISA Blood Spot. Pengukuran perkembangan motorik dilakukan dengan menggunakan tes Denver II. Analisis data menggunakan uji korelasi Pearson. Hasil pengukuran nilai rata-rata kadar TSH darah bayi usia bawah 2 tahun di Desa Tegalrandu adalah 7,15 μIU/L (optimal: 0,7-34 μIU/L). Uji korelasi Pearson untuk hubungan TSH darah dengan perkembangan motorik kasar p = 0,021 dan nilai r = -0,389, hubungan TSH darah dengan perkembangan motorik halus p = 0,891 r = - 0,024. Disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara kadar TSH darah dengan perkembangan motorik kasar namun tidak terdapat korelasi yang bermakna antara kadar TSH darah dengan perkembangan motorik halus. 
Perbedaan Efektivitas Pengukuran Suhu Tubuh Menggunakan Termometer Air Raksa Melalui Aksila dan Termometer Membran Timpani pada Klien Demam di RS PKU Muhammadiyah, Yogyakarta 2005 Noor, Zulkhah; Rochmawati, Erna; Eni Marlina, Eni
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 5, No 2 (2005)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v5i2.1878

Abstract

Body temperature is one of the indications of health status and it may be above normal. The average number of clients suffering from fever increases 35% each month. Knowing the body temperature is one of an effective ways to understand the vital symptoms before giving treatment. Thermometers which usually used to measure the body temperature are mercury and timpani membrane thermometers which each of them has its own characteristics. The aim of the study was to find the effectiveness of the two thermometers in measuring body temperature of clients suffering from fever in PKU Muhammadiyah Yogyakarta hospital.This is an observational study with cross sectional design. There were 30 respondents who suffer staying in recovery room. Their body temperatures were checked twice using mercury and timpani membrane thermometers in order to determine the result of measurement, effective time of the measurement and response toward safety level and clients comfort. The subject analysis used t- test and Me Nemar.There were 27 respondents (90%) felt more secure when measured by using mercury thermometer. Me Nemar test shows that mercury thermometer measures the body temperature saver than timpani membrane thermometer. There were 21 respondents (70%) felt more comfortable when their body temperatures were measured by using timpani membrane thermometer. Me Nemar test shows that timpani membrane thermometer measures the body temperature more comfortably. The average difference of the body temperature measured by using mercury thermometer (38,1 ± 0,7) and the average difference of the body temperature measured by using timpani membrane thermometer (38,3 ± 0,7) was ± 0,2. The t-test result shows that measuring the body temperature using mercury thermometer and timpani membrane thermometer does no have any significant difference.The time needed to measure the body temperature using mercury thermometer is 5 minutes while timpani membrane thermometer needs 2 seconds to indicate the body temperature. The clients felt more secure when their body temperature are measured using mercury thermometer. On the other hand, the clients felt more comfortable when their body temperatures are measured using timpani membrane thermometer. The result of the body temperature measured using mercury thermometer and timpani membrane thermometer does not have any significant differences.Suhu tubuh adalah salah satu indikator status kesehatan, perubahannya dapat melebihi nilai normal (demam). Rata-rata tingkat jumlah yang klien dengan demam sekitar 35% setiap bulannya. Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan untuk pengkajian tanda vital yang cepat dan tepat yaitu dengan pengukuran suhu tubuh. Termometer yang sering digunakan yaitu termometer air raksa dan termometer membran timpani yang keduanya memiliki karakteristik tersendiri. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan efektivitas pengukuran suhu tubuh menggunakan termometer air raksa dan termometer membran timpani pada klien demam di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.Jenis penelitian observasional dengan rancangan belah lintang. Sampel adalah klien demam yang dirawat di instalansi rawat inap sebanyak 30 responden. Subyek mendapatkan dua kali pengukuran dengan termometer air raksa dan termometer membran timpani untuk menentukan hasil pengukuran, waktu efektif pengukuran, dan respon terhadap tingkat keamanan dan kenyamanan. Analisa subyek menggunakan uji t-test dan McNemar.Sebanyak 27 orang klien demam (90%) merasa aman bila diukur dengan termometer air raksa. Uji McNemar, termometer air raksa mengukur suhu tubuh lebih aman. Sebanyak 21 orang klien demam (70%) merasa nyaman bila diukur dengan termometer membran timpani. Uji McNemar, termometer membran timpani mengukur suhu tubuh lebih nyaman. Perbedaan rata-rata pengukuran suhu dengan termometer air raksa (38,1±0,7) dan termometer membran timpani (38,3±0,7) ± 0,2. Uji t-test, hasil pengukuran suhu tubuh dengan termometer air raksa berbeda tidak bermakna dengan termometer membran timpani.Waktu efektif pengukuran suhu tubuh dengan termometer air raksa adalah 5 menit, sedangkan termometer membran timpani adalah 2 detik. Klien demam merasa lebih aman diukur dengan termometer air raksa. Klien demam merasa lebih nyaman diukur dengan termometer membran timpani. Hasil pengukuran suhu tubuh termometer air raksa berbeda tidak bermakna dengan termometer membran timpani.
Pengaruh Program Olahraga Umum (Senam Aerobik) dan Khusus (Body Language dan Senam Aerobik) terhadap Penurunan Berat Badan Sugiarti, Nanik; Noor, Zulkhah
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 8, No 1 (2008)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v8i1.1648

Abstract

Overweight is one among several risk factors of many diseases and disrupts the beautiful contour of the body. The aim of this study was to find out the difference of weight loss produced by ordinary (aerobic exercise) and special (body language and aerobic exercise) sport program for weight loss. The design of this study was observational. The subjects divided into 2 groups consisted of women less than forty years old who followed the weight loss program in Kartika Dewi gym. 25 women followed ordinary program and 11 women followed extraordinary program. Respondents filled questioner about subject criteria information and the exercise program that have been doing including exercise duration, intensity and regularity, then measured body weight one month after introduction exercise and one month after core exercise. The statistical analysis was carried out using student t- test. The mean weight loss in ordinary program group was 0,34 kg and in extraordinary program group was 1,32 withp value 0,055. Among other variables only exercise duration of ordinary program gave significant value to weight loss with p value 0,007. The conclusion was extra ordinary program was more effective to loss weight than ordinary program. If we want to get maximum weight loss, we should not only do exercise with long duration but also continuously.Kegemukan merupakan faktor resiko penting dari berbagai penyakit an dapat mengurangi keindahan bentuk tubuh. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan penurunan berat badan hasil dari program olahraga umum (senam aerobik) dan khusus (body language dan senam aerobik) untuk penurunan berat badan. Desain penelitian ini adalah prospective cohort. Subyek penelitian sejumlah 36 terdiri atas perempuan yang berusia kurang dari 40 tahun yang mengikuti program penurunan berat badan di sanggar senam Kartika Dewi. Subyek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok program olah raga umum dan khusus. Semua responden mengisi kuesioner mengenai informasi kriteria subyek dan program latihan yang dijalani meliputi lama, intensitas dan keteraturan latihan, kemudian dilakukan penimbangan berat badan 1 bulan setelah latihan pendahuluan dan 1 bulan setelah latihan inti. Analisis statistik yang dipakai yaitu annova satu jalan. Rata-rata penurunan berat badan kelompok program umum sebesar 0,34 kg dan program khusus sebesar 1,32 kg dengan nilai p 0,055. Lama latihan pada program olahraga umum (senam aerobik) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan berat badan dengan nilai p 0,007, sedangkan intensitas dan keteraturan latihan tidak memberikan pengaruh yang signifikan.
Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Penduduk yang Tinggal di Dekat dan Jauh dengan Jalur Kereta Api Arfah, Aldila Satyanugraha Al; Noor, Zulkhah
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 8, No 1 (s) (2008): April
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v8i1 (s).1640

Abstract

One of hypertension risk factor is stress because of noise. Source of noise come from railway track. Objectives of this research is to find the difference of hypertension prevalence between risk people who lived near and far from railway track. The research used crossectional causal comparative study. The populations are people 35 years old or more who lived near and far from railway track. The samples were 100 subjects per group. We were collected data by interviewed based on the questioner and measured blood pressure. The data analyses were by Mann-Whitney test and t-test. The hypertension prevalence of people who lived near from railway track with 13 % hypertension stage I, 6 % stage II wasn ’t significantly different with the hypertension prevalence of people who lived far from railway track with 13 % hypertension stage I, 10 % stage II (p=0,435). The difference prevalence of hypertension between people who lived near and far from railway track with hypertension risk factors were BMI 34,61% and 40,00% (p=0,032), smoking23,53%and47,06% (p=0,200), alcoholics 0,00%and 100,00% (p=0,200), history of hypertension 52,94% and54,84% (p=0,000), sports 18,46% and 15,63% (p=0,029), disease caused hypertension 37,50% and 62,50% (p=0,002), high salt diet 32,43% and 28,13% (p=0,034). The nose of railway track wasn’t significantly influence the prevalence of hypertension.Salah satu faktor resiko hipertensi adalah stress akibat bising yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi, salah satunya bisingjalur kereta api. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kejadian hipertensi penduduk pada populasi yang beresiko yang tinggal di dekat dan jauh dari jalur kereta api. Penelitian ini menggunakan metode kausal komparatif cross sectional. Populasi adalah penduduk laki-laki dan perempuan dengan usia 35 tahun atau lebih yang tinggal di dekat dan jauh dari jalur kereta api, dengan total sampel 100 per group. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi yang didasarkan kuesioner dan pengukuran tekanan darah. Analisis data menggunakan Mann-Whitney test dan uji beda t-test. Prevalensi hipertensi penduduk yang tinggal dekat jalur kereta api terdiri atas hipertensi stage I 13 %, stage II 6 %, tidak berbeda bermakna dengan penduduk jauh dari jalur kereta api yakni stage I 13 %, stage II 10 % (p=0,435). Perbedaan prevalensi hipertensi dengan berbagai faktor resiko pada penduduk dekat jalur kereta api dan penduduk jauh jalur kereta api berturut- turut sebagai berikut: BMI 34,61% dan 40,00% (n=0,032), merokok 23,53% dan 47,06% (n=0,200), minum-minuman beralkohol 0,00% dan 100,00% (n=0,200), riwayat hipertensi 52,94% dan 54,84% (n=0,000), tidak melakukan olahraga 18,46% dan 15,63% (n=0,029), penyakit pencetushipertensi 37,50% dan 62,50% (n=0,002), diet tinggi garam 32,43% dan 28,13% (n=0,034). Bising kereta api tidak mempengaruhi prevalensi hipertensi secara bermakna.