Kadek Agus Heryana Putra, Kadek Agus
Bagian/SMF Ilmu Anestesi Dan Terapi Intensif RSUP Sanglah, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Published : 17 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search
Journal : PREPOTIF : Jurnal Kesehatan Masyarakat

EPIDURAL BUPIVACAINE 0,25% MENURUNKAN KONSUMSI OPIOID PADA PASIEN PEDIATRI DENGAN WILMS TUMOR YANG MENJALANI NEFREKTOMI RADIKAL PER LAPAROSKOPI : SEBUAH LAPORAN KASUS Dharmawan, IGB Adi; Putra, Kadek Agus Heryana; Ratumasa, Marilaeta Cindryani Ra
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 9 No. 2 (2025): AGUSTUS 2025
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v9i2.45654

Abstract

Wilms Tumor (WT) merupakan tumor ginjal ganas tersering pada anak, dengan prevalensi 2-6% dari kasus keganasan anak. Pendekatan minimal invasif dengan laparoskopi menjadi pilihan terapi. Penggunaan anestesi epidural dengan bupivacaine menjadi salah satu pilihan manajemen nyeri multimodal yang dapat meningkatkan kenyamanan, menstabilkan hemodinamik, serta menurunkan kebutuhan opioid. Kami melaporkan kasus anak perempuan 5 tahun dengan massa ginjal kiri sesuai WT yang telah mendapat 12 seri kemoterapi. Pasien menjalani nefrektomi radikal per laparoskopi dengan anestesi umum kombinasi analgesia epidural. Induksi menggunakan sevoflurane, fentanyl, atracurium, dan pemeliharaan dengan sevoflurane 2-2,5%. Kateter epidural dipasang dengan bupivacaine 0,25% untuk analgesia perioperatif. Operasi dikonversi menjadi laparotomi terbuka karena adhesi dan hematoma renal. Hemodinamik tetap stabil selama 8 jam operasi, dengan perdarahan 200 ml. Nyeri pascaoperasi dikelola dengan bupivacaine 0,1% + morfin epidural dan parasetamol. Penggunaan anestesi epidural bupivacaine 0,25% memberikan stabilitas hemodinamik selama operasi. Analgesia epidural multimodal dengan morfin memperpanjang efek analgesik pascaoperasi, mengurangi kebutuhan opioid sistemik, mempercepat ekstubasi dan pemulihan. Pemantauan ketat di PICU diperlukan untuk mendeteksi komplikasi. Penggunaan anestesi epidural sebagai modalitas tambahan pada nefrektomi Wilms Tumor efektif menstabilkan hemodinamik intraoperatif, mengoptimalkan kontrol nyeri pascaoperasi, serta mendukung pemulihan pasien yang lebih cepat dan nyaman.
CASE REPORT : A NON MUSCLE RELAXANT TECHNIQUE FOR A MYASTHENIA GRAVIS PATIENT UNDERGOING VIDEO-ASSISTED THORACOSCOPIC SURGERY Ratumasa, Marilaeta Cindryani Ra ,; Putra, Kadek Agus Heryana; Arisadika, Putu Bagus
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 9 No. 2 (2025): AGUSTUS 2025
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v9i2.45656

Abstract

Miastenia gravis (MG) adalah kelainan autoimun kronis langka yang mengganggu transmisi neuromuskular dan ditandai dengan kelemahan otot rangka yang berfluktuasi. Penatalaksanaan anestesi pada pasien dengan MG menghadirkan tantangan yang signifikan, terutama karena sensitivitas mereka yang berubah terhadap agen anestesi dan peningkatan risiko komplikasi pernapasan pascaoperasi. Seorang pria berusia 54 tahun yang didiagnosis dengan MG dijadwalkan menjalani operasi torakoskopi berbantuan video (VATS) untuk membuat jendela perikardial dan mendapatkan biopsi, yang dipicu oleh adanya efusi perikardial melingkar sedang hingga berat. Riwayat medisnya meliputi kesulitan pernapasan dan penyakit paru restriktif, yang memerlukan pendekatan anestesi yang cermat yang menghindari penggunaan agen penghambat neuromuskular untuk mencegah risiko kelumpuhan yang berkepanjangan. Anestesi dipertahankan dengan aman menggunakan kombinasi remifentanil dan propofol, dan isolasi paru-paru dicapai secara efektif dengan pemasangan tabung endotrakeal lumen ganda. Pendekatan ini memungkinkan upaya pernapasan spontan dan kondisi intraoperatif yang stabil. Kasus ini menggambarkan pentingnya perencanaan anestesi individual pada pasien MG, dengan menekankan perlunya menghindari relaksan otot dan mempertahankan fungsi pernapasan, terutama dalam prosedur bedah toraks. Dengan menyesuaikan strategi anestesi dengan pertimbangan patofisiologi spesifik MG, hasil perioperatif yang optimal dapat dicapai pada populasi berisiko tinggi ini.
PREOPERATIVE STABILIZATION OF INFANTS BORN WITH CONGENITAL DIAPHRAGMATIC HERNIA : A CASE REPORT Putra, Putu Enggi Pradana; Pradhana, Adinda Putra; Putra, Kadek Agus Heryana
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 9 No. 3 (2025): DESEMBER 2025
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v9i3.49457

Abstract

Hernia diafragma kongenital adalah kelainan bawaan langka, di mana organ perut masuk ke rongga toraks akibat defek pada diafragma. Pada praktik kedokteran saat ini, penundaan operasi hingga stabilisasi kardiorespiratori tercapai terlebih dahulu mulai dipopulerkan. Pasien merupakan neonatus aterm (37–38 minggu) dengan distress napas 10 menit setelah lahir. Skor Apgar 7 dan 6 pada menit ke-1 dan ke-5, tangisan tidak teratur, tubuh kemerahan, dan ekstremitas sianosis. Bunyi peristaltik terdengar di hemitoraks kiri, dan foto toraks menunjukkan hernia diafragma kongenital kiri dengan pergeseran mediastinum. Pasien mendapat ventilasi dengan mode volume control/assist control (VC/AC): fraksi oksigen (FiO₂) 35%, laju napas 40, positive end-expiratory pressure (PEEP) 6, mempertahankan saturasi oksigen perifer (SpO₂) 91–99%. Setelah pasien stabil, dilakukan laparotomi dengan anestesi umum. Premedikasi berupa atropin dan fentanil, induksi dan pemeliharaan menggunakan oksigen, sevofluran, dan udara terkompresi. Analgesia pascaoperasi diberikan fentanil dan parasetamol. Evaluasi pascaoperasi menunjukkan suara napas kiri membaik dan bunyi peristaltik menghilang. Pasien dirawat di NICU selama tiga hari, kemudian lima hari di ruang rawat biasa sebelum pulang. Penundaan operasi memberikan waktu adaptasi terhadap hipoplasia paru dan kontrol hipertensi pulmonal. Mekanisme proteksi paru yang meliputi volume tidal rendah dan hiperkapnia yang ditoleransi penting untuk mengurangi komplikasi. Kasus ini menegaskan pentingnya penundaan operasi hingga setelah stabilisasi pada hernia diafragma kongenital.  
THE COMPARISON OF ATRACURIUM DOSES IN PRODUCING INTUBATION QUALITY, ONSET, DURATION OF MUSCLE RELAXATION IN SURGERIES WITH GENERAL ANESTHESIA Suastika, I Gede Juli; Jeanne, Bianca; Sidemen, IGP Sukrana; Hartawan, IGAG Utara; Senapathi, Tjokorda Gde Agung; Widnyana, I Made Gede; Suarjaya, I Putu Pramana; Dewi, I Dewa Ayu Mas Shintya; Putra, Kadek Agus Heryana; Aryasa EM, Tjahya
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 9 No. 3 (2025): DESEMBER 2025
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v9i3.50077

Abstract

Relaksan otot secara rutin digunakan selama anestesi umum untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal dan mempertahankan kondisi kerja bedah yang optimal. Atracurium merupakan alternatif yang banyak digunakan dibandingkan rokuronium dan paling sering digunakan dalam anestesi umum untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal serta memberikan relaksasi otot rangka selama ventilasi atau ventilasi mekanis. Pemberian atracurium dalam dosis tinggi yaitu 1 mg/kgBB (4ED95) dibandingkan dengan dosis umum 0,5 mg/kgBB (2ED95) dapat memberikan waktu onset intubasi yang lebih cepat, durasi kerja obat yang lebih lama, kualitas intubasi yang lebih baik, serta kondisi hemodinamik yang cukup stabil. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni yang dilakukan di ruang operasi Bedah Sentral sebuah rumah sakit pendidikan, dimulai pada Juli 2024 hingga jumlah sampel penelitian terpenuhi. Populasi penelitian adalah pasien berusia 18–65 tahun yang akan menjalani operasi elektif dengan anestesi umum menggunakan laringoskopi intubasi endotrakeal. Analisis data dilakukan dengan bantuan SPSS versi 26, termasuk uji normalitas Shapiro-Wilk, uji Chi-square, dan uji berpasangan. Jumlah total subjek dalam penelitian ini adalah 38 pasien ASA I dan ASA II yang menjalani intubasi endotrakeal. Rerata waktu onset obat pada kelompok perlakuan adalah 133,21 ± 7,86 detik dan pada kelompok kontrol adalah 230,05 ± 33,45 detik. Rerata durasi kerja obat pada kelompok kasus adalah 72,95 ± 8,50 menit, sedangkan pada kelompok kontrol adalah 34,00 ± 5,42 menit. Tidak terdapat perbedaan signifikan pada stabilitas hemodinamik dan denyut nadi selama proses intubasi yang baik pada kedua kelompok. Kualitas intubasi sangat baik ditemukan pada 19 pasien (100%) di kelompok perlakuan dibandingkan dengan 4 pasien (21,1%) di kelompok kontrol.
THE EFFECTIVENESS OF GREATER AURICULAR NERVE (GAN) BLOCK USING ISOBARIC ROPIVACAINE AS AN ANALGESIC ADJUVANT AS COMPARED TO INTRAVENOUS OPIOID AS ANALGESIA FOR MIDDLE EAR SURGERY Tirta, Ian; Widnyana, I Made Gede; Sinardja, Cynthia Dewi; Putra, Kadek Agus Heryana; Parami, Pontisomaya; Suarjaya, I Putu Pramana; Wiryana, Made; Senapathi, Tjokorda Gde Agung
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 8 No. 1 (2024): APRIL 2024
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v8i1.27255

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas Blok Saraf Aurikular Besar menggunakan ropivakain isobarik terhadap jumlah penggunaan opioid selama dan setelah operasi, penilaian hemodinamik, intensitas nyeri, dan penilaian respons mual dan muntah post-operatif. Jenis penelitian ini adalah eksperimental murni (eksperimental sejati). Desain penelitian yang digunakan adalah uji acak terkontrol buta tunggal (RCT). Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 48 pasien berusia di atas 18 tahun hingga 65 tahun yang menjalani operasi telinga bagian tengah-bagian dalam di Rumah Sakit Prof IGNG Ngoerah, Denpasar. Analisis data dilakukan menggunakan SPSS versi 26 untuk uji t-tidak tergantung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fentanyl P1 adalah 77,08 ± 32,90 mg dan P0 adalah 97,92 ± 37,53 mg, p = 0,003. Kebutuhan morfin ditemukan dalam 3 jam, P1 adalah 0,58 ± 0,77 mg dan P0 ditemukan menjadi 1,04 ± 0,69 mg, p < 0,001. Kebutuhan morfin 6 P1 adalah 0,79 ± 0,72 mg dan P0 ditemukan menjadi 2,63 ± 1,27 mg, p < 0,001. Kebutuhan morfin selama 24 jam P1 adalah 1,50 ± 1,14 mg dan P0 ditemukan menjadi 3,92 ± 1,66 mg, p < 0,001. Intensitas nyeri ditemukan lebih rendah pada 3, 6, 12, 18, dan 24 jam pada P1 (p <0,05). Perbaikan hemodinamik > 20% pada P0 ditemukan pada 15, 30, 60, dan 120 menit, sedangkan kelompok P1 ditemukan stabil (p <0,001). Skor mual dan muntah selama 24 jam P1 adalah 1,92 ± 1,01 dan P0 adalah 2,75 ± 1,03, p = 0,007.
COMPARISON OF SEVOFLURANE WITH PROPOFOL ON THE INCIDENCE OF EMERGENCE AGITATION AFTER GENERAL ANAESTHESIA IN PAEDIATRIC PATIENTS UNDERGOING LAPARATOMY SURGERY AT RSUP PROF. DR. I. G. N. G. NGOERAH Giovanni, Malvin; Suarjaya, I Putu Pramana; Kurniyanta, I Putu; Wiryana, Made; Senapathi, Tjokorda Gde Agung; Suranadi , I Wayan; Widyana, I Made Gede; Putra, Kadek Agus Heryana
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 8 No. 1 (2024): APRIL 2024
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v8i1.27269

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa perbandingan antara penggunaan sevofluran dan propofol sebagai obat pemeliharaan anestesi dapat mengurangi insiden AK pada pasien pediatrik yang menjalani operasi laparotomi di RS PROF. Dr. I.G.N.G. Ngoerah. Penelitian ini adalah studi kohort prospektif yang dilakukan pada 84 pasien berusia 3-12 tahun dengan ASA I-II yang menjalani operasi laparotomi. Semua pasien dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima pemeliharaan anestesi dengan sevofluran dan kelompok yang menerima pemeliharaan anestesi dengan propofol. Setelah anestesi dari awal ekstubasi hingga 1 jam di ruang pemulihan, pasien diperiksa dan dicatat apakah terjadi AK menggunakan Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) dan tingkat keparahannya. Jika skornya > 12, pasien diindikasikan mengalami AK. Hasil penelitian menunjukan bahwa perbandingan penggunaan obat pemeliharaan anestesi menggunakan propofol dan sevofluran terhadap insiden AK dan ditemukan bahwa 21,4% dari kelompok yang menggunakan propofol mengalami AK, dan 59,5% dari kelompok yang menggunakan sevofluran mengalami AK, nilai p <0,001 dengan OR 5,392; 95% CI [2.06 - 14.09]. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa semakin muda usia meningkatkan risiko insiden AK dibandingkan dengan anak-anak yang lebih tua. Propofol secara signifikan mengurangi insiden Agitasi Kebangkitan (AK) dibandingkan dengan sevofluran pada pasien pediatrik yang menjalani operasi laparotomi di RS PROF. Dr. I. G. N. G. Ngoerah.