Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search
Journal : JURNAL BIOMEDIK

International Normalizing Ratio (INR) pada pasien multitrauma di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Ratuwalangon, Verro; Kalesaran, Laurens T. B.; Panelewen, Jimmy; Sapan, Heber B.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.2.2016.12671

Abstract

Abstract: Trauma is the leading cause of deaths in patients aged less than 45 years. Life-threatening bleeding which usually occurs in multitraumatic patients is caused by vascular injury along with coagulopathy. Several studies on multitraumatic patients showed that the risk of coagulopathy occurred along with increasing Injury Severity Score (ISS) which is directly proportional to the increase of International Normalizing Ratio (INR) with an impact of increase of mortality rate. Although INR as an indicator of coagulopathy in multitraumatic patients is still unclear, early monitoring of coagulation is important to detect coagulopathy due to trauma. This study aimed to obtain the relationship of INR and multi-traumatic patients. This was an analytical study with a cross sectional design conducted in Energency Room Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado from December 2015 to March 2016. ISS for multi trauma was ˃16, meanwhile INR for coagulopathy risk was ˃1.5 and without that risk was ≤1.5. There were 30 patients in this study aged 13-80 years old. Of 26 patients with ISS 17-25, one had INR >1.5. Moreover, ISS 26-59 was found in 4 patients; all had INR >1.5. All patients with INR ˃1.5 died. Conclusion: Increase of ISS was proportionally to increase of INR which was further proportionally to the increase of mortality rate in multiraumatic patients.Keywords: coagulopathy, INR, ISSAbstrak: Trauma merupakan penyebab kematian utama pada pasein berusia kurang dari 45 tahun. Perdarahan yang mengancam nyawa pada pasien multitrauma biasanya disebabkan oleh cedera vaskular disertai koagulopati. Studi mengenai pasien multitrauma memperlihatkan adanya risiko koagulopati pada peningkatan nilai Injury Severity Score (ISS), yang secara proporsional sejalan dengan peningkatan nilai INR dengan akibat peningkatan angka kematian. Monitoring dini dari koagulasi sangat penting untuk mendeteksi terjadinya koagulopati akibat trauma. Walaupun demikian INR sebagai indikator koagulopati belum jelas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan INR dan pasien multitrauma agar dapat mengenali terjadinya koagulopati. Jenis penelitian ini analitik dengan desain potong lintang, dilaksanakan di Ruang Emergensi Bedah BLU RSUP Prof. R. D. Kandou Manado sejak Desember 2015 sampai dengan Maret 2016. Batasan multi trauma untuk ISS ialah skor ˃16, sedangkan batasan untuk INR dengan risiko koagulopati ˃1,5 dan yang tanpa risiko koagulopati ≤1,5. Hasil penelitian mendapatkan 30 pasien multi trauma berusia 13-80 tahun. Pada kelompok ISS 17-25 terdapat 26 pasien; satu diantaranya dengan INR >1,5. Pada kelompok ISS 26-59 terdapat 4 pasien; semuanya mempunyai INR >1,5. Semua pasien dengan INR ˃1,5 meniggal. Simpulan: Peningkatan ISS proporsional dengan peningkatan INR yang selanjutnya proporsional terhadap peningkatan angka kematian pasien multitrauma.Keywords: koagulopati, INR, ISS
Kadar Bilirubin, Alkalin Fosfatase, dan Gamma Glutamil Transpeptidase Serum sebagai Prediktor Batu Duktus Koledokus pada Pasien Batu Empedu Simtomatik Kaunang, Maria; Panelewen, Jimmy; Mambu, Toar
Jurnal Biomedik : JBM Vol 11, No 1 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.11.1.2019.23209

Abstract

Abstract: Complications of the common bile duct stone occur in 10-15% of patients with gallstones. Bilirubin, alkaline phosphatase (ALP), and gamma glutamyl transpeptidase (GGT) are routine laboratory tests performed on patients with gallstones. This study was aimed to determine whether bilirubin, ALP, and GGT serum could be used as predictors of common bile duct stone in patient with symptomatic gallstone at Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado and its satellite hospitals. This was a prospective analytical observational study with a cross sectional design. Subjects were 38 patients with symptomatic gallstone that underwent definitive surgery. The bilirubin, ALP, and GGT serum levels were taken at presentation. Receiver operating character-istic curve analysis was used to determine optimal biochemical cut-off value of each parameter. The results showed that of 38 patients, 22 patients were male and 16 patients were female. The mean ages were 52 years in males and 47 years in females. There were 28 patients proven to have stones in common bile ducts. All parameters were proven to be effective in predicting common bile duct stone, as follows: bilirubin cut-off point was 1.6 U/L with sensitivity of 96.4% and specifity of 90%; ALP cut-off point was 114 U/L with sensitivity of 82.1% and specifity of 90%; and GGT cut-off point was 102.5 U/L with sensitivity of 85.7% and specifity of 90%. Conclusion: Bilirubin, ALP, and GGT serum levels can be used as predictors of common bile duct stone in patient with symptomatic gallstone.Keywords: bilirubin, ALP, GGT, common bile duct stoneAbstrak: Komplikasi batu duktus koledokus terjadi pada 10-15% pasien dengan batu empedu. Bilirubin, alkalin fosfatase (ALP), and gamma glutamil transpeptidase (GGT) merupakan pemerik-saan laboratorium rutin pada pasien dengan batu empedu. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan apakah bilirubin, ALP, dan GGT serum dapat dipakai sebagai prediktor batu duktus koledokus pada pasien dengan batu empedu simtomatik di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dan rumah sakit jejaringnya. Jenis penelitian ialah observasional analitik prospektif dengan desain potong lintang. Pemeriksaan kadar bilirubin, ALP, dan GGT serum dilakukan pada semua subyek saat didiagnosis batu empedu simtomatik. Receiver operating characteristic curve analysis diguna-kan untuk menentukan nilai titik potong biokimia yang optimal dari setiap parameter. Hasil penelitian mendapatkan sebanyak 38 pasien dengan batu empedu simtomatik yang menjalani operasi definitif, terdiri dari 22 pasien laki-laki and 16 pasien perempuan. Rerata usia subyek ialah 52 tahun pada laki-laki dan 47 tahun pada perempuan. Terdapat 28 pasien terbukti dengan batu duktus koledokus. Semua parameter terbukti efektif dalam memrediksi batu doktus koledokus sebagai berikut: titik potong bilirubin serum 1,6 U/L dengan sensitivitas 96,4% and spesifitas 90%; titik potong ALP serum 114 U/L dengan sensitivitas 82,1% dan spesifitas 90%; titik potong GGT serum 102,5 U/L dengan sensitivitas 85,7% dan spesifitas 90%. Simpulan: Kadar bilirubin, ALP, dan GGT serum dapat dipakai sebagai prediktor batu duktus koledokus pada pasien dengan batu empedu simtomatik.Keywords: bilirubin, ALP, GGT, batu duktus koledokus
Perbandingan mortalitas antara tindakan drainase perkutan dan laparotomi eksplorasi pada pasien perforasi ulkus peptikum Tamuntuan, Yenzher C.; Sapan, Heber B.; Panelewen, Jimmy
Jurnal Biomedik : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.2.2016.12701

Abstract

Abstract: Perforated peptic ulcer is a serious complication of peptic ulcer and surgery is the main selected treatment. Nowadays, conservative treatment is performed on highrisk patients or those with poor condition to be operated. Percutaneous drainage using intraabdominal drain under local anaesthesia combined with conservative treatment could improve the patient’s condition and decrease the mortality rate. This was a comparative study between two treatments: laparotomy with simple patch closure under general anesthesia and percutaneous drainage under local anesthesia. The study was conducted at Surgery Department Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado from Januari 2014 until the samples were completed. Subjects were obtained by using inclusion ctriteria. The number of samples were: N1 = N2 = 21 with a total of 42. The results showed that among patients with Boey score 3 the mortality of those with percutaneous drainage was lower (8 out of 15 patients; 53.3%) than those with laparotomy (4 out of 5 patients; 80%). Conclusion: Percutaneous drainage combined with conservative treatment was the best treatment among perforated peptic ulcer patients that were highrisk or had Boey score 3.Keywords: perforated peptic ulcer, percutameous drainage, laparotomy, mortalityAbstrak: Perforasi ulkus peptikum merupakan komplikasi serius ulkus peptikum yang mengancam nyawa. Pembedahan merupakan pilihan penanganan utama. Saat ini penanganan konservatif dilakukan pada pasien berisiko tinggi atau dengan kondisi terlalu buruk untuk dilakukan operasi. Drainase perkutan dengan memasukkan drain intraabdominal di bawah anastesi lokal dikombinasikan dengan penanganan konservatif dapat memperbaiki kondisi pasien dan menurunkan angka mortalitas. Jenis penelitian yang digunakan ialah studi perbandingan dua tindakan: laparotomi disertai simple patch closure dengan anestesi umum dan drainase perkutan dengan anestesi lokal. Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Bedah BLU/RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado sejak bulan Januari 2014 sampai sampel tercukupi. Subjek penelitian diambil dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi. Besar sampel ialah: N1 = N2 = 21 dengan jumlah total 42. Hasil penelitian memperlihatkan pada pasien dengan skor Boey 3 didapatkan mortalitas pasien drainase perkutan lebih rendah yaitu 8 dari 15 pasien (53,3%), dibanding laparotomi dengan mortalitas 4 dari 5 pasien (80%). Simpulan: Tindakan drainase perkutan dikombinasi dengan perawatan konservatif merupakan tindakan yang paling baik pada pasien perforasi ulkus peptikum dengan risiko operasi yang tinggi atau pasien dengan skor Boey 3.Kata kunci: perforasi ulkus peptikum, drainase perkutan, laparotomi, mortalitas
Perbandingan indeks massa tubuh, lingkar pinggang, dan rasio pinggang pinggul sebagai faktor risiko kanker kolorektal Khosama, Yuansun; Sapan, Heber B.; Panelewen, Jimmy; Kalesaran, Laurens T. B.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.2.2016.12670

Abstract

Abstract: Globally, colorectal cancer is the 4th cause of deaths. Risk factors of colorectal cancer are divided into modified and unmodified; obesity is one of the modified factors. It is accepted that insulin resistance and metabolic dysfunction act as a link between obesity and colorectal cancer. Distribution of fat tissue in Asian including Indonesian differs from that in Western people. Although of the same body mass index (BMI), Asian have higher fat tissue level than the Westerns. Body fat tissue can be measured by using BMI, waist circumference (WC), and waist-hip ratio (WHR). Acurate anthropometric measurements play some important roles in prevention of colorectal cancer. This study aimed to compare the three anthropometric parameters in colorectal cancer patients. This was a descriptive analytical study with a cross sectional design. Subjects were colorectal patients admitted to Surgery Department of Sam Ratulangi University Manado and its collaborationg hospitals from June 2015 to December 2015. There were 33 colorectal cancer patients in this study consisted of 22 males and 11 females. The ages ranged from 27 years to 77 years. The sensitivity result was as follows: BMI 33.3%, WC 51%, and WHR 42%, meanwhile the specifity result was 75.80%; 60.60%; and 60.60% respectively. The X2 test showed a P value of 0.327. Conclusion: Statistically, BMI, WC, and WHR showed no significant difference as the risk factors of colorectal cancer. However, the three parameters have to be used together to detect the accumulation of body fat tissue. It is suggested that the detection has to be applied in primary health care to diminish the colorectal cancer risk.Keywords: colorectal cancer, BMI, WC, WHRAbstrak: Kanker kolorektal (KKR) merupakan penyebab kematian keempat terbanyak di dunia. Secara garis besar faktor risiko KKR terbagi atas yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi, salah satunya ialah obesitas. Resistensi insulin dan disfungsi metabolik menjadi penghubung antara obesitas dan karsinoma kolorektal. Distribusi lemak tubuh pada orang Asia, termasuk Indonesia, berbeda dengan distribusi lemak tubuh pada orang Barat. Pada indeks massa tubuh (IMT) yang sama, orang Asia memiliki kadar lemak tubuh yang lebih tinggi dibandingkan orang Barat. Kadar lemak tubuh dapat dinilai melalui pengukuran IMT, lingkar pinggang (LP), dan rasio pinggang-pinggul (RPP). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ketiga parameter ukuran antropometri tubuh pada pasien KKR. Penentuan patokan antropometri tubuh yang tepat membantu tindakan preventif KKR. Jenis penelitian ialah deskriptif analitik dengan desain potong lintang. Subyek penelitian ialah pasien KKR yang dirawat di Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado dan RS jejaringnya sejak bulan Juni 2015-Desember 2015. Hasil penelitian mendapatkan 33 pasien KKR (22 laki-laki dan 11 perempuan). Usia pasien berkisar 27-77 tahun. Sensitivitas IMT ialah 33,3%; LP 51%; dan RPP 42%, sedangkan spesifisitas berturut-turut ialah 75,80%; 60,60%; dan 60,60%. Uji X2 mendapatkan nilai P = 0,327. Simpulan: IMT, LP, dan RPP secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna sebagai faktor risiko KKR. Ketiganya harus diukur bersama-sama untuk mendeteksi akumulasi lemak tubuh. Disarankan deteksi harus dimulai di pelayanan primer untuk mengurangi risiko KKR.Kata kunci: KKR, IMT, LP, RPP
Analisis pengaruh pemberian virgin coconut oil (VCO) terhadap adhesi intraperitoneal ., Erwin; Panelewen, Jimmy; Lahunduitan, Ishak
Jurnal Biomedik : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.2.2016.12700

Abstract

Abstract: Intraperitoneal adhesion is an attachment between intraperitoneal tissue and organ in the form of fibrosis. The occurences of intraperitoneal adhesion are 67-93% after laparotomy and 97% after gynecological operation. Adhesion between wound and omentum occurs in 80% of patients; 50% involve the intestines. Prevention and inhibition of adhesion formation can be done by decreasing post traumatic inflammation. There are several substances that can be used for that purpose, inter alia: anti-inflammation, anti-histamine, anti-coagulant (heparin), anti-oxidant, proteolytic enzymes, and tissue plasminogen activator. It is already known that virgin coconut oil (VCO) has several important roles, such as: anti-inflammation, antithrombosis, mechanical barrier, and antioxidant due to its tocopherol content. This study aimed to obtain the influence of several doses of intraperitoneal VCO on intraperitoneal adhesion macroscopically and microscopically after laparotomy. This was an analytical interventional study using control. Samples were male Wistar rats (Rattus norvegicus) with an average body weight of 175-200 g. The results of Kruskal-Wallis chi-square tests were 16.381, df = 4, and Asymp sig = 0.003 (P < 0.05) for macroscopical grading (Zühlke) meanwhile 15.160, df = 4, and Asymp sig = 0.004 (P < 0.01) for microscopical grading (Yilmaz). Conclusion: There was a statistically significant difference in macroscopical grades according to Zühlke and in microscopical grades according to Yalmiz among the five groups concerning the occurence of intraperitoneal adhesion in Rattus norvegicus.Keywords: intraperitoneal adhesion, virgin coconut oil (VCO).Abstract: Adhesi intraperitonial adalah timbulnya perlengketan berupa fibrosis antara jaringan dan organ di dalam rongga abdomen. Kejadian adhesi intraperitoneal sekitar 67-93% setelah operasi laparotomi bedah dan mencapai 97% pada operasi ginekologi. Adhesi antara luka dan omentum terjadi pada 80% pasien dan sekitar 50% melibatkan usus. Untuk mencegah atau mengurangi pembentukan adhesi dapat dilakukan dengan menurunkan inflamasi pasca trauma melalui bahan atau obat anti-inflamasi, anti-histamin, anti-koagulan (heparin), anti-oksidan, enzim proteolitik, dan tissue plasminogen activator. Virgin Coconut Oil (VCO) telah diketahui berperan sebagai antiinflamasi, antitrombotik, barier mekanik, dan antioksidan dengan bahan aktif utama tokoferol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh VCO secara makroskopik dan mikroskopik terhadap adhesi intraperitoneal dengan menganalisis perbandingan dosis VCO yang diberikan intraperitoneal pada hewan coba tikus Wistar. Jenis penelitian ini analitik intervensional dengan kontrol. Hewan coba ialah tikus Wistar (Rattus norvegicus) yang diseragamkan berat badan 175-200 g, jenis kelamin jantan, dan variannya. Hasil uji Kruskal-Wallis chi-square ialah 16,381 dengan df = 4 dan Asymp sig = 0,003 (P < 0,05) untuk penilaian makroskopik (Zühlke) sedangkan nilai 15,160, dengan df = 4 dan Asymp sig = 0,004 (P < 0,01) untuk penilaian mikroskopik (Yilmaz). Simpulan: Terdapat perbedaan bermakna dalam derajat makroskopik menurut Zühlke dan derajat mikroskopik menurut Yilmaz pada ke-5 perlakuan dalam kejadian adhesi intraperitoneal pada Rattus norvegicus.Kata kunci: adhesi intraperitoneal, VCO