Budiana Setiawan, Budiana
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Balitbang, Kemdikbud

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Revitalisasi Tari Linda dan Lariangi dalam Masyarakat Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara. Setiawan, Budiana
Kebudayaan Vol 12, No 2 (2017)
Publisher : Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (390.647 KB) | DOI: 10.24832/jk.v12i2.250

Abstract

AbstrakTari Linda dan Lariangi adalah tari tradisional di Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara yang terancam punah, sehingga harus dilakukan revitalisasi. Permasalahan yang diangkat adalah: (1) Bagaimana kedua tarian tersebut dimaknai oleh seniman tari? (2) Bagaimana pula kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Baubau? Tujuan dari tulisan ini adalah mengetahui bentuk revitalisasi yang disepakati para seniman dan Pemerintah Kota Baubau. Metode penelitian yang dilakukan adalah eksplanasi etnografis dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada awalnya tari Linda dalam tradisi masyararakat Muna dan Wolio merupakan bagian dari upacara Karia atau pingitan bagi gadis yang beranjak dewasa. Adapun tari Lariangi sebagai hiburan bagi sultan dan para tamu kerajaan pada masa Kesultanan Buton. Seiring dengan perubahan kondisi sosial-budaya dan politik pemerintahan pada masyarakat Wolio, saat ini baik tari Linda maupun Lariangi dipentaskan untuk menyambut tamu pemerintahan dan wisatawan yang datang ke Kota Baubau. Meskipun demikian, bagi para seniman hal itu tidak mengubah makna dan filosofi dari kedua tarian tradisional tersebut. Dalam hal ini upaya revitalisasi yang tepat untuk tari Linda adalah refungsionalisasi, sedangkan untuk tari Lariangi adalah reorientasi. Adapun kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota Baubau adalah dengan memberikan bantuan alat-alat dan sarana kesenian, serta pembinaan kepada sanggar-sanggar kesenian yang ada di wilayahnya.
NOMENKLATUR BIDANG KEBUDAYAAN DI PEMERINTAH PROVINSI: BERGABUNG DENGAN BIDANG PENDIDIKAN ATAU BIDANG PARIWISATA? Setiawan, Budiana
Kebudayaan Vol 11, No 1 (2016)
Publisher : Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (327.779 KB) | DOI: 10.24832/jk.v11i1.22

Abstract

AbstractCulture sector, which was transferred into the Ministry of Culture and Tourism since2001, was back to the Ministry of Education and Culture in October 2011. The changes oforganizational structure in ministerial level should be followed by changes of organizationalstructure in officials in provincial level. But in reality, the majority of provincial governmentsretain the culture sector together with tourism sector. This case provokes a question why thechange of organizational structure in the ministerial level is not followed by most of the officialsin provincial level. The method of this study is literature study of some articles and essays frombooks and internets, which contain history of culture sector in ministerial level, role of culturefor tourism, role of culture for education, as well as examples of official that manages culturesector in three provinces (West Kalimantan, West Sumatra, and Yogyakarta Special Region). Theresults shows that many officials merge culture sector together with tourism sector because themeaning of culture sector is considered to have a stronger synergy with tourism than education.The provincial government considers that culture sector needs to be empowered for the benefitof tourism sector. Conversely, tourism development will strengthen people’s culture in theirprovinces. Culture-based tourism development will also increase local income for the province AbstrakBidang kebudayaan yang sejak tahun 2001 bergabung dalam Kementerian Kebudayaandan Pariwisata, mulai Oktober 2011 beralih kembali ke Kementerian Pendidikan danKebudayaan. Perubahan struktur organisasi di tingkat kementerian tersebut semestinya diikutidengan perubahan struktur organisasi kedinasan di tingkat pemerintahan provinsi. Namundalam kenyataannya sebagian besar dinas di tingkat provinsi tetap mempertahankan bidangkebudayaan disatukan dengan bidang pariwisata. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapaperubahan struktur organisasi di tingkat kementerian tersebut tidak diikuti oleh sebagian besardinas di tingkat provinsi? Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah dengan melakukanstudi pustaka terhadap tulisan-tulisan dan laman-laman, yang memuat tentang sejarah bidangkebudayaan di tingkat kementerian, peran kebudayaan terhadap pariwista, peran kebudayaanterhadap pendidikan, serta contoh-contoh dinas yang menangani bidang kebudayaan di tigaprovinsi (Kalimantan Barat, Sumatera Barat, dan D.I. Yogyakarta). Hasil kajian menunjukkanbahwa hal tersebut disebabkan pemaknaan bidang kebudayaan yang dianggap lebih bersinergidengan pariwisata daripada pendidikan. Pemerintah provinsi memandang bidang kebudayaandapat diberdayakan untuk kepentingan bidang pariwisata. Sebaliknya, pengembangan pariwisataakan memperkokoh kebudayaan masyarakat di provinsi tersebut. Perkembangan pariwisatayang berbasis kebudayaan juga akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi provinsitersebut.
NOMENKLATUR BIDANG KEBUDAYAAN DI PEMERINTAH PROVINSI: BERGABUNG DENGAN BIDANG PENDIDIKAN ATAU BIDANG PARIWISATA? Setiawan, Budiana
Kebudayaan Vol 11 No 1 (2016)
Publisher : Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/jk.v11i1.22

Abstract

AbstractCulture sector, which was transferred into the Ministry of Culture and Tourism since2001, was back to the Ministry of Education and Culture in October 2011. The changes oforganizational structure in ministerial level should be followed by changes of organizationalstructure in officials in provincial level. But in reality, the majority of provincial governmentsretain the culture sector together with tourism sector. This case provokes a question why thechange of organizational structure in the ministerial level is not followed by most of the officialsin provincial level. The method of this study is literature study of some articles and essays frombooks and internets, which contain history of culture sector in ministerial level, role of culturefor tourism, role of culture for education, as well as examples of official that manages culturesector in three provinces (West Kalimantan, West Sumatra, and Yogyakarta Special Region). Theresults shows that many officials merge culture sector together with tourism sector because themeaning of culture sector is considered to have a stronger synergy with tourism than education.The provincial government considers that culture sector needs to be empowered for the benefitof tourism sector. Conversely, tourism development will strengthen peopleâ??s culture in theirprovinces. Culture-based tourism development will also increase local income for the province AbstrakBidang kebudayaan yang sejak tahun 2001 bergabung dalam Kementerian Kebudayaandan Pariwisata, mulai Oktober 2011 beralih kembali ke Kementerian Pendidikan danKebudayaan. Perubahan struktur organisasi di tingkat kementerian tersebut semestinya diikutidengan perubahan struktur organisasi kedinasan di tingkat pemerintahan provinsi. Namundalam kenyataannya sebagian besar dinas di tingkat provinsi tetap mempertahankan bidangkebudayaan disatukan dengan bidang pariwisata. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapaperubahan struktur organisasi di tingkat kementerian tersebut tidak diikuti oleh sebagian besardinas di tingkat provinsi? Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah dengan melakukanstudi pustaka terhadap tulisan-tulisan dan laman-laman, yang memuat tentang sejarah bidangkebudayaan di tingkat kementerian, peran kebudayaan terhadap pariwista, peran kebudayaanterhadap pendidikan, serta contoh-contoh dinas yang menangani bidang kebudayaan di tigaprovinsi (Kalimantan Barat, Sumatera Barat, dan D.I. Yogyakarta). Hasil kajian menunjukkanbahwa hal tersebut disebabkan pemaknaan bidang kebudayaan yang dianggap lebih bersinergidengan pariwisata daripada pendidikan. Pemerintah provinsi memandang bidang kebudayaandapat diberdayakan untuk kepentingan bidang pariwisata. Sebaliknya, pengembangan pariwisataakan memperkokoh kebudayaan masyarakat di provinsi tersebut. Perkembangan pariwisatayang berbasis kebudayaan juga akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi provinsitersebut.
REVITALISASI TARI LINDA DAN LARIANGI DALAM MASYARAKAT KOTA BAUBAU, PROVINSI SULAWESI TENGGARA. Setiawan, Budiana
Kebudayaan Vol 12 No 2 (2017)
Publisher : Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/jk.v12i2.250

Abstract

AbstrakTari Linda dan Lariangi adalah tari tradisional di Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara yang terancam punah, sehingga harus dilakukan revitalisasi. Permasalahan yang diangkat adalah: (1) Bagaimana kedua tarian tersebut dimaknai oleh seniman tari? (2) Bagaimana pula kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Baubau? Tujuan dari tulisan ini adalah mengetahui bentuk revitalisasi yang disepakati para seniman dan Pemerintah Kota Baubau. Metode penelitian yang dilakukan adalah eksplanasi etnografis dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada awalnya tari Linda dalam tradisi masyararakat Muna dan Wolio merupakan bagian dari upacara Karia atau pingitan bagi gadis yang beranjak dewasa. Adapun tari Lariangi sebagai hiburan bagi sultan dan para tamu kerajaan pada masa Kesultanan Buton. Seiring dengan perubahan kondisi sosial-budaya dan politik pemerintahan pada masyarakat Wolio, saat ini baik tari Linda maupun Lariangi dipentaskan untuk menyambut tamu pemerintahan dan wisatawan yang datang ke Kota Baubau. Meskipun demikian, bagi para seniman hal itu tidak mengubah makna dan filosofi dari kedua tarian tradisional tersebut. Dalam hal ini upaya revitalisasi yang tepat untuk tari Linda adalah refungsionalisasi, sedangkan untuk tari Lariangi adalah reorientasi. Adapun kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota Baubau adalah dengan memberikan bantuan alat-alat dan sarana kesenian, serta pembinaan kepada sanggar-sanggar kesenian yang ada di wilayahnya.
UPACARA TRADISIONAL MASYARAKAT LERENG GUNUNG LAWU, KABUPATEN KARANGANYAR, PROVINSI JAWA TENGAH: SUATU WUJUD INTERAKSI MANUSIA DENGAN ALAM Setiawan, Budiana
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 18 No. 3 (2017)
Publisher : Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4992.015 KB) | DOI: 10.52829/pw.20

Abstract

Masyarakat di lereng barat Gunung Lawn, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, meskipun telah memeluk agama-agama resmi yang diakui pemerintah, namun masih tetap melaksanakan upacara-upacara tradisional yang dipusatkan di tempat-tempat yang diangg.ap keramat, sepera: mata air, punden, dan situs cagar budaya. Upacara-upacara tersebut, yakm: Julungan, Mondosiyo, Dhukutan, dan Dawuhan. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah: (1) Hal-hal apakah yang mendasari masyarakat masih melaksanakan upacara-upacara tradisional tersebut, meslapun dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama yang mereka pelnk? (2) Apakah penyelenggaraan upacara-upacara tradisional tersebut memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat? Tujuan dari tulisan ini adalah mengetahui aspek-aspek yang mendasari masyarakat tetap melaksanakan upacara tradisional yang telah diwartskan secara turun-temurun dan mengetahui manfaat yang dirasakan masyarakat dari penyelenggaraan upacara-upacara tradisional tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelenggaraan upacara-upacara tradisional tersebut bukan ditujukan kepada makhluk-makhluk gaib yang menguasai tempat-tempat keramat, melainlcan sebagai wujud interaksi antara masyarakat dengan lingkungan alam sekitarnya. Penyelenggaraan upacara tradisional juga tidak terlepas dari keberadaan tokoh-tokoh mitos yang menguasal tempat-tempat keramat. Tokoh-tokoh mitos tersebut diperlukan keberadaannya untuk memberikan makna terhadap penyelenggaraan upacara tradisional tersebut. Sesaji-sesaji yang digunakan sebagai persembahan adalah bentuk komunikasi nonverbal antara masyarakat dengan lingkungan alam seldtamya. Masyarakat merasakan manfaat dengan memperoleh basil bumf dan kebutukan air yang berlimpahCommunities in west of Lmvu Mountainside, Karanganyar Regency, Central Java Province, have embraced official religions that recognized by the government, but always practice traditional ceremonies that are placed at sacred sites, such as: water springs, punden, and cultural heritage sites. The traditional ceremonies are: Julungan, Mondosiyo, Dhukutan, and Dawuhan. The issues in this paper are: (I) What are the reasons that makes communities in Lawu Mountainside always practice traditional ceremonies, although are considered incompatible with the teaching of their religion? (2) Are the effectuation of traditional ceremonies giving beneficial to the communities lives? The purpose of this paper are knowing the reason that make the community keep their practice of traditional ceremonies that have been given from old generation to young generation and knowing benefits that are felt by the communities, from their organizing of those traditional ceremonies. The results of this paper show that implementation of traditional ceremonies are not directed to supernatural beings who control the sacred sites, but as forms of interaction between community and their surrounding natural environment. The effectuation of traditional ceremonies are also inseparable from existence of mythical figures who control the sacred sites. The mythical figures are required to give meaning to implementation of the traditional ceremonies. The offerings that are used as tributes are forms of nonverbal communication between communities and surrounding natural environment. The benefits for communities are obtaining crops and abundant of water needs.