Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Kuasa Tubuh Terhadap Seksualitas Reproduksi Pada Keluarga Nelayan Di Dusun Bagan Desa Percut Sei Tuan Osi Karina Saragih; Ratih Baiduri; Esi Emilia
Jurnal Antropologi Sumatera Vol 16, No 2 (2019): Jurnal Antropologi Sumatera, Juni 2019
Publisher : Program Studi Antropologi Sosial Pascasarjana Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (684.226 KB) | DOI: 10.24114/jas.v17i1.20023

Abstract

Budaya patriarki yang mendominasi pada keluarga nelayan menyebabkan kontrol patriarki terhadap seksualitas perempuan, menjadikan mereka tidak lagi memiliki otoritas atas tubuhnya sendiri. Kultur yang dibangun dengan kontrol atas seksualitas perempuan mengancam eksistensi perempuan yang dianggap sebagai liyan, sehingga menjadi akar masalah ketidakadilan gender pada keluarga tersebut. Kondisi ini menyebabkan perempuan tidak mempunyai kuasa atas tubuhnya sendiri dan timbulnya anggapan urusan biologis reproduksi merupakan urusan dan tanggung jawab perempuan namun, apabila kesetaraan gender berlaku didalam sebuah keluarga melalui komunikasi, kerjasama dan kesepakatan maka relasi yang terjalin antara suami dan istri berjalan dengan baik sehingga memungkinkan perempuan memiliki kontrol atas tubuhnya sendiri.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Kuasa Tubuh Terhadap Seksualitas Reproduksi Pada keluarga Nelayan Di Dusun Bagan Desa Percut Sei Tuan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Pengumpulan data melalui wawancara secara langsung dan observasi secara langsung dengan masyarakat di Dusun Bagan Desa Percut Sei Tuan.  Hasil dalam penelitian ini yaitu: Pola relasi gender pada keluarga nelayan  ada yang bersifart asimetris (tidak seimbang) dan ada pula yang seimbang. Hal ini bisa terlihat dari aktivitas yang dilakukan oleh suami maupun istri. Mengenai kajian kuasa tubuh terhadap seksualitas reproduksi, terdapat relasi kerja sama yang menyatarakan hak kuasa seks suami maupun istri. Kesetaraan tersebut meliputi hak memutuskan kapan dan bagaimana memilih alat kontrasepsi, hak bebas dari paksaan pihak lain terhadap seksualitas, hak kesehatan seksualitas. Untuk mencapai kesetaraan tersebut didapat melalui komunikasi, kerjasama dan kesepakatan. Sehingga perempuan memiliki kontrol atas tubuhnya sendiri. Namun ada pula keluarga yang kuasa tubuh terhadap seksualitas reproduksi terjadi melalui praktik budaya patriarki yang mengakibatkan seksualitas reproduksi perempuan diletakkan pada posisi inferior dan terdiskriminasi.
TUBUH PEREMPUAN DIBALIK JERUJI BUDAYA PATRIARKI (TELA’AH WACANA KRITIS MICHEL FOUCAULT TERHADAP FILM KIM JI-YOUNG : BORN 1982) Osi Karina Saragih; Windi Susetyo Ningrum
SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hukum Vol. 2 No. 4 (2023): SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hukum, Agustus 2023
Publisher : LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi 45 Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55681/seikat.v2i4.765

Abstract

Film Kim Ji-Young: Born 1982 mengisahkan tentang perempuan yang terjerat dalam budaya patriarki di Korea Selatan. Secara tidak langsung, budaya patriarti membuat perempuan tidak leluasa bergerak atau otonomi terhadap tubuhnya sesuai dengan keinginannya. Ternyata kontrol yang diberlakukan oleh kuasa patriarki  melalui cara kerja Panopticon (Pengamatan, Normalisasi dan Hukuman) sangat bias gender seperti terjadinya diskriminasi, subordinasi, dan bahkan eksploitasi tubuh dan pengetahuan atas perempuan secara berkepanjangan. Seharusnya di dalamnya ada relasi (negosiasi) baik antara laki-laki maupun perempuan, baik berkaitan dengan seks, reproduksi, tubuh, pekerjaan, ekonomi, politik, pendidikan, pengetahuan dan sebagainya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bentuk belenggu dari kuasa patriarti yang dialami oleh tokoh perempuan dalam Film Ji-Young. Jenis penelitian ini deskriptif kualitatif menggunakan analisis wacana kritis Foucault dan menggunakan metode semiotika John Fiske. Hasil penelitian adalah Pertama, kuasa laki-laki untuk melakukan kontrol terhadap perempuan yang dianggap sebagai inferior dalam budaya patriarki. Kedua, untuk mempertahankan ranah strategis dengan menempatkan pihak yang dikuasai sebagai subjek yang selalu diintai (Panopticon), dalam hal ini tubuh perempuan dijadikan subjek untuk selalu diintai sehingga pola pikir, tindakan serta aktivitas kaum perempuan selalu berada dalam pengawasan laki-laki yang apabila perempuan melakukan perlawanan maka dianggap mengganggu stabilitas nilai dan norma yang telah berlaku.
Menggugah Semangat Nasionalisme Melalui Penguatan Nasionalisme Pancasila di SMK Negeri 3 Palangka Raya Muhammad Zusanri Batubara; Hendro T.G Samosir; Murniyati Yanur; Mahmuddin Sirait; Osi Karina Saragih; Nurlia Eka Damayanti; John Budiman Bancin; Windi Susetyo Ningrum
ABDIMASKU : JURNAL PENGABDIAN MASYARAKAT Vol 6, No 3 (2023): September 2023
Publisher : LPPM UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62411/ja.v6i3.1539

Abstract

The fading of nationalism is a real threat to Indonesia, especially the younger generation. The flow of modernization has an impact on the weakening of the spirit of nationalism of the younger generation and considers nationalism as a mere formality. Weakening nationalism can be a trigger for national destruction if it cannot be prevented wisely. This service activity aims to foster the spirit of nationalism through strengthening Pancasila nationalism to students of SMKN 3 Palangka Raya. This activity was carried out using a persuasive approach method in lectures, discussions, and question. The results of the activities carried out showed an increase in students' understanding of Pancasila nationalism. The students showed high interest in participating in the service activities. The high interest of the students can be seen from their enthusiasm in listening to the material as well as when interacting in discussion and question. The challenge of future activities is to carry out further activities so that the spirit of nationalism is even stronger.
TUBUH PEREMPUAN DIBALIK JERUJI BUDAYA PATRIARKI (TELA’AH WACANA KRITIS MICHEL FOUCAULT TERHADAP FILM KIM JI-YOUNG : BORN 1982) Osi Karina Saragih; Windi Susetyo Ningrum
SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hukum Vol. 2 No. 4 (2023): SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hukum, Agustus 2023
Publisher : LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi 45 Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55681/seikat.v2i4.765

Abstract

Film Kim Ji-Young: Born 1982 mengisahkan tentang perempuan yang terjerat dalam budaya patriarki di Korea Selatan. Secara tidak langsung, budaya patriarti membuat perempuan tidak leluasa bergerak atau otonomi terhadap tubuhnya sesuai dengan keinginannya. Ternyata kontrol yang diberlakukan oleh kuasa patriarki  melalui cara kerja Panopticon (Pengamatan, Normalisasi dan Hukuman) sangat bias gender seperti terjadinya diskriminasi, subordinasi, dan bahkan eksploitasi tubuh dan pengetahuan atas perempuan secara berkepanjangan. Seharusnya di dalamnya ada relasi (negosiasi) baik antara laki-laki maupun perempuan, baik berkaitan dengan seks, reproduksi, tubuh, pekerjaan, ekonomi, politik, pendidikan, pengetahuan dan sebagainya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bentuk belenggu dari kuasa patriarti yang dialami oleh tokoh perempuan dalam Film Ji-Young. Jenis penelitian ini deskriptif kualitatif menggunakan analisis wacana kritis Foucault dan menggunakan metode semiotika John Fiske. Hasil penelitian adalah Pertama, kuasa laki-laki untuk melakukan kontrol terhadap perempuan yang dianggap sebagai inferior dalam budaya patriarki. Kedua, untuk mempertahankan ranah strategis dengan menempatkan pihak yang dikuasai sebagai subjek yang selalu diintai (Panopticon), dalam hal ini tubuh perempuan dijadikan subjek untuk selalu diintai sehingga pola pikir, tindakan serta aktivitas kaum perempuan selalu berada dalam pengawasan laki-laki yang apabila perempuan melakukan perlawanan maka dianggap mengganggu stabilitas nilai dan norma yang telah berlaku.
Sosialisasi dan Edukasi Peran Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SATGAS PPKS) Terhadap Resiliensi Mahasiswa Korban Kekerasan Seksual di Universitas Palangka Raya Osi Karina Saragih; Murniyati Yanur; Juli Natalia Silalahi
Jurnal Masyarakat Madani Indonesia Vol. 2 No. 4 (2023): November
Publisher : Alesha Media Digital

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59025/js.v2i4.177

Abstract

Indonesia darurat kekerasan seksual. Perguruan Tinggi menempati urutan pertama untuk kekerasan seksual dan 40% dari 304 mahasiswa disalah satu Universitas Negeri pernah mengalami kekerasan seksual, 92% dari 162 responden mengalami kekerasan berbasis gender online. 77% Dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, dan 63% mereka tidak melaporkan kasus kekerasan seksual yang diketahuinya pada pihak kampus. 174 Testimoni dari 79 kampus di 29 Kota dengan hasil 89% korban adalah perempuan, 4% anak laki-laki, dan 8% tidak mau menyebutkan. Dampak dari perbuatan atas kekerasan seksual tersebut adalah menghasilkan trauma psikis berkepanjangan yang dapat mempengaruhi proses belajar dan aktualisasi dari diri mahasiswa.Dengan diterbitkannya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, memberi harapan kepada para korban kekerasan seksual Untuk mendapatkan perlindungan payung hukum demi keadilan bagi korban, pendampingan kepada korban serta pemulihan korban (Resiliensi). Resiliensi tidak hanya ditunjukkan dalam situasi stres, ataupun pemulihan  tetapi juga dapat dikembangkan untuk mengantisipasi berbagai masalah yang muncul dalam kehidupan. Untuk itu, Universitas Palangka Raya membentuk Satuan Tugas Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SATGAS PPKS) sebagai wujud dari komitmen Universitas Palangka Raya untuk menciptakan budaya kampus yang aman dari kekerasan seksual serta menjadikan mahasiswa merasa nyaman untuk tumbuh berproses menjadi mahasiswa yang unggul dan berkarakter melalui kegiatan Sosialisasi dan Edukasi Peran SATGAS PPKS Terhadap Resiliensi Mahasiswa Korban Kekerasan Seksual di Universitas Palangka Raya
Navigating Democratic Parenting Patterns in Parenting in the Digital Era Helmi Helmi; Novina Anggreni; Sridila Sridila; Saputra Adiwijaya; Muhammad Zusanri Batubara; Osi Karina Saragih
West Science Interdisciplinary Studies Vol. 2 No. 06 (2024): West Science Interdisciplinary Studies
Publisher : Westscience Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58812/wsis.v2i06.996

Abstract

The rapid advancement of technology and access to information in the digital age has greatly impacted children, known as the digital native generation. While technology offers easy access to information and educational tools, it also presents risks such as internet addiction and exposure to harmful content. The family, especially parents, plays a crucial role in shaping children's character. Parents need to teach, guide, and protect children from the negative impacts of technology. This article delves into the concept of democratic parenting, which is considered effective in addressing these challenges. In this approach, there is an emphasis on two-way communication, allowing both parents and children to express their opinions. It focuses on setting realistic boundaries, balanced supervision, and responsible development of digital skills. This parenting style helps children learn to manage their screen time and develop healthy digital habits. Additionally, children are taught to think critically, respect diverse opinions, and become independent. Parents should familiarize themselves with their children's technology, set time limits for using digital devices, choose safe and educational content, and actively engage in their children's digital activities. With the right guidance, children can utilize technology for positive self-development, tackle technological challenges, and grow into responsible, critical, and adaptable individuals.
The Impact of Government Regulations on Forest Fires on the Decline in Livelihoods of Residents in Pulang Pisau Millenia Ardhia Garini; Miki Sepriadi; Enjelita Enjelita; Saputra Adiwijaya; Osi Karina Saragih; Muhammad Zusanri Batubara
West Science Nature and Technology Vol. 2 No. 02 (2024): West Science Nature and Technology
Publisher : Westscience Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58812/wsnt.v2i02.995

Abstract

Forest fires in Indonesia, especially in peatlands such as Pulang Pisau, Central Kalimantan, are a serious problem that impacts the environment and the livelihoods of local communities that depend on agriculture and timber mining. The government has issued strict regulations based on Law Number 32 of 2009, Law Number 41 of 1999, and Government Regulation Number 10 of 2010 to prohibit forest burning to protect the environment. However, the implementation of these regulations often does not take into account local conditions, leading to a decline in livelihoods, poverty, and population migration. This study uses a descriptive qualitative method to analyze the impact of government regulations on forest fires and livelihood decline in Pulang Pisau. Data were collected through observation, interviews, and document analysis. The results of the study show that the regulation limits the traditional practices of communities in managing land, causing a decrease in income and increasing poverty. Community adaptation to these regulations includes diversification of income sources, training, use of technology, and increased community cooperation. The study recommends increased support through proper training, access to environmentally friendly agricultural technologies, and better coordination between central and local governments. A holistic approach is needed to balance environmental protection and the economic well-being of the community. Effective regulatory implementation and ongoing support are expected to reduce forest fires without sacrificing the livelihoods of local communities.
Palangka Raya City Residents' Perceptions of the New Icon of the Bundaran Besar Edi Burga Satria; Frederikus Vieri Harjum; Saputra Adiwijaya; Muhammad Zusanri Batubara; Osi Karina Saragih; Willy Manao
West Science Social and Humanities Studies Vol. 2 No. 06 (2024): West Science Social and Humanities Studies
Publisher : Westscience Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58812/wsshs.v2i06.994

Abstract

The Grand Roundabout stands as a pivotal landmark in Palangkaraya, recently undergoing significant renovation and augmentation with new elements. This research employs a survey method, distributing questionnaires across various segments of society to acquire a comprehensive understanding of their perspectives. Findings indicate that the majority of Palangkaraya residents welcome these changes, considering their efforts to beautify the city and enhance tourism appeal. Overall, the new icon of the Grand Roundabout is deemed successful in representing Palangkaraya's modern and dynamic identity, although some aspects still require improvement. The renovation includes the addition of artistic and structural designed elements to reinforce the city's visual identity and attract more tourists. To grasp societal views, the survey method was utilized, reaching out to local residents, merchants, and tourists visiting the city. Research results show that most respondents positively embraced the changes at the Grand Roundabout, perceiving this new icon as a step forward in enhancing the city's aesthetics and tourism allure. Local communities express pride in the Roundabout's new appearance, considered more modern and reflective of Palangkaraya's progress. Many believe that the renovation brings a fresh ambiance and enhances the city's overall aesthetics. However, the survey also reveals some critiques and concerns. There are concerns regarding the renovation's impact on traffic around the Grand Roundabout, especially during peak hours, which could potentially lead to congestion. This research provides valuable insights for policymakers in designing and implementing similar projects in the future.